Bab 1
Belum pernah aku seberharap ini agar tidak bertemu dengan orang-orang yang kukenal—atau mengenaliku.
Bukannya penampilanku memalukan atau semacamnya. Sebaliknya, aku justru berada dalam kondisi rapi dengan gaun selutut berwarna biru dengan rok mengembang dan pinggang kelewat sempit yang nyaris membuatku ingin melepas beberapa kaitan tali di punggungku. Aku cukup menyukai kepangan kecil di sepanjang sisi kanan wajahku yang berakhir pada gelungan kecil di atas tengkuk. Sepatu datar berlapis perak yang dibelikan Mama agar aku bisa berjalan di atas rumput dengan nyaman juga terlihat bagus.
Dalam situasi normal, aku bakal sangat menikmati pesta pernikahan yang diselenggarakan di halaman rumah mewah berlantai empat dengan desain modern dan sedikit sentuhan oriental, di bawah tenda berhias pita putih yang tampak cantik diterpa cahaya jingga matahari rendah.
Seandainya saja pengantinnya tidak berusia lebih dari setengah abad (jadi para tamu terpaksa mendengar lagu-lagu lama yang bahkan belum pernah kudengar sebelumnya) dan mempelai prianya bukan kakekku sendiri.
Ya, kakekku. Grandpѐre. Menikah. Di usianya yang ke-60.
Aku tidak begitu dekat dengan Grandpѐre, walaupun kami tinggal serumah—Grandpѐre pendiam dan lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Pokoknya, tahu-tahu saja, setelah pulang dari sekolah di sore hari yang panas sekitar satu bulan yang lalu, aku mendapati Mama dan Grandpѐre duduk di ruang tamu bersama seorang wanita paruh baya berambut pirang yang mulai beruban dengan tas tangan ungu berbentuk kerang di pangkuannya.
Kami memanggilnya Madam Jenkins, wanita berkulit putih yang sering ke halaman rumahku untuk mencari chi hua hua-nya karena anjing galak itu begitu suka dengan Grandpѐre sejak kali pertama mereka bertemu. Madam Jenkins berkata bahwa ia membawa peliharaannya ke salon anjing di dekat rumah kami setiap seminggu sekali, suatu hari anjing kecil itu kabur dan ditemukan Grandpѐre. Intensitas pertemuan mereka meningkat ketika Grandpѐre mengajak anjing itu jalan-jalan seperti peliharaan sendiri.
Hal pertama yang kulakukan ketika melihatnya di sini adalah mengerjap bingung dan duduk di samping Mama dengan hati-hati, bukan karena ini adalah pertama kalinya Madam Jenkins bertamu ke rumah kami dengan formal. Tapi, ia memakai qipao—gaun tradisional perempuan Cina—dengan corak bunga sewarna tasnya (tunggu, apakah aku sudah menyebut manik-manik di atas tas kerang?) dan Grandpѐre memakai kemeja lengan panjang biru muda seolah ia juga tamu di sini.
Madam Jenkins menyuruh kami memanggilnya Joanne, lalu bercerita bahwa ia keturunan Inggris-Prancis, sudah tinggal lama di Indonesia, dan baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-52 bersama pelayan-pelayannya karena satu-satunya yang tinggal di rumah sebesar empat lantai miliknya selain para pekerja hanya ia sendiri. Lalu, Grandpѐre melanjutkan kalau Joanne telah menyalakan semangat dalam dirinya yang telah padam sejak pensiun beberapa tahun silam, dan sekarang ia berencana membuka usaha penyewaan alat olahraga. Kami menanggapi rencana Grandpѐre dengan positif. Grandpѐre melanjutkan, kalau ia akan lebih banyak bekerja sama dengan Joanne dan tidak merepotkan keluarga kami lagi. Mama membalas kalau sebenarnya Grandpѐre tidak pernah merepotkannya sama sekali, mengingat kakekku lebih sering berada di luar rumah selama ini, sedangkan aku, seperti dalam percakapan keluarga biasanya, hanya terdiam.
Aku masih baik-baik saja mendengar diskusi mereka tentang ide tersebut sampai kemudian Grandpѐre mengatakan kalau mereka juga akan segera menikah dalam waktu sebulan.
Sebuah tawa keras berhasil kucegah, dan hasilnya aku tersedak ludah sendiri. Aku melirik Mama untuk menunggu reaksi semacam itu, tapi wajah kakunya menyembunyikan emosi lebih baik, seolah berusaha terlihat tetap sopan, dan ia memberiku tatapan peringatan. Selama beberapa hari aku masih yakin kalau semua itu adalah salah satu lelucon orang tua yang bosan ala Prancis—walaupun aku tidak tahu bagaimana gaya melucu orang Prancis.
Tapi, ternyata Grandpѐre serius, dan di sinilah aku sekarang, setelah diseret oleh Mama dan Papa yang terang-terangan tidak jatuh dalam perangkap sakit perut pura-puraku dan menolak habis-habisan ide untuk memakai topeng di pesta pernikahan kakek sendiri.
Seolah memamerkan wajah di sini saja belum cukup, aku harus terjebak bersama kedua adikku yang bertingkah konyol di deretan kursi terdepan. Aku curiga sebenarnya inilah tujuan utama Papa dan Mama memaksaku hadir, hanya agar aku bisa menjaga semua bocah-bocah itu sementara mereka menikmati minuman dengan tenang sambil berkenalan dengan orang-orang baru. Papa senang bersosialisasi, salah satu bakat yang tidak dia turunkan padaku.
"Aku mau makan ikan," kata Rose, adik termudaku yang berumur enam tahun. Ia menggoyang-goyangkan kakinya yang menggantung di bawah kursi tidak sabar.
"Kau itu, kan, ikan," balas Lily—adikku yang lain—dari balik ponselnya. "Ikan badut."
"Kau SpongeBob!" Rose menuding gaun kuning cerah manik-manik selutut yang dipakai Lily.
"Kau Patrick Star. Gendut. Idiot. Huuu." Lily menjulurkan lidahnya. Saat ini Rose memang memakai gaun merah muda semata kaki dengan hiasan mawar-mawar kecil di ujungnya.
"Astaga." Aku memutar bola mata melihat tingkah mereka. "Diamlah."
Tiba-tiba Rose tertawa. Giliranku yang ditunjuknya. "Kalau Daisy itu Squidward!" Dengan penuh semangat, ia menusuk lenganku, Lily, dan dirinya secara bergantian. "Squidward, SpongeBob, dan Patrick!" ujarnya bangga seolah baru saja melakukan penemuan besar.
"Kalau Cece, sih, Squidward banget," cetus Lily, mulai melupakan permainan kartu-nya dan tertawa terbahak-bahak. "Lihat wajah 'aku-ingin-berada-di-mana-pun-selain-di-sini' itu." Ia mengarahkan kamera ponselnya ke arahku sambil menyeringai. "Cekrek! Headline besok pagi, 'Seseorang Berwajah Squidward Ditemukan Mati Kebosanan di Tengah Pesta. Hidungnya Putus',"
Aku melontarkan tatapan 'aku-akan-memukulmu-jika-kau-bising-lagi' pada Lily dan Rose, tapi mereka tidak memedulikannya. Lily berhasil mengambil satu fotoku dan Rose bersorak menyemangatinya hingga beberapa tamu sekitar menoleh. Sebelum berhasil merebut ponsel Lily, mataku menangkap seorang pria yang tampak mencolok dengan kemeja kotak-kotak biru pudar di tengah lautan gaun warna-warni sambil memotret suasana pesta dengan kamera besarnya.
Sial. Aku harus sembunyi. Tidak boleh ada bukti setitik pun kalau aku pernah berada di sini.
"Hei." Aku menyela kedua makhluk di sampingku yang sedang menirukan tawa SpongeBob yang memalukan. "Aku mau ke toilet. Jangan hilang," kataku, walaupun tidak mungkin mereka bisa hilang di halaman rumah yang akan menjadi kediaman kakek sendiri.
Tapi, aku tidak bohong. Aku memang ingin ke toilet.
"Aku mau makan!" teriak Rose.
"Lily, bawa Rose ke meja hidangan," perintahku sebelum meninggalkan mereka.
"Enak saja. Aku bukan pembantumu!" ujar Lily tidak terima.
"Aku kakakmu," kataku tegas. "Dan semua adik mendengar perintah kakak. Itu hukum mutlak."
"Aku membenci fakta kalau aku lahir empat tahun lebih lambat darimu." Lily memutar bola mata.
"Katakan itu pada Mama!" seruku.
Aku buru-buru kabur dari deretan kursi ketika si fotografer mulai mendekat. Pesta ini termasuk kelewat besar dan ramai untuk ukuran pesta rumahan. Kurasa setidaknya ada seratus tamu yang tersebar di halaman juga taman dan beberapa yang iseng masuk ke rumah untuk melihat-lihat. Sebagian kecil dari mereka berdarah Eropa, yang sengaja kuhindari supaya tidak perlu basa-basi.
Mungkin kau mengira tamu asing tersebut berasal dari pihak Joanne. Tapi, tidak, Joanne bisa dibilang sebatang kara setelah suaminya meninggal tanpa memberi anak dan ia tidak memiliki saudara di Indonesia. Tamu-tamu dengan rambut pirang dan coklat alami adalah putra-putri dan keponakan Grandpѐre—termasuk Mama—yang dalam beberapa hal menjadi pemandangan menarik tersendiri bagi orang lain.
Mama pernah mengatakan tak mudah untuk tampil tidak mencolok dengan wajah campuran Prancis dan Melayu.
Tapi, dia tidak tahu, memiliki darah Prancis-Melayu-Cina dengan kulit gelap jauh lebih sulit lagi.
Beberapa pasang mata tertuju padaku ketika aku menapak anak tangga batu pendek di teras, entah karena langkahku yang terlalu lebar untuk ukuran gadis dengan gaun, atau mereka sedang mengira-ngira asal usulku. Tidak banyak yang bisa menebak darimana aku mendapatkan mata coklat dalam yang tajam, hidung kecil pas-pasan, rambut kemerahan—baiklah, ini akibat terlalu sering terpapar sinar matahari—dan kulit sawo matang.
Semua orang selalu mengerutkan dahi ketika mengetahui namaku adalah Daisy Wu.
Oke, aku memang seperti anak tersesat.
"Daisy!" Dave, sepupuku, berteriak memanggil. Aku bisa melihat pantulannya yang melambai semangat dari jendela panjang vertikal. Gawat.
Aku bersembunyi di ruang tamu, di belakang partisi kaca buram berbingkai kayu yang memisahkannya dengan ruang bersantai Joanne, menghembuskan napas lega ketika suara Dave tidak terdengar lagi. Tidak sepertiku, Dave begitu antusias dengan acara ini. Dia mengidolakan Joanne sejak pertama kali mereka bertemu.
Bukannya aku membenci Joanne, tapi berdasarkan referensi dari apa yang sering ditayangkan di saluran televisi akhir-akhir ini, aku sempat mengutarakan kecurigaanku pada Papa dan Mama kalau Joanne mungkin saja menipu Grandpѐre. Maksudku, tidak mungkin seorang wanita—paruh baya sekalipun—mendadak tertarik dengan kakek-kakek pensiunan yang hobi menghabiskan sisa hartanya dengan berkeliling kota dengan temannya.
"Kau tidak boleh bicara begitu," tegur Mama setelah mendengar ucapanku. Saat itu Grandpѐre—aku tidak berani membayangkan kata 'kencan'—sedang keluar bersama Joanne. "Jangan sampai kakekmu mendengarnya."
"Joanne bisa dibilang adalah orang asing!" seruku. "Kita tidak pernah mengenalnya selain ia punya Chihuahua yang bising."
"Grandpѐre mengenalnya," cetus Mama sambil mengganti saluran televisi, tanpa memandangku.
Aku menghela napas gelisah. "Bagaimana Mama bisa begitu tenang ketika Grandpѐre ingin menikah lagi?" Di saat ini pula! tambahku dalam hati. "Bagaimana dengan Grandmѐre?"
Giliran Mama yang menghela napas. "Nenekmu sudah tidak ada bahkan jauh sebelum kau lahir, Daisy," ucapnya. "Kita harus memberi Grandpѐre kesempatan. Dia membutuhkan seseorang di hari tuanya."
"Dengan wanita Inggris bergaun Cina!" kataku ngeri.
"Rasis!" desis Lily dari arah dapur.
"Maksudku, bagaimana jika ia berniat menipu harta kita?" lanjutku tanpa menghiraukan Lily. Aku sadar kalau kami juga keturunan Prancis yang memakai qipao ketika hari pertama imlek—Papa yang memaksa. Tapi, setidaknya kami bukan nenek-nenek bertas kerang.
Mama meletakkan remote-nya dan menatapku prihatin. "Kau terlalu banyak menonton sinetron, Daisy."
Tapi, setelah melihat rumah yang lima kali lipat lebih besar dari rumah kami, aku kehabisan alasan. Bahkan Papa langsung jatuh cinta pada pandangan pertama ketika menatap ornamen berbentuk naga di atap rumah Joanne dan lukisan sembilan ikan koi raksasa di salah satu sisi dinding ruang tamu. Berani taruhan, diam-diam ia berharap sekali Joanne mengajak kami ikut tinggal di rumahnya.
Bahkan kamar mandinya seukuran kamarku. Dan di situlah aku akan bersembunyi, memutar musik di speaker dan duduk di sofa riasnya yang empuk sambil bermain ponsel sampai acara selesai.
"Aku tidak percaya kau mengikutiku sampai ke sini."
Sebuah suara berat menghentikan langkahku. Aku baru saja ingin menyahut bingung, tapi melihat pria itu berdiri membelakangiku dari meja pantry berbentuk 'L', seharusnya ia tidak sedang berbicara padaku. Lagipula aku tidak mengenalinya.
Pria asing di dapur. Beberapa orang memang berkumpul di ruang tamu untuk mengagumi mural bambu raksasa, tapi tidak seharusnya pelayan Joanne membiarkan salah satu dari mereka berkeliaran jauh ke dalam rumah tanpa pengawasan.
"Bisa kau biarkan aku hari ini?" desah pria itu. Ia melipat kedua ujung lengan kemejanya hingga ke siku sebelum berpangku tangan. "Aku butuh libur sehari."
Penasaran apa yang akan ia lakukan, aku bersembunyi di balik pembatas kayu bercelah, percaya diri bahwa tanaman bambu palsu yang tinggi dapat menghalangi tubuh kurusku.
Penyusup itu jangkung, berambut coklat gelap dan berpakaian rapi seperti semua tamu lainnya. Tapi, kita tidak pernah tahu pria berjas mana yang diam-diam menyimpan senjata peledak. Kaito Kid mencuri dengan jubahnya yang menawan.
Selama beberapa saat belum ada tanda-tanda kalau pria itu akan menggeledah lemari atau membobol pintu rahasia mana pun yang mengarah ke gudang harta bawah tanah. Ia hanya menghela napas, menatap kosong ke gambar buah-buahan di dinding keramik depannya. Dari celah di bawah meja dapur, aku memperhatikan kakinya yang menyilang. "Aku tidak berjanji."
Ada jeda lagi, seolah ia menunggu seseorang menjawab. "Coba saja. Aku juga tidak keberatan untuk membunuhmu kedua kalinya."
Aku nyaris melompat kaget ketika terdengar deringan ponsel. Setelah menenangkan diri dan yakin kalau bunyi itu tidak berasal dari tas tanganku, suara pria itu kembali terdengar—kali ini ada ponsel yang menempel di telinganya.
"Oke, aku ke sana sekarang," katanya.
Tidak membuang waktu, aku berlari tanpa suara menuju ke toilet, hingga nyaris menabrak salah satu pelayan yang menatapku bingung. Aku memasuki toilet, lalu menutup pintu geser kaca buram bercorak bambu itu sambil terengah dan mencerna apa yang baru saja kulihat tadi. Pria itu tidak berbicara padaku atau dengan ponsel.
Jadi, aku pasti baru saja memergoki orang gila.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top