26. Qurrotal Uyyun

Aku sudah tidak peduli jika sejak kemarin tak keluar kamar, menahan rasa lemas dan mual yang melanda setiap saat. Selera makan pun terasa sirna. Umi sampai khawatir dengan kondisiku dan menyarankan agar kembali ke dokter. Aku hanya bisa meyakinkan beliau jika semua akan baik-baik saja, dan aku hanya membutuhkan waktu untuk istirahat. Jika beliau tahu aku sedang hamil, mungkin berbeda responnya. Tetapi aku masih menyembunyikan dan menanti Bang Umar pulang.

Dua hari lalu susah dihubungi, sekarang gantian aku yang susah dihubungi olehnya. Sengaja. Biar dia bertanya pada Umi alasan aku tak menjawab telepon atau membalas pesannya. Aku kesal dengannya. Syukurnya Umi mengerti dengan kondisiku dan tidak memaksa turun ke bawah walaupun hanya sekadar untuk makan. Beliau atau bibi yang mengantar makanan ke sini. Jujur, sebenarnya aku tidak enak hati, tapi bagaimana lagi dengan kondisiku saat ini.

Rasanya sangat mengantuk di jam seperti ini. Ingin keluar kamar, tapi tubuh rasanya lemas. Apalagi untuk turun ke lantai bawah. Aku menyandarkan kepala pada tepian tempat tidur, masih mengenakan mukena dan duduk di atas sajadah selepas salat Duha. Pikiranku mengarah pada Bang Umar. Kira-kira dia sedang apa di sana? Entah kenapa rasanya rindu. Aku menegakkan tubuh, melepas mukena dan melipatnya, lalu meletakkan alat salat di sandaran kursi. Tubuh kurebahkan di atas tempat tidur. Kantuk tak bisa kuhindari lagi.

"Sayang."

Usapan terasa membelai pipiku diiringi dengan panggilan itu. Apa aku mimpi? Atau karena rasa rindu dengannya? Tapi seperti bukan mimpi. Aku membuka mata untuk memastikan. Seketika tatapanku terpaku pada sosok di hadapanku saat ini. Aku mengerjap untuk memastikan tidak salah melihat.

"Kita ke dokter, yuk," ajaknya sambil tersenyum.

Aku menyentuh tangannya untuk lebih memastikan. Ternyata memang bukan mimpi. Aku membawa tangannya ke dalam pelukan untuk mencari ketenangan. Bang Umar mendekatkan tubuh, lalu memelukku, mengusap punggungku dengan lembut. Rasa mual kembali melanda saat mencium aroma parfumnya.

"Abang minta maaf karena kemaring-"

Ucapan Bang Umar terpotong saat aku beranjak dari duduk, lalu segera turun dari tempat tidur, berjalan cepat menuju kamar mandi untuk mengosongkan perut. Selalu saja seperti ini. Aku segera keluar dari kamar mandi dan mendapati Bang Umar sudah menunggu. Saat dia akan mendekat, aku justru mengangkat tangan, meminta agar dia menjaga jarak sambil menutup hidung.

"Sayang kenapa?" tanyanya khawatir.

"Ganti baju dulu sana," pintaku.

Tanpa bantahan Bang Umar menuruti permintaanku, sedangkan aku berjalan perlahan menuju ranjang, lalu duduk di tepi sambil menunggunya berganti pakaian.

"Abang pulang kapan?"

"Setengah jam yang lalu." Pintu lemari terdengar ditutup. Bang Umar menghampiriku, lalu duduk di sampingku. "Abang minta maaf karena kemarin belum sempat hubungi Sayang. Nomor Sayang juga susah dihubungi. Kenapa? Umi tadi malam bilang sama Abang kalau Sayang sakit dan meminta Abang buat pulang karena khawatir dengan kondisi Sayang. Sayang beneran nggak apa-apa? Abang lihat wajah Sayang pucat. Kita ke dokter lagi ya buat mastiin."

Aku menggeleng, merapatkan tubuh ke arahnya. Bang Umar memelukku dari samping.

"Kenapa?"

"Aku kesel sama Abang."

"Abang sudah minta maaf. Apa harus Abang ulangi lagi?"

"Bukan karena itu."

"Terus karena apa?"

"Pokoknya aku kesel banget sama Abang. Rencana buat kuliah jadi batal. Aku juga jadi kayak gini. Badan lemes, pusing, mual-mual. Selera makan aku juga ilang."

"Loh, apa hubungannya sama kuliah? Kalau lemes, pusing, mual-mual, dan nggak selera makan itu karena memang bawaan sakit, Sayang. Makanya kita ke dokter lagi dan mastiin Sayang sebenarnya sakit apa."

"Kan kemarin udah. Ngapain ke dokter lagi?"

"Dokter bilang apa?"

"Aku hamil."

Hening. Aku mengangkat kepala. Bang Umar terlihat masih tak percaya. Aku memukul dadanya.

"Ini kan yang Abang mau?"

"Beneran?" Dia memastikan.

Aku melepas pelukan, meraih alat tes kehamilan di bawah bantal, lalu memberikan padanya. "Biar tambah yakin."

Setelah menatap benda itu beberapa detik, Bang Umar kembali memelukku. Kali ini memeluk erat. "Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah. Terima kasih, Sayang." Dia terdengar bahagia.

Entah aku harus bahagia atau sedih, yang jelas aku cukup lega walaupun masih ada rasa kesal dengannya.

"Aku belum bilang ke Umi karena mau Abang dulu yang tau. Abang saja deh yang kasih tau Umi," ungapku saat pelukan terlepas.

"Iya, nggak apa-apa. Umi pasti ngerti. Kamu tau, ini kabar paling bahagia yang Abang dapat. Ngalahin saat dulu kabar lulus dari universitan di Kairo."

"Pokoknya aku masih kesel sama Abang."

"Sayang minta apa biar keselnya ilang? Insya Allah, Abang turutin permintaan Sayang."

"Aku nggak minta apa-apa. Mending Abang sekarang kasih tau Umi. Aku mau tidur."

Bang Umar kembali memelukku. Berulang kali berterima kasih karena mendapat kabar bahagia ini. Jelas dia bahagia karena ini keinginannya dan calon cucu pertama keluarga ini. Sepertinya niatku untuk kembali kuliah terkubur dalam-dalam karena kehadiran calon anak kami.

***

"Ya Allah, Umi itu seneng banget waktu Umar bilang kalau kamu ternyata lagi hamil. Pantes saja dari kemarin muntah-muntah terus dan lemas. Sampai Umi bingung karena Anis nggak keluar kamar, takutnya tambah parah."

"Maaf, ya, Mi. Anis nggak bermaksud bikin Umi nambah kepikiran," balasku pada Umi.

"Iya, nggak apa-apa. Yang penting kamu nggak apa-apa. Umi justru seneng. Itu tandanya kamu sayang banget sama anak Umi."

Sekarang kami berada di ruang makan untuk makan siang bersama. Lebih tepatnya aku menemani Bang Umar dan Umi makan karena sejak kemarin benar-benar tidak ingin makan nasi. Hanya kami bertiga yang ada di sini karena Abi belum pulang, masih di Jawa Timur untuk urusan pondok. Bang Umar pulang sendirian naik pesawat setelah diminta Umi karena khawatir akan kondisiku.

"Biasanya kalau hamil muda suka makan buah yang asam-asam. Tadi Umi sudah pesan sama Bi Inah beli buah. Anis pingin buah apa?" tanya Umi menawari.

Aku menatap Bang Umar sambil tersenyum. "Anis mau rambutan di belakang, tapi Bang Umar yang metik."

"Emang masih ada, Mi?" tanyanya pada Umi.

"Masih ada sisa-sisa. Coba lihat."

"Ya udah, nanti habis makan siang Abang petikin."

Senyum mengembang di bibirku. Sebenarnya, aku tak tega jika dia harus memanjat pohon rambutan, mengingat dia pernah jatuh dari pohon itu. Tapi kalau masih bisa diambil dengan galah pun tak masalah. Aku hanya ingin buah rambutan yang diambil oleh tangannya.

Setelah selesai makan siang dan merapikan meja makan, aku langsung menuju teras belakang. Sedangkan Bang Umar ke kamar untuk berganti pakaian. Buah rambutannya memang terlihat sudah hampir habis, hanya tersisa di ranting atas yang sulit dijangkau. Aku duduk di sofa sambil menanti Bang Umar.

"Apa nggak nyuruh orang saja buat metik?" Suara Umi terdengar dari dalam.

"Nggak usah lah, Mi. Nggak apa-apa Umar manjat buat metik buat Anis. Lagian Anis mintanya Umar yang metik langsung."

"Ya sudah, tapi hati-hati, ya. Jangan tinggi-tinggi naiknya."

Seperhatian itu Umi dengan anaknya. Wajar sih karena Bang Umar pernah jatuh dari pohon rambutan itu, tapi demi menuruti keinginan calon anaknya jadi bela-belain naik pohon rambutan itu lagi.

"Sayang."

"Aku di sini, Bang," balasku saat mendapatinya di ambang pintu, sudah beganti pakaian. Kaus lengan pendek dan celana boxer sudah menghiasi tubuhnya yang sebelumnya masih mengenakan kemeja dan sarung.

"Abang yakin mau naik? Rambutannya ada di atas semua," ungkapku ragu.

"Demi Sayang," balasnya sambil tersenyum.

"Nyuruh orang saja nggak apa-apa, Bang."

"Nggak usah, Sayang. Tunggu di sini saja, ya, Abang mau naik sekarang." Bang Umar mengayun langkah menuju sudut halaman untuk meraih galah, lalu menuju pohon rambutan.

Aku beranjak dari sofa, berniat membantu Bang Umar.

"Anis jangan ke sana, ya, di sana banyak semut. Biar Umi yang bantu Umar."

Niatku terurung, hanya bisa mengangguk pada Umi, lalu kembali duduk di sofa dan memerhatikan Bang Umar yang sudah mulai menaiki pohon rambutan. Sedangkan Umi mengulurkan galah untuk memudahkan Bang Umar memetik buah rambutan di ujung ranting sana. Yang ngidam aku, tapi yang repot suami dan mertua.

***

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top