21. Aku Tulang Rusuknya

Aku merebahkan tubuh di atas tempat tidur setelah mandi dan berganti pakaian. Rasa lelah cukup terasa setelah menghadiri acara itu. Setelah salat Asar dan berpamitan pada orang penting yang hadir, Bang Umar langsung membawaku ke penginapan ini. Letaknya tak jauh dari tempat acara. Penginapan ini cukup luas, nyaman, dan nuansanya alami. Aku suka. Ingin sekali tidur, tetapi waktu sekarang tidak dibolehkan Bang Umar untuk tidur.

Suara pintu kamar mandi terbuka membuatku mengerjapkan mata untuk mengusir kantuk. Bang Umar terlihat menghampiriku dalam keadaan rambut masih setengah basah, lalu mendaratkan tubuh di sisi tempat tidur ini. Aku menyiapkan diri untuk membahas wanita bernama Zahra.

"Bang," panggilku.

Bang Umar hanya bergumam.

"Zahra cantik, ya, Bang?"

Hening. Aku melirik ke arahnya dan mendapati Bang Umar sedang menatapku. Senyum kusungging. Masih membuang wajah.

"Jangan salah paham," balasnya tenang seolah aku merasa cemburu.

"Emang aku nggak boleh nanya?"

"Sayang ketemu dia?"

"Eum ...."

"Abang belum pernah ketemu dia. Kami memang pernah taaruf, tapi belum pernah ketemu sama sekali, hanya pernah lihat fotonya sekilas di CV."

"Tapi cantik, kan?"

"Lebih cantik Sayang."

Aku menatapnya. "Aku serius nanya."

"Abang nggak pernah menyimpulkan atau menyimpan dalam ingatan tentang wanita yang bukan mahrom, karena itu akan menjadi dosa dan bisa menumpuk jika terus memikirkannya. Saat ini, wanita yang ada dalam pikiran Abang hanya Anis Hazna Azizah, istri Abang."

Seketika aku tak bisa berkata mendengar penjelasannya. Selalu ada cara yang terucap dari bibirnya untuk menenangkan aku.  Jujur, antara merasa bersalah dan cemburu saat membahas wanita itu. Bang Umar langsung menarik tubuhku agar memeluknya. Mungkin karena melihat mataku berkaca. Aku langsung meminta maaf padanya.

"Harusnya Abang yang minta maaf karena nggak peka." Bang Umar mengusap kepalaku.

"Habisnya aku penasaran sama hubungan Abang dan dia."

"Abang kira dia nggak datang karena setau Abang, dia ngajar di luar kota."

"Dia emang nggak datang."

"Terus."

"Ada ibu-ibu yang ngira kalau istri Abang dia, bukan aku. Ibu-ibu lain negur ibu itu karena sudah salah ngomong di depan aku. Ibu itu juga ngomongin masalah taaruf abang sama dia yang nggak jadi. Walaupun nggak di depan aku, tapi aku bisa denger, kok. Wajar kan kalau aku cemburu dan penasaran, secara aku istri Abang."

"Sudah, jangan dipikirin lagi. Yang penting sekarang Sayang sudah tau kalau hubungan kami hanya sebatas itu. Sayang juga harus maafin ibu itu karena kurang peka biar Sayang nggak terus kepikiran."

"Udah aku maafin, Bang."

Bang Umar mengeratkan pelukan. Momen yang tak pernah kami lewatkan jika sedang di atas tempat tidur. Biasanya, orang akan gengsi jika harus berterima kasih dan minta maaf terlebih dahulu, tetapi dua hal itu tidak berlaku bagi Bang Umar. Jika dia meminta tolong atau ditolong tak pernah lupa berterima kasih. Jika salah satu dari kami melakukan kesalahan, Bang Umar pasti lebih dulu minta maaf. Padahal yang sering melakukan kesalahan adalah aku.

***

"Kita mau ke mana, sih? Udah jalan lama, tapi nggak sampai-sampai. Aku udah capek, nih," eluhku.

"Sebentar lagi, Sayang."

Sebentar lagi apanya? Sudah hampir setengah jam kami berjalan dari rumah orang tua salah satu ustaz, tetapi sampai saat ini belum sampai tempat tujuan. Aku menyesal sudah antusias sejak awal untuk datang ke tempat ini. Penyesalan itu sudsh hadir sejak tiba di rumah orang tua salah satu ustaz di pondok. Sejak di sana aku sudah bete karena Bang Umar lama sekali mengobrol. Tambah lagi saat ini.

Senyum kusungging, lalu menghentikan langkah saat teringat sesuatu. Aku berjalan hati-hati menuju pohon besar untuk bersembunyi. Siapa suruh mengabaikan istrinya di belakang. Tubuh kudaratkan di bawah pohon besar, bersandar pada batang pohon untuk meredakan rasa lelah. Tempat ini sangat sepi, mungkin karena bukan hari libur, jadi tak ada yang berkunjung ke tempat ini.

"Sayang!"

Aku hanya bisa menahan tawa saat mendengar seruan Bang Umar. Seberapa dia panik saat tiba-tiba istrinya menghilang.

"Anis! Jangan bercanda! Abang beneran marah kalau kamu nggak keluar sekarang!" seru Bang Umar sambil melewati pohon tempatku beristirahat.

"Abang!" seruku dengan sengaja.

Bang Umar terlihat kaget, menyentuh dadanya sambil beristigfar. Wajahnya benar-benar terlihat panik. Aku masih saja menahan tawa melihat ekspresi wajahnya.

"Abang nggak suka cara kamu seperti ini," tegurnya setelah ekspresi wajahnya berubah datar.

"Siapa suruh ajak aku ke sini? Mana jauh banget. Belum lagi jalannya. Kaki aku sakit, makanya aku berhenti dan istirahat." Aku tak mau kalah.

"Harusnya bilang sama Abang."

"Gimana mau bilang, Abang aja jalannya cepet banget. Udah gitu nggak lihat kondisi aku. Gimana aku nggak kesel?"

"Astagfirullahal'adzim."

"Sana kalau Abang mau ke sana. Aku capek, mending nunggu di sini saja."

"Iya, Abang minta maaf. Kita udah terlanjur ke sini, jadi sayang kalau balik lagi. Lagian tempatnya udah nggak jauh. Lanjutin, yuk. Sayang pasti nggak akan kecewa kalau sudah sampai sana." Bang Umar membujuk dengan nada halus.

"Aku mau lanjutin ke sana kalau digendong. Tuh, kaki aku sakit gara-gara Abang. Kalau Abang nggak mau gendong, mending kita nggak usah lanjut ke sana. Lagian ngapain nggak kasih tau tempatnya apa, main rahasia-rahasiaan."

"Ya udah, ayo Abang gendong."

Aku segera beranjak setelah Bang Umar memintah tas gendong ke depan dan merendahkan tubuh, lalu mengalungkan tangan pada lehernya dari belakang. Bang Umar mengangkat tubuhku setelah mengapit kedua kakiku ke pinggangnya. Kami pun melanjutkan perjalanan.

"Lain kali jangan bikin Abang panik." Bang Umar membuka obrolan.

"Siapa yang bikin panik? Tadi aku cuma istirahat doang."

"Coba lihat samping kiri."

Seketika aku menoleh ke arah kiri. Mataku membulat saat melihat pemandangan menakjubkan. Air terjun. Aku langsung meminta untuk diturunkan. Setelah tahu tempat tujuannya, aku langsung semangat untuk jalan kaki, bahkan berjalan lebih depan.

"Pelan-pelan jalannya, Sayang." Bang Umar mengingatkan saat kami menuruni tanjakan batu akses ke bawah air terjun.

Terlihat beberapa orang berpapasan dengan kami untuk naik ke atas. Ternyata tak sepi seperti aku bayangkan. Setibanya di bawah, aku langsung disambut hawa dingin dari air terjun yang tertiup angin.

"Gimana?"

Aku menoleh ke arah Bang Umar, lalu menyungging senyum. "Suka," balasku singkat.

"Abang pernah ke sini sekali, diajak sama Ustadz Azam. Sekarang lebih rapi karena dirawat dan sudah banyak orang yang tau."

"Aku belum pernah ke tempat kayak gini. Ini pertama kali lihat air terjun secara langsung. Ternyata lebih indah."

"Sayang mau ikut mandi air terjun nggak? Mumpung sepi."

"Ih, nggak. Abang saja sana yang mandi, aku mau mainan airnya saja sambil menikmati pemandangannya. Lagian ribet kalau ikutan mandi."

Setelah melepas pakaian yang menyisakan kaus tanpa lengan dan celana pendek, Bang Umar langsung turun ke dalam air untuk berenang. Aku hanya duduk di atas batu, menjadi penonton sambil bermain air.

Kondisi di tempat ini semakin gelap. Sejak tiba di rumah orang tua Ustaz Azam, kondisi langit memang sudah mendung. Apa akan hujan?

"Bang, udah, yuk. Kayaknya mau hujan," ungkapku.

"Nggak apa-apa. Hujan kan rahmat."

"Masalahnya bukan itu, tapi di sini. Gimana kalau debit airnya naik? Emang Abang nggak takut? Aku mah takut. Udah, ayo kita naik." Aku beranjak meninggalkan area bebatuan.

Saat akan menaiki tangga batu, aku menoleh ke arah Bang Umar. Dia terlihat sedang mengganti pakaian. Aku mengurungkan niat untuk naik, menantinya agar naik bersama-sama.

"Kang! Neng! Sudah mau hujan, ayo naik!" seru seseorang dari atas.

Aku sontak menatap ke atas. Terlihat seorang laki-laki tengah menggendong kayu berdiri di sana.

"Iya, Mang! Ini mau naik!" Bang Umar menimpali.

Tetes air terasa menerpa kulit punggung tangan. Gerimis? Di saat yang sama Bang Umar sudah selesai berganti pakaian dan langsung mengajakku untuk naik. Gerimis pun terlihat lebat berjatuhan, membuat kami segera mempercepat langkah. Hujan semakin deras. Kami masih berlari untuk mencari tempat berteduh. Dari awal memasuki kawasan ini aku tak melihat tempat untuk berteduh. Percuma. Aku menghentikan gerakan kaki, lalu menyentuh kedua lutut. Napas terasa seperti dikuras. Lagi pula sudah telanjur basah, percuma membuang tenaga untuk berlari. Sudah tentu Bang Umar ikut berhenti karena kami lari beriringan.

"Kenapa?" tanya Bang Umar sambil menatapku.

"Percuma lari, Bang, sudah terlanjur basah. Lagian aku nggak lihat ada tempat berteduh sepanjang jalan ke sini. Jalan kaki saja. Udah lama juga aku nggak hujan-hujanan." Aku menegakkan tubuh.

"Bukan masalah nggak ada tempat berteduh, Sayang. Emang Sayang nggak takut petir?"

Eh, iya juga, sih. Tiba-tiba sifat jahilku muncul. Aku pun berlari meninggalkan Bang Umar sambil tertawa puas.

"Pelan-pelan! Jalannya licin!" seru Bang Umar mengingatkan.

Aku pun berlari sambil hati-hati. Belum lagi gamis yang aku kenakan membuat langkahku terbatas. Tetap saja aku kalah dari Bang Umar karena dia leluasa dan memiliki kaki panjang. Kami kembali bergandengan tangan sambil berlari untuk segera tiba di rumah orang tua Ustaz Azam.

***

Setelah menumpang mandi dan salat di rumah orang tua Ustaz Azam, aku langsung mengajak Bang Umar untuk pulang ke penginapan. Aku sengaja meminta untuk segera pergi dari rumah itu karena tak mau semakin merepotkan mereka. Apalagi saat tahu ternyata mereka memiliki dua anak perempuan dan masih gadis.

"Mau mampir ke suatu tempat nggak? Ada tempat kayak kafe baru buka dan kelihatannya bagus." Bang Umar menawarkan.

"Ntar aku dikerjain lagi suruh jalan jauh," sindirku.

"Nggak. Lokasinya nggak jauh dari jalan utama dan bisa parkir mobil di halamannya."

"Awas saja kalau nggak sesuai ekspekstasi."

"Insyaallah kali ini Abang nggak akan ngecewain Sayang."

Lihat saja kalau sampai bikin aku kecewa. Siap-siap aku ngambek sampai Jakarta.

Tak lama, mobil ini memasuki halaman sebuah kafe. Di belakang bangunan kafe terlihat pohon pinus menjulang tinggi.

"Abang yakin ini lokasinya?" tanyaku memastikan.

"Iya, Sayang." Bang Umar mematikan mesin mobil.

Ucapan Bang Umar benar. Letaknya tak jauh dari jalan utama. Mobil ini bisa masuk ke halaman. Kami turun bersama dari mobil. Bekas hujan masih terlihat kentara. Daun-daun pada tanaman masih terlihat basah dan hawa dingin begitu terasa. Kami langsung disambut karyawati kafe saat memasuki tempat ini. Kafe ini cukup sepi, mungkin karena hujan, membuat orang-orang enggan keluar untuk sekadar nongkrong karena dingin. Ditambah ini masih siang dan bukan hari libur.

Aku kembali dibuat takjub saat melihat pemandangan hutan pinus sangat indah di belakang kafe ini. Pohon pinus terlihat berjajar rapi dan bersih. Bahkan di bawahnya ditumbuhi rumput hijau dan terawat. Bang Umar tak salah memilih tempat ini. Aku mendaratkan tubuh di bangku dekat pagar, lalu menarik napas dalam karena udara di sini terasa sejuk. Langit tak semendung bebera menit yang lalu. Kalaupun panas, matahari akan terhalang rimbunnya daun pohon pinus.

"Abang nggak bikin Sayang kecewa, kan?"

Pertanyaan dari Bang Umar membuatku menoleh ke arahnya. Dia sudah duduk di seberang meja hadapanku. "Aku kecewa." Aku memanyunkan bibir.

"Loh, Sayang nggak suka sama tempat ini?" tanyanya dengan raut kaget.

"Kecewa karena ke sininya baru sekarang." Rautku berubah menjadi sumringah.

"Suka banget ngeledekin Abang." Bang Umar akan mencubit pipiku, tetapi aku menghindar.

"Gantian. Abang juga-"

Ucapanku terpotong saat pelayan datang membawa pesanan kami, lalu menyajikan cangkir cappucino latte di hadapanku dan wedang jahe ke hadapan Bang Umar.

"Bang," panggilku setelah pelayan pergi.

"Iya, Sayang." Bang Umar meraih cangkir di hadapannya.

"Apa alasan Abang nggak suka kopi?"

Masih belum ada jawaban karena Bang Umar sedang menikmati minumannya. "Bukan nggak suka. Dulu sering banget minum kopi, tapi setelah punya asam lambung hampir nggak pernah minum kopi buat jaga-jaga." Diletakannya cangkir di atas meja.

"Parah banget? Pernah masuk rumah sakit?"

"Iya. Waktu masih kuliah pernah masuk rumah sakit karena puasa Daud dan sering minum kopi kalau malam."

"Puasa Daud?"

"Iya. Puasa Daud itu misalkan hari ini puasa, besok nggak, besoknya lagi puasa, dan seterusnya."

Aku hanya mengangguk karena baru tahu. Memang banyak tidak tahunya mengenai ajaran Islam, hanya dasarnya saja. Setelah menikah dengan Bang Umar, aku tahu banyak larangan dan apa saja ibadah tambahan selain yang wajib.

***

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top