14. Pengantin Baru
Aku membuka mata perlahan karena merasa tak nyaman dalam tidur. Seperti ada yang mengusap pipiku. Sosok wajah laki-laki persis di hadapanku saat ini. Aku segera membuka mata lebar karena kaget, lalu akan beranjak duduk, namu diurungkan saat mengingat sesuatu. Hampir saja lupa jika laki-laki ini adalah suamiku. Dia terlihat menyungging senyum, sedangkan aku hanya membalasnya dengan senyum getir.
"Mau tahajjud?" tanyanya.
"Nggak. Sekarang jam berapa?" tanyaku balik dengan nada khas bangun tidur.
"Masih setengah empat."
Mataku kembali terpejam, lalu membetulkan posisi kepala untuk kembali menyelami alam mimpi karena masih pukul setengah empat. Masih ada waktu satu jam untuk kembali tidur sampai waktu subuh. Ranjang ini terasa bergoyang, membuat aku tak jadi tidur. Aku membuka mata perlahan, mendapatinya berjalan menuju bufet. Biarlah. Lebih baik aku kembali tidur. Sudah berusaha untuk kembali tidur, tapi nyatanya tak bisa, justru penasaran dengan apa yang dia lakukan. Aku kembali membuka mata perlahan dan mendapatinya duduk di kursi yang sebelumnya kita gunakan untuk makan malam. Di hadapannya sudah ada laptop. Apa lebih baik aku bangun?
Akhirnya aku beranjak duduk, lalu menyibak selimut. Sejenak, aku terdiam karena merasa sesuatu. Jilbab. Aku segera menyentuh kepala. Seingatku, sebelum tidur masih mengenakan jilbab, lalu kenapa terlepas? Kapan aku melepasnya?
"Abang yang lepasin karena lihat Anis nggak nyaman tidur pakai jilbab."
Entah kenapa rasanya ingin kesal, tapi dia suamiku. Sudah terlanjur dia melihat. Lagipula sah-sah saja dia melihat karena status kami sudah suami istri. Kenapa aku jadi seperti ini?
Setelah menguncir rambut, aku bergegas menuju kamar mandi untuk mencuci wajah. Sekaligus menenangkan hati yanh dilanda gugup. Setelah mengumpulkan keberanian, aku keluar dari kamar mandi. Dia masih terlihat sibuk dengan layar laptop, sedangkan aku memilih untuk kembali ke ranjang. Bangun pun terasa seperti percuma.
"Mau nemenin Abang minum teh nggak?" Dia menawari saat aku akan duduk di tepi ranjang.
"Lagi sibuk sama kerjaan, kan?" timpalku sambil merebahkan tubuh.
"Enggak. Lagi lihat foto kita pas ijab kabul."
Aku kembali beranjak, lalu turun dari ranjang, kemudian menghampirinya karena penasaran. Dia menggeser laptop agar aku bisa ikut melihat. Ternyata ucapannya benar. Aku duduk di kursi kosong, lalu kembali menatap layar laptop dan menggeser ke foto lain. Aku tak tahu siapa yang mengambil gambar ini, tapi aku salut karena semua foto yang dia kirim sangat bagus.
"Teman dekat Abang yang kirim." Dia meletakkan mug berisi teh di sisi laptop.
Sibuk menatap layar laptop sampai tak tahu dia membuatkan teh untukku. Dia kembali duduk di kursi sebelumnya, sedangkan aku kembali menggeser foto. Aku mengalihkan perhatian karena cukup lama hening. Pandangan kami bertemu. Ternyata sejak tadi dia memerhatikan aku dalam keadaan tangan menyangga dagu. Mana sambil tersenyum.
"Apaan, sih." Aku kembali menatap laptop.
"Abang emang nggak salah pilih, ternyata Anis emang cantik."
"Bohong."
"Buktinya langsung Abang ajak nikah, takut nanti Anis berubah pikiran."
"Tapi awalnya juga Abang nolak aku."
Hening. Aku kembali menatapnya karena tak memberi jawaban. Tatapannya masih padaku, pun senyumnya.
"Kalau nanti Abang bikin kesalahan, jangan sungkan buat negur. Abang masih banyak kekurangan dari pada kelebihan, makanya kita sama-sama saling melengkapi kekurangan dan kelebihan satu sama lain," jelasnya.
Diam masih menjadi pilihanku. Bingung akan membalas apa.
"Bukannya ada yang mau Anis tanyakan? Abang siap menjawab sekarang."
"Kenapa yakin buat nikah sama aku? Pasti banyak cewek yang lebih baik dari aku. Terus kenapa nggak pernah telepon atau kirim pesan? Aku sempat ragu karena masalah itu. Belum lagi pernikahan kita yang dadakan. Jujur aja, aku masih nggak yakin sama semua ini," ungkapku.
"Sini tangannya." Dia mengulurkan kedua tangannya di atas meja.
"Buat apa?" tanyaku takut.
"Buat meyakinkan Anis."
Walaupun ragu, tapi aku perlahan mengulurkan kedua tangan. Dia meraih kedua tanganku, lalu menggenggamnya erat.
"Abang yakin kalau Anis wanita baik yang dipilih Allah untuk menjadi tulang rusuk serta penyempurna separuh dari ibadah Abang. Memang banyak wanita cantik, pintar dan terpandang yang ditawarkan pada Abang, tapi kalau Allah pilih Anis buat Abang, Abang bisa apa?" Genggaman tangannya semakin erat. "Abang nggak telepon atau kirim pesan buat ngejaga kita dari hal-hal yang dilarang Allah, sekaligus agar kita saling memperbaiki diri. Abang juga nggak mau menunda hal baik, karena kita sudah siap untuk melakukannya," lanjutnya.
Jadi ini alasan dia melakukan semua ini?
"Apalagi yang harus Abang jelaskan biar Anis percaya?"
"Jujur, aku belum siap-"
"Abang ngerti. Abang juga nggak maksa. Anggap saja saat ini kita lagi pacaran. Abang nggak akan nuntut apa-apa selama Anis nyaman ada di samping Abang." Dia mencium punggung tanganku.
Perlakuannya benar-benar membuatku tak berkutik sekaligus malu. Belum ada laki-laki yang memperlakukan aku secara romantis seperti ini.
"Abang harap, Anis bahagia menikah dengan Abang, sama seperti yang Abang rasakan saat ini."
Bahagia? Sekarang aku justru nggak tau perasaan aku bahagia atau nggak.
Suara azan dari ponsel memecah suasana. Tak terasa waktu subuh pun tiba. Dia melepas kedua tanganku, lalu beranjak dari kursi.
"Nanti kita lanjut lagi setelah shalat. Abang wudhu dulu, ya." Dia berlalu dari hadapanku.
Panggil, nggak, panggil, nggak.
"Bang," panggilku sebelum dia tiba di depan kamar mandi.
Sudah tentu dia membalikkan tubuh. Tatapannya seakan menanti jawaban.
"Makasih banyak."
Dia hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Rasanya nano-nano. Ah, lebih baik aku menyiapkan mukena dari pada memikirkan dia.
***
Mobil yang kami naiki memasuki halaman sebuah rumah. Tentu bukan rumah Mama, melainkan rumah mertuaku. Setelah salat Subuh, biasanya aku akan kembali tidur, tapi berbeda dengan hari ini. Dia melarangku untuk kembali tidur, padahal aku sangat mengantuk dan meminta waktu setengah jam. Kukuh. Akhirnya aku memilih untuk merapikan barang dan pakaian yang akan dibawa pulang sedangkan dia justru sibuk mengaji. Mengenai mobil ini, sepertinya sudah dia siapkan sejak kemarin. Kedatangan kami ke sini hanya untuk mengambil barangnya yang akan dibawa ke rumah mamaku, karena aku memintanya agar tinggal di rumah mama setelah kami menikah, dan dia menyanggupi permintaanku.
Kami turun bersamaan setelah mesin mobil mati. Taman di halaman rumah menjadi pusat perhatianku. Cukup luas dan hijau. Perhatianku teralih saat dia mengajakku untuk masuk. Dilihat dari luar rumah ini terlihat luas dan berlantai dua. Pantas saja jika Mama selalu memuji derajat mereka. Aku terkesiap saat dia menyerukan kalimat salam. Posisi kami sudah di depan pintu yang terbuka. Aku kembali diajaknya untuk masuk ke dalam. Jawaban salam terdengar dari arah dalam. Suara wanita yang tak asing oleh telingaku.
"Masyallah, anak-anak Umi sudah pulang. Kok cepet banget." Umi menghampiri kami.
Dia langsung mencium tangan Umi, lalu bergantian denganku.
"Ngapain lama-lama, sih, Mi. Semewahnya kamar hotel masih nyaman di kamar sendiri ." Dia menimpali.
Kenapa jawaban dia begitu? Apa buat nutupin karena yang maksa mau pulang aku, bukan dia. Dia malah nawarin aku kalau mau nambah reservasi.
"Ayo, Anis masuk. Jangan malu di sini. Ini juga rumah Anis," ajak Umi sambil menarik lenganku.
"Mau ikut Abang ke kamar atau mau di sini sama Umi?"
Bingung. Ingin sekali ikut dengannya untuk memastikan isi kamar dia, tapi aku tak enak jika mengabaikan ajakan Umi.
"Nggak apa-apa kalau mau ke kamar. Istirahat saja kalau masih capek sama acara kemarin." Umi menengahi.
Beliau seakan tahu apa yang sedang ada di pikiranku. Akhirnya aku mengikuti dia untuk ke kamar. Kira-kira kamar dia seperti apa? Sesuai dugaan rumah ini memang luas, bisa dilihat dari ruang tamu dan ruang keluarga. Lebih luas dari rumah orang tuaku. Setelah tiba di lantai dua, kami menghampiri pintu kamar paling ujung. Ada tiga kamar di lantai atas. Seingatku, dia memiliki tiga adik, dua laki-laki dan satu perempuan. Saat ini adik-adiknya tak ada di rumah karena mereka sedang mondok di luar kota.
Aroma khas laki-laki menyeruak saat dia membuka pintu kamarnya. Aku mengikutinya masuk ke dalam. Seketika pandanganku mengitari kamar ini. Di luar dugaan. Ternyata kamar ini rapi dan bersih. Entah dia yang merapikannya sendiri atau pembantu yang melakukannya. Yang menarik perhatianku dari kamar ini adalah rak buku dan lemari kaca berisi piala. Pemilik kamar sibuk dengan tujuannya, sedangkan aku sibuk mengamati piala di balik kaca. Ternyata dia memang pintar, terbukti dari piala yang terpajang, lebih banyak memenangkan lomba dari sekolah atau universitas. Selain itu, dia juga pandai dalam beladiri, bisa dilihat dari piala turnamen taekwondo. Dia juga pernah menang lomba MTQ tingkat internasional. Seketika aku merasa insecure.
"Jangan malu di sini karena kamar ini juga milik Anis." Dia membuka suara.
"Ini punya Abang semua?" tanyaku memastikan.
"Apa?"
"Ini." Aku menunjuk lemari kaca.
"Oh, piala. Iya. Itu kenang-kenangan waktu masih jadi murid. Sengaja dipajang biar jadi penyemangat kalau lagi malas."
"Aku jadi insecure," lirihku.
"Kenapa harus insecure? Bukannya sekarang piala-piala itu jadi milik Anis karena pemilik pialanya sudah dimenangkan?"
"Bisa aja."
Deringan ponsel menggema, menjeda obrolan kami. Suara itu bersumber darinya. Aku kembali menatap piala, sedangkan dia sedang berbicara dengan sang penelepon. Setelah cukup puas menatap piala, aku duduk di tepi ranjang sambil menantinya yang masih berbicara lewat telepon.
"Abang turun dulu sebentar, nanti ke sini lagi."
Kalimat itu sontak membuatku melempar pandangan ke arahnya. Dia terlihat berjalan cepat mendekati pintu, lalu membukanya, setelah itu menghilang setelah menutupnya.
Tas ransel di atas lantai menyita perhatian, membuatku tergerak untuk memastikan. Tatapanku beralih pada lemari yang masih terbuka. Tumpukan pakaian tertata rapi di dalam sana. Aku kembali dibuat kagum karena kerapian dan kebersihan yang diterapkan. Entah ini settingan untuk menyambutku atau memang dia seperti itu, aku tak peduli. Aku kembali duduk di tepi ranjang, lalu merebahkan tubuh. Beberapa kali aku menguap karena rasa kantuk menyerang. Apa lebih baik aku tidur?
***
Bersambung ...
Coba tebak, siapa saja adik-adiknya Umar?
Sebelumnya, aku udah bikin cerita adik-adiknya Umar.
Ada yang udah pernah baca mereka?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top