2. Cheese
Naysila Safira.
Akhirnya kita bertemu lagi meski belasan tahun berlalu. Mengingat namanya saja membuat senyumku kembali terbit sejak insiden tadi pagi di taman.
Ah, maksudku bukan sebuah senyum bahagia jika tadi pagi, melainkan senyum terpaksa dan lebih mirip seringai aneh saat bertemu seorang teman lama.
Namun kali ini memang senyum yang amat asli, mengingat memory lama yang berhasil kukorek, menerawang jauh pada usia kami yang menginjak lima tahun waktu itu. Masih kuingat bagaimana malunya dia saat kucium di depan semua teman yang hadir hingga kemudian berubah kekesalannya yang tak berujung padaku.
Saat itu pesta ulang tahunnya yang kelima, usia yang sama denganku. Hanya saja aku lahir beberapa bulan lebih dulu darinya. Acara hampir selesai, beberapa permainan sudah berakhir dan tiba saatnya setiap orang akan maju untuk mengucapkan selamat sebelum berpamitan pulang.
Aku, yang masih memegang hadiah dengan langkah berani maju mendahului semua orang untuk mengucapkan selamat. Sila yang amat cantik dengan balutan gaun berenda bunga serta bando Hello Kitty menghiasi kepala, membuatku dengan tanpa malu menyerahkan kado yang sedari tadi kupegang, berbeda dengan teman lain yang langsung ditumpuk begitu saja pada meja khusus untuk menampung semua kado. Menyerahkan tepat di hadapanya, diterima Sila dengan senyum paling manis yang membuatku kegirangan. Kemudian tanpa memikirkan resiko apapun karena memang usiaku masih lima tahun, kumajukan bibirku mengarah ke pipinya yang menggemaskan. Awalnya dia memang tersenyum malu namun karena riuh suara penonton menyoraki aksi kami, wajahnya berubah cemberut.
Dengan malu-malu tapi mau aku bergegas mundur kembali ke kursi. Suara MC yang menenangkan sorak sorai penonton membuat keriuhan berakhir. Ucapan selamat dari setiap tamu kembali dilkasanakan, dan sepanjang acara terakhir itu nada kesal dari wajah Sila masih terus berlanjut. Sangat menggemaskan melihat tingkahnya yang melirikku tajam sembari menyalami teman-temannya. Disaat semua teman-teman yang lain sudah pergi meninggalkan rumah Sila untuk pulang, aku masih terus memperhatikannya yang sedang tertawa riang karena mendapat ciuman dan hadiah dari sepupunya yang kutahu namanya Mbak Adel.
Kulihat Mama dan Papa sibuk berbincang dengan orang tua Sila. Entah pikiran dari mana aku langsung menghampiri gadis manis yang masih tertawa bersama Mbak Adel, menciumnya lagi di pipi sebelah kanan karena posisinya menyamping dari tempatku berdiri.
Dan kalian tahu reaksi Sila setelah kucium untuk kedua kalinya? Diraihnya pergelangan tanganku kemudian dicubitnya daging yang sedikit menggelambir di lengan bawah dekat ketiak dengan amat keras seakan itulah sasaran empuk untuk cubitan mautnya. Aku menjerit kesakitan sedang sila menjerit kesal.
"Mama! Ley nakaaallllllllll! Teriaknya membuat seluruh anggota keluarga menoleh ke arah kami. Tante Dinda melepas kebrutalan anaknya dibantu Om Denis dan Om Rangga yang memegangi Sila, sedangkan Mama menarikku agar lepas dari cakaran kuku Sila yang diberikannya kemudian karena aku memencet hidungnya berharap dia melepaskan cubitan pada lenganku.
Alih-alih berhasil, tangan satunya mencakar pipiku hingga kurasakan perih. Papa menggendongku pulang dan Mama meminta maaf pada keluarga Tante Dinda. Sesampai di rumah Mama mengobati lukaku yang lebam biru di lengan serta goresan pada pipi. Bukannya di rumah aku dibela, Mama mengomel sepanjang hari dan Papa menjewer telingaku karena sudah membuat malu dengan tindakan mesumku.
Lah Papa, aku ini juga belajar dari Anda. Siapa suruh tiap hari mesra-mesraaan sama Mama di dapur, di sofa, di taman bahkan di kolong kursi juga pernah. Anakmu juga pengen Pa!
Dan sejak saat itu setiap hari Sila mendiamkanku padahal kami satu kelas dan saat berangkat pun kami satu mobil tapi tetap saja dia tidak pernah melihat atau menegur bahkan bercanda seperti biasanya.
Hingga kemudian kudengar dia pindah ke Jogja melanjutkan sekolah di sana. Karena hal itu hingga sekarang aku tidak pernah dekat dengan seorang perempuan. Bukan karena aku tidak normal, hanya saja disaat aku mengenal perempuan kemudian sifat mesum hasil penurunan gen dari Papa kembali meminta keluar, bisa-bisa perempuan itu kabur ketakutan seperti Sila.
"Itu karena dia masih anak kecil, Bro. Kalo cewek sekarang malah pengen dimesumin biar makin nempel," ucap Derry, wakil sekaligus sahabat semenjak kuliah. Playboy kelas kakap yang mengaku sebagai konsultan cinta saat aku mengeluhkan sikap dinginku pada setiap perempuan yang mencoba mendekati dan sekarang disaat aku bertemu kembali dengannya.
* * * * * *
Jam Rolex hitam menunjukkan jam makan siang. Sementara menunggu Emil yang berjanji akan datang menemuiku di kantor, kusempatkan menelpon Derry untuk memintanya menemui salah satu klien.
"Kakak." Emil datang masih dengan seragam SMA nya tanpa mengetuk pintu.
"Udah dateng?" tanyaku basa-basi.
"Kalo udah nyampek di sini berarti udah dateng, Kak. Ah masa gitu aja pakek tanya!" kesalnya sambil menghempaskan tubuh di sofa ruanganku.
"Ke sini sama Iko?" Adikku dan Iko memang dekat, bukan berarti mereka pacaran. Aku tahu hubungan mereka hanya sebatas teman. Lagipula Iko setahun lebih muda dibanding Emil, meski begitu sifat dewasa Iko melebihi usianya yang masih di bawah Emil.
"Iya pengennya gitu, tapi Iko lagi sibuk sama Kak Sila yang baru dateng dari Jogja," jawab Emil sambil sibuk dengan buku pelajarannya karena minggu ini memang sedang ujian semester di sekolahnya.
"Sila?" tanyaku ragu memastikan berapa banyak Sila yang sejak kemaren memenuhi pikiranku.
"Iya, Kak. Yang kemaren kita ketemu di taman. Kan dia temen kakak juga pas masih TK." Aku menelan ludah susah payah. Bagaimana Emil bisa tahu kalau aku dan Sila teman saat TK? Apa dia yang menceritakan? Dan insiden memalukan itu Emil juga tahu?
Memalukan! Bisa-bisa pamorku jatuh.
"Kok kamu tahu kalo dia temen kakak?"
"Kak Sila yang cerita."
"Dia cerita apa aja sama kamu?" Semakin aku penasaran menggali informasi. Jangan sampai Sila melakukan tindakan pembunuhan karakter, mengingat mulut Emil sudah melebihi kaleng rombeng bahkan emak-emak tukang gosip aja kalah.
"Ehm ... ya cerita kalau dulu Kakak satu kelas, diajar sama tante Dinda trus dia juga cerita ulang tahunnya yang heboh."
Heboh?
Heboh karena aksi brutalnya menyerang laki-laki tampan seperti diriku sampai memar?
Atau heboh karena ciuman nekat dari tetangga aneh yang terobsesi pada pipi gembilnya?
Argggggggghhhhhhhhhh!
"Kakak kenapa sih mukul kepala gitu? Pusing kerjaan? Atau karena laper?" Emil mungkin bingung dengan tingakahku yang frustasi dengan spekulasi tanpa kejelasan ini.
"Iya, Kakak lagi banyak kerjaan jadi pusing," elakku agar Emil tidak curiga.
"Nanti aku mau maen ke rumahnya Iko sekalian mau ketemu Kak Sila. Dia asyik banget orangnya kak, heran juga kenapa Kak Sila kok bisa punya temen Kak Rey yang model begini."
"Maksudmu model begini tuh apa?" geramku. Emil membandingkan kami? Buat apa? Jelas aku lebih baik.
"Kak Sila type orang yang mudah bergaul. Kemaren aja kita langsung akrab padahal baru ketemu. Lah Kak Rey, boro-boro mau bergaul, temen aja cuma Kak Dery," cibir Emil merasa jijik. Hei, aku dan Dery normal, nggak seperti bayangan gadis menyebalkan yang beruntungnya dia adikku satu-satunya.
"Kamu nggak tau saja kalau waktu kecil dia amat beringas," gumamku yang ternyata didengar Emil
"Loh, bukanya kakak ya yang waktu kecil mirip singa?"
"Apa?"
"Kak Sila yang bilang gitu. Hehehehe," kekeh Emil menertawakan reaksiku yang langsung berdiri tak terima dengan tuduhan gadis brutal yang menganiaya temannya dengan amat beringas.
"Kalo Kak Rey marah berarti bener dong," goda Emil yang langsung kulempar buntalan kertas dari mejaku ke arahnya. Dan dia tertawa semakin keras.
Awas kamu Sila! Berani-beraninya merecoki pikiran adikku dengan tuduhan mengerikan tentang diriku. Kamu belum mengenalku, Sila. Seorang Reyhan yang menjadi korban tanganmu ini sudah bermetamorfosis menjadi laki-laki mapan, tampan, dan siap membalas kebrutalanmu dulu.
"Kak, yah bengong aja. Ayo, jadi makan nggak nih. Aku laper banget," rengekan Emil membuyarkan lamunanku barusan. Berhubung Emil sedang ujian dan pulangnya sebelum jam dua belas, makanya dia mampir ke kantorku untuk meminta traktiran mengisi otak dan perutnya yang lelah karena bekerja keras mengerjakan soal, begitu katanya.
---------------------------------
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top