3 : Apa yang Membuatku Hidup
Aku sampai di area pemakaman setelah sebelummya aku membeli bunga iris kesukaan kakakku. Aku sengaja memilih yang terindah untuknya.
Aku berjalan mendekati makam kakakku. Tampak di makam kakakku ada seorang laki-laki yang sedang berdiri di depannya. Penampilannya sangat mencolok dan mudah kukenali.
"Yuki-nii? Tumben sekali kau kemari?" ucapku saat aku sudah ada tepat di sebelahnya.
"Astaga, kau membuatku terkejut Natsu-chan. Aku hampir selalu ke sini kalau aku ada waktu. Hanya saja aku memang tak pernah bertemu denganmu di sini."
Ucapannya seperti membalikkan keadaan bahwa aku tidak pernah datang ke sini. Dulunya aku memang sering ke sini sampai aku merasakan sekolah yang sibuk. Aku menjadi lebih jarang datang ke sini dan tentunya jika aku datang pasti waktunya sangat berbeda dengan Yuki-nii. Aku terkadang datang malam hari.
"Oh begitu ya, Yuki-nii."
Aku meletakkan bunga iris di makam kakakku. Aku berjongkok di depan makam kakakku untuk berdoa dan sedikit bercerita agar diriku lebih lega.
"Nii-chan, akhirnya aku dapat menyempatkan waktuku untuk mengunjungimu. Akhir-akhir ini aku sibuk sekali karena ada lomba dan kau tahu? Aku mendapat juara 1! Andaikan kau masih ada, aku pasti dapat melihat senyuman bahagiamu itu."
"Aku berharap semoga kau tenang di sana. Aku yakin kau akan masuk surga atas segala kebaikanmu selama menjalani hidup di dunia ini."
"Banyak yang sudah terjadi sejak terakhir kali aku datang ke sini. Ayah dan Ibu semakin baik kepadaku, aku sudah tidak merasa canggung dengan mereka. Ah, aku juga baru tahu bahwa Haruna-sensei dan Yuki-nii semakin dekat. Bukankah itu semua sesuai dengan harapanmu? Aku berharap kau tersenyum di sana saat mendengar ini."
"Ah ya, aku bertemu anak yang mirip denganku dulu. Terjatuh ke dalam kegelapan. Ia suka menyayat tangannya sendiri dengan pisau. Aku ingin dia berhenti dan aku tadi sedikit bicara dengannya. Doakan saja aku dapat menghentikannya sebelum bertindak lebih jauh lagi, Nii-chan. Ini semua membuatku semakin ingat akan dirimu."
Hari ini kuputuskan untuk mengakhiri semuanya. Aku menjamin aku tidak akan gagal. Aku pasti berhasil kali ini.
Aku mengambil sebuah pisau yang kuambil dari dapur tadi secara sembunyi-sembunyi. Sepertinya aku akan bersenang-senang dengan ini.
Aku melihat-lihat keadaan sekitar. Rumah ini terlihat sangat sepi. Ayah sedang bekerja, Ibu sepertinya sedang pergi ke toko untuk berbelanja bahan makanan, sementara Nii-chan sedang sekolah. Dengan keadaan seperti ini, sepertinya aku aman jika melakukan apa saja yang ingin kulakukan di rumah.
Aku masuk ke kamarku dan duduk di depan meja belajarku. Aku mulai melancarkan aksiku. Menyayat tanganku sendiri hingga kedua tanganku ini penuh dengan luka sayatan dan sedikit berdarah. Hal ini sangat menyenangkan, pantas saja banyak kenalanku di internet yang melakukannya.
Aku belum puas dan aku sudah kehabisan tempat. Tanganku sudah penuh dengan luka tanpa sisa. Hanya tersisa satu tempat yaitu pergelangan tangan di mana arteri dapat terlihat jelas. Baiklah, aku akan segera meninggalkan dunia sesuai keinginanku setelah aku bersenang-senang.
Aku membayangkan ekspresi orang tua dan kakakku saat menemukan aku mati tergeletak di atas meja belajarku. Pasti mereka akan sangat senang bukan?
Ah, sebelum aku mengakhirinya, aku lupa untuk melakukan sesuatu. Aku mengambil kertas dan pulpen dan menuliskan beberapa kata maaf, rasa kecewa, dan perpisahan di atasnya. Aku tidak peduli mereka akan membacanya atau tidak, tapi itu adalah kata-kata terakhirku yang tidak pernah bisa aku ungkapkan di dunia.
Aku kembali dengan pisauku dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Aku bersiap untuk membunuh diriku sendiri. Selamat tinggal semuanya! Aku kecewa dengan kalian selama ini!
Aku mengayunkan pisauku, tetapi sebelum pisau itu melukai nadiku, tiba-tiba ada yang menghentikanku. Pisau itu sedikit tergeser dan meleset dari sasaran. Jujur saja ini membuatku sedikit terkejut. Pisau itu membuat luka yang ada di bawah nadiku semakin dalam.
Aku menoleh ke belakang. Tampak di belakangku kalau kakakku sedang berdiri dan tiba-tiba mengambil pisauku. Wajahnya menunjukkan sedikit rasa emosi dan kecewa. Tapi, ia sedikit lebih pucat dari biasanya.
"Ni-nii-chan? K-kau sudah pulang?"
"Ya, tadi aku diizinkan pulang duluan karena tiba-tiba kesehatanku sedikit memburuk. Apa yang kau lakukan Nat-chan? Kenapa tanganmu penuh luka seperti itu?"
"A-aku hanya-"
Tiba-tiba Aki-nii mengambil surat yang baru saja kutulis. Ia membacanya dengan serius.
"Astaga Nat-chan, kau ingin mati?" ucapnya sesaat setelah ia selesai membaca.
"Dan bukankah Nii-chan akan senang jika aku mati?" ucapku sambil menunduk.
Tiba-tiba Aki-nii memelukku dengan lembut. Ia sepertinya hampir menangis. Tubuhnya bergetar. Rasanya sangat hangat entah mengapa.
"Aku ini kakakmu Nat-chan! Mana mungkin aku senang kalau kau mati? Begitu pula dengan Ayah dan Ibu, mereka akan sedih! Aku mohon hentikan ini Nat-chan!"
Air matanya mulai jatuh. Aku terdiam seribu bahasa. Apa benar kalau mereka tidak akan senang kalau aku mati?
"Jika kau ingin diperhatikan, jika kamu ingin dicintai, maka katakan dengan lantang!"
Aku semakin terdiam. Mataku terbelalak. Ucapannya terngiang di telingaku. Tapi, jika aku melakukan itu, memangnya aku akan berhasil?
"Katakan dengan lantang?"
"Benar Nat-chan, jika kau ingin menarik perhatian dengan cara seperti ini, atau kau hanya berpikir mengapa tidak ada yang peduli padamu, maka kau tidak akan berhasil!"
Aku kembali terdiam. Mungkin kakakku benar.
"Dan jangan pernah berpikir tidak ada yang peduli padamu ataupun membencimu sampai-sampai kau ingin mati, kau hanya tidak sadar kalau ada yang menyayangimu."
Kata-kata kakakku membuatku sadar bahwa selama ini aku salah. Kakakku peduli padaku sampai ia rela berkali-kali menyelamatkanku dari maut. Ayah dan Ibu sebenarnya tidak membenciku, mereka hanya sibuk.
"Kau benar Nii-chan. Maafkan aku atas semua ini. Selama ini aku selalu membuatmu kerepotan."
"Kau tidak perlu meminta maaf seperti itu, Nat-chan. Sekarang janji ya kamu tidak akan melakukan hal seperti itu lagi," ucapnya sambil melepas pelukannya. Ia memegang pundakku dan menyamakan tingginya denganku. Tampak ia tersenyum kepadaku.
"Baik Nii-chan, aku janji!"
Mulai sekarang kuubah hidupku, kutentukan tujuanku. Aku tidak akan membuat diriku jatuh lagi dan ingin mati. Aku akan mencintai hidupku karena hidup tidak bisa mencintai manusia.
"Sekarang, kuobati lukamu ya?"
"Tidak usah Nii-chan, aku bisa mengurusnya. Nii-chan saja yang beristirahat, kau semakin pucat."
Semenjak ini hubunganku dengan Aki-nii lebih membaik. Tapi aku tahu bahwa waktunya tidak akan lama. Apalagi ia semakin sering bolak-balik rumah sakit seperti itu. Aku harus rela jika tiba-tiba ia meninggalkanku walau aku tidak sanggup untuk itu.
"Ya, hanya ini ceritaku untuk hari ini, Nii-chan. Aku janji aku akan lebih sering ke sini walau hanya untuk melepas penat."
Aku berdiri dan berbalik. Tampak di depanku Yuki-nii masih berdiri di tempat yang sama.
"Yuki-nii masih di sini?"
"Aku menunggumu Nat-chan. Jika kau masih ingin di sini silahkan saja."
"Tidak Yuki-nii, sudah cukup untuk hari ini."
"Kalau begitu aku akan mengantarmu pulang."
"Tidak usah Yuki-nii, nanti Haruna-sensei cemburu padaku," ucapku dengan wajah tanpa dosa dan sedikit menggodanya.
"Astaga, apa-apaan kau ini Natsu-chan?! Lama-lama kau lebih menyebalkan daripada kakakmu."
"Jadi nanti Haruna-sensei cemburu tidak?" tanyaku lagi dengan nada yang dibuat menyebalkan.
"Tentu saja tidak Natsu-chan! Astaga kau ini!"
"Kalau begitu aku mau diantar pulang!"
Yuki-nii mengelus dadanya. Mungkin saja ia mencoba untuk sabar atas semua yang kulakukan.
"Kau ini kenapa Natsu-chan?"
"Lah, kenapa malah tanya? Seharusnya aku yang tanya aku ini jadi diantar pulang atau tidak?"
"Iya-iya jadi!"
Pagi yang cerah seperti biasanya. Mentari pagi tersenyum kepadaku sambil mengantarkan sinarnya kepada seluruh makhluk. Cuaca cerah ini dimanfaatkan banyak anak untuk bermain, tetapi tidak denganku. Aku lebih memilih diam di dalam kelas dan membaca manga kesukaanku.
Kubaca lembar demi lembar manga yang sarat akan makna. Kisah indah kehidupan yang tidak selamanya mudah. Mengisahkan tokoh utama yang tidak pernah menyerah menggapai mimpinya.
"Ayo-ayo kita lihat!"
"Ia sudah benar-benar gila!"
"Kemana otaknya itu?!"
Fokusku teralihkan oleh suara ricuh di depan kelas. Banyak anak yang berlarian ke arah yang sama, seperti jika ada hal aneh yang sudah terjadi sehingga mereka berbondong-bondong melihatnya. Entah itu suatu pertunjukan atau keributan.
Suatu firasat buruk datang dengan mendadak dan menghantui otakku. Dengan terpaksa aku menutup mangaku dan memasukkannya ke dalam tas. Aku segera keluar dari kelasku untuk memastikan apa yang sedang terjadi.
Aku melihat Satsuko berlari dengan kecepatan penuh. Aku langsung menghadangnya dan tertabrak olehnya sampai jatuh. Ini adalah satu-satunya cara menghentikan Satsuko yang sedang berlari.
Kamu berdua langsung bangkit dan membersihkan baju. Wajah Satsuko sudah memerah seperti menahan sesuatu, mungkin ia sangat emosi kepadaku.
"Kau ini apa-apaan Natsuki-chan?! Sudah tahu aku terburu-buru, tetapi tetap dihadang begitu saja! Jadi jatuh 'kan!" marah Satsuko kepadaku.
"Habisnya jika aku cuma memanggilmu, pasti kau tidak akan berhenti. Jadi aku menghadangmu," ucapku dengan wajah tanpa dosa seraya tersenyum kepadanya.
"Ya, terserah kau saja. Yang jelas aku sedang terburu-buru," ucap Satsuko sambil mulai berlari lagi.
"Eh jangan pergi dulu!" ucapku sambil menarik baju bagian belakang Satsuko, mencegahnya untuk berlari lagi.
"Kenapa?! Ada apa lagi?!"
"Seharusnya aku yang bertanya padamu! Kenapa kau terburu-buru?"
"Hanazawa Ame mau bunuh diri! Tentunya aku tidak mau ketinggalan melihatnya! Kau puas, Natsuki?!"
"Apa?! Ame-chan akan bunuh diri?! Jangan bercanda!" aku terkejut. Ternyata Ame-chan mulai bertindak di luar akal sehatnya lagi.
"Kau ini bodoh atau bagaimana?! Kau dari tadi kemana saja?! Ini satu sekolah sudah ribut dan kau belum tahu juga! Ame-chan akan loncat dari lantai dua gedung sekolah!"
"Sudah, tidak perlu meributkan itu! Yang penting sekarang aku mau mencegah Ame-chan terjun!" Aku mulai berlati meninggalkan Satsuko.
"Ah, tunggu Natsuki-chan! Sialan kau!"
Sekarang giliranku yang berlari. Aku langsung pergi ke lantai dua gedung sekolah. Tak peduli napasku tersengal-sengal dan dadaku menjadi sesak. Tidak peduli kaki ini menjadi pegal atau aku harus menabrak beberapa orang dan berulang kali meminta maaf. Aku harus berhasil mencegahnya.
Di depan sana terlihat Ame-chan yang sudah bersiap untuk mengakhiri hidupnya. Aku berhenti berlari dan mulai mengatur napasku. Tepat di mataku, aku melihat sebuah cermin dari kehidupan lamaku.
"Hentikan ini Ame-chan!" ucapku sambil berjalan mendekatinya.
Aku merebut perhatian siswa yang tengah menonton hal itu. Beberapa dari mereka tampak terkejut melihatku. Mungkin mereka berpikir bahwa aku ini kurang kerjaan sampai mau menghentikan seorang Hanazawa Ame yang sedang tidak dikendalikan akalnya.
"Kenapa kau datang Natsuki?! Kau mau menertawakanku?! Pergilah dan jangan dekati aku!"
"Kau harus berhenti Ame-chan!" ucapku sambil mendekatinya.
"Jika kau mendekat, aku akan loncat!"
Aku tidak peduli pada ancamannya. Aku terus mendekatinya.
"Baik Natsuki, kau sudah memutuskan. Selamat tinggal dunia!"
"Ame-chan!"
Next to chapter 4
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top