1 : Orang yang Mirip

"Natsuki, selamat ya!"

"Sudah kuduga kau akan menjadi pemenang!"

"Memangnya siapa sih yang bisa mengalahkan Natsuki?! Kau itu sangat hebat!"

"Natsuki-chan itu tidak terkalahkan!"

"Terima kasih teman-teman."

Ucapan selamat dari teman-temanku terdengar riuh, menyambutku yang baru saja kembali dari sebuah perlombaan sambil menenteng sebuah kebanggaan. Sebuah piala emas dengan ukiran yang tertoreh indah sudah kupegang dengan rasa bahagia. Aku baru saja memenangkan lomba menulis tingkat nasional.

Di saat bahagia seperti ini, semua temanku mengucapkan selamat kepadaku, kecuali satu orang, saingan terberatku. Ia adalah orang yang selalu duduk di pojok ruangan sambil melihat ke luar jendela dan enggan bercengkrama dengan teman-temannya. Ia yang sangat misterius. Sekarang, ia tengah menatapku tajam dengan kedua bola matanya. Rasa tidak suka tercermin dengan jelas.

Ia dan aku memanglah sangat berbeda, bagaikan langit dan bumi yang terpisahkan oleh atmosfer. Tetapi, salah satu dari dirinya, sangat mirip dengan diriku yang dulu. Diriku yang merasa dibenci oleh sebuah kata, yaitu kehidupan.

Saat aku melihatnya, aku bercermin pada kehidupanku. Mengingatkanku pada kenangan lamaku yang ingin kukunci rapat-rapat. Segala kenangan burukku yang sebenarnya mulai kulupakan. Mungkin, karena hal itu aku selalu risih dengan hal-hal buruk yang ia perbuat. Hal buruk yang terkesan nekat, tanpa berpikir apa akibat yang diperoleh di masa depan.

"Tou-chan, ini hasil ulanganku hari ini," ucapku dengan riang, sama seperti anak kecil lainnya jika bahagia.

"Iya nanti Ayah lihat. Sekarang Ayah sedang sibuk," katanya sambil masih sibuk dengan dokumen-dokumennya.

"Ayolah Ayah, aku mendapat nilai bagus kali ini!"

"Baiklah, mana sini Ayah lihat."

Aku menyerahkan beberapa lembar hasil ulangan yang nilainya tergolong bagus. Bahkan, nilaiku ini adalah yang terbaik di kelas.

"Dulu kakamu selalu mendapat lebih dari ini. Kau harus belajar dari kakakmu," komentar ayahku sambil menyerahkan kembali kertas ulanganku.

"Mengapa Tou-chan selalu membandingkanku dengan Nii-chan?!" Aku marah. Aku menatap tajam ayahku.

"Sudahlah Natsuki, berusahalah lebih keras. Hari ini aku pergi untuk mengantar Aki untuk menjalani pemeriksaan rutin."

"Aki-nii lagi?! Mengapa selalu Aki-nii yang kau pedulikan?!"

BRAK!

Aku menutup pintu kamarku dengan kasar. Kukunci pintu kamarku rapat-rapat. Mengurung diri di kamar adalah hal yang terbaik. Mengisolasi diri dari keramaian dan mencari ketenangan pribadi.

Aku menangis dalam diam, tak ada satu pun yang peduli. Menatap lembaran kertas ulangan yang mulai kusut dengan kemarahan yang tumpah di atasnya.

Kuambil kertas itu dan mulai merobeknya tanpa sebuah ampunan. Kulemparkan robekannya keluar jendela agar terbang tertiup angin meninggalkanku. Aku memang bodoh, memperjuangkan sesuatu yang sia-sia. Seharusnya aku tahu dari awal bahwa usahaku tidak akan membuahkan hasil yang sesuai. Sekeras apa pun aku berusaha, mereka hanya akan peduli pada kakakku, bukan aku. Aku ini hanya anak yang tidak dianggap dan selalu diabaikan oleh keluargaku sendiri. Bahkan, jika aku pergi, tidak akan ada yang peduli padaku.

Aku mengambil sebuah pensil dan kertas. Kuluapkan segala perasaanku dengan sebuah gambar. Kemarahan, kebencian, putus asa, dan sakit hati, semuanya kujadikan sebuah ide mendasar dari gambar seorang anak yang dikelilingi kegelapan.

"I want to die now," ucapku sambil menorehkan darah di atas gambar yang sudah kulukis dengan indah.

Benar, saat ini aku ingin untuk meninggalkan dunia fana dan menuju ke kehidupan abadi. Sudah tidak ada yang peduli dengan hidupku. Untuk apa aku hidup jika tidak ada gunanya? Bahkan, kehidupan memalingkan muka terhadapku. Lebih baik aku melihat diriku bersimbah darah diiringi kepuasaan yang pasti, bunuh diri.

Sebuah rencana penghabisan dimulai. Biarlah aku yang tidak diinginkan ini pergi untuk selamanya. Aku berharap kalian, orang yang kukenal, akan senang dengan keputusanku. Beberapa hari lagi aku akan menggantung diriku di atas bak mandi.

"Natsuki!" sebuah panggilan mendarat di telingaku, membuat perhatianku teralihkan. Temanku ternyata memanggilku dari tadi, dan parahnya aku tidak sadar akan hal itu karena kenangan yang kupendam mulai naik ke permukaan ingatanku.

"E-eh iya, kenapa?"

"Kau dari tadi melamun terus! Apa ada yang kau pikirkan?" tanyanya padaku.

"Tidak, tidak ada," jawabku disertai gelengan kepala. Walau sejujurnya otakku masih berpikir.

"Jangan berbohong! Dari tadi kau juga menatap Ame dalam waktu yang cukup lama, apa kau yuri? Kalau iya, mengapa kau tidak memilih orang lain saja? Aku juga mau!" ucapan temanku mulai tidak bisa diatur. Sangat tidak berdasar dan menjijikkan. Rasanya aku ingin memukul muka temanku, tapi aku masih cukup sabar dan tidak melakukannya.

"Apa?! Astaga, kami-sama," ucapku sambil mengelus dada.

"Bercanda! Mari kita ke kantin!" katanya jahil sambil menarik tanganku.

"Baiklah!"

Aku meletakkan piala yang kutenteng dan berjalan keluar bersama teman-temanku. Tapi, pandanganku tidak lepas dari seorang gadis berkaca mata yang dari tadi hanya menatapku tajam.

"Jadi, sebenarnya apa yang sudah kau tulis dalam hidupmu hingga kau seperti ini? Mengapa hidupmu dikelilingi kegelapan?"

Kelas hari ini berjalan seperti biasa, tenang dan damai. Tetapi, hari ini aku tidak menemukan kehadiran Ame yang sedang menatapku dengan pandangan tajamnya yang dingin. Ini membuat hariku sedikit berbeda, seperti ada sesuatu yang kurang.

"Satsuko-chan, di mana Ame-chan hari ini?" tanyaku sambil membereskan barang-barangku.

"Kau itu pura-pura tidak tahu atau kau memang tidak tahu?" tanya Satsuko balik kepadaku.

Pertanyaan yang ambigu. Aku tidak tahu yang dimaksud temanku.

"Apa maksudmu?"

"Ia bilang kau selalu menekannya, dan sebenarnya aku setengah tidak percaya dengan itu."

"Menekan?! Menekan bagaimana?" tanyaku bingung.

"Ya menekannya agar dia menyiksa dirinya sendiri. Dan sekarang ia tidak berangkat karena sakit, terlalu banyak menyakiti dirinya sendiri."

"Oh begitu ya."

Aku berpikir dalam diam. Yang ia lakukan itu sedikit bodoh, tapi aku tahu mengapa ia melakukannya. Ia seperti seekor ular yang menari di sarang elang. Berbahaya, tetapi memang cukup untuk menarik perhatian. Aku mengerti karena aku juga pernah melakukannya.

Kenangan burukku kembali ke ingatanku. Aku pernah melakukan hal yang sama dengannya, dan bagiku itu adalah kenangan terbodoh dalam hidupku. Kenangan di mana aku selalu menyalahkan kakakku yang sama sekali tidak bersalah hanya untuk mendapatkan suatu hal yang ingin kudapat. Sungguh aku merasa sangat berdosa.

"Nii-chan, bukankah ia sangat mirip dengan diriku yang lama? Sekarang kau sudah tidak ada, jadi biarlah kali ini aku yang menghentikannya."

"Hai Natsuki-chan! Mengapa kau malah diam seperti itu? Kau tidak benar-benar menekannya 'kan?" Satsuko membuatku tersadar dari lamunanku.

"Tidak," jawabku singkat, padat, dan cukup jelas.

"Ah, sudah kuduga dia cuma membual. Dasar pemfitnah! Ia memang jahat!" ucap Satsuko dengan nada sinis. Tampaknya ia sedikit marah.

"Sudahlah Satsuko-chan, jangan berkata seperti itu. Mungkin ia hanya salah paham denganku." Aku menenangkan Satsuko yang dilanda emosi.

"Ya, bisa jadi."

"Aku ingin bertemu dengannya lain waktu jika seperti ini," ucapku sambil menatap ke arah jendela.

"Untuk apa kau ingin bertemu dengan anak seperti itu, Natsuki-chan? Apa kau masih ingin mencari masalah? Ingin dituduh yang tidak-tidak?"

"Aku hanya ingin bicara sebagai temannya."

"Orang seperti itu masih kau anggap teman?! Luar biasa kau ya!" ucap Satsuko sambil menyilangkan kedua tangannya.

"Kenapa tidak?"

Sebenarnya, aku hanya ingin menghentikannya sebelum ia terjatuh lebih dalam lagi. Aku ingin berbicara empat mata dengannya. Ini demi dirinya sendiri dan juga untukku.

Aku tidak mau masalah Ame yang tanpa sengaja membuatku terlibat menjadi sebuah tombak yang menghancurkan semangat yang sudah kubangun bertahun-tahun. Membuat semuanya naik ke permukaan dan membuatku meratapi yang sudah terjadi di masa lampau. Mengingat banyak sekali dosa yang telah kulakukan walau aku masih bocah.

"Ya sudah Natsuki-chan, mari kita pulang!" ajaknya sambil melenggang dengan tasnya yang sudah ada di punggungnya.

"Ayo!"

Aku dan Satsuko berjalan pulang seperti biasa. Melewati jalan berdua seperti biasa. Memang kebetulan rumah kami berdekatan.

"Aih, jalan itu tiba-tiba ditutup! Kita harus melewati jalan lain Natsuki-chan!"

"Ya sudahlah, mau bagaimana lagi," ucapku dengan sedikit lemas.

"Mengapa kau lemas begitu Natsuki-chan? Masih ada satu jalan lain 'kan untuk sampai ke rumah?!"

"Tapi-"

"Tidak ada jalan lain Natsuki-chan! Kalau tidak melewatinya, kita tidak akan pulang sampai besok!"

Tangan itu menarik tanganku. Satsuko menyeretku agar mau bergerak dari posisiku berdiri. Aku hanya bisa menghela napas panjang menghadapi semua ini.

Kami berdua terpaksa melewati jalan yang lain. Jalan yang sedikit lebih jauh dari jalan biasanya. Melewati salah satu bagian terindah di Prefektur Shiga yang tidak dapat dibandingkan dengan daerah lainnya, Danau Biwa. Tempat yang sama sekali tidak pernah ingin aku lewati lagi.

Pemandangan indah menyambut kami, daerah sekitar Danau Biwa memanglah destinasi wisata yang indah. Wajar saja kalau banyak wisatawan yang berkunjung. Di sini aku berjalan sambil melihat ke sekitar Danau Biwa yang sedikit berubah dari terakhir kalinya aku menginjakkan kakiku di sini.

Danau Biwa memiliki sebuah kenangan tersendiri untukku. Dulu, aku pernah berlari di tempat yang sama dengan niat yang berbeda. Aku berdiri sebagai seorang anak kecil yang putus asa dengan hidup dan ingin mengakhiri hidupnya. Itu adalah suatu kenangan buruk yang sama sekali tidak pantas untuk diingat. Aku ingin melupakan semua kebodohanku, tetapi itu semua selalu menghantui kepalaku saat aku melihat Ame dan tentunya saat aku mendatangi suatu tempat di mana tragedi telah terjadi.

Memang dulu aku terlalu bodoh. Aku pernah menjadi seorang anak kecil yang sudah tahu cara mengakhiri hidup, suka membahayakan diri sendiri. Beruntungnya aku memiliki pahlawan yang selalu menyelamatkanku. Ia telah menyelamatkan hidupku dari berbagai tragedi yang kutulis sendiri. Walau sekarang ia sudah tidak ada, tetapi ia akan selalu tertanam dalam hati dan ingatanku.

Langkahku terhenti. Aku menatap langit yang cerah dan juga tepi Danau Biwa. Aku masih ingat suatu kenangan tak terlupakan saat festival kembang api beberapa tahun lalu.

Hidup seseorang tidak mungkin selamanya cerah. Pasti ada masa di saat seseorang jatuh. Selanjutnya yang menentukan adalah orang itu sendiri, apakah bangkit atau kabur.

Next to chapter 2

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top