Part 3 : A piece of some lovely scene
Aki mengantarkanku pulang ke rumah, meskipun beberapa kali aku menolak samar, memberi kode padanya bahwa aku masih takut untuk pulang. Namun ia tetap saja nekat, lihatlah dia yang sekarang dengan begitu menyebalkannya berjalan di sampingku, astaga.
Aku harap ini semua akan baik-baik saja
Langkahku terhenti, tiba-tiba ragu kembali menyerangku. Kami sudah sampai di rumahku, tapi aku tak berani untuk sekadar menekan bel pintu. Aku menunduk, namun hanya ada hal-hal negatif yang menyerang pikiran.
Puk
Sebuah tangan menyentuh pundakku, aku menoleh, mendapati Aki tersenyum simpul. "Tenang saja, oke?"
Bodoh, bagaimana aku bisa tenang dalam keadaan begini?
Ia beralih menekan bel pintu 2 kali, jeda beberapa saat sebelum akhirnya bunti derit pintu terbuka terdengar. Aku meneguk saliva takut-takut.
"Kemana saja kau?" suaranya rendah penuh ancaman, aku tak dapat menjawab, sepertinya aku akan kembali mendapat hukuman karena ini.
"Maaf, saya mengajak putri anda keluar tanpa izin. " Aki mengangkat lenganku yang penuh perban, tepat di depan mata ibuku. "Putri anda terluka dan harus diobati."
Aki bodoh! Apa yang dia lakukan?!
"Apa maksudmu, hah?! Siapapun kau, kau tidak berhak ikut andil dalam masalah ini."
Matilah aku...
"Saya teman Haruna, saat dia terluka dan orangtuanya tak ada, saya berhak menolongnya."
"Dia bukan anakku!"
"Dia anugerah Tuhan yang dititipkan pada anda."
Deg!
Aku tertegun, diam-diam aku menoleh pada Aki, memandangnya takut, sedangkan saat aku memandang ibuku, aku langsung kembali membuang wajah.
"Kau tidak tahu apa-apa, bocah."
"Saya memang tidak tahu. Yang saya tahu, Haruna anak yang manis dan kuat. Pernahkah ia mengeluhkan tentang lukanya pada anda?" Aku dapat menebak Aki tengah tersenyum padaku sekarang, kemudian ia beralih memandang ibuku dengan lekat.
"Seorang anak tidak bisa memilih di keluarga mana ia terlahir."
Wajah ibuku mulai tak berekspresi, namun tak ada tanda-tanda ia akan marah. "Apa maumu."
Aki tersenyum simpul. "Takdir membawa gadis ini hadir di kehidupan Anda, dan pilihan Tuhan adalah menjadikan anda sebagai orangtuanya. Oleh karena itu, aku ingin anda membuka mata kepada Haruna. Anugerah yang tak anda sadari yang telah diberikan Tuhan."
Kembali ada jeda, sebelum akhirnya Aki kembali melanjutkan. "Coba anda lihat, betapa dia menyayangi anda dan mengharapkan kasih sayang yang sama. Hanya itu yang dibutuhkan seorang anak dari ibunya."
Aku tak tahu harus berkata apa, ada hening yang sangat tak nyaman selama beberapa saat, membuatku begitu cemas dan takut. Sampai akhirnya sebuah tangan mengelus kepalaku begitu lembut.
Siapa?
"Masuk ke kamar, ya? Haru-chan."
Aku mendongak, tertegun akan senyum tipis ibuku. Lantas ia pergi ke dalam rumah, meninggalkan pintu yang terbuka. Aku menoleh pada Aki, lantas lelaki itu hanya tersenyum jahil.
"Terima kasih kembali." ucapnya yang begitu menyebalkan bagi telingaku.
Dasar... Terima kasih, bodoh.
Entah mengapa, aku jadi banyak bersyukur beberapa waktu terakhir. Apa ini pengaruh Aki? Ah tidak, mungkin karena kini ada seseorang yang bisa ku panggil teman dengan bangga. Aku punya tempat untuk lari, dimana tak ada sumpah serapah yang menyakiti telinga. Soal orangtuaku, mungkin hanya perasaanku, tapi kini ibu lebih menahan emosinya. Hingga aku kerap kali berharap, suatu saat dia bisa menerimaku.
"Haru-chan, berikan tanganmu!"
Suaranya membuatku tersentak dari lamunan, imajinasiku buyar seketika. Otak bekerja bingung dengan permintaan aneh Aki. Belum sempat menyetujui, lelaki itu segera mengambil tanganku yang telah sembuh dari luka, lalu ia langsung mengambil spidol warna-warni untuk menggambar kupu-kupu.
Ah, sifat menyebalkannya masih ada, selalu membuatku kesal dengan segala tingkah aneh yang tak bisa kutebak.
"Kau sedang apa, Mori-san?!" jengah, tentu saja. Untuk apa dia menggambar seperti anak kecil di tanganku? Sungguh hal yang bodoh.
Aki tak menghiraukanku, baru setelah ia selesai menggambar, lelaki itu menyahut. "Saat kau berpikir untuk melukai dirimu, anggaplah kau akan melukai aku dan orang-orang yang namanya kutulis."
Aku mengernyit, berusaha mencerna maksudnya.
"Haru-chan mungkin bisa melukai diri sendiri, tapi kau bukan tipe yang bisa melukai orang lain, 'kan?"
"Kau ini bocah, ya?" Aku tersenyum, kemudian tertawa geli. Sekilas memandangi lengan, kupu-kupu berwarna dengan dengan tiap nama di tempatnya.
Butterfly effect, huh?
Setelah cukup waktu untuk tertawa, aku maupun Aki segera kembali mengerjakan tugas OSIS, menyusun data semua klub di sekolah. Tanganku sibuk meneliti tiap kertas print, mengganti kertas dengan data lainnya yang akan kubaca, lalu menaruh dan menggantinya lagi.
Namun, gerakkanku terhenti ketika membaca sebuah data klub yang menurutku menarik. Panah.
"Kau tertarik masuk klub panah? Temanku Yukio ketua di klub itu, lho!"
Oh, tentu, itu Aki. Dengan antusiasme tinggi, membujukku mengikuti klub itu. Meskipun beberapa kali aku menolak dan sedikit salah tingkah, bukan Aki namanya kalau ia tidak nekat.
Ya, dan pada akhirnya Aki benar-benar membantuku untuk masuk me klub itu. Ah, dasar
Benar sekali, setelah mengisi formulir yang diberikan Aki, keesokkan harinya aku dan dia langsung pergi ke tempat klub panahan sesudah waktu pulang sekolah.
Anehnya, Aki yang malah terlihat antusias, wajahnya cerah ceria mengenalkanku pada ketua klub itu, Yukio Ogawa.
Setelah mengoreksi kertas formulirku, Yukio lantas menatapku, menanyakan apa motivasiku memasuki klub panah, meskipun sudah tertera alasanku di sana, ternyata sahabat Aki itu tahu benar itu bukan tulisanku, melainkan tulisan Aki.
"Karena... panahan itu keren?" malah terdengar seperti bertanya, Yukio hanya mengangguk-angguk dengan jawabanku.
Lelaki itu memberitahukanku waktu latihan, pakaian, dan beberapa hal lainnya, setelah itu ia dan Aki berbincang sejenak. Entah apa yang dibicarakan karena obrolan mereka terlihat singkat.
Setelah mendaftar, rupanya jadwalku menjadi sedikit lebih padat. Aku jadi jarang ke ruang OSIS, membantu Aki, tapi kami tetap berhubungan, perlahan amu juga mengenal Yukio. Lelaki berwajah ketus dengan sikap tegas kepada setiap orang.
Aku mengagumi caranya melatihku bemain panah dengan sabar, meskipun terkadang aku terkena omelannya keika aku masih ragu melepaskan anak panah.
"Tarik tanganmu, tahan napas, perhatikan targetnya... Maaf, sikumu harus sedikit mundur."
Seperti saat ini, Yukio berada di belakangku, menuntun gerakkan memanah yang benar, mengajariku dengan hati-hati namun pasti. Jarak fisik yang saling bersentuhan tak membuatku gugup, aku mengikuti katanya, fokus pada target berupa bulatan merah di depan papan berjarak beberapa meter di sana.
Stab!
Cukup melelahkan, sepertinya aku harus terbiasa dengan latihan porsi di klub panahan ini. Tentu, pasti bisa.
Setelah mengganti baju dan hendak keluar dari tempat latihan, langkahku terhenti. Badan bergerak secara naluri untuk bersembunyi.
Yukio tengah membuka bajunya, memperlihatkan punggung lebarnya yang berkeringat. Namun ada satu hal yang membuatku berpikir heran.
Darimana asalnya bekas luka di punggung Yukio?
"Mori-san!"
Sang pemilik nama menoleh, lantas menoleh dan melempar senyum. Aku berjalan mendekat, diikuti dengan Yukio di belakangku. Namun, sepertinya ketua klub panah itu tak mau berlama-lama, setelah bertegur sapa sejenak dengan Aki, ia langsung pamit pergi entah untuk apa.
Aku menjadi kikuk sendiri, akhir-akhir ini ada sedikit rasa yang aneh ketika aku berdekatan dengan Aki. Ah, lupakan.
"Ini," Aki memberikan minuman isotonik padaku, namun aku segera mengernyit setelahnya, terdiam sejenak sembari berjalan beriringan bersama Aki.
Rupanya lelaki itu menyadari tingkahku, ia langsung tertawa kecil. Membuatku sedikit merasa bodoh, sampai akhirnya lelaki itu mengganti minumanku dengan minuman miliknya yang belum terbuka segelnya sama sekali.
Pikiranku masih penuh tanda tanya dengan bekas luka di punggung Yukio sebelumnya, membuatku penasaran. Mungkin Aki tahu apa alasan dibalik adanya luka itu...
"Mori-san... Apakah kau..." Aku melirik ke arah lain, Aki segera menoleh kemudian lanjut menyahuti.
"Apa?"
"Ah, itu, apa kau tahu soal bekas luka di punggung Ogawa-san? Aku tak sengaja melihat saat ia berganti pakaian."
Hening selama beberapa saat, sampai akhirnya terdengar suara helaan napas dari Aki. "Luka itu punya cerita sendiri. Yang jelas, luka itu adalah bukti bahwa Yukio pernah melewati masa tersulit dalan hidulnya." Aku mengernyit, sedikit bingung, namun Aki justru tersenyum. "Tapi kau lihat? Sekarang dia baik-baik saja dan bahagia. Haru-chan pasti bisa bangkit seperti Yukio. Apalagi sekarang kau lebih berani terbuka."
Kalimatnya membuatku sedikit terenyuh, tanpa sadar kedua sudut bibir ini terangkat, membuat sebuah kurva samar. "Kurasa semua itu berkat Mori-san, yang sudah membuka mata Ogawa-san dan mataku."
"Aku tak melakukan apapun selain menyampaikan pendapat. Keputusan akhir tetap berada di tangan kalian."
Aku menunduk. Ah, semua kalimat dari jawabannya selalu membuatku terpukau, bagaimana caraku berterima kasih?
Benar, aku hampir lupa. Hari ini ada acara kembang api. Oh, aku ingin mengajak Aki ke sana!
"Aku ingin jujur..." jeda sejenak. "Sebenarnya tadi aku ingin mengajak Mori-san festival kembang api nanti malam. Aku ingin berterima kasih dengan benar!"
Aku mendongak, begitu berharap pada Aki. Mungkin ini ajakan yang biasa saja, namun aku juga begitu khawatir bila nantinya ajakan ini ditolak. Semoga saja----
"Oke."
Aku merutuki diri sendiri, betapa bodohnya aku tak bisa memakai yukata hingga membuatku harus terlambat beberapa menit bertemu dengan Aki dari waktu yang dijanjikan malam ini.
Sembari berjalan, jemari pun terangkat, membenarkan posisi jepit rambut kupu-kupu yang sebelumnya telah Aki berikan kepadaku beberapa waktu lalu. Aku tersenyum sendiri mengingatnya.
Langkah terhenti, lantas hembusan napas lega meluncur ketika aku berhasil menemukan Aki. Aku mendekat, memasang senyuman, sedikit merasa bersalah. "Maaf membuatmu menunggu, Mori-san."
"Tidak apa, aku juga baru datang."
Oh, syukurlah.
Kami segera memasuki area festival, namun yang ada hanyalah hening yang terasa canggung. Aku sedikit bingung, biasanya Aki selalu memulai pembicaraan walaupun hanya sekadar basa-basi.
Kepala menoleh, lantas kening mengernyit bingung. Ah, ternyata Aki melamun. Apa yang dia pikirkan?
"Mori-san? Apa yang kau pikirkan?"
"Maaf, sebenarnya... Aku agak takut dengan suara kembang api. Ta-tapi jangan khawatir, cepat atau lambat manusia harus menghadapi rasa takutnya, 'kan?"
Dasar. Aku menahan geli, lantas tangan ini segera menggenggam tangan milik Aki. Satu tarikkan lembut, aku segera membawanya untuk sekadar memberikan sedikit semangat. "Kalau begitu, sekarang aku yang akan membantu Mori-san!"
Benar, aku segera mengajaknya mengunjungi beberapa stand di festival. Keramaian ini bahkan terasa lebih hangat hanya dengan tautan sepasang tangan. Entah mengapa semuanya jadi terasa menyenangkan, bahkan permainan tangkap ikan yang menyebalkan pun jadi begitu seru dan konyol ketika Aki memainkannya.
Di saat sedang seru-serunya bermain, tiba-tiba Aki menarik tanganku, membawaku segera menjauh entah dari apa. Belum sempat bertanya, lelaki itu langsung menyahut. "Ayo kita pergi diam-diam, ada yang mengikutiku."
Aku memandang sekitar, lantas hanya menuruti dengan sedikit bingung. Akhirnya, Danau Biwa adalah tempat tujuan selanjutnya. Tentu, pemandangan dari Danau Biwa terlihat lebih indah, dan aku ingin menunjukkan hal itu pada Aki.
Sampai di tujuan, aku segera memberi kode pada Aki agar dia mendekat. Jemari kembali terangkat, lantas menyentuh telinga Aki guna memasang earphone di telinganya. "Dengan ini, suara ledakannya tidak akan terdengar terlalu kencang."
Melodi mulai mengalun melalui earphone, membuatku tersenyum senang tatkala menyadari Aki terlihat menikmati lagu yang diputar.
Ah, sejak kapan aku menyukai senyuman itu? Suara lembutnya, tingkah jahilnya, kalimat nasehatnya, bahkan perhatian sederhananya, sejak kapan aku begitu terbiasa tentangnya?
Oh, aku mengerti.
"Suki,"
Pantulan kembang api terlihat dari Danau Biwa, warna-warninya yang begitu indah terasa begitu memuaskan. Suaraku terkalahkan oleh kerasnya ledakan yang saling bersahutan, namun aku merasa begitu cukup, aku merasa damai.
Di dekatku, lelaki inilah yang telah membuat alasanku bersyukur kini bertambah satu.
Perlahan-lahan cahaya di langit itu menghilang, lantas aku segera mengambil sebelah kabel earphone Aki dan memasangnya untuk diriku sendiri, kami tertawa kecil, sampai akhirnya Aki meminta untuk berfoto bersama.
Sedikit aneh dan agak tiba-tiba, meskipun begitu, aku tetap mengikuti ajakannya. Kamera diangkat, senyuman terukir, bahkan sang bintang bersinar cerah malam itu.
Aku yakin, hari ini akan menjadi hari yang paling aku kenang. Terima kasih, Aki.
"Jika cinta itu bersuara, aku yakin ia akan terdengar serak. Karena ia sudah terlalu sering meneriakkan namamu."
Continue to the chapter 4
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top