Part 2 : It's (not) a bullsh*t
Tidak ada yang lebih menyebalkan selain dari niat bodoh seorang Mori Akihiko. Bisa-bisanya dia yang sebagai ketua osis itu mengancamku tanpa dasar yang jelas. Sungguh menyebalkan.
Mau tidak mau, aku mengikuti perjanjiannya. Membantu Aki selama 7 hari dalam keperluan osis. Merepotkan sekali.
Dasar, memangnya apa yang dia ketahui sampai berkata seperti sebelumnya itu padaku? Aku paling tidak menyukai orang sepertinya. Orang peduli yang sok tahu tentang masalah yang dialami oleh sosok lain.
Aku ingin perjanjian bodoh ini berakhir secepat mungkin.
Lagi, aku berada dalam ruang penuh dokumen. Dimana hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk dan mendapat akses sebebas mungkin.
Namun, sekali lagi, yang berada di ruangan ini hanyalah aku dan Aki yang menyebalkan itu.
"Jadi, apa yang bisa aku bantu, Mori-san?" aku memandangnya sinis, tak peduli ia adalah seorang ketua OSIS, aku menggunakan nada bicara yang dingin untuknya. Menguatkan fakta bahwa aku benar-benar membencinya.
"Tolong bantu aku merapikan data-data klub di sekolah ini." tangannya menunjuk pada sebuah lembaran kertas yang menumpuk tinggi di salah satu meja.
Aku mengernyit, mendengus samar namun tak bisa mengeluh. Dasar Aki sialan, dia serius memberikanku tugas sebanyak itu?!
Belum sempat aku protes, lantas lelaki itu menyahut. "Duduklah. Jika kau berdiri diam, tidak akan selesai."
Kira-kira bila aku melempar bom molotov pada wajahnya, apakah itu akan menjadi sebuah kesalahan?
Aku menghela napas pendek, berusaha menahan diri dan akhirnya duduk untuk mengerjakan tugas yang diberikan Aki. Klub di sekolah ini ternyata cukup banyak, dan semua data-data mereka lengkap dalam lembaran-lembaran kertas ini.
Aku merasakan seseorang menatapku, membuatku merasa risih dan lantas menoleh kepada pelakunya. Siapa lagi kalau bukan si ketua OSIS itu, Aki. Benar, lihat saja, ia sedang memandangku penuh selidik dan raut penasaran yang bercampur.
"Mori-san, tolong berhenti menatapku seperti itu." Aku menatapnya tajam, keikutsertaannya dalam masalahku sudah cukup membuatku muak.
"Sebenarnya apa maumu, Mori-san? Apa urusanmu denganku?" lagi, aku kembali berujar sarkas, tak peduli bila hatinya tersindir atau apapun itu. Bukankah dia yang pertama menggangguku?
"Aku hanya ingin menemanimu agar kau tidak berpikir bodoh lagi, itu saja!"
Brak!
Aku menggebrak mejaku, tangan ini terkepal kuat, mungkin bisa saja aku memukul Aki sekarang. Tapi aku tahu itu hanya akan membuang waktu. Jadi kuputuskan untuk segera mengendalikan emosiku.
Aku beranjak melangkah menjauh, hendak pergi dari ruang osis ini. Lantas kaki terhenti sejenak di ambang pintu, aku menoleh, tersenyum simpul penuh kekosongan sembari menatap Aki sebelum akhirnya sebuah dialog meluncur dari bibirku.
"Aku baik-baik saja. Jika kau hanya berpura-pura peduli untuk mendapatkan perhatian, hentikanlah."
Hancur, aku benar-benar akan hancur bila harus terus menerima semua omongan tentang kepeduliannya yang penuh omong kosong. Aku ingin segera pergi dan lenyap dari dunia ini agar tak lagi bertemu orang sepertinya.
Grep! brak!
Aku merasakan sebuah tangan yang mencengkram lenganku, lantas suara pintu tertutup yang menyakitkan terdengar oleh telinga. Tidak, ini mengingatkanku pada pertengkaran di rumah. Aku takut---
"Sakit, 'kan?" Aku mendongak, menatap Aki yang masih mencengkram tanganku, napasnya sedikit terburu-buru seakan ia mencoba menahan amarah.
"Kenapa kau melakukan hal seperti ini?! Jika untuk mencari perhatian, hentikan saja! Bukan hanya dirimu yang menderita, yang kau lakukan itu tidak akan menyelesaikan masalah."
Lantas apa maumu?!!
Cukup, aku benar-benar muak, aku benci situasi seperti ini. Ketika orang memojokkanmu agar jangan melakukan hal bodoh, berkata seperti itu dengan mudahnya. Memangnya mereka tahu apa?! Apa mereka pernah jadi seperti aku?! Tidak!
"Aku----Aku paling benci orang sepertimu!" Suaraku terdengar bergetar, aku memandang Aki dengan takut-takut. Buliran cairan bening lagi-lagi jatuh membasahi pipiku.
"Kau tahu apa?! Orang yang dicintai oleh kehidupan sepertimu, tahu apa soal orang sepertiku yang selalu dibenci?! Kau selalu bahagia, mana tahu rasanya menderita sampai ingin mati?!!"
Aku meluapkan segala emosi tanpa dapat aku tahan, tak peduli bila aku terlihat menyedihkan di wajahnya. Aku hanya ingin tak ada yang menganggu kehidupanku! Apalagi untuk mereka yang sok tahu!
Aku segera melepaskan cengkraman Aki, lantas berbalik dan berlari secepat mungkin menjauhi pemuda itu. Aku menangis, aku menangis karena muak dan takut.
Di dalam hati, aku berharap agar aku tak mempedulikan omongan maupun keberadaan lelaki itu sekarang.
"Kemana saja kau?! Kenapa kau pulang sesore ini, hah?!"
Aku menahan napas yang memburu, sebisa mungkin mengendalikan pikiran untuk tetap jernih dan berusaha tetap mendengarkan teriakkan ibuku saat aku baru saja memasuki rumah.
Rumah?
"Maaf..." Aku tak dapat membela diri, atau mungkin... memang sudah cukup lelah dengan apa yang terjadi hari ini.
Bayangkan saja, di tengah moodmu yang hancur dan emosi yang meluap, kau berlari menerobos hujan untuk pulang ke rumah. Dan saat kau sampai di tujuan, pekikkan nyaring yang terdengar menusuk telingamu.
Tubuhku bergetar kedinginan, kepalaku terasa pusing dan mataku begitu berat, beberapa kali aku memejamkan mata sejenak untuk menguatkan diri.
"Maaf kau bilang?! Baiklah, tidak ada makan malam untukmu hari ini, anak sialan." Setelah mengatakan itu, ibuku lantas pergi tanpa memedulikan perasaan anaknya.
Oh, apalagi ini?
Aku hanya terdiam, menghembuskan napas pendek dan lantas kaki berusaha melangkah menuju kamar. Aku butuh istirahat, aku butuh tempat untuk menenangkan diri, aku...
Aku butuh seseorang untuk menemaniku
Pukul 9 malam, aku merasakan perutku yang mengeluarkan bunyi lapar. Namun aku tak bisa melakukan apapun, menggerakkan kaki pun rasanya tidak bisa. Aku sudah terlalu lemas.
Aku benci keadaan ini, keadaan dimana aku begitu lemah dan menyedihkan.
Aku membenamkan wajah di atas bantal, menahan rasa lapar yang menyiksa, bersamaan dengan mental yang semakin ciut dalam menghadapi kehidupan.
Apa aku masih bisa memiliki alasan untuk hidup? Apa yang harus kulakukan agar aku tetap hidup?
"Ukhuk..." aku terbatuk sejenak, lantas tubuhku kembali gemetar. Aku meletakkan tangan di atas kening, lantas memejamkan mata kemudian menarik selimut.
"Ayah..."
Udara dingin sedikit menyusup dari celah jendela, membuatku sedikit mengerjapkan mata, berusaha mengumpulkan nyawa sebelum akhirnya benar-benar bangun.
Aku mengubah posisi menjadi duduk, namun sebuah handuk kecil yang basah jatuh di atas selimutku. Tunggu, handuk ini hangat?
Aku menoleh, di atas meja nakasku, terdapat dua buah mangkuk, segelas air putih, dan beberapa obat. Mangkuk berisi air hangat, yang aku tebak sebagai alasan kenapa handuk kecil ini basah, itu sebagai benda untuk kompres yang digunakan. Mangkuk kedua berisi bubur hangat yang harum, air putih yang hangat, serta beberapa obat kemasan kecil
Mengernyit samar, aku bingung. Siapa yang menyiapkan semua ini?
Manik mataku segera menangkap sebuah keberadaan benda berbentuk persegi panjang berwarna putih yang terdapat di bawah gelas. Aku mengambilnya, sampai sebuah senyuman kecil terukir di bibirku.
'Ayah membuatkanmu bubur, mungkin tak begitu enak. Tapi makanlah selagi hangat. Makanlah obatnya juga, istirahat dulu di rumah. Ibumu akan pulang malam, jadi ia tak akan tahu. Ayah sudah memberikan surat izinmu ke sekolah.'
Aku merasakan dadaku sesak, sedikit terharu namun entah mengapa rasanya begitu menyakitkan.
Orang di sekitarku menginginkanku hidup... bagaimana caranya aku berada dalam situasi seperti ini?
Aku menghabiskan waktuku dengan melamun menatap jendela, di luar masih hujan. Seakan langit juga menangis untukku. Oh, terima kasih.
Lidahku terasa pahit ketika memakan bubur tadi, apalagi ketika minum obat, tapi aku tak mau mengecewakan ayahku. Ia sudah repot-repot menyediakannya, aku tak mungkin menolak dan secara tak langsung menyakiti hatinya.
Ya, setidaknya aku masih tahu bagaimana caranya berperilaku pada orangtua.
Tapi... apakah ayah memang menginginkanku agar tetap hidup? Bukankah bila aku tiada, maka bebannya juga akan berkurang?
Kenapa ia melakukan semua perhatian ini padaku? Apakah aku memang gadis kecil yang disayanginya?
"Kau masih mengasihani anak itu?!!"
Prang!
Uh, ini lagi. Aku rasa aku akan mengambil izin lagi besok, aku tak bisa datang ke sekolah dalam keadaan mental buruk seperti ini. Apalagi bila Aki memang memberitahukan guru tentang tindakanku... ah, untuk sekarang, aku mencoba tak peduli.
"Kau kira dia apa?! Kau mau membiarkannya mati begitu saja?!"
"Aku tak peduli! Memangnya apa bagusnya dia?! Apa yang bisa dibanggakan dari dia, hah?!"
Tubuhku terduduk lemas di balik pintu ruangan yang terkunci ini, rasanya begitu ngilu ketika mendengar teriakkan bersahutan di tengah malam, disertai dengan beberapa benda pecah yang tak pantas didengar telinga.
'Jangan lakukan hal bodoh itu lagi!'
Apa? Kenapa? Kenapa suara menyebalkan itu terdengar?
'Aku ingin menemanimu, agar kau berhenti melakukan hal bodoh itu!'
Omong kosong...
Di saat teriakkan nyaring memecah malam, aku hanya bisa memeluk bantal, kembali menangis dan lantas hanya bisa bergumam sembari berbisik pelan yang mana hanya bisa didengar oleh sang angin.
"Mana? Katanya dia ingin menemaniku agar aku tak melakukan hal bodoh, tapi nyatanya dia tidak ada. Aku benar, 'kan? Tidak ada yang peduli, aku sendiri."
Aku kembali bangun, namun pagi ini aku tak memakan sarapan. Masa bodoh apakah aku akan mati kelaparan atau lainnya, aku benar-benar tak peduli.
Dan memang, tak ada yang peduli...
Aku hanya bisa menangis tanpa suara, berteriak dalam diam, serta jatuh dalam kegelapan. Semuanya... tak ada lagi alasanku untuk hidup, tidak ada...
Sebuah pecahan kaca tergeletak di sudut ruangan, aku terdiam memandangnya selama beberapa saat, sebelum akhirnya aku mendekat dan menyentuh benda berujung tajam itu.
Aku tak peduli bila diriku mati...
"Ouch..." goresan itu kembali tercipta di lenganku, aku menangis merasakannya, tak ada yang bisa kulakukan selain ini.
Samar-samar, suara dua orang yang saling berdebat kembali terdengar di luar pintu kamarku, membuatku semakin gelap mata menyakiti diriku sendiri. Banyaknya luka yang aku ciptakan, mewakilkan luka yang terjadi padaku saat ini.
"Aku tidak sudi membesarkan anak hina seperti itu! Dia benar-benar mirip denganmu, menjijikkan!"
Ting tong! Ting tong! Ting tong!
Suara bel ditekan terburu-buru terdengar, aku beranjak, lantas dengan cepat pergi ke arah pintu masuk tanpa diketahui oleh orangtuaku yang sedang bertengkar di dapur bagian belakang.
Cklek!
Aku tersentak samar, sempat terkejut atas pelaku yang berkunjung ke rumahku dengan menekan bel berkali-kali. Mori... Akihiko? Apa yang dia lakukan di sini?!
"Ayah dan ibu sedang sibuk, datanglah lain kali." aku lupa dengan keadaanku yang sedang bersntakkan, apalagi dengan mata sembab serta darah yang mengalir di lenganku, lantas hal yang terlihat itu membuat Aki terkejut.
Irisnya menyorot penuh khawatir, membuatku terketuk sebelum akhirnya tangan hangat itu menggenggam tanganku dan menarikku keluar. Segera berlari, entah ia akan membawaku kemana.
"Haruna, ayo ikut aku. Kita kabur dari sini."
Aku tersentak samar, namun tentu aku tak bisa menolaknya. Untuk apa pula aku kembali ke rumah?
Aku memandang tangan Aki, lantas kembali terisak samar dan berdoa dalam hati. Untuk kali ini, bawalah aku bersamamu Aki. Aku sudah lelah menentang semua ini. Tolonglah aku...
Ruangan putih, aroma obat yang menusuk, serta pencerahan di ruangan yang terlalu berlebihan. Aku duduk di atas kasur klinik, ditemani dengan seorang Dokter yang dengan telaten mengobati luka-luka di lenganku.
"Ouch..." Aku menggigit bibir bawahku, rasa perih dan sensasi dingin menyentuh kulitku kala Dokter itu memakaikan obat antiseptik padaku.
Helaan napas terhembus, aku mencoba menahan rasa perih ini. Sepertinya melukai maupun mengobati itu akan sama-sama sakit rasa nyerinya.
Aki, kenapa ia begitu bodoh sampai membawaku ke sini? Apa yang sebenarnya dia pikirkan?
Sikapnya yang keras kepala, nekat, dan selalu saja memaksa, kenapa aku harus terjebak dengannya? Apa yang sebenarnya lelaki itu inginkan dariku?
Perban terakhir menutupi lenganku, Dokter segera bangkit, menyatakan bahwa ia telah selesai mengobatiku. Aku hanya merespon dengan anggukkan samar, menunduk, sampai akhirnya pria berjas putih itu keluar dari ruangan.
Aku masih duduk, melamun, perasaan kosong ini merasukiku. Hanya satu pertanyaan, kenapa?
Cklek
Pintu kembali terbuka, diikuti dengan langkah kaki samar yang mendekati diriku. Tanpa perlu menoleh, aku tahu siapa pelakunya, Aki.
"Maaf..."
Aku tersentak samar, lantas pikiran kembali bingung dengan satu kata aneh yang keluar dari mulut Aki. Apa yang dimaksudkan oleh lelaki bodoh ini?
"Syukurlah... Syukurlah kau selamat..."
Selamat?
Aku menoleh memandang lenganku, perban putih yang menutupi lukaku terlihat mencolok. Membuatku kembali mengingat kilas balik sebelumnya, bagaimana dan mengapa aku membuat semua luka ini.
Dadaku terasa sesak, mengingat semua kejadian itu membuatku merasakan perih dalam batin. Mataku terasa panas, rasanya aku tak kuat lagi menahan semua beban ini. Masa bodoh dengan si ketua OSIS di depanku, tangisku pecah di hadapannya----karenanya.
"Kenapa... Kenapa kau datang menolongku? Sudah kubilang... Kau tidak tahu apapun soal hidupku!"
Muak, kesal, takut, sedih, aku tak tahu mana yang mendominasi, semua perasaan itu berkecamuk dalam pikiranku, bercampur aduk dan membuatku kebingungan diantara rasa sakit yang menyiksa dada.
"Maaf..."
Apa? Apa? Untuk apa kau minta maaf, Aki?
"Aku sangat egois ya, Haru-chan? Padahal aku sama sekali tak mengerti dirimu. Tapi terus saja memaksamu untuk tidak menyerah. Dan yang lebih parah, aku tak menyesali perbuatanku itu."
Aku mengingat setiap nadanya, kalimat, bahkan suaranya. Aki melanjutkan dialognya, yang aku sahuti dengan beberapa kalimat pendek. Namun lelaki itu tetap berbicara, samar-samar menuntunku agar melihat pada cahaya.
Huh?
Kata-kata motivasi klasiknya yang menjengkelkan, senyum bodohnya, sikap berantakkannya, kenapa ia begitu mengusik garis hidupku?
Tangannya terulur padaku, membuat lamunanku buyar sesaat. Lagi, lelaki itu mencoba membangkitkanku. Dasar, apa-apaan itu? Dia ini bodoh atau apa?
"Kau ini orang bodoh atau apa? Kenapa begitu peduli pada urusan orang lain?" ragu, akhirnya aku perlahan membalas genggaman tangannya, entah apa yang membisikkiku hingga mau melakukan itu.
Tawa kecilnya terdengar, "sudah kubilang, 'kan, aku ini hanya orang egois. Lagipula Haru-chan bukan orang lain, tapi temanku."
Perlahan, hatiku terketuk. Apa yang kau pertahankan hingga berusaha senekat ini, Aki?
"Ayo, aku antar kau pulang."
Dan aku hanya bisa mengangguk samar.
"Kamu itu bodoh, lemah, rapuh, perlu diperbaiki, menggunakan cinta."
Continue to the chapter 3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top