Part 1 : It is me?

Prang!

Uh, rasanya terdengar ngilu. Bunyi benda pecah itu membuat telingaku terasa sakit, entah itu sudah kali ke berapa aku mendengar suara yang sama.

"Dia itu tidak menjijikkan! Kau mau keluarga kita tercoreng, hah?!"

"Bagaimanapun juga dia anakmu! Kau seharusnya menghargainya!"

"Huh, dan sekarang kau lebih membela anakmu daripada istrimu sendiri, hah?!"

Dari sudut kamar, aku hanya duduk memeluk lutut sambil menahan air mata, tubuhku bergetar takut, telingaku sudah terlalu panas untuk kembali mendengarkan perdebatan yang terjadi di luar ruangan ini.

Iya, aku tahu aku menjijikkan. Bahkan ibuku sendiri tak mau mengakuiku sebagai darah dagingnya. Selalu saja merendahkanku dengan tatapan sinis itu yang seolah-olah berkata ; 'kau tak seharusnya ada di sini.'

Benar, lalu, untuk apa aku dilahirkan?

Dadaku tiba-tiba terasa sesak, rasanya sulit untuk mengambil napas, entah mengapa oksigen di sini perlahan menipis, atau... apakah ini hanya perasaanku saja?

Aku ingin mati...

Teriakan yang saling bersahutan itu tak lagi terdengar, aku mengintip dari celah pintu. Sepertinya Ayah pergi ke kantor, namun entah dengan ibuku. Oh, lagipula apa aku peduli?

Aku segera melangkahkan kaki keluar dari kamar, dapur menjadi tujuanku saat ini. Teriakan dari kejadian sebelumnya masih terngiang di kepalaku, seakan-akan menegaskan kembali bahwa aku harus menerima fakta itu bulat-bulat.

Argh, aku juga tak mau hidup seperti ini!

Oh, lihat itu. Manikku menatap pada sebilah pisau cantik dengan ujung tajam. Aku... membutuhkannya...

Tanganku terulur mengambil pisau itu, aku memandangnya beberapa saat sebelum akhirnya cairan kristal bening jatuh mengenai bilah tajam itu.

"Aku ingin mati... aku ingin mati... aku ingin mati..." kalimat itu bagai mantra yang kuucapkan terus menerus, dengan tangan yang bergetar aku mencoba menggoreskan mata pisau tajam itu pada lenganku.

"Akh..." sakit, ini sakit, aku menangis melakukannya. Aku membuka mataku, melihat darah segar yang mengalir dari bekas sayatan yang aku buat, perih sekali. Apakah aku akan cepat mati bila aku melakukan ini?

Aku pikir iya, maka akhirnya aku kembali menggoreskan sayatan kedua, ketiga, keempat, kelima... sampai akhirnya aku lupa kalau aku sedang menghitung...

Sinar matahari menelusup masuk melewati jendela kamarku, udara pagi hari diam-diam mengiringi pagi itu. Aku terbangun, menguap sejenak kemudian mengusap mata yang sembab, sampai akhirnya kepalaku menoleh pada jendela.

Ah, ternyata aku masih hidup...

"Hei, Okaa-san, kalau kau benar-benar membenciku, kenapa kau tidak membunuhku saja?" gumaman itu meluncur mulus tanpa cela, terpikir begitu saja di kepalaku. Tapi, benar juga, 'kan?

Aku segera turun dari kasur, lantas melanjutkan dengan aktivitas pagi sendirian. Tanpa adanya orangtuaku pagi ini, seperti biasanya. Iya, setelah mereka bertengkar hebat, lantas mereka tak kembali lagi ke rumah ini untuk beberapa saat. Meninggalkanku sendirian. Huh? Sendirian? Aku memang selalu sendirian, jadi mungkin itu hal biasa saat orangtuaku tak ada di rumah.

Aku tersenyum sinis memikirkannya, "huh, orangtua, ya?"

Perasaan ini kembali bercampur aduk, aku mencoba menahan rasa kesal yang sudah di ambang batas ini. Argh, ini benar-benar membuatku muak!

Pisau...

Langkahku berhenti, kemudian memutar arah ke dapur, benda itu masih berada di sana. Aku menyentuhnya, mengangkatnya perlahan dan menatap bayanganku yang samar berada di mata pisau itu.

'Mati saja, mati, mati, mati, mati!!!'

Dan akhirnya, aku mencium bau amis darah pagi itu, membuatku pusing. Oh, tunggu, aku yang ternyata membuat bau amis darah itu...

"Baiklah, senyum, Haruna."

Aku mencoba menyemangati---ah tidak, aku mungkin berusaha membohongi diriku sendiri. Kurva melengkung ke atas di bibirku itu hanyalah sebuah topeng belaka yang selaku aku pakai selama ini.

Sekolah, disinilah tempat aku menjadi seorang gadis boneka munafik. Senyuman palsu yang dengan mudahnya menipu banyak orang-orang bodoh yang tak peduli keberadaanku di sini.

Setidaknya, senyuman ini yang masih membuatku 'hidup.' Aku terkekeh kecil, lantas bergumam untuk bertanya pada diri sendiri, "apakah benar?"

kriing!

Bel istirahat berbunyi, aku segera membereskan mejaku dan bersiap untuk segera pergi ke kantin.

"Aki-kun! Biarkan aku membantumu!"

"Ne, ne, Aki-kun! Biar aku saja!"

"Aki!"

"Aki!"

Aku menoleh saat berjalan di lorong terbuka, beberapa gadis nampak bergerombol di depan tempat tanaman dan bunga-bunga. Oh, sepertinya mereka meneriakkan nama seseorang, Aki, ya?

Aku menggertakkan gigi, tak tertarik dengan itu. Langkah kaki semakin kupercepat agar segera pergi dari sini.

"Awas!"

Sial bagiku, setelah menoleh, aku malah mendapati jaket yang aku pakai basah terkena air dari selang tanaman. Kulihat seseorang mendekat, lelaki yang aku ketahui bernama Aki.

"Maaf," nampak ia mengeluarkan sapu tangan, namun segera aku tepis bantuannya sebelum akhirnya aku mendongak menatap manik itu sejenak, dan membuang wajah kemudian.

"Tidak apa, aku membawa baju olahraga, aku ingin mengganti baju, permisi." Dan setelah itu, aku segera berjalan melewatinya, aku benci tatapan matanya itu.

Aku menghembuskan napas kecil, bersandar pada dinding di lorong ini dan menunduk menatap lantai. Aku belum mengganti baju, sepertinya itu tak perlu.

Tap tap tap...

Kudengar suara langkah seseorang, segera menoleh, aku dapat melihat siapa pelakunya, lelaki tadi, Aki. Tunggu, jangan bilang ia baru saja mengejarku?

"Kau belum mengganti baju?"

Bodoh, memangnya kau lihat aku pakai baju apa sekarang?

"Hanya jaketku yang basah... Jadi kulepas."

"Begitu, maaf ya soal yang tadi." ia mengulurkan tangannya, mengkode sebuah permintaan maaf yang membuatku jijik melihatnya.

Tanpa mempedulikan uluran itu, aku segera berjalan mendahuluinya, aku benci sekali dengan tatapan sok simpatik itu.

Huh, memangnya apa pedulinya padaku?

"If you know nothing, then, you must say nothing." gumamku menahan kesal pada lelaki itu, dengan haralan semoga saja aku tak lagi berurusan dengan orang itu.

Kuharap aku benar-benar tak akan lagi berbicara dengannya. Bertemu dengannya membuatku kesal dan pusing di saat bersamaan, sungguh menyebalkan.

Hari ini kelas pulang lebih awal, namun entah mengapa aku merasa enggan pulang ke rumah. Aku mendapat firasat bahwa akan terjadi suatu hal buruk ketika aku pulang nanti.

Aku menggelengkan kepala. Ah, tidak. Itu hanya pikiran bodoh, aku akan pulang sekarang.

"Bisa kau jelaskan ini, Sasaki Haruna?"

Suara tajam terdengar begitu menyakitkan, lembar kertas latihan dengan huruf C kapital di pojok atas yang dipegang oleh ibu membuatku menundukkan kepala.

"Aku akan berusaha lebih rajin lagi..." Aku hanya menyahut sekenanya, namun hal itu justru membuat ibuku semakin naik darah.

Ia melempar semua kertas dengan banyak coretan warna merah itu ke wajahku, hingga akhirnya kertas-kertas itu jatuh ke lantai. Aku mengutuknya dalam hati, tega sekal ia menghina harga diriku... di depanku!

Aku dapat mendengar napasnya yang sedikit terburu-buru, bahkan saat aku menunduk, aku dapat melihat tangannya yang terkepal keras seakan bisa memukulku saat itu juga.

"Dasar tidak berguna! Kau kira apa aku menyekolahkanmu?! Apa kau pikir----"

Sosoknya buram dalam pandanganku, kata-katanya perlahan terdengar samar sampai akhirnya hanya hening yang kudengar. Dalam batin, aku hanya berteriak dalam diam.

"Lihat! Ini pekerjaan bodoh anak yang selalu kau pedulikan itu!"

"Berhenti mengadukan semuanya padaku!"

"Apa?! Kau bahkan tak mendengarkan satupun dariku!"

"Diam!"

Lagi, aku berada di sudut yang sama dalam kamar ini, malam yang dingin disertai pertengkaran yang terjadi di luar ruangan sudah cukup untuk menyiksa mentalku.

Sepertinya aku akan menjadi anak yang mengidap penyakit kejiwaan jika saja aku tak bersekolah dan harus selalu mendengarkan tiap bentakkan ibuku.

Mungkin orang bilang, 'marahnya orangtua adalah maksud kasih sayang mereka'. Huh, bolehkah aku tertawa? Aku ingin tertawa sekeras mungkin dan akhirnya menentang kalimat itu.

Sepertinya marah ibuku memang benar-benar karena membenciku.

"Kau selalu membelanya! Apa yang istimewa dari gadis menjijikkan itu, hah?! Apa!?"

"Minori! Aku bilang cukup!"

"Argh! Dimana anak itu, hah?!"

Deg!

Aku merasakan jantungku seakan berhenti berdetak, kudengar suara langkah kaki keras menuju pintu kamarku, diikuti dengan umpatan-umpatan kekesalan menyakitkan yang bersuara begitu familier.

Apa yang akan terjadi?

"HARUNA! BUKA PINTUNYA!"

"Minori! Apa yang kau lakukan?!"

Cukup! Cukup! Cukup!!! Berapa lama lagi aku harus mendengar semua kalimat muak itu?! Semua tekanan yang merusak mentalku!? Kau kira aku tahan menerimanya?!

Mengapa aku begitu dibenci oleh kehidupan ini?! Apa yang memangnya kulakukan hingga mendapat takdir hitam seperti ini?!

"HARUNA! KELUAR!"

Dobrakan pintu terdengar, langkah kaki yang berat, sampai akhirnya aku merasakan sebuah tangan menarik rambutku, suara yang memakiku, sampai akhirnya sebuah cairan bening yang membasahi pipiku.

Aku kehabisan suara, bahkan kehabisan tenaga untuk sekadar melawan. Ah, semuanya buram dan mendadak hening. Apa yang terjadi?

"Sasaki Haruna, berdiri di depan kelas sampai jam istirahat tiba. Ini adalah hukuman karena kau terlambat. Lain kali, jangan ulangi lagi."

"Baik, sensei."

Sialan, sepertinya pena takdir sedang menertawakanku sekarang. Aku harap aku masih bisa berdiri untuk beberapa waktu ke depan, rasanya lututku sakit dan tak bisa menahan beban tubuhku sendiri.

Ayo, Haruna. Hanya beberapa saat saja, kau pasti bisa.

Aku menunduk, rasa sesak itu kembali memenuhi rongga dadaku. Di depan kelas, di lorong sepi ini, aku perlahan jatuh terduduk, cahaya matahari yang menelusup dinding membuatku semakin membenci hari ini.

Hei, bolehkah aku menangis? Dimana lagi tempat aku bisa bernapas lega? Apakah dengan mengakhiri semuanya maka akan jadi lebih baik?

Aku dibawa ke ruang BK, guru konseling memberitahukan tentang nilaiku yang akhir-akhir ini menurun drastis dan pula tentang beberapa kesalahan ceroboh yang tidak sengaja aku lakukan.

Aku hanya bisa mendengarkan, mengangguk, kembali mendengar, dan sebisa mungkin menangkap beberapa nasihat yang diberikan oleh wanita berumur 38 tahun itu padaku.

Helaan napas meluncur pelan, aku tertawa miris dalam hati. Sepertinya mentalku sudah mulai terguncang karena apa yang terjadi di rumah maupun karena disertai banyaknya tugas di sekolah yang membebani pikiran.

Bolehkah aku berkata?

Untuk kali ini... Aku mengaku lelah...

Aku ingin pulang, tapi... kemana?

Setelah kelakuanku dimaklumi guru BK, wali kelasku juga ikut berbincang sejenak. Ia sedikit tak mengerti, namun sebagai gantinya, aku diberi sedikit hukuman, mengerjakan tugas-tugas kecil pada kertas yang berserakkan di mejaku ini.

Bel pulang sekolah telah terdengar sejak beberapa waktu lalu, namun aku masih terfokus pada kertas-kertas ini. Sedikit lagi aku selesai, aku harap ini tidak akan lama.

Aku benar-benar ingin pulang... tapi tetap saja aku tak bisa beristirahat. Aku tak punya tempat untuk pulang, menenangkan diri, beristirahat, dan lainnya...

Kecuali... dalam arti 'pulang' sesungguhnya.

tap tap tap

Aku mendengar suara langkah kaki yang memasuki kelasku, lantas saat kepala menoleh, hal yang dilihat adalah yang justru membuat moodku semakin hancur.

Mori Akihiko. Kenapa kau kemari, huh? Dari setiap siswa yang ada di sekolah ini, kenapa harus kau yang masuk ke dalam alur ini?

"Sasaki Haruna-san, selamat sore."

Ucapan basa-basi tanpa bobot yang tak berguna, aku hanya menyahuti beberapa kalimatnya dengan tak niat, sesekali menatapnya sinis. Memberi kode bahwa aku tak menyukai keberadaannya.

Dia mengulurkan tangan, sepertinya memperkenalkan diri namun aku tak menggubrisnya, sungguh basa-basi yang konyol. Untuk apa melakukan itu padaku?

Aku berusaha sibuk membereskan kertas print yang menjadi tugasku, namun dengan sekali gerakkan, Aki mengambil sebagian kertas itu.

"Biar aku bantu."

Aku menatapnya jengkel lantas mendecak sebal atas perlakuannya. "Tidak, aku tidak mau berhutang budi pada siapapun." Tanganku berusaha mengambil kertas itu lagi, namun Aki malah menghindar dengan cepatnya.

"Kalau begitu, sebagai gantinya kau akan membantuku. Aku butuh bantuanmu di ruang OSIS untuk menyusun dokumen, karena anggota OSIS lain sedang sibuk dengan urusan klub mereka. Bagaimana?"

Lagi, aku kembali mendecak, kenapa lelaki ini begitu menyebalkan dan pemaksa?

"Maaf, aku lebih suka melakukan tugasku sendiri."

Seringaian malah terlukis di wajah jahil Aki, lantas lelaki itu menyahut. "Aku memaksa, Haru-chan."

Aku mengernyit, memandangnya sebal lantas mengerang frustasi. "Kenapa?"

Tatapan mata Aki bergeser ke arah lain, aku mengikuti pandangan matanya, yang lantas membuatku terkejut karena ia melihat ke arah lengan seragamku.

"Aku tak mau melihatmu tertawa sendirian selamanya."

Aku mundur selangkah, terkejut memandangnya dan lantas malah membuatku sedikit takut. Apa ia... tahu tentang kelakuanku yang melakukan self-injury?

"Kalau aku tak mau?" Aku memberanikan diri masih menyahuti, lantas Aki tersenyum simpul menyiratkan seribu makna yang tak tertebak.

"Aku bisa saja melaporkanmu bahwa kau telah menyakiti dirimu sendiri. Dan pada akhirnya karena aku ketua osis, kau akan kembali berurusan denganku untuk waktu yang lama."

Dasar! Ketua osis macam apa itu?!

"Aku hanya perlu dituntun, bukan didorong oleh tekanan yang malah menghancurkanku sendiri."

Continue to the next chapter 2

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top