Chapter 4 : Farewell... Thank you (END)

Entah sejak kapan, rumahku terasa begitu hening di malam hari. Ayah masih selalu pulang terlambat, lalu Ibu berubah menjadi begitu pendiam, meskipun terkadang ia membentakku sesekali untuk membantu pekerjaan rumah.

Ah, aku sendiri pun bingung. Tapi tak apa, semua ini memang harus aku jalani terlebih dahulu untuk dapat mengetahui apa jawaban di baliknya.

Itu yang selalu Aki beritahu padaku.

Libur akhir musim panas akan segera selesai, suhu lingkungan pun mulai beranjak berubah, pertanda memasuki musim gugur.

Saat musim panas kemarin terasa kurang lengkap karena tak adanya Aki, namun untungnya Yukio sempat menemaniku untuk sekadar jalan-jalan di pantai. Tetap saja, aku masih sedikit kecewa pada Aki.

Ah, tak apa, aku akan kembali bertemu dengannya nanti, melakukan tugas OSIS bersama ataupun sekadar memasang senyum untuk saling menyapa.

Entah mengapa aku begitu merindukan hal-hal kecil darinya.

Aku memandang ke arah jendela, daun-daun cokelat yang jatuh berguguran membuatku tersenyum tipis. Musim gugur membuatku mengingatnya.

Iya, kata Aki memiliki arti musim gugur.

"Aku pulang..."

Aku membuka sepatuku, menghela napas pendek sebelum akhirnya indera mencium bau makanan dari dapur. Penasaran, aku pun segera beranjak, kemudian melanjutkan langkah ke dapur.

"Ayah, apa kau memasak----"

Napasku tercekat. Tunggu, apa?

"Ibu?"

"Haruna, ayo makan."

3 menit berlalu tanpa suara, aku masih tidak percaya dengan kare harum di atas piring yang hangat. Aku sedikit heran, apakah Ibuku memasukkan suatu racun atau semacamnya ke kare ini?

Oke, lupakan itu.

Ragu, tangan pun akhirnya mengambil sendok, kemudian segera menyuapkan kare itu ke dalam mulut. Rasanya tak terlalu buruk, sedikit kurang asin namun aku suka.

"Haruna, ada yang ingin ibu bicarakan denganmu."

Aku mendongak, lantas seperti memberi ekspresi ; 'ada apa?'

"Ayahmu sudah naik jabatan di kantornya, jadi mungkin ia akan lebih bisa membiayai uang sekolahmu." Ibu meneguk segelas air putih, kemudian manik tajamnya langsung kembali menyorot padaku.

"Satu lagi..."

Apa?

"Maaf,"

Aku langsung bungkam, entah mengapa serasa terkunci di dalam pikiran sendiri. Kepala langsung menunduk, bahkan otak tak dapat menyimpulkan keadaan apa yang tengah terjadi kali ini.

"Anak itu, temanmu, 'kan?"

Kali ini aku mendongak, melihat wajah ibuku sekilas dan lantas mengangguk.

"Anak yang kemarin itu, kau beruntung berteman dengannya, Haruna. Dari kalimatnya yang kemarin, sepertinya sikapku memang sudah keterlaluan, ya?" perlahan, pandangan itu melembut, membuat hatiku terketuk seketika.

"Aku hanya sedikit tertekan karena trauma masa lalu. Aku juga sama sepertimu, anak yang kelahirannya sebenarnya tak diinginkan. Kukira dengan tak adanya kau, maka kau juga akan lebih bahagia, tapi aku salah." kurva tipis terukir, lantas membuatku terhenyak selama beberapa detik.

"Hidup itu sangat penting, dan betapa buruknya aku telah mencoba menghapus hidupmu. Maafkan aku, Haruna. Jadilah gadis manis yang hidup dengan penuh kesenangan, oke?"

Huh?

"Lakukan itu... untuk aku, ya? Ibumu..."

Giliran aku yang tersenyum, aku tak dapat memilah kata. Namun hanya satu kata yang bisa aku ambil untuk menjawab permintaan ibu, "iya."

'Anak yang kemarin itu, kau beruntung berteman dengannya, Haruna.'

Hari-hariku berjalan cukup baik setelah itu, dan tentu saja pikiran ini terus saja berdelusi tentang Aki. Oh, apakah ini yang dinamakan rindu?

Kenapa aku begitu merindukannya seperti ini?

'Suki,'

Jemari segera berhenti menulis, tubuh pun ikut diam di atas kursi belajar. Otak tiba-tiba langsung bekerja, menyimpulkan semua kejadian yang tersusun rapi dan memberikan jawaban.

Aku... Aku menyukai Aki?

Drrrttt

Getar ponsel membuyarkan lamunan, membuatku segera menoleh dan menatap layar. Panggilan masuk dari seorang Yukio, apa ini?

"Moshi-moshi?"

"Haruna! Cepat ke Rumah Sakit Amure sekarang!"

Hah?

"Ogawa-san, apa maksud---"

Perasaanku jadi tidak enak

"Kumohon! Cepatlah! Aki---"

Piip!

Sambungan terputus, membuatku begitu shock dan blank. Aki? Di rumah sakit? Apakah ini alasannya----

"Aki, tunggu aku, kumohon..."

Jantung berdegup tak beraturan, rasa takut memenuhi rongga dada, namun kaki ini tetap berusaha berlari secepat mungkin. Mendengar suara khawatir dan sedikit bentakkan dari Yukio sebelumnya entah mengapa membuatku begitu takut.

Tidak, ini bukan hanya sekadar takut, aku tidah tahu apa namanya, namun aku begitu membenci hal ini.

Kumohon, untuk kali ini, biarkanlah tebakanku salah.

"Maaf, permisi!" Aku tak peduli sudah menabrak berapa banyak orang, yang aku pikirkan hanya satu, namun entah mengapa saat kembali mengingatnya, justru membuat rssa takut ini semakin memuncak.

Kumohon, kumohon, kumohon

Aku segera sampai di lobi rumah sakit, segera bertanya dimana ruang pasien Mori Akihiko. Dan dengan terburu-buru, aku langsung berlari menuju ruang yang disebutkan.

Sahutan-sahutan yang terdengar menusuk, bau obat menyengat, serta banyaknya orang yang berlalu-lalang, kenapa aku harus menghadapi situasi ini?

"Aki!"

Pintu terbuka, keluarga Aki serta Yukio yang berada di ruangan itu menoleh kepadaku, namun setelahnya langsung menunduk. Di atas kasur putih, aku melihatnya, Aki, terbaring kaku.

Tidak...

Kaki segera melangkah gusar, aku segera mengguncang tubuh Aki, dada ini semakin sesak, entah mengapa mata ikut menjadi berair kala melihat wajah pucat yang tersenyum itu.

"Aki! Aki! Kumohon bangun!" Aku meraih tangannya, dingin.

Tak ada yang menghentikanku, dan hal itu membuatku menjadi lebih gila karena keadaan orang di hadapanku ini.

"Kau sudah janji! Kau sudah janji tak akan membiarkanku berbuat bodoh! Kau sudah berjanji untuk selalu ada untukku! Kau bilang aku bisa lebih bahagia darimu! Aki! Hei! Dengarkan aku!"

Air mata jatuh membasahi pipi, membuat rasa putus asa memeluk dalam pikiran tak berujung. "Aki..."

Tangan hangat menyentuh, Yukio mengelus punggungku, lantas ikut memasang wajah sedih. Entah mengapa aku jadi begitu membencinya.

Aku segera menepis tangannya, menatapnya frustasi lantas berteriak. "Kenapa kau tidak memberitahuku?! Kenapa?!"

Yukio, kenapa...?

Jawaban hanya membuat luka ini semakin parah, aku segera berbalik, berlari menjauh dengan wajah berantakkan karena air mata.

Semakin aku berusaha menghapusnya, semakin lebih lagi aku menangis. Aku benci ini, aku benci!

Aki... Kau pembohong... Kenapa kau melakukan semua ini padaku? Memberi begitu banyak kesan lalu pergi begitu saja tanpa pamit?

Kau jahat... Aku membencimu

"Pembohong... Pembohong... Pembohong..."

Gumaman itu terus terdengar bagai radio rusak, entah sudah berapa lama aku mengurung diri di dalam kamar ini, rasa bersalah sekaligus dendam memenuhi kepalaku.

Aku tak habis pikir, kenapa Aki tak mau memberitahu tentang masalahnya kepadaku? Kenapa ia tak jujur bahwa ia menderita suatu penyakit? Apakah aku memang tak penting baginya?

Masih begitu banyak pertanyaan, dan aku hanya bisa menangis karena tak bisa menemukan jawabannya.

Aku lelah, sungguh...

Tok tok tok!

Pintu kamarku terketuk dari luar, mau tak mau membuat wajahku segera mendongak guna sekadar melihat papan cokelat itu. Ah, siapa yang mengetuk?

"Sasaki, ini aku, Ogawa."

Apa?

"Pergi! Aku tidak mau melihatmu atau siapapun lagi!" Aku memekik, mengusirnya langsung tanpa basa-basi.

"Kau boleh marah, tapi keluarlah sebentar demi Aki."

Tubuh tersentak samar, namun sesegera mungkin aku langsung membuka pintu. Yukio ada di depanku, wajah datarnya namun dengan tatapan khawatir yang samar terlihat.

"Mau apa kau kemari, Ogawa-san?"

Kenapa aku berharap malah Aki yang ada di depanku? Kenapa aku berharap jika ia masih tetap hidup? Kenapa aku berharap bahwa ialah yang akan tersenyum di hadapanku dan memelukku untuk menenangkan diriku?

"Aku perlu membicarakan beberapa hal denganmu dan memberikan titipan Aki---"

Dari sekian banyaknya orang, kenapa harus begitu banyak hal tentangmu yang masuk ke dalam hidupku, Aki?

'Untuk Sasaki Haruna, bukalah ini kalau kau lupa cara tersenyum :)'

Aku mengenal tulisan itu, entah mengapa rasa sakit ketika mengingat hal tentangnya masih samar terasa. Yukio memberikanku sebuah CD rekaman dari Aki setelah kami berdebat singkat.

Percakapan yang membuat diriku tersadar untuk kedua kalinya.

Ah, Yukio juga sama baiknya dengan Aki. Aku bersyukur dapat mengenal mereka berdua.

Tangan segera membuka laptop, menekan tombol dan tempat menaruh CD segera keluar. Aku memasukkan benda tipis itu dan seketika layar laptop mulai menampilkan video khusus.

"Halo, Haruna, bagaimana kabarmu? Aku harap kau baik-baik saja ya!"

Apa ini?

Suara Aki terdengar sebagai backsound, sedangkan layar berisikan foto-fotoku yang sedang tersenyum. Sejak kapan Aki mengambil semua gambar itu?

"Lihat? Wajah-wajahmu terlihat cantik di sini bila tersenyum~"

Aku mengingat semua kejadian dalam semua foto itu, mulai dari pertama kali aku tersenyum karena Aki, sampai dengan foto terakhir yang diambil bersama lelaki itu.

Aki...

Lagi-lagi aku menangis, bukan karena sedih atau frustasi, tapi karena terharu dan senang. Goresan tipis di bibir terlukis, aku mulai tersenyum sendiri menonton video itu.

"Maaf ya kalau sebelumnya aku sering sekali memaksamu dalam berbagai hal untuk tetap hidup. Pecayalah, aku melakukan itu karena aku terlalu menyayangimu."

Aku tahu...

"Mungkin kau berpikir aku adalah stalker karena aku bisa begitu banyak mendapatkan foto dirimu tanpa kau ketahui. Percayalah, aku merasa begitu senang dapat menjadi salah satu alasanmu tersenyum."

Iya, Aki...

"Maaf kalau aku suka menjadi menyebalkan untukmu, mungkin membuatmu sedikit risih. Tapi kau harus tahu, aku melakukannya hanya untuk dapat melihat wajah manis kesukaanku."

Dasar...

Suara tawa dari video terdengar, kali ini video Aki di depan Kamera. Lelaki itu duduk, ia memakai baju putih seperti pasien rumah sakit, lengkap dengan tangan yang terpasang selang infus.

Oh, jadi inikah dia saat di rumah sakit?

"Bagaimana videonya? Apa yang kau rasakan?" Suaranya masih terdengar lembut, meskipun dengan bibir pucat, namun matanya menyorot hangat.

"Aku senang, Aki..." Entah kenapa aku menjawab, lantas jemari bergerak untuk menghapus air mata yang turun.

"Daritadi aku minta maaf terus, ya? Hmm, baiklah, mungkin saatnya kini aku berterima kasih."

Untuk apa?

Senyuman terukir jelas di bibir pucatnya, lantas kalimat selanjutnya terdengar. "Terima kasih telah memperbolehkanku masuk ke dalam garis hidupmu, Haru-chan. Terima kasih karena telah hidup untukku. Terima kasih sudah mau mendengarkanku..."

Terima kasih kembali...

"Satu lagi..." Maniknya memandang kamera dengan lekat-lekat, membuatku seperti seakan ditatap olehnya.

"Aku menyayangimu. Jadi, tetaplah hidup, oke?"

Entah mengapa hal itu kembali membuatku merasa sedih, lantas membuat suatu pertanyaan dalam diriku sendiri. Apakah bisa aku tetap hidup tanpanya?

"Tenang saja!" suara Aki kembali terdengar, wajah cerianya masih terlihat begitu khas. "Ada Yukio yang akan selalu ada untukmu. Orangtuamu juga pasti akan selalu mendukungmu. Teman-teman di sekolah juga akan ikut andil untuk membantumu tetap tersenyum!"

Aku terkekeh kecil mendengar nada antusias itu, lantas bibir tergerak mengucap kalimat. "Terima kasih, Aki."

Durasi video hampir habis, namun senyuman Aki masih belum hilang. "Aku tahu, terima kasih kembali."

Layar segera menghitam, bukti bahwa video telah berakhir. Aku masih dapat mengingat semuanya, Aki. Aku masih mengingatmu...

Kepala menoleh ke belakang, Yukio berdiri menyandar pada pintu dan lantas tersenyum kecil. "Ayo pergi ke makam Aki. Sebagai ganti saat kau tak hadir dalam upacara pemakaman dia sebelumnya."

Berapa banyak lagi aku harus mengucapkan terima kasih untukmu, Aki? Ah, rasanya mungkin terima kasih saja tidak cukup.

Aku mengangguk, lantas tangan segera mengambil jaket dan segera memakainya. Yukio memutar kedua bola mata, kemudian tangannya terulur menjitak keningku.

"Hei!"

"Bersihkan dulu wajah zombie itu, bodoh!"

Cuaca terlihat berawan, angin sepoi ikut menemani. Area pemakaman entah mengapa terlihat begitu damai dengan keheningan di dalamnya.

Kaki segera berhenti melangkah, mengikuti gerakan Yukio yang berhenti di samping salah satu makam. Aku melihat pada batu nisan di atas tanah itu, nama Mori Akihiko tercetak jelas, membuatku meringis pelan.

Yukio memberikanku ruang, sampai akhirnya aku menekuk lutut untuk dapat berjongkok. Tangan terulur mengelus batu nisan, dingin, sama seperti ketika terakhir kali aku menyentuh tangan Aki.

Entah kenapa, rasanya aku kembali sesak, air mata turun perlahan, namun senyuman berusaha aku pertahankan di bibir.

"Aki, akhirnya aku bisa mengunjungimu, hiks... Maaf aku terlalu keras kepala, terlalu depresi, terlalu menutup pikiran dan diri, hiks..."

Tangan hangat Yukio terasa mengelus pundakku, aku menoleh, ia tersenyum samar menguatkan diriku, sedangkan aku hanya bisa mengangguk menerima dukungannya dan kembali menatap pada makam Aki.

"Bukan maksudku melupakanmu, kau akan selalu ada dalam diriku, Aki. Dari video yang kau berikan, itu membuatku sadar bahwa aku begitu menyayangimu juga. Oleh karena itu, aku akan berusaha bahagia di sini untukmu, dan untuk orang-orang di sekitarku, hiks..."

Aku menghapus air mataku sendiri menggunakan jemari, yah, ternyata inilah yang Aki rasakan. Tersenyum untuk berusaha menguatkan diri, ah, Aki begitu hebat.

"Terima kasih sudah mau ada untukku, Aki. Terima kasih, terima kasih untuk terima kasih itu sendiri..."

Lihat, Aki. Aku akan lebih kuat lagi sekarang, percayalah, suatu hari nanti aku akan menjadi gadis yang lebih kuat. Dan setelah kau melihatnya, maka ketahuilah, aku melakukan itu karena aku begitu mengagumi dan menyayangimu.

Aku akan tetap hidup, untuk diriku sendiri, maupun untuk orang-orang di sekitarku, bahkan untuk dirimu, Aki.

"Terima kasih sudah mau repot-repot menuntunku dalam menapaki garis hidup. Terima kasih telah banyak mengomel untuk kebaikanku. Terima kasih sudah sudah pernah menjadi salah satu alasanku untuk tetap tersenyum dan kuat. Aku mencintaimu."

END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top