8. Sang Mertua
Part 8 Sang Mertua
Wajah Leela tampak berseri-seri ketika melangkah turun dari dalam mobilnya. Mendekati Isaac yang berdiri di teras gedung dengan penuh kepercayaan diri akan penampilannya yang sempurna pada malam ini.
Sejak sekretaris Isaac menghubunginya tadi siang, memberitahunya untuk menemani pria itu pada pertemuan makan malam kali ini. Leela segera menyuruh asistennya untuk mempersiapkan semuanya. Penata rias dan rambut. Sekaligus gaun, sepatu, dan tasnya. Dan malam ini ia sengaja mengenakan perhiasan yang dihadiahkan pria itu untuknya.
“Apakah aku terlihat cantik?”
Isaac melirik sekilas dan memberikan satu anggukan singkat. Untuk kerja keras wanita itu. Mengulurkan lengannya dan Leela menyambut dengan senyum semringah. Keduanya berjalan masuk ke dalam gedung, menuju lift di sisi kanan meja resepsionis.
“Siapa yang akan kita temui malam ini?” Leela mIsaackah ke dalam lift yang kosong lebih dulu. “Jika kau memberitahuku lebih awal, aku akan mencari informasi lebih dulu agar semuanya berjalan dengan lancar.”
“Aku tak tahu.” Isaac menekan angka tertinggi. Sita mengatakan klien VVIP yang baru saja memenangkan proyek besar dan membutuhkan bahan utama dari perusahaannya. Nilai kerjasama tersebut cukup besar tapi hanya Samuel Lim nama penanggung jawab proyek tersebut yang bisa diingatnya.
Sampai di lantai 19, keduanya langsung memasuki lobi restoran. Pelayan mengarahkannya ke ruang pribadi begitu Leela menyebutkan nama Isaac. Pintu paling ujung dan paling pribadi yang selalu menjadi langganan pria itu untuk menjamu klien khusus.
Pelayan membukakan pintu. Leela menyambut dengan senyum sopan dan terbaiknya. “Maafkan kami, apakah kami membuat Anda menunggu lama?”
Langkah Isaac sempat membeku mengenali pria itu yang berdiri dari duduknya. Keduanya sama terkejutnya.
“Tuan Isaac El Barra?” Livia menyambut senyum tersebut.
Isaac mengangguk singkat.
“Lama tak bertemu?”
Livia menatap sang suami dan Isaac bergantian. Tercekat sekaligus takjub. “Kalian sudah saling mengenal?”
Aariz mengangguk tetapi Isaac tak membalas, duduk di kursi yang kosong. Leela menyusul di sampingnya.
Pelayan datang membawakan mereka minuman, menyusul menu makanan dan makan dalam keheningan. Lagipula acara makan malam itu hanya simbol untuk saling bertatap muka, berkas kerjasama sudah dibahas dan saling ditandatangani. Pun begitu, pembicaraan antara kedua belah pihak digantikan Leela dan Livia.
“Jadi kapan kalian akan menikah?” Pertanyaan yang diceletukkan Livia membuat Leela berhenti mengunyah kue coklat di mulutnya.
Isaac melirik cincin yang melingkar di jari manisnya di atas meja. Para wanita selalu punya bahan untuk bicara.
“Saya berharap yang terbaik.” Hanya itu yang bisa dikatakan Leela dengan senyum yang tak sampai di kedua mata. Wanita itu kemudian melirik bergantian pada Isaac dan Aariz yang sejak tadi sibuk dengan diri sendiri. Sengaja tak saling bersinggungan. “Saya permisi ke toilet sebentar.”
Livia ikut bangkit dan seketika ruangan berubah sunyi.
Sunyi yang cukup lama.
“Dia tidak terlihat seperti wanita yang akan kau nikahi?” Aariz yang memecah keheningan tersebut lebih dulu.
“Wanita seperti apa yang akan kunikahi?”
Aariz mengedikkan bahu, meneguk habis gelas anggurnya yang kedua. “Cincin apa yang kenakan?”
Isaac mengusapkan ibu jari di bagian dalam cincin tersebut. Sebelum kemudian beralih pada dua cincin di jari manis Aariz. “Seingatku bukan dia wanita yang kau nikahi.”
Perasaan terluka itu kembali membelah dadanya. Aariz menuangkan anggur ke gelasnya dan menenguknya lagi. “Enam tahun berlalu dan banyak hal terjadi. Juga berubah.”
“Kupikir cinta kalian terlalu kuat dan tak bisa berubah.”
“Hanya ibuku yang kumiliki. Lima tahun pernikahan tanpa seorang anak, aku tak ingin membuatnya semakin tertekan dan keinginan ibuku. Aku tak ingin membuat keduanya saling tersiksa.” Aariz takt ahu kenapa harus bercerita. Ia hanya membiarkan kata-kata itu mengalir begitu saja. Sungguh, hubungan di antara mereka pernah memburuk. Atau mungkin masih. Tetapi ia tak bisa menampik, hingga saat ini. Isaac adalah satu-satunya orang yang mengenal dirinya dengan sangat baik selain Naya.
“Apakah istrimu yang sekarang sudah hamil?”
Aariz menggeleng dengan lemah. Tubuhnya bersandar di punggung kursi dan kedua lengannya jatuh dengan lemah.
“Kau yakin bukan kau yang bermasalah?”
Wajah Aariz yang memerah oleh alkohol tampak membeku. Pertanyaan telak tersebut mengena tepat di dadanya. Keraguan mulai menyelimuti kedua matanya.
Isaac menyeringai. Tidak ada yang bermasalah dengan Aariz dan Naya. Keberuntungan mereka hanya datang sedikit terlambat. Dan rupanya perasaan cinta yang mereka agung-agungkan tak cukup mempertahankan sebuah pernikahan.
“Apa kau masih mencintainya?” Tatapan Aariz mengarah lurus pada sang mantan sahabat.
Isaac terkekeh. Menggoyang sisa anggur di gelasnya dan meneguknya habis. “Kau?”
***
Isaac melemparkan jasnya ke sofa begitu masuk ke dalam kamar. Mengedarkan pandangan sambil menarik lepas dasi, dua kancing teratas dan manset di pergIsaacan. Tak menemukan Naya di bagian mana pun kamarnya, juga di kamar mandi yang tertutup tapi lampunya mati. Pandangannya beralih pada pintu penghubung saat melepaskan sepatunya. Membuka pintu itu sambil melepaskan sabuknya.
Benar saja. Istrinya berbaring di sofa di samping boks bayi, dan sepertinya ketiduran sambil menatap bayi yang mirip dengan Aariz itu. Alkohol di tubuhnya mulai terasa membakar, saat itu juga menginginkan Nayanya. Menginginkan istrinya dan akan mendapatkannya.
“Bangun.” Isaac menggoyang pundak Naya.
Mata Naya terbuka dengan sempurna. Terkejut dan hampir berteriak ketika menyadari Isaacnya yang membangunkannya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, pria itu menarik pergIsaacan tangannya dan membawanya keluar dari kamar bayi. Ia masih diliputi rasa kantuk ketika pria itu berhasil membaringkannya di tempat tidur. Menindih tubuhnya sambil melepaskan pakaian yang masih menempel di tubuhnya. Rasanya ia tak perlu terkejut lagi harus melayani Isaac yang tak pernah melewatkan satu malam pun untuk menginginkan tubuhnya.
***
Kesadaran Naya mulai terkumpul ketika suara ribut-ribut dari balik pintu semakin jelas. Membuka kedua matanya dengan perlahan dan memastikan Isaac tidak terbangun. Tetapi jam di nakas sudah menunjukkan jam setengah tujuh. Seharusnya pria itu sudah bangun setengah jam yang lalu oleh suara alaram. Atau … ah, semalam ia mencium bau alkohol di mulut Isaac.
‘Kenapa aku tidak boleh masuk ke dalam kamar anakku sendiri, hah?’
‘Maafkan kami, Nyonya. Sejak …’
‘Sejak apa?’
‘Sebaiknya kita …’
Naya panik, tangannya sontak meraih kemeja Isaac yang menggantung di sudut meja nakas. Gegas mengenakannya sambil menggoyang punggung Isaac. “I-Isaac.”
Mata Isaac terbuka, tetapi tubuh pria itu tak bergerak.
“A-apa itu …”
Pintu kamar terbuka dan seorang wanita paruh baya mIsaackah masuk. Tepat setelah Naya menutupi tubuhnya dengan kemeja tersebut.
“… mamamu?” lanjut Naya lirih. Kepalanya tertunduk dalam dan wajahnya merah pada. Lengkap dengan rasa malu yang luar biasa. Sungguh, ia tak pernah membayangkan akan bertemu mama Isaac dengan cara paling memalukan seperti saat ini.
***
“Tiga atau empat bulan yang lalu.” Jawaban Isaac keluar dengan santai. Masih hanya mengenakan celana karet dan bertelanjang dada. Sementara Naya yang hanya mengenakan kemeja Isaac, duduk di samping pria itu. Wajah wanita itu masih tertunduk dalam menahan malu. Lehernya mulai terasa pegal mempertahankan posisi yang sama sejak setengah jam yang lalu.
Ganari El Barra, mengenakan pakaian dua potong dengan warna senada. Tas dan sepatu tumit tinggi yang sama. Kedua tangan bersilang di depan dada. Keseriusan menyelimuti setiap inci wajahnya yang terlihat sepuluh tahun lebih muda dari usianya. Duduk di sofa tunggal dengan mata hitam yang tampak jernih, menatap pasangan tersebut. Semakin dipenuhi ketidak percayaan. “Tiga empat bulan?” Suaranya nyaris tercekik.
“Anak itu bukan anakku,” sahut Isaac. Mengenyahkan harapan sang mama sebelum harapan itu bertambah lebih banyak. Ia tak suka menumpuk kebohongan. Lagipula mamanya lebih suka dengan kejujuran yang menyakitkan dibandingkan kebohongan yang membahagiakan, kan?
Naya menggigit bibir bagian dalamnya. Matanya terpejam erat dan beruntung helaian rambutnya yang berantakan sedikit menyamarkan kepucatan di wajahnya. Meski semua itu tak akan bisa mengurangi sedikit pun rasa malunya pada mama Isaac.
Sebagai janda dengan anak satu saja, dirinya sudah tidak layak menjadi seorang istri dari pria seperti Isaac. Apalagi pertemuan pertamanya dengan sang mertua yang lebih dari memalukan seperti ini.
Rasa panas mulai menjalar di kedua matanya, pun begitu Naya harus menelan pil pahit itu seorang diri. Aaron bukan anak Isaac adalah sebuah fakta yang nyata. Tak terhindarkan dan itulah yang sebenarnya. Tak ada kebohongan di balik itu semua.
Ganari menoleh ke arah pintu penghubung. Ada kecewa yang melintas di kedua matanya sata kepalanya kembali menatap Isaac dan Naya. Menghela napas berat, tetapi segera menguasai kekecewaannya. Putranya memang paling handal membuat kecewa dirinya.
“M-maafkan saya.” Naya merasakan pegangannya di ujung baju Isaac menguat. Menutupi lututnya yang merah karena terlalu kuat tangannya mencengkeram. “Saya akan ..”
“Untuk apa kau minta maaf?” Ganari memenggal dingin. “Suamimulah yang harus minta maaf telah mengucapkan kata-kata kasar semacam itu.”
Naya membeku. Seluruh tubuhnya membeku. Arti kata-kata Ganari sampai terlalu lama di kepalanya.
“Apa kau harus sekasar itu pada istrimu sendiri?” cemooh Ganari. “Kau menikahi ibunya tapi tidak mengakui anaknya?”
“Aku hanya memastikan mama tahu apa yang ada dalam pernikahan kami tanpa kebohongan. Dan … lupakan apa pun itu keinginan mama yang mungkin tidak bisa kupenuhi.”
“Apa?”
“Lebih baik mama sibuk mengurus bisnis mama, seperti biasanya. Lupakan keinginan mama untuk …”
“Memiliki cucu? Menjadi seorang nenek? Begitu?” Ganari menyahut lebih kesal. Melayangkan pukulan tetapi tidak sampai di lengan Isaac. “Kenapa mama harus melupakannya? Sekarang kau sudah punya istri.”
“Istri.” Ada penekanan yang kuat dalam satu kata itu. “Bukan pabrik cucu untuk mama.”
Naya lebih tercekat dengan kata-kata Isaac yang tak hanya dingin, tapi juga kasar. Sesuatu di dadanya mencelos.
Mulut Ganari membuka nutup tak percaya. “Apakah seburuk itu kau memandang mama, hah? Mama tak pernah mengatakan hal semacam itu?”
Isaac mendesah kasar. Menegakkan punggungnya dan menatap lurus Ganari. Kemarahan sang mama mulai melunak dan suasana berubah serius. “Bagaimana jika aku tidak bisa memiliki anak? Atau mungkin sesuatu terjadi dengan rahimnya setelah melahirkan anaknya?”
Ganari tercekat, membekap mulutnya. Tampak kebingungan menjawab sehingga hanya menatap Isaac dan Naya bergantian. “I-Isaac …”
Isaac berdiri. “Lagipula ini pernikahan kami. Memiliki anak atau tidak, itu akan menjadi kesepakatam kami bersama.”
Ganari hanya menghela napas panjang. Menatap punggung sang putra yang menghilang di balik pintu kamar mandi. Begitu pun dengan Naya, yang bibirnya merapat demi menahan getar. Menahan air mata yang hendak tumpah dari sana. Mendengarkan gerutuan Ganari akan sikap kasar Isaac yang tak juga berubah, yang entah kenapa terdengar penuh kehangatan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top