7. Orang Ketiga

Part 26-30 di karyakarsa barusan sudah diup, ya. Beberapa part menuju ending.

Part 7 Orang Ketiga

"Hari ini aku ingin ke rumah sakit." Naya memberikan tas di tangannya pada Isaac.

Isaac tak membalas.

"Kupikir kau perlu tahu. Jika mungkin kau ..." Naya menjilat bibirnya yang mendadak kering karena gugup oleh keterdiaman Isaac. "Sepertinya tak perlu."

"Ada masalah dengan tubuhmu? Atau anakmu?"

"Tidak. Hanya kontrol jahitan."

Isaac mengangguk singkat. "Aku tak akan ikut campur dengan urusanmu dan anakmu. Selama tak mengganggu urusan kita. Tapi mungkin aku juga perlu tahu apa saja yang kau lakukan di luar sana, kan? Jika sesuatu terjadi, seperti berpapasan dengan mantan mertua atau suamimu. Aku tahu situasi kalian untuk melakukan apa yang perlu kulakukan."

Naya mengangguk.

"Dan kau masih menyimpan nomorku, kan?"

"Ya." Kepala Naya mengangguk lagi. "Tentu saja."

"Bagus." Isaac maju, tahu Naya berusaha keras untuk tidak gugup saat tangannya menyentuh ujung dagu wanita itu dan mendaratkan ciuman di bibir. Ciuman yang cukup lama. Semakin sering tubuh mereka saling berinteraksi, wanita itu akan semakin terbiasa, kan?

Jantung Naya masih berdegup kencang meski mobil Isaac menghilang dari pandangannya. Hubungannya dan Isaac tak pernah menjadi secanggung ini. Ya, tentu saja. Ia tak pernah menganggap Isaac lebih dari seorang teman. Bahkan ketika ia mendatangi pria itu dan mereka menikah tiga bulan yang lalu, pria itu masih seorang teman di mata dan hatinya. Hingga kemudian hubungan itu harus berubah secara tiba-tiba.

Tepat jam sembilan, Naya pergi ke rumah sakit. Setengah jam perjalanan dan mengantre satu jam lebih, akhirnya tiba gilirannya untuk masuk ke ruangan dokter. Mengatakan keluhannya yang terkadang masih merasa nyeri dan sakit di bekas jahitan tersebut. Merasa lega tidak ada yang serius dengan keluhan tersebut. Itu memang masih normal terjadi, terutama di tiga bulan setelah persalinan.

Dan saat dokter menanyakan tentang kontrasepsi, kali ini Naya terdiam sebelum menjawab. Sebelumnya pertanyaan itu tak pernah membuatnya ragu untuk menjawab tidak, tetapi ... ketika mengingat Isaac menggunakan pengaman saat menidurinya. Ia menjawab mengangguk. Sepertinya pria itu tak membutuhkan anak lainnya sebagai gangguan.

Rasa lapar menyambut Naya saat keluar dari rumah sakit, memutuskan singgah di café terdekat untuk makan siang sebelum pulang.

"Naya?"

Naya menoleh dan terkejut menemukan Leelalah yang memanggil namanya. Sekaligus terkejut wanita itu tahu namanya. "Ehm, k-kau ..."

Leela duduk di seberang meja. Sekilas melirik piring Naya. "Maaf mengganggu waktumu."

"Tidak apa-apa. Aku juga baru selesai."

Bibir Leela melengkungkan senyum meski matanya diselimuti kesedihan.

"Ada masalah?"

Leela menghela napas panjang. "Aku tak tahu apakah ini sebuah masalah. Hubungan kami, aku dan Langit sudah berjalan sejauh ini, tetapi aku tak pernah menyangka bahwa dia akan menikahimu."

Sontak Naya tersedak ludahnya sendiri. Suaranya keluar bersama cekikan di tenggorokannya, tetapi tak ada satu kata yang lolos dari ujung bibirnya.

"Isaac sudah menceritakan semuanya dan aku tak bisa menyalahkannya. Kau cinta pertamanya, kan?"

Naya kembali merapatkan bibir, kesulitan memilih kata untuk menjelaskan tanpa membuat Leela lebih sedih lagi.

"Tapi itu sudah keputusannya untuk memilihmu dibandingkan kami."

"Maafkan aku ..."

"Leela. Panggil Leela saja."

"Leela, aku tak yakin apa yang harus kujelaskan padamu untuk membuatmu merasa lebih baik."

"Tidak ada." Leela menghela napas, lebih berat dari sebelumnya. "Aku harus mulai melupakannya. Meski sulit."

Naya terdiam, rasa bersalah mulai merambati dadanya. Kenapa Isaac menikahinya jika pria itu melakukannya dengan mencampakkan wanita lain?

"Jangan pernah merasa menjadi orang ketiga dalam hubungan kami, Naya. Akulah yang menjadi orang ketiga di tengah ..."

"Tidak." Dan sekarang Naya merasa telah menjadi orang ketiga dan penyebab hancurnya sebuah hubungan. "Aku ... aku sungguh-sungguh minta maaf." Tak ada lagi kata-kata yang sanggup keluar dari bibirnya untuk membuat perasaanya lebih baik terhadap Leela.

"Aku yang minta maaf. Apa yang terjadi di rumah Isaac, seharusnya tak kulakukan. Maukah kau memaafkanku?"

Naya mengangguk. "Tentu saja," jawabnya menyambut jabat tangan Leela.

"Teman."

"Ya, teman."

Keduanya saling melemparkan senyum, mulai mengobrol ringan dan keluar dari café. Berpisah di halaman café karena tempat parkir yang saling berjauhan.

Bruukk ...

Naya menabrak seseorang yang tiba-tiba muncul dari arah samping, membuat tas di pundaknya jatuh dan ia segera memungutnya. Sebelum seseorang itu mengambilnya lebih dulu.

"Naya?" Aariz sama terkejutnya dengan Naya. Kedua tangan mereka melayang di antara keduanya tanpa saling bersentuhan. Membatu dalam keterkejutan. "K-kau ..." pria itu membasahi tenggorokannya.

Naya mengerjap tersadar, mengambil tas tersebut, mengucapkan maaf saat menyadari keberadaan wanita lain di samping Aariz. Menggandeng lengan pria itu dengan mesra.

"Tidak, aku tak menabrakmu. Maaf."

"Tidak apa-apa." Naya mengangguk singkat. Hendak berjalan pergi ketika wanita itu bertanya.

"Siapa?"

Aariz dan Naya bertukar pandang dan Aariz menjawab lebih dulu. "Mantan istriku. Naya."

Wanita itu mengulurkan tangan, dengan senyum manisnya memperkenalkan diri. "Livia. Istri Aariz."

"Naya." Naya membalas uluran tangan. "Maaf, tapi aku harus segera pergi."

Aariz tak mengangguk, tatapannya mengikuti langkah Naya mendekati mobil yang terparkir tak jauh dari tempat mereka. Sesuatu di dadanya terasa berderak.

"Kita masuk sekarang?" Livia memecah lamunan Aariz, menarik sang suami masuk ke dalam café.

Di seberang halaman, Leela mengamati interaksi tersebut dalam diam. Matanya menyipit curiga dengan penuh tanya. Haruskah ia mencari tahu?

Ya, tentu saja. Semakin dirinya tahu banyak, semakin tahu apa yang harus dilakukannya untuk menghadapi Naya, kan?

***

"Apa kau ingin bercerai?"

Pertanyaan tersebut seketika menghentikan Isaac yang tengah mengancing baju tidurnya. Wajahnya perlahan terangkat, tak ada ekspresi yang muncul saat balik bertanya. "Kenapa? Kau ingin bercerai?"

Naya menggeleng pelan tetapi keraguan menyelimuti kedua matanya. "Leela, dia kekasihmu, kan?"

"Aku juga tahu Aariz mantan suamimu. Ada masalah dengan itu?"

Naya menutup mulut dengan tatapan Isaac yang mulai menajam. Seketika teringat, pria itu selalu lebih sensitif saat membicarakan tentang Aariz.

"Kau ingin aku menyembunyikanmu dan anakmu, aku sudah menepati janjiku. Kita baru saja menikah tiga bulan dan kau sudah mempertanyakan perceraian?" Nada kesal Isaac kali ini lebih jelas.

"Aku tak bermaksud apa pun, Isaac." Naya menggeleng. "Aku hanya ingin tahu sampai kapan pernikahan ini bertahan? Jadi aku bisa menjelaskan kalau ..."

Isaac mendengus mengejek. "Kalau kau begitu tak sabaran untuk bercerai?"

Naya menggigit bibir bagian dalamnya saat menggeleng. Tak berani mengucapkan sepatah kata pun untuk membalas karena takut akan membuat pria itu semakin marah. Kedua tangan pria itu memegang kerah baju tidur biru tua itu dan menarik ke samping hingga kancing-kancingnya meluncur ke segala arah. Membebaskan kain satin itu dari tubuh besar Isaac sebelum kemudian melempar ke lantai sementara langkahnya menutup jarak di antara mereka.

Naya tak sempat menghindar, dan kalaupun sempat menghindar, dirinya tahu tak bisa menolak ketika Isaac menangkap bibirnya. Mendorong tubuhnya jatuh ke tempat tidur dan melucuti pakaiannya. Tak lebih dari satu menit, tubuh keduanya sudah telanjang dan saling menempel. Kulit dengan kulit, napas berat Isaac memenuhi seluruh ruangan. Dan ia bisa merasakan kemarahan serta hasrat pria itu yang menjadi satu.

Ketika akhirnya Isaac mendapatkan puncak kenikmatannya, pria itu memisahkan tubuh mereka dan berguling ke samping. Menatap langit-langit kamar dengan napas keduanya yang saling terengah.

"Maaf jika kata-kataku membuatmu tersinggung." Naya yang pertama kali bicara saat napas keduanya sudah kembali normal. Tapi Isaac tak membalas dan bergerak turun sambil mengenakan celana karet. Menyambar baju tanpa kancing di lantai saat berjalan dan menutup pintu di belakangnya. Meninggalkannya dengan perasaan yang semakin memburuk.

Ia mengenal Isaac ketika berkencan dengan Aariz. Ketiganya berteman dan Naya belum pernah merasakan jarak yang begitu jauh akan hubungan mereka seperti saat ini.

***

Isaac mengempaskan tubuhnya di atas kursi di balik meja kerjanya. Kepalanya terdongak dengan mata terpejam. Dadanya bernapas dengan ritme yang tak beraturan bersamaan dengan kecemburuan yang membeludak di dadanya.

Perceraian? geramnya dalam kemarahan yang semakin membara. Menggelegak tak karuan bersama rasa takut akan kehilangan wanita itu lagi. Apa Naya berusaha mempermainkan perasaannya? Mematahkannya, mengulurkan tangan untuk menghiburnya dan sekarang akan kembali dipatahkan, hah? Akan kembali dihancurkan?

Apakah wanita itu pikir semudah itu mempermainkan dirinya?

Apakah wanita itu tak ingat bagaimana dulu telah menghancurkan perasaannya?

Ya, bagaimana mungkin Naya mengingatnya.

Naya menolak cintanya karena Aariz.

Naya putus asa dan kembali padanya karena Aariz

Dan sekarang Naya menginginkan perceraian juga karena bertemu kembali dengan Aariz.

Isaac beranjak dari kursinya. Mengambil botol wiski dari dalam rak pajangan di samping lemari penuh buku. Membiarkan rasa panas membakar tenggorokannya saat ingatan Naya dan Aariz yang bertemu di depan café itu membelah kepalanya.

Bukankah mereka sudah bercerai? Tapi ... sudah tidak saling mencintai bukan alasan Naya dan Aariz bercerai. Cara Aariz memandang Naya. Masih sama seperti dulu. Seperti ketika pria itu masih menjadi sahabatnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top