6. Sebagai Suami
Part 6 Sebagai Suami
Naya tersentak, punggungnya membentur pintu sebelum mencerna apa yang terjadi. Tubuh Isaac tiba-tiba sudah menghimpitnya dan bibir pria itu menangkap bibirnya. Membawanya dalam ciuman yang dalam. Di tengah ketidak siapannya.
“I-Isaac ….” Naya akhirnya mendapatkan kesempatan memanggil nama pria itu di tengah ciuman dengan memiringkan wajah. Melepaskan ciuman pria itu bersama suara tangis bayi yang terdengar dari monitor bayi. “T-tunggu se …”
“Aku tak ingin keberadaannya mengganggu hubungan kita, Naya. Apa aku sudah mengatakannya padamu? Aku mempekerjakan mereka untuk mengurusnya.”
Raut wajah Naya membeku dengan suara Isaac yang sedingin tatapannya. Kepalanya menggeleng pelan, bersama tangisan Aaron yang mulai berhenti.
“Kupikir tiga bulan waktu yang cukup bagimu untuk terbiasa dengan kehidupan pernikahan kita, kan?”
Naya menelan ludahnya yang pekat, ia butuh waktu untuk mempersiapkan hal ini dan di saat yang bersamaan tahu kalau Isaac tak butuh mengulur waktu. Napas panas pria itu berhasil membuat kedua kakinya gemetar. Pria itu benar, seharusnya tiga bulan waktu yang cukup baginya untuk mempersiapkan diri. Kepalanya mengangguk pelan, yang langsung disambut ciuman oleh Isaac. Ciuman yang lebih dalam dan lebih panas.
Kedua tangan Isaac mulai menurunkan resleting di punggung Naya, melepaskan pengait bra dan mengalungkan lengan wanita itu di lehernya. Tanpa melepaskan pagutan, ia mengangkat tubuh wanita itu menuju tempat tidur dan membaringkannya di sana.
Hasrat mulai mengaliri aliran darahnya, memenuhi dirinya dengan gairah yang semakin tak tertahankan. Saat dirinya memberi kesempatan Naya untuk bernapas, ia mulai melucuti satu-satunya pakaian yang masih menempel di tubuhnya.
Hanya butuh satu pancingan, dan semua mengalir begitu saja. Tubuhnya tahu apa yang diinginkannya dan akan mendapatkannya. Tangan dan bibirnya melakukan tugasnya untuk memenuhi keinginan yang sudah terasa mendidih di ubun-ubunnya. Hasratnya terpacu dengan liar. Seliar dan sebanyak apa yang diinginkannya dari wanita ini.
Seluruh saraf di tubuhnya menggila, sama seperti dirinya menggilai wanita ini untuk waktu yang lama. Cukup lama hingga ia tak ingat lagi berapa banyak kecewa dan patah hati yang membangun tembok perlindungan. Yang sekarang dihancurkan semudah ini.
Gerakannya sempat terhenti ketika merasakan ketidak nyamanan saat dirinya berusaha menyatukan tubuh mereka. Tetapi dengan cepat Naya pun berusaha menguasai ketidak nyamannya dan beradaptasi. Dan ia membantunya dengan kembali memagut bibir ranum tersebut.
Meski tubuh Isaac bergerak dengan liar, tetap saja pria itu memastikan tidak menyakiti Naya dengan cara apa pun. Menggoda dan merayu wanita itu untuk ikut mendaki ke puncak dengan perlahan. Sebelum kemudian mendapatkan penuntasan yang sangat hebat.
***
Isaac tersentak bangun ketika merasakan gerakan tiba-tiba di sisi kirinya. Matanya terbuka dan melihat Naya yang berusaha bangun dengan menahan selimut di dada.
“M-maaf, aku hanya ingin ke kamar mandi,” ucapnya dengan hati-hati. Dan kembali bernapas ketika Isaac membalik tubuh telanjang di balik selimut tanpa mengatakan apa pun. Sepertinya pria itu sudah sangat kelelahan. Dengan langkah yang lebih hati-hati, ia berjalan ke kamar mandi hanya mengenakan kaos polos Isaac yang dilempar di ujung ranjang.
Jantungnya berdegup kencang setiap kali benaknya memutar apa yang baru saja mereka lakukan. Kegugupan tak berhenti membendungi dadanya. Hingga wanita itu selesai buang ari kecil dan membersihkan diri. Menatap pantulan tubuhnya di cermin.
Napas panjang meluncur dari mulut dan kedua lubang hidungnya. Masih ada ketidak nyamanan di pangkal pahanya. Yang kembali mengingatkan dirinya kalau Isaac sudah menyentuhnya sangat dalam. Bahwa dirinya sudah begitu terbuka untuk pria itu. Seolah tak ada rahasia apa pun yang perlu disembunyikan dan membuatnya begitu malu.
Sekarang Isaac adalah suaminya. Pria itu sudah memiliki dirinya. Meskipun ia tidak mencintai pria itu, tetap saja Isaac berhak mendapatkan apa yang diinginkan darinya. Dan Naya akan mulai terbiasa dengan pernikahan mereka.
***
Suara tangis Aaron dari monitor bayi di nakas membangunkan Naya dengan cepat. Matanya terbuka sempurna dan terkejut dengan Isaac yang berdiri menjulang di samping ranjang. Mengambil monitor bayi itu kemudian memasukkannya ke dalam teratas.
Naya menyingkirkan selimut sambil menurunkan kedua kaki. “A-apa kau terbangun karena …”
“Yang keempat kalinya untuk malam pertama aku tidur dengan mamanya.” Isaac tak bisa menahan nada jengkel dalam suaranya. Sungguh, setelah perjalanan panjang yang membuat semua tulang di tubuhnya seperti akan remuk, ia hanya butuh istirahat tanpa gangguan-gangguan suara sekecil apa pun.
“M-ma …”
“Percayalah, Naya. Aku lebih membutuhkan benda itu disingkirkan dari hadapanku daripada kata maafmu.”
Naya mengangguk mengerti. Melirik jam di layar ponselnya yang menyala. Tepat jam tujuh pagi.
“Hanya dari hadapanku,” ulang Isaac lebih jelas lagi. “Aku tak peduli apa yang kau lakukan selama aku tidak ada di rumah ini. Kupikir cukup adil membagi dirimu dengan kami berdua. Aku biasanya berangkat jam tujuh dan pulang jam delapan. Dia mendapatkan waktu dua jam lebih banyak dari yang kuambil darimu. Dan bahkan aku lebih sibuk di akhir minggu karena menggunakannya untuk pergi keluar kota.”
“Aku mengerti,” angguk Naya dengan suara rendah. “Aku akan melakukan yang lebih baik.”
“Aku cukup memahamimu. Kita tidak punya waktu untuk membahas detail pernikahan ini,” Isaac mIsaackah mundur. “Tapi aku tak akan menerangkannya untuk kedua kali.”
Sekali lagi Naya mengangguk. Menatap punggung Isaac yang menjauh dan masuk ke dalam kamar mandi. Ia menghela napas panjang dan rendah. Berharap bisa beradaptasi dengan mudah untuk Isaac.
***
Suara langkah kaki yang bergema dari arah ruang tamu sempat menghentikan langkah Naya yang baru saja menuruni anak tangga. Langsung menemukan Leela yang baru saja keluar dari ruang tamu, menyeberangi ruangan tengah dan …
“K-kau?” Mata Leela melebar, tetapi kemudian menyipit ketika melihat penampilan wanita di hadapannya. Mengenali wajah familiar tersebut dengan keheranan. “Darimana kau mendapatkan pakaian itu?”
Naya menelan ludah. Wajahnya tertunduk mengamati dress merah muda tersebut. Menjadi istri Aariz dan menantu yang tak diinginkan Aatma. Ia cukup mengenali pakaian-pakaian bermerk karena sering menemani sang mertua berbelanja.
“Tiruannya sangat bagus,” decak Leela saat bergerak lebih dekat. “Kau menghabiskan upah setahunmu untuk membeli pakaian itu?”
“Ehm …” Naya membasahi tenggorokannya.
Leela menyilangkan kedua lengan di depan dada. “Kau pikir semua usaha kerasmu ini bisa membuat tuanmu tergoda?”
Mulut Naya membuka, tetapi kembali menutup. Tak ingin jawabannya akan membuat Isaac kesal. Seharusnya ia menanyakan tentang hubungan mereka di depan kekasih Isaac sebelum turun. Tetapi pria itu sudah tidak ada di kamar saat dirinya selesai mandi.
“Apa yang kau lakukan sepagi ini?” Isaac baru saja keluar dari lift. Berhenti di antara kedua wanita itu.
Senyum ceria seketika menggantikan raut penuh cemooh di wajah Leela, mendekati Isaac dan bergelayut manja di lengan pria itu. “Selamat pagi, aku merindukanmu sepanjang malam tapi aku tak berani menelponmu karena tahu kau tak bisa diganggu saat istirahat. Jadi aku bangun pagi-pagi sekali untuk makan bersama denganmu.”
Isaac melepaskan lengannya. Saat Leela sibuk mencerocos, Naya segera menghilang ke ruang makan. Meja makan sudah siap saat ia bergabung.
“Tambah satu piring lagi,” perintah Isaac sebelum duduk pada pelayan yang baru saja menari kursi untuknya. Menghentikan langkah Naya yang hendak masuk ke dalam dapur.
Leela mengernyit, melihat dua piring yang sudah siap dan pelayan berpakaian merah muda tersebut. “Ah, jadi ternyata kau adalah saudaranya Isaac?” simpulnya penuh penyesalan.
Naya belum sempat mengangguk.
“Duduklah,” perintah Isaac pada Leela. Kemudian pada Naya. “Kau juga.”
***
“Jadi siapa dia?” Leela tak bisa menghentikan rasa penasarannya meski sudah sangat bersabar menunggu. Isaac tak suka pembicaraan di meja makan. Pria itu juga tak suka diganggu saat istirahat dan kerja. Mengatur janji makan siang maupun malam dengan pria itu selalu butuh rencana yang disesuaikan dengan jadwal pekerjaan. Sehingga kesempatan yang bagus hanya bisa saat dirinya berusaha lebih keras untuk mendatangi pria itu di rumahnya dan menemani sepanjang perjalanan menuju kantor.
“Istriku.”
Leela terlonjak kaget, tubuhnya berputar mengikuti wajahnya yang sudah menghadap pria itu. Dengan bola mata yang nyaris keluar dari rangkanya. “I-istri?”
Isaac mengangguk dengan tanpa penyesalan sedikit pun. Merogoh ponselnya dan mulai membuka email terbaru. Suara tawa Leela membuat telinganya gatal, tetapi kemudian tawa itu berhenti.
“Kau tidak bercanda?”
Isaac tak perlu menjawab.
“Lalu apa hubungan kita saat ini?”
“Memangnya apa hubungan kita?”
Mulut Leela menganga. Dan jika bisa, bola mata itu akan menggelinding keluar saat Leela menambah lebar belalak matanya. “I-Isaac, kau bercanda, kan?”
Isaac sibuk menggeser layar di ponselnya. Keningnya berkerut ketika tidak menyukai poin yang dibacanya. “Suruh Sita ke ruanganku,” perintahnya pada si sopir.
“Kita berkencan sudah lebih dari tiga tahun, Isaac. Bagaimana mungkin kau menikahinya?”
“Benarkah?” Isaac menggumam. Terdiam sejenak saat mencoba mengingat. Ia bahkan tak benar-benar ingat tentang hubungan mereka. Ia menerima pernyataan cinta Leela karena sudah merasa terganggu dengan cara wanita itu mengejarnya. Lagipula wanita itu tidak cukup memalukan untuk digandeng ke berbagai makan malam, jamuan maupun pesta. Sekaligus menjauhkannya dari gangguan-gangguan para wanita berusaha menarik perhatiannya. “Sepertinya sekarang waktunya hubungan itu berakhir. Meski aku tak yakin apakah bisa dibilang berakhir jika tidak pernah dimulai.”
Wajah Leela sepucat kapas, air mata menggenang di pelupuk. Kesulitan mencerna kekecewaannya. “Aku tak menyangka, setelah bertahun-tahun menjalin hubungan dan kau malah menikahi wanita lain?”
Bibir Isaac menipis. Mengeluarkan dompet dari dalam sakunya dan melemparkan salah satu kartunya pada Leela. “Kau ingin turun di sini atau …”
Leela mengusap air mata dengan punggung tangannya. Menelan semua kecewa dan ketakutan terbesarnya akan kehilang Isaac. Menarik napas dua kali untuk menenangkan perasaan dan menjernihkan pikirannya. Tidak. Menyentuh hati Isaac tidak bisa dengan cara seperti ini. Tiga tahu hubungan mereka, membuatnya mengenal Isaac lebih dari siapa pun. Jauh lebih baik dari siapa pun, termasuk wanita itu.
Isaac kembali fokus pada ponselnya. Leela masih tahu apa yang harus dilakukan jika masih ingin berseliweran di sekitarnya.
“Aku tak akan mengganggu pernikahan kalian.”
Ujung bibir Isaac menyeringai. Tak peduli dan tak perlu peduli. Selama wanita itu tidak mengusiknya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top