4. Kata Maaf Yang Sudah Jauh Terlambat

Part 4 Kata Maaf Yang Sudah Jauh Terlambat

“Kenapa kau tidak memberitahu kami?” 

“Dan kalian akan membatalkan pernikahan itu?”

Mulut Naya terkatup rapat. Saat itulah ia menyadari, sejak menikah dengan Aariz. Keduanya sibuk mengabulkan harapan sang mertua yang dititahkan tepat setelah pernikahan selesai. Terlalu sibuk pada pernikahan mereka hingga tidak bisa menghubungi Isaac untuk sekedar menanyakan kabar pria itu. “Maafkan kami …”

“Aku tidak membutuhkannya. Terutama dari kalian berdua.”

Naya kembali terdiam. Rasa bersalah itu membentuk lubang yang dalam di dadanya.

Keduanya tak lagi bicara hingga mobil sampai di sebuah rumah bertingkat tiga, gabungan warna coklat, hitam dan putih. Tampaknya sedikit lebih besar dibandingkan rumah Aariz, tetapi halaman area di sini lebih luas yang membuatnya tak yakin ukuran sebenarnya. Sebelum berhenti di teras rumah, Naya melihat kolam renang di sisi kanan bangunan. Dan saat turun, ia melihat deretan mobil di sepanjang carport di sisi kiri halaman depan.

“Isaac?” Naya mendadak ragu untuk melanjutkan langkahnya. Tujuannya mendatangi Isaac, bukan untuk mendapatkan masalah yang sama dengan pernikahan sebelumnya. Kali ini keyakinan bahwa mama Isaac tak akan menerima dirinya membayang penuh di atas kepalanya. Janda dengan seorang anak, itulah bagaimana cara Naya memandang dirinya sendiri.

“Ada apa?” Isaac mengernyit, memutari bagian depan mobil untuk mendekati Naya yang masih berdiri membeku di samping pintu mobil. Wajah wanita itu lebih pucat dari sebelumnya, sekali lagi mengedarkan pandangan ke sekeliling dengan kegugupan yang semakin meraja lela. “Ada apa?” Ulang Isaac dengan tangan memegang pundak Naya, seketika mendapatkan perhatian wanita itu sepenuhnya.

“Apakah ini rumahmu?”

Isaac ikut mengedarkan pandangan dengan tanpa ketertarikan dan rasanya tak ada yang berubah ataupun aneh. “Ada masalah?”

Naya menggigit bibir bagian dalamnya. “Aku … menghubungimu malam itu karena hanya nomormu yang ada di ponselku dan aku tak tahu ke mana lagi harus meminta pertolongan.” Benak Naya memutar saat dirinya terbengong di pinggir jalan, berjalan entah sudah sejauh apa dalam kebingungannya. Dan malam itu ia benar-benar tidur di kursi tunggu halte bus setelah menghubungi pria itu dan mengatur pertemuan mereka.

“Lalu?”

Naya tak melanjutkan kalimatnya. Pandangannya mengamati penampilan Isaac dari ujung kepala hingga ujung kaki dan baru menyadari betapa sempurnanya pria itu. Sementara pantulan ketika ia berputar ke samping, menatap pantulan dirinya di badan mobil yang tampak mengkilat. Naya tahu dirinya tak bisa dibandingkan dengan pria itu. Tak lebih baik dari dirinya dan Aariz.

‘Seharusnya kau menyadari posisimu, wanita rendahan. Keberuntungan terbesarmu adalah berhasil menarik perhatian putraku dan aku membiarkannya bersenang-senang dengan keinginannya. Lima tahun waktu yang terlalu lama untuk dibuang sia-sia dengan wanita sepertimu. Bahkan bisnis Aariz sudah berkembang pesat dan kau semakin jauh berada di bawah levelnya.’

Kata-kata Aatma itu masih terngiang jelas di benaknya. Mantan mertuanya itu benar, dirinya hanya pantas menjadi pelayan di rumah ini.

“Kenapa denganmu?” Isaac kembali memutar pundak Naya. “Apa ada yang sakit …”

“Tidak.” Naya menarik mundur dirinya. Matanya mengerjap, mengurai genangan air mata di kedua kelopak matanya. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk bicara dan menggangu Isaac. Besok pria itu harus pergi ke Cina, kan? “A-aku … hanya bingung.”

Kernyitan di kening Isaac semakin bertumpuk, tetapi tak ingin mencecar Naya lagi dengan kepucatan sepekat itu di wajahnya. Tangannya hendak terulur untuk mengambil bayi dalam gendongan Naya, tetapi ia hanya berkata, “Masuklah, kau butuh istirahat.”

Naya berjalan perlahan di samping Isaac. Melewati teras batu alam dengan sisi kanan dan kiri membentuk kolam ikan yang saling tersambung. Mata Naya terpejam sejenak, mendongak dan menatap punggung Isaac di depannya saat melewati pintu ganda yang terbuka lebar dengan dua pelayan menunggu di kedua sisi. Berseragam seperti pelayan di rumah Aariz dengan model yang berbeda.

Keduanya melintasi ruang tamu, ruang lain di kedua sisi yang dipisahkan tangga spiral di depan mereka, lalu berbelok ke samping dan berhenti di sebuah lift.

“Kau bisa menggunakan tangga untuk naik ke kamar. Aksesnya sama saja. Yang lainnya kau bisa menanyakan pada mereka,” kata Isaac memberi jalan bagi Naya untuk masuk lebih dulu. Sampai di lantai dua, mendahului keluar dan mengarahkan jalan menuju kamarnya. “Ini kamarku. Kamarnya ada di samping dan itu pintu penghubung yang baru kupasang beberapa …” Penjelasannya berhenti menyadari Naya yang masih dalam kebengongan.

Dua wanita berseragam biru muda muncul di depan pintu, tangannya terangkat dan dua wanita muda itu berjalan masuk. “Mereka yang akan membantumu mengurus anakmu.”

Naya tersentak, menatap Isaac dan dua pengasuh itu dengan pikiran yang berjumbal di kepala untuk mencerna situasi mereka. Tetapi lagi-lagi tak ada ucapan maupun bantahan yang mampu keluar dari bibirnya.

“Mulai malam ini kau tidur di sini. Berikan dia pada mereka.”

Naya memberikan baby Aaron yang masih terlelap pada salah satu yang mendekat. Yang dengan segera berjalan keluar. Ia masih bisa mendengar pergerakan kedua pengasuh itu masuk ke dalam kamar yang ada di samping karena pintu penghubung yang tidak ditutup rapat.

“Besok juga akan ada orang yang mengurus barang-barangmu di apartemen.” Saat Naya mendengarkan kembali, Isaac sudah berdiri di dalam ruang ganti. Melepaskan jas dan mengurai dasi. “Sebentar lagi aku akan pergi.”

“S-sekarang?”

Isaac menoleh, melihat kedua tangan Naya yang saling menggenggam gugup di depan perut.

“Maksudku …” Suara Naya setengah terbata lalu mengangguk. “Apa yang harus kulakukan …”

“Istirahatlah. Kau baru saja pulang dari rumah sakit.” Isaac berjalan mendekati pintu dan menutupi pandangan Naya. Yang masih membeku di tengah ruangan.

Naya menggigit bibir bagian dalamnya. Tadi Isaac mengatakan dengan jelas bahwa pria itu akan berangkat besok pagi. Apakah keberadaannya di rumah ini membuat pria itu tidak nyaman? Wanita itu tak berhenti mempertanyakan hingga Isaac keluar dengan pakaian yang berbeda. Bersama dua orang pelayan yang membawa keluar dua koper besar.

Naya menelan ludahnya yang terasa pekat di tenggorokannya. Pandangannya mengikuti dua pelayan yang berjalan keluar. Sebenarnya akan berapa lama pria itu di sana?

Hingga hari-hari berikutnya, Naya tak pernah mendapatkan jawabannya karena bahkan pria itu tidak pernah menghubunginya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top