3. Pernikahan

Part 3 Pernikahan

Enam bulan kemudian, Isaac berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Berhenti di pintu yang berada paling ujung. Begitu memasuki ruang perawatan tersebut, suara tangis bayi memenuhi seluruh ruangan. Kedatangannya tak lebih menarik perhatian dari sosok mungil yang sekarang berada dalam gendongan Naya. Sedikit menggores harga dirinya, tetapi ia tak akan terpengaruh dengan bocah kecil itu.

Sudah tiga hari sejak sekretarisnya memberitahu tentang persalinan Naya dan hari ini wanita itu akan pulang. 

“I-Isaac?” Naya pun dibuat terkejut dengan kedatangan pria itu. Terakhir kali mereka bertemu saat pria itu menyerahkan akta perceraiannya dan membawanya ke rumah sakit untuk memastikan kehamilannya. Setelahnya, anak buah pria itu yang mengurus tempatnya untuk menyembunyikan kehamilannya dan memenuhi semua kebutuhannya.

“Terkejut?”

Naya menggeleng. Pria itu memang mengatakan akan menagih janjinya setelah anaknya lahir, meski tak benar-benar menyangka tepat setelah anaknya lahir.

“Aku punya jadwal yang cukup padat yang sudah diatur sebulan yang lalu. Dan sepertinya perkiraan persalinanmu lebih cepat dua minggu dari yang diberikan dokter.”

Naya mengangguk. Tak hanya tubuh Isaac yang terasa mendominasi dirinya, aura yang keluar dari tubuh pria itu serta tatapan tajam yang menelisik dirinya membuat Naya beberapa kali menahan napas. Terutama ketika tiba-tiba tangan pria itu merogoh bagian dalam saku jas.

“Kau suka?”

Naya menatap sepasang cincin di dalam kotak beludru hitam yang dibuka Isaac ke hadapannya. Membaringkan putranya di boks bayi dan dengan kembali terlelap dengan cepat.

“Urusanku hari ini selesai lebih cepat dan besok pagi aku harus mengejar penerbangan ke Cina. Jadi selain sekarang, aku tidak punya waktu untuk menagih kesepakatan yang kita buat dan menunggu dua minggu seperti yang dijadwalkan juga terlalu lama.”

Naya tak punya pilihan selain mengangguk meski tak ingin mendapatkan perhatian Isaac cukup banyak. Bantuan Isaac sudah terlalu banyak. Naya menatap boks bayinya.

“Sebentar lagi mereka datang.” Isaac melirik jam di pergIsaacan tangannya. “Ibumu?”

Ludah Naya terasa lebih pekat. Ibunya sudah cukup terpukul dengan perceraiannya dengan Aariz. “Aku akan memberitahunya sekaligus membawanya.”

Isaac mengangguk, melirik boks bayi tanpa ketertarikan yang lebih selain penyesalan Aariz. Toh, sekarang dirinya yang akan diuntungkan. Ia tak akan mempermasalahkan apa pun.

Tak lama kemudian, suara pintu diketuk. Seperti cara Isaac mengurus perceraiannya dengan Aariz dengan cara yang singkat. Pernikahan mereka terjadi lebih singkat. Semua memang sudah direncanakan Langit beberapa bulan yang lalu, tak mengherankan jika pernikahan itu juga berlangsung dengan lancar. Semua syarat dipenuhi oleh Isaac dan cincin itu melingkar di jari manisnya tak lebih dari tiga puluh detik.

Naya menatap sekeliling ruangan, lingkungan pertemanan Isaac memang luas dan pria itu mengenal terlalu banyak orang. Tetapi ia tak menyangka dua direksi rumah sakit menjadi saksi dalam pernikahan tersebut, juga dokter kandungan yang mengurus kehamilannya. Mengucapkan selamat secara bergantian menggunakan buket bunga yang mereka bawa, meskipun acaranya berlangsung dengan orang yang terbatas, setidaknya acara berlangsung dengan lebih pribadi dan intim. Berbanding terbalik dengan acara pernikahannya dan Aariz enam tahun yang lalu.

Acara berlangsung dengan sangat meriah, tepuk tangan riuh menyambut keduanya saat Aariz menciumnya dan keduanya sah dinyatakan sebagai suami istri. Tetapi kali ini Isaac menolak menciumnya dengan alasan ‘Well, saya tak ingin menyulut sesuatu yang tidak bisa saya tangani. Seperti yang Anda semua lihat, istri saya baru saja melahirkan.’

Jawaban itu kontan mendapatkan tawa dari para pria dan tatatapn takjub dari sang wanita walaupun Naya tak benar-benar memahami maksudnya.

Setelah semuanya selesai, semua saksi membantunya membawakan barang-barang Naya dan buket bunga tersebut ke lantai satu. Menuju mobil Isaac yang sudah menunggu di bawah.

“Siapa namanya?” Isaac memulai percakapan saat mobil mulai bergabung di tengah kepadatan lalu lintas.

Naya menoleh, menatap kedua mata pria itu yang langsung menguncinya. “Aaron.”

“Aaron Ravindra?”

Lagi, Naya menelan ludahnya yang pekat. Bersama kepedihan di dadanya yang masih terasa kuat saat menggeleng. Ia sendiri belum terpikirkan akan memberikan nama belakang Aariz di belakangnya. Atau memang tidak akan. Selain nama pria itu yang akan tercantum sebagai ayah kandung Aaron di akta kelahiran, ia tak ingin mengikutsertakan pria itu lagi di hidupnya.

“Aku tak benar-benar tertarik dengannya, hanya saja aku perlu tahu nama panggilannya sebagai suamimu, kan?”

Naya mengangguk.

“Besok orang yang akan mengurus akta kelahirannya datang ke rumah. Kau harus mempersiapkan datanya.” Sekali lagi Isaac melirik baby Aaron yang terpejam. Wajahnya sangat mirip dengan Aariz, tetapi hidung dan bentuk alisnya menurun dari Naya. “Atau namanya hanya Aaron …?”

“Aku akan memikirkan nama panjangnya.” Naya mengangguk. Membuat bibir Isaac menipis karena wanita itu lebih banyak mengangguk. Sudah beberapa bulan lebih mereka tidak saling berinteraksi dan tampaknya wanita itu mendadak tidak hobi bicara. Jauh berbeda dengan Naya yang ia kenal sebelum menjadi istri Aariz.

Naya yang periang, Naya yang selalu banyak bicara dan sangat antusias akan setiap kata yang diucapkan. Naya yang selalu menjadi pusat perhatian, Naya yang selalu tampak ceria dan positif. Terlalu positif karena tak pernah tidak sukses mencari hal baik dalam setiap situasi.

Berbanding 170˚ dengan Naya yang datang padanya delapan bulan yang lalu, dan 180˚ dengan Naya yang sekarang duduk di hadapannya. Dari segi penampilan maupun kepribadian. Ya, rupanya pernikahan bisa merubah banyak orang, kecuali dirinya. Tambah Isaac dengan bangga.

“Ke mana kita?” Naya baru menyadari mobil yang tidak melewati jalanan menuju apartemen milik Isaac.

“Rumahku.”

Naya terkesiap.

“Kenapa? Kau tak suka?”

Naya tak pernah mempertanyakan keputusan Isaac sejak pria itu mengatakan untuk menolongnya dari Aariz dan sang mantan mertua. Wanita itu mengangguk lagi meski merasa heran.

Hening yang cukup lama.

“A-apa orang tuamu tahu?”

“Tentang kau dan anakmu? Tentang pernikahan kita?” Ujung bibir Isaac tertarik. “Atau keduanya?”

Naya tak yakin mana yang akan lebih membuatnya gugup di hadapan kedua orang tua pria itu.

“Papaku sudah meninggal, enam tahun yang lalu. Mamaku sedang dan pasti akan selalu sibuk dengan bisnisnya. Tidak akan tertarik dengan urusanku melebihi urusan bisnisnya. Jadi tidak. Tidak ada yang tahu tentangmu maupun pernikahan kita.”

Naya mengembuskan napasnya tanpa suara. Setidaknya ia butuh waktu untuk mempersiapkan diri di hadapan mama Isaac. Tapi … “Papamu sudah meninggal?”

Isaac meninggal. “Itulah alasanku tidak datang di pernikahanmu.”

Ekspresi di wajah Naya membeku. Hatinya mencelos dengan keras.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top