2. Meninggalkan Masa Lalu

Part 2 Meninggalkan Masa Lalu

Naya menahan pekik terkejutnya dengan telapak tangan melihat dua garis yang muncul di testpack tersebut. Mata berkedip beberapa kali, tangannya menggosok mata, dan menghela napas untuk kesekian kali demi memastikan apa yang terpampang di sana.

Positif.

Dua garis itu artinya positif, kan?

Artinya dia hamil,.

Akhirnya dia hamil.

Bagaimana mungkin kehamilan itu akhirnya terjadi sekarang?

Di tengah keputus asaan yang menenggelamkan dirinya. Di tengah pernikahannya yang sudah berada di ujung tanduk. Keajaiban itu akhirnya datang. Sekarang ia bisa menyelamatkan pernikahannya. Sekarang ia bisa mengabulkan harapan besar yang diberikan mertuanya padanya.

Dan karena masih tak mempercayai keajaiban yang datang pada dirinya tersebut, Naya ingin mencoba mengulang hasil tesnya. Ia keluar dari kamar mandi. Meneguk air yang ada di teko hingga merasa kandung kemihnya penuh dan kembali ke kamar mandi.

Air mata mengalir melihat garis kedua yang mulai membentuk dan semakin jelas. Akhirnya, kebahagiaan itu datang untuk menyempunakan pernikahannya. Ia harus memberitahu Aariz. Dengan penuh tak sabaran, Naya bergegas keluar, memasukkan testpack tersebut ke dalam tasnya dan berganti pakaian ketika mendengar langkah kaki mendekati kamar mereka.

“Aariz?” Keningnya mengernyit heran dengan kepulangan sang suami di tengah hari seperti ini.

“Kau akan keluar?”

Senyum Naya membeku melihat kemuraman dan kekusutan di wajah sang suami. Ia berjalan mendekat dan mengulurkan tangan untuk mengambil jas yang dilepas Aariz, tetapi pria itu hanya menatap uluran tangannya dan meletakkan jas tersebut di ujung tempat tidur.

“Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Duduklah.” Aariz mengambil tempat di sofa.

Naya masih sempat tertegun dengan penolakan tersebut. Ini pertama kalinya dan entah kenapa ia merasakan firasat buruk mulai menyelinap masuk ke dalam dadanya. Pria itu bahkan tidak tertarik mendengar jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan. Bahwa dirinya memang akan keluar untuk menemui pria itu di kantor dan memberitahu tentang kabar bahagia mereka. Atau hanya akan menjadi kabar bahagia untuk dirinya.

“Duduklah,” pintah Aariz sekali lagi.

Naya tersadar dan duduk di seberang meja. Sekali lagi menatap ekspresi di wajah Aariz yang diselimuti kefrustrasian. Rambut pria itu tampak berantakan, simpul dasi di kerah leher kemeja pria itu juga tampak melonggar, dan dua kancing teratas sudah tidak dikaitkan.

Sejak pertengkaran Aariz dan ibunya dua hari yang lalu, pria itu seolah sengaja menghindarinya. Tak ada pembicaraan serius apa pun di antara mereka, termasuk mengungkit tentang pertengkaran pada malam itu. Setelah pertengkaran tersebut, keduanya masuk ke dalam kamar dan tidur dengan posisi saling memunggungi.

Aariz meletakkan amplop putih yang ada di tangannya ke hadapan Naya.

“Apa ini?” wajah Naya yang bisa lebih pucat lagi dengan logo rumah sakit yang tercetak di sudut atas amplop. Tempat mereka memeriksakan diri seminggu yang lalu.

“Dokter yang memeriksamu waktu itu yang memberikannya pada mama.”

Dada Naya seperti dicengkeram dengan keras. Air mata mulai menggenangi kedua matamya. Kata-kata kebencian dan penghinaan yang diberikan Aatma, Naya bisa menahannya. Naya bisa menerima semua itu untuk Aariz. Ia bisa menelan mentah-mentah semua itu karena cintanya pada Aariz. Karena … akhirnya perjuangan mereka tidak sia-sia.

“Mama sudah melihatnya dan …” Aariz terdiam, menatap Naya dengan penyesalan yang begitu dalam. “Keputusannya sudah bulat.”

Air mata Naya meleleh. Tetapi tak ada satu kata pun yang bisa melewati tenggorokannya yang terasa terjepit.

“Hasil milikku normal semua. Tetapi milikmu …” Aariz tak melanjutkan.

“Aku mandul.”

“Aku tak tahu apa yang harus kukatakan. Dan aku tak ingin membuatmu lebih menderita lagi dengan semua kekecewaan mama terhadapmu.”

“Jika aku mengatakan kalau hasil itu palsu, apa kau akan percaya?”

Kedua alis Aariz bertaut tak mengerti.

Naya menggeleng. “Lupakan. Bukti itu sudah ada di depan mata. Aku hanya mengandai-andai.”

Napas Aariz berhembus dengan berat. Menatap sang istri yang mengusap air mata di pipi. “Kau tahu aku mencintaimu, Naya. Aku mencintaimu dengan tulus.”

“Aku tahu.” Sebongkah batu kembali memenuhi tenggorokannya, pun begitu ia masih sanggup menahan rasa sakit tersebut dibandingkan kepasrahan Aariz terhadap hubungan mereka. Akhirnya pria itu menyerah. Menyerah untuk mereka dan sekarang dirinya tak yakin apakah perasaan cinta yang masih memenuhi dadanya untuk pria itu akan cukup bagi mereka berdua bertahan. Tak yakin apakah kabar bahagia yang baru saja datang ini akan cukup untuk mempertahankan pernikahan mereka.

“T-tapi kau tahu …”

“Hanya mamamu yang kau miliki.” Perasaan Naya remuk redam ketika melanjutkan kalimat tersebut. “Aku tahu dan sangat memahami posisimu.”

Aariz terdiam. Menatap air mata yang sudah membanjiri wajah Naya dan mengulurkan sapu tangannya untuk sang istri.

Naya hanya menatap sapu tangan tersebut. “Aku setuju untuk bercerai.”

“Maafkan aku, Naya. Aku sungguh minta maaf.”

Naya mengangguk. “Bolehkah aku minta satu syarat padamu?”

“Apa pun.”

Tatapan Naya mengarah lurus pada kedua mata pria  yang akan segera menyandang status sebagai mantan suaminya tersebut. Menatap cinta yang masih tersisa di sana. Hingga detik ini, ia masih percaya pria itu mencintainya meski semua itu tak akan cukup membuat Aariz mempercayai dirinya dibandingkan dengan Aatma. Dan ia juga tak ingin membuat Aariz lebih lama terjebak di antara dirinya dan sang mertua. Mungkin mereka sudah tidak berjodoh lagi.

“Aku yang akan mengurus semuanya. Juga semua kebutuhanmu setelah kita …”

“Tidak perlu.”

“Aku akan tetap bertanggung jawab untukmu, Naya.”

“Itu hanya akan membuat firasat mamamu tentangku benar kalau aku hanyalah wanita miskin yang mencintaimu karena hartamu.”

“Kau tidak, Naya. Aku tak pernah melihatmu seperti itu.”

Naya memaksa seulas senyum untuk menghargai ketulusan Aariz yang satu ini. “Aku tahu.”

Aariz terdiam.

“Aku hanya ingin hidup kita tidak saling bersinggungan lagi.”

Kedua alis Aariz kembali menyatu dengan heran. “Apa?”

“Setelah perceraian ini aku tak akan mengusik kehidupanmu dan kuharap kau melakukan hal yang sama.”

Aariz tak menjawab, keheranan masih menyelimuti raut wajahnya dengan syarat tersebut. Tetapi kemudian ia berpikir bahwa itu demi kebahagiaan Naya di masa depan, jadi ia pun tak keberatan.

“Apa pun yang terjadi.”

Kali ini Aariz tak langsung mengangguk.

“Berjanjilah, Aariz.” Naya membutuhkan janji itu.

Anggukan Aariz lebih mantap dan berkata, “Aku berjanji.”

Satu minggu kemudian, Naya menandatangani surat gugatan perceraian yang diajukan Aariz. Dan berkat pengacara yang dikirim Isaac juga pengacara yang dibayar Aatma dengan sangat mahal. Tak sampai dua bulan, Isaac menemui Naya dan memberikan akta perceraian tersebut.

Naya mengambil berkas tersebut dan memasukkannya ke dalam tas. Ia sudah menyerahkan semua masalah pada Isaac. Termasuk kepercayaannya pada pria itu.

“Kau tak ingin memeriksanya lebih dulu?”

“Aku percaya padamu.”

Ujung bibir Isaac tersenyum. “Kita ke rumah sakit sekarang?”

Naya mengangguk, mengambil tasnya dan mengikuti langkah pria itu menuju pintu putar di lobi gedung hotel bintang lima yang menjadi salah satu properti dari Isaac El Barra.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top