11. Cinta Yang Sama
Part 11 Cinta Yang Sama
“Apakah secara hukum, Aariz bisa merebut hak asuh Aaron dariku?” Naya memberanikan diri untuk bertanya setelah membaringkan Aaron di boks bayi dan menyusul Isaac di kamar. Yang baru saja membatalkan semua pertemuan pria itu karena masalahnya dan sekarang pria itu sedang mengganti pakaian.
Isaac melempar kemejanya langsung ke keranjang kotor, mengabaikan uluran tangan Naya. “Aku tak tahu,” jawabnya dingin. Mengenakan kaos polosnya dan berjalan keluar. “Aku akan bertanya pada pengacara.”
“Maafkan aku, Isaac. Aku sama sekali tak bermaksud membuat jadwalmu berantakan karena masalah kami.”
“Lalu kenapa kau pergi tanpa membawa pengasuh?!” Isaac setengah membentak. Melempar sabuk yang baru saja dilepaskannya ke lantai. “Kau ingin menyembunyikannya tetapi melakukan kecerobohan ini dengan sengaja, hah?”
“Aaron rewel dan dia tidak mau ditinggal. Sementara aku … aku harus pergi ke klinik untuk …”
“Kau bisa menghubungi dokter!”
“Tapi aku tidak sakit.”
Isaac mengernyit. Menatap Naya yang tampak mengatur kata sebelum melanjutkan.
“Kupikir aku hamil.” Suara Naya keluar dengan lirih. Nyaris tak terdengar. Tubuhnya semakin menegang dengan Isaac yang tiba-tiba membeku. “A-aku … aku tak yakin. Tapi aku sudah melewatkan haidku dua minggu yang lalu dan beberapa hari terakhir aku merasa pusing dan sering mual.”
Isaac maju, kemarahan di dalam dirinya seketika meluruh. “Kau bilang apa?”
Naya tersentak, Isaac memegang kedua pundaknya hingga wajahnya terdongak. “Hanya kecurigaanku. Tidak ada testpack di rumah ini, jadi kupikir aku langsung saja ke klinik saja.”
“Kita ke rumah sakit sekarang.” Lanjut Isaac sebelum Naya sempat menutup mulutnya. Kembali masuk ke ruang ganti dan keluar dengan sudah mengenakan jaket kulit hitam dan di tangannya memegang blazer untuk Naya. “Pakai ini.”
***
“Enam minggu. Jantungnya sudah mulai berdenyut dan semua keluhan itu normal untuk awal kehamilan,” jelas sang dokter sambil mengangkat alat di tangannya dari perut Naya, sementara perawat membersihkan sisa gel di sana. “Selamat, Tuan Isaac. Istri Anda kembali hamil.”
Isaac mengangguk sekali. Pandangannya masih terpusat pada layar monitor yang menempel di dinding ruangan tersebut. Menatap pada titik kecil di sana. Lebih kecil dibandingkan ketika ia melihat janin Aaron untuk pertama kalinya. Ya, titik itu akan bertumbuh sebesar janin Aaron nantinya, kan?
“Jarak yang aman untuk kehamilan selanjutnya,” senyum si dokter. “Tuan Isaac benar-benar berhati-hati untuk menjaga jaraknya.”
Naya membalas dengan seulas senyum. Memiringkan tubuhnya saat tiba-tiba Isaac mendekat dan membantunya bangun dan turun dari ranjang.
“Saya akan meresepkan vitamin dan akan sangat membantu untuk menjaga pola makan dengan teratur. Di awal kehamilan, biasanya selera makan mulai berkurang karena mual dan muntah yang sering datang. Jadi sangat perlu untuk tetap mengonsumsi makanan yang bergizi.”
Setelah semua penjelasan yang sudah lebih banyak Naya dapatkan dari pengalaman sebelumnya, keduanya berjalan keluar.
“Mungkin karena tahu aku hamil, jadi dia sering rewel akhir-akhir ini,” gumam Naya saat Isaac duduk di balik kemudi. “Dia mulai merasa tak akan menjadi satu-satunya.”
Isaac berdecak. “Sebaiknya dia mulai belajar tak akan menjadi satu-satunya, kan?”
Senyum Naya seketika memudar. Tetapi perasaanya sudah terbiasa dengan sikap dingin Isaac pada Aaron. Keduanya bahkan tak pernah benar-benar saling bersinggungan. Baginya lebih dari cukup dengan semua fasilitas dan kebutuhan Aaron yang dipenuhi oleh Isaac. Sejak dalam kandungan hingga putranya sudah berumur tiga tahun tepat beberapa bulan yang lalu. Isaac pun tak pernah melewatkan acara pesta ulang tahun Aaron yang dirayakan oleh sang mertua. Bahkan menggendong Aaron sepanjang acara tersebut karena Naya harus sibuk menyapa para tamu undangan yang kesemuanya tentu saja kenalan sang mertua. Dengan bangga memperkenalkan Aaron sebagai cucu. Bahkan tak segan-segan menegur siapa pun yang keceplosan menyebut Aaron sebagai cucu tiri.
“Aku tak bermaksud apa pun,” lanjut Isaac dengan tanpa ekspresi.
“Aku mengerti.” Naya mengangguk dan memasang sabuk pengamannya.
Mulut Isaac kembeli terbuka, tetapi tak ada satu patah kata yang keluar. Dan tak ada percakapan apa pun sampai keduanya sampai di rumah.
Suara tangis bayi menyambut keduanya, Naya bergegas masuk ke ruang bayi dan melihat dua pengasuhnya yang mulai kewalahan untuk mendiamkan Aaron.
“M-mama. Mama?” Kedua lengan Aaron terulur ke arah Naya yang baru saja muncul.
“Kau tidak boleh menggendongnya.” Isaac menyusul masuk. Mengambil Aaron dari gendongan Naya.
“T-tapi dia …”
“Mulai sekarang kau tidak boleh menggendongnya,” ulang Isaac dengan tegas lalu berjalan keluar bersama Aaron.
Naya menatap pintu kamar Aaron yang setengah terbuka. Suara tangisan putranya semakin menjauh, dan saat ia menyusul Isaac yang menenangkan Aaron di balkon sayap barat, putranya mulai tenang. Dan pemandangan tersebut tentu saja cukup membuatnya tercengang. “Berikan dia padaku.”
Isaac menoleh dengan wajah yang diselimuti ketegangan. Duduk di kursi dan menurunkan Aaron yang kemudian naik ke atas mobil-mobilan. Dua pengasuh segera mendekat untuk mengawasi, memberi ruang dan waktu baginya untuk bicara dengan Naya.
“Dia punya kaki dan bisa berjalan dengan baik. Apa kau tak mendengarku?”
Naya terdiam, menyadari peringatan Isaac yang rupanya tak main-main.
“Beratnya sudah 15 kilo lebih, kan? Apa kau tak memikirkan anakku yang masih ada di perutmu?”
Mulut Naya semakin merapat. Menelan protesnya ke tenggorokan.
“Aku tak menyukainya karena wajahnya yang mirip dengan Aariz, jadi jangan menambah alasanku untuk semakin tidak menyukainya. Apalagi jika sampai mengganggu anakku.”
Naya sudah terbiasa dengan kata-kata dingin Isaac yang tanpa hati, tetapi tetap saja ia merasa tersinggung dan tak punya pilihan selain mengangguk. Seperti Isaac yang berusaha menerima keberadaan Aaron di hidup pria itu, ia pun harus terbiasa dengan Isaac yang belum terbiasa dengan keberadaan Aaron.
“Masuk dan istirahatlah. Sebelum dia menjadi manja dan merepotkanmu.” Isaac mendekati Aaron, yang tersenyum dan melebarkan kedua lengan padanya.
Sejenak Naya masih bergeming di tempatnya. Merasa heran dengan senyum Aaron yang terlalu lebar untuk Isaac, bahkan dengan kedekatan sang putra dengan pria itu yang seolah terjalin dengan instant.
***
“Kau sudah pulang?” Naya terkejut dengan kepulangan Isaac yang lebih awal dia jam dari biasanya. Mengambil jas yang diulurkan pria itu.
“Mama sudah datang?”
Naya mengangguk. “Di kamar Aaron.”
“Apa dia merepotkanmu?”
“Dia?”
“Aaron tentu saja, siapa lagi yang paling merepotkanmu.” Isaac berjalan ke kamar mandi.
Naya menatap pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Meletakkan jas Isaac di lemari dan menyiapkan pakaian ganti untuk pria itu. Dan ia sudah terbiasa melakukan semua itu secara rutin. Dan meski betapa dinginnya sikap Isaac pada Aaron, tetap sikap pria itu ketika di meja makan membuatnya lupa.
Isaac dengan telaten menjauhkan Aaron yang mulai merengek dan berlari padanya. Menghibur putranya yang dengan mudah menjadi lebih dekat dengan pria itu. Ya, Isaac memang tak pandai mengungkapkan ketulusan pria itu.
“Hari ini aku ingin pergi ke supermarket untuk membeli beberapa keperluan.” Pagi itu Naya memberitahu rencananya.
Isaac mengangguk, menandaskan kopinya. “Bawa dua pelayan untuk membawa barang-barang. Pastikan saja semua itu tidak membuatmu kelelahan.”
“Ya.”
“Dan tak perlu membawa Aaron.”
“Ya. Sejak kemarin dia tidak rewel. Aku akan pergi saat dia tidur siang.”
Isaac mendekatkan gelas jus jeruk ke arah Naya. Setelah wanita itu menghabiskan, barulah ia beranjak dan keduanya berjalan ke depan. “Ponselku akan selalu aktif, pastikan kau menghubungiku jika ada sesuatu yang tak beres dengan kandunganmu.”
“Kandunganku baik-baik saja, Isaac.”
“Dokter bilang, awal kehamilan lebih rentan untuk keguguran.” Suara Isaac lebih tegas saat melanjutkan. “Aku tak akan mengambil resiko sekecil apa pun. Apa kau mengerti?”
Senyum Naya membeku saat membalas dengan anggukan. Isaac mendekat, mengelus perutnya dengan lembut, berbanding terbalik dengan kata-kata pria itu yang diucapkan dengan dingin.
“Aku tahu kau mencintainya, tetapi sekarang kau adalah istriku. Jadi pastikan saja anakku mendapatkan cinta yang sama seperti yang kau berikan untuk Aaron.”
Naya tercekat, tetapi masih butuh waktu sejenak untuk mencerna arti kata-kata Isaac sebelum menjawab, “Mereka akan menjadi anakku, Isaac. Kenapa aku harus memperlakukan mereka dengan cara yang berbeda?”
Raut Isaac masih terlihat sedatar sebelumnya saat melepaskan pegangan di perut Naya, ada kepuasan yang tampak di matanya dengan jawaban Naya. Tetapi ia tidak akan berpuas diri dengan jawaban tersebut. Ya, Naya akan memberikan cinta yang sama besar pada Aaron dan calon anak mereka. Tetapi tidak yakin dengan perasaan wanita itu pada Aariz yang akan berubah.
“Baguslah.” Isaac menyentuh ujung dagu Naya dan mendaratkan ciuman di bibir sang istri sebelum naik ke dalam mobil.
Naya mengembuskan napas panjang saat berusaha menghentikan jantungnya yang berdegup kencang. Tiga tahun menikah dengan Isaac, ia masih saja merasa gugup ketika berhadapan dengan pria itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top