10. Bertemu Kembali
Part 10 Bertemu Kembali
Aariz masih tercengang dan diliputi ketidak percayaan menatap wajah mungil yang berbaring di tempat tidur tersebut. Mamanya sering membawanya mengunjungi saudara atau anak teman ibunya yang baru saja lahir. Dan melihat anak itu sudah sebesar ini, tetapi masih begitu mungil di tengah tempat tidurnya yang luas. Membuat hatinya dilanda perasaan yang campur aduk. Bahagia, senang, dan lebih dari itu.
Putranya.
Darah dagingnya.
Buah hatinya dan Naya.
Kenapa Naya tak pernah memberitahunya tentang keberadaan Aaron? Dan umurnya sekitar 3 atau 4 tahun, kan? Mamanya bilang namanya Aaron. Seharusnya Aaron Ravindra, kan?
Air mata masih membekas di sekitar wajah mungil itu. Setelah menangis karena dibawa paksa oleh sang mama, akhirnya anak itu terdiam setelah ia tenangkan. Tidak mudah, tetapi mungkin ikatan batin di antara mereka masih ada dan sedikit membantu. Anak itu tertidur karena kelelahan.
“Aariz?” bisikan dari arah pintu menyentakkannya. Aariz menoleh dan melihat ke arah pintu. Sang mama memanggilnya dalam tatapan dan pria itu beranjak mendekat. Aatma menarik keluar, menengok sang cucu sebentar sebelum kemudian menarik Aariz keluar dan menutup pintu dengan perlahan. “Akhirnya dia mulai tenang.”
Aariz menghela napas. Ia tak membenarkan apa yang telah dilakukan sang mama. Naya pasti panik karena anaknya tiba-tiba direbut dan diculik. Tak mengherankan jika …
“Dia datang.”
“Seharusnya mama tak melakukan ini.” Aariz memastikan sang mama tahu, tetapi mamanya lebih keras kepala.
“Mama tidak salah. Dia cucu mama.”
“Apa mama tak menyadari betapa seriusnya masalah ini jika Naya melaporkan mama?”
“Tidak ada siapa pun yang bisa memisahkan nenek dari cucunya.”
Aariz tak akan mendebat lagi. Mamanya jelas tak menyadari dan ingin tahu. Tetapi Naya pasti mengerti. Wanita itu selalu mengerti dan …
“Pergilah. Mama yang akan berjaga di sini.” Aatma mendorong sang putra menjauh dari arah pintu dan Aariz pun berjalan menuju tangga. Menuruni anak tangga ke arah ruang tamu. Livia baru saja muncul.
“Dia tidak membawa polisi, seharusnya lebih mudah menyelesaikan ini semua, kan?”
Aariz mengangguk. “Kenapa kau membiarkannya …”
“Mamamu yang memaksa, Aariz. Aku tak punya pilihan. Kau lihat, wanita itu mematahkan kukuku.” Livia menunjukkan dua ujung kukunya yang patah. “Juga menarik rambutku.”
Aariz tak merespon, berjalan melewati wanita itu menuju ruang tamu. Naya baru saja menuruni mobil yang berhenti di depan teras rumah. Dengan wajah basah dan penuh air mata, rambut wanita itu yang indah terlihat berantakan, dan begitu menemukan keberadaannya, Naya langsung menghambur ke arahnya.
“Kau berjanji tak akan mengusik kehidupanku setelah aku memberikan apa yang kau inginkan, Aariz. Aku hanya minta itu.”
Aariz selalu merasa lemah ketika melihat Naya tersakiti, begitu pun saat ini. Air mata dan permohonan wanita itu selalu melemahkannya. Terutam janji itu keluar dari bibirnya. “Kenapa kau menyembunyikannya?”
“Katakan bagaimana caraku memberitahumu, sementara kau menyodorkan surat palsu itu padaku dan mengatakan ingin bercerai?”
Aariz membatu. Maniknya melebar dan teringat hari itu. Hari yang tak mungkin ia lupakan. Hari di mana ia telah memutuskan untuk menyerah.
“Kembalikan dia padaku. Kumohon.” Naya menggoyang-goyangkan tangan Aariz, air mata kembali membanjir dan tubuhnya jatuh di kaki pria itu.
Aariz lekas mengangkat kedua lengan wanita itu. Rasa bersalah itu mengguncangnya dengan hebat, dan ia tahu betapa hancurnya perasaan Naya saat itu. Sementara tangannyalah sendiri yang menghancurkan Naya.
“Lima tahun, aku bertahan karena aku mencintaimu. Aku tak pernah mengeluh meski ibumu memperlakukanku seperti sampah. Aku bertahan, aku tak pernah menyerah, bahkan di titik kau merasa sudah tak ingin berjuang dan memutuskan untuk menyerah pada hari itu, Aariz.”
Dada Aariz terasa ditekan kuat. Menatap wajah pucat Naya dan berkata, “Ada di kamarku.”
Tangis Naya seketika berhenti. Melepaskan pegangannya dari Aariz dan berlari masuk ke dalam diikuti dua wanita muda berseragam biru muda. Meninggalkan Aariz yang membeku di depan pintu utama, baru menyadari sebuah mobil yang berhenti di belakang mobil yang baru saja ditumpangi oleh Naya.
Aariz mengernyit, dua pria bertubuh besar bergerak turun tetapi kemudian perhatiannya teralih pada seseorang yang duduk di balik kemudi. Di samping Naya tentu saja. Matanya menyipit, dan tercengang mengenali pria tinggi tersebut. “Isaac?”
Isaac berjalan mendekat. Satu tangannya terangkat pada dua pengawal yang gegas mendekat dan menyusul Naya masuk ke dalam. Lebih dulu sebelum dirinya sampai di depan Aariz.
“A-apa yang kau lakukan …”
“Dia mendatangiku dan meminta bantuan, apakah menurutmu aku sanggup menolaknya?” Isaac melirik ke samping, pada Livia yang keluar dengan wajah panik menghampiri sang suami.
“Aariz, kenapa …” Livia terdiam, menyadari keberadaan Isaac. “Tuan El Barra.”
“Kau juga tidak, kan?” tambah Isaac dengan ujung bibir tersenyum.
“Aariz, mereka mengambil Aaron. Mama memanggilmu.” Livia segera menyampaikan pesan dari sang mertua meski masih diliputi keheranan akan keberadaan Isaac El Barra.
“Kembalikan cucuku! Berapa dia membayarmu untuk menculik cucuku, hah?! Aku akan membayar kalian dua, tiga kali lipat!” Teriakan dari dalam rumah semakin jelas. Suara Aatma memenuhi seluruh ruangan. “Lepaskan aku! Aariz, cepat kemari kau! Hentikan mereka! Mereka mengambil cucu mama.”
Ketiganya menoleh. Naya menggendong Aaron dengan dua pengasuhnya berjalan keluar lebih dulu.
“T-tunggu.” Aariz menahan lengan Naya. “T-tidak bisakah kita bicara lebih dulu sebelum kau membawanya? Setidaknya kau harus menjelaskan padaku, Naya.”
Tangan Isaac terulur, melepaskan tangan Aariz dari lengan sang istri. Dan saat itu pulalah Aariz menyadari cincin yang melingkari jari manis Isaac dan Naya. Memiliki batu berlian berwarna biru safir yang sama meski jumlahnya berbeda. Satu dan besar di cincin Isaac, sementara milik Naya lebih kecil dan berjajar lima buah. “Kalian?”
“Kita sudah membicarakannya sebelum menandatangani surat perceraian, Aariz. Kau berjanji padaku.”
Aariz masih tercengang. Menatap Isaac dan Naya bergantian. “Kalian?”
Isaac tak membalas, menoleh pada Naya dan berkata dengan pelan. “Tunggu di mobil.”
Naya mengangguk dan masuk ke dalam mobil. Diikuti dua pengasuh Aaron. Sementara dua pengawal Isaac masih menahan Aatma yang berteriak tak karuan. Satu isyarat dari sang tuan dan dua pria bertubuh tersebut melepaskan wanita paruh baya itu.
“Aariz!” Aatma menghambur ke arah sang putra. “Kenapa kau diam saja?! Kenapa kau membiarkan dia mencuri Aaron? Dan siapa mereka semua?!”
“Livia, bawa mama ke dalam,” perintah Aariz pada sang istri. Pada awalnya sang mama tak terima, tetapi melihat ketidak berdayaan dalam tatapan sang putra yang cukup serius. Kedua wanita itu terpaksa masuk ke dalam.
“Kenapa kau tidak mengatakan kalau kalian diam-diam menikah di belakangku?”
“Kenapa kami harus memberitahumu?”
Aariz membeku.
“Dia yang datang padaku dan meminta tolong. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan pada wanita yang kuinginkan.” Isaac menatap lurus mata Aariz sejenak, lalu berjalan kembali ke dalam mobil.
Keterkejutan dan kekecewaaan menghantam dada Aariz dengan keras. Membeku di tempatnya hingga kedua mobil itu menghilang dari pandangannya.
***
“Isaac El Barra?!” Aatma nyaris berteriak mendengar nama familiar tersebut. “D-dia … dia temanmu, kan? Bagaimana mungkin dia menikahi wanita miskin itu, hah? Dan El Barra? Jangan bilang kalau dia …” Aatma membekap mulutnya. Matanya melotot tak percaya. Tak ingin percaya ketika tubuhnya meluruh tak berdaya di sofa panjang. Sementara sang putra terduduk dengan kepala tertunduk di seberang. Tampak lebih terpukul dibandingkan dirinya sendiri.
Aatma berusaha menenangkan diri. “Bawakan kami minum,” perintahnya pada Livia dan begitu wanita itu menghilang dari pandangan, ia segera memutari meja dan menghampiri sang putra. “Kau ayah kandungnya, Aariz. Kita berhak melakukan gugatan untuk merebut hak asuh Aaron.”
Aariz menghela napas berat saat mengangkat kepala pada sang mama. “Mama ingin aku menceraikannya, aku sudah menuruti keinginan mama.”
“Kalau mama tahu dia hamil, tentu saja …”
“Lalu bagaimana dengan surat yang mama berikan pada Aariz?”
Aatma membeku, matanya berkedip dengan cepat dan menggeleng. “Mama tidak tahu, mama hanya …”
“Jadi dokter memberikan hasil yang palsu pada mama?”
“M-mungkin saja.” Aatma berhasil menyembunyikan getaran dalam suaranya. “Kau tak percaya pada mama?”
‘Jika aku mengatakan kalau hasil itu palsu, apa kau akan percaya?’
‘Lupakan. Bukti itu sudah ada di depan mata. Aku hanya mengandai-andai.’
Mata Aariz terpejam dan setetes air mata jatuh mengingat kata-kata Naya pada hari itu. Ya, bagaimana mungkin wanita itu mengatakannya? Ia bahkan tak bisa membayangkan seberapa hancur perasaan wanita itu karena dirinya. Ialah yang menyerah. Semudah itu menyerah pada hubungan mereka.
“Naya menanyakan hal yang sama ketika aku memberikan surat dokter yang mengatakan dirinya mandul.” Aariz berdiri, dengan kekecewaan yang tak sanggup diterimanya. “Sekarang siapa yang berbohong?”
Aatma tak berkutik, membiarkan sang putra berjalan menuju pintu utama. Ya, putranya butuh waktu untuk berpikir dengan jernih. Ia akan berusaha membujuk saat suasana hati Aariz lebih baik.
“Ke mana Aariz, Ma?” Livia muncul dengan dua gelas jus jeruk di nampan. Aatma mengambil salah satu dan meneguknya hingga tandas. “Kau kenal Isaac El Barra?”
Livia mengangguk.
Aatma menarik lengan Livia dan menarik sang menantu mendekat di sampingnya. “Bukan keluarga El Barra yang konglomerat itu, kan? Tak mungkin, kan?”
Livia ingin menggeleng, tetapi ia bahkan lebih mengenal Isaac El Barra dibandingkan dengan Isaac yang adalah seorang teman lama Aariz. Yang membuat sang mertua dilanda kekecewaan yang teramat besar.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top