1. Ceraikan Dia
Part 1 Ceraikan Dia!
“Aku hamil.”
Isaac membeku. Menatap wanita yang lebih muda sepuluh tahun dibandingkan dirinya tersebut berdiri di balik meja. Rambut panjang dan hitam yang dibiarkan terutai tampak sedikit berantakan. Wajahnya yang pucat diselimuti kecemasan. Bercampur ketakutan dan keputus asaan yang bisa ia rasakan. Kedua tangan yang terjatuh di sisi tubuh, meremas dress selutut yang membungkus tubuh mungil tersebut. Berusaha menutupi gemetar yang menyerang wanita itu. Aanaya.
“Aku tak tahu pada siapa lagi aku harus meminta tolong. Hanya kau yang ada di pikiranku.”
Isac mendengus. “Hanya di saat seperti ini kau memikirkanku?”
Naya menggigit bibir bagian dalamnya. Menahan tangisannya yang hendak tumpah. Jika Isaac menolaknya, Naya tak tahu ke mana lagi ia harus mendapatkan pertolongan.
“Itu bukan anakku. Apa yang bisa kau tawarkan padaku?”
Naya terdiam. Perlahan gigitannya mereda, menatap tatapan menelisik Isaac yang berhenti lebih lama di perutnya. “Aku tak tahu. Apa yang kau inginkan?”
Isaac tak menjawab. Tatapannya pada Naya semakin menajam, membuat wanita itu semakin gugup dan tubuhnya beringsut tertunduk. Keputus asaan di kedua mata wanita itu mulai menggenang membentuk kaca. Nyaris menumpahkan cairan bening saat menunggu jawaban darinya. “Kembalilah. Tinggalkan nomormu untuk kuberikan pada pengacara.”
Naya kembali bernapas. Mendekati meja dan menuliskan deretan angka di kertas kecil yang disodorkan oleh Isaac.
“Di mana kau tinggal sekarang?” Sejenak Isaac melirik nomor telpon tersebut dan meletakkannya di atas tumpukan berkas.
“Hubungi saja jika kau …” Naya bahkan merasa tak pantas untuk melanjutkan kalimatnya. Menahan rasa malunya, ia pun berkata lagi. “Ingin bertemu denganku.”
Isaac mengangguk singkat. Tak melepaskan pandangan dari Naya yang menyeberangi ruangan menuju pintu ruangan itu. Menghilang dari pandangannya. Seringai membentuk di ujung bibirnya. Apakah ini yang namanya kebetulan? Atau takdir?
Jika pada akhirnya apa yang akan menjadi miliknya, akan selalu memiliki cara untuk kembali padanya.
***
Satu minggu yang lalu …
Plaaakkk …
Kepala Naya terasa berdenging dan rasa panas menjalar di seluruh permukaan wajahnya yang memerah. Tubuhnya yang ringkih jatuh ke lantai dengan wajah yang tertunduk dalam. Air matanya pecah. Kecewa dan sakit hati bercampur jadi satu. Mencabik-caik dan menghancurkan hatinya jadi satu.
“Ini sudah lima tahun. Berapa banyak lagi waktu yang harus kubuang untuk menunggu impianku menjadi kenyataan, hah?”
Naya hanya mampu membekap mulutnya. Tak ada jawaban yang bisa diberikan pada wanita paruh baya yang sudah menjadi mertuanya selama lima tahun ini. Aatma Ravindra, ibu dari pria yang sangat dicintainya dan masih menyandang status sebagai suaminya.
“Selama ini sudah sangat bersabar dan bermurah hati padamu. Tidakkah semua kebaikan yang sudah kuberikan padamu selama ini sangat banyak? Apakah keinginanku terlalu berlebihan? Berapa banyak lagi aku harus mengorbankan perasaanku untuk memahami keadaanmu? Mengerti ketidak mampuanmu sebagai seorang wanita?”
Naya tak berani mengangkat wajahnya. Bahkan tak berani mengeluarkan suara saat air matanya mengalir dengan deras. Setiap kata-kata sang mertua, seperti hujaman jarum yang menghujani dadanya. Dan tak ada satu pun pembelaan yang diucapkan oleh suaminya. Yang berdiri di tengah ruangan.
“Jangan membelanya, Aariz,” hardik Aatma saat kaki sang putra sudah bergerak, hendak mendekati Nata. “Jika kau masih ingin melihat wajah mama. Tetapi di tempatmu.”
“Ma …”
“Sejak awal, mama menolak dia untuk kau nikahi, Aariz. Firasat mama sudah tidak baik dengan istrimu yang mandul itu dan lihatlah sekarang. Butuh waktu lima tahun bagimu untuk sadar dari pikiranmu yang tidak waras itu, hah?”
“Dan selama lima tahun ini, kami tidak diam saja. Kami berusaha melakukan yang terbaik untuk memenuhi keinginan mama.”
“Sepertinya usaha untuk kalian berdua memang cukup sampai di sini.”
“Ma?”
Aatma mengambil vas bunga yang ada di tengah meja lalu melemparkannya ke lantai. “Sekarang saatnya kau berhenti berusaha dengannya dan mencobanya dengan yang lain.”
“Hanya Naya …”
“Hanya cucu yang mama butuhkan. Tidak bisakah mama mati dengan penuh ketenangan?”
“Mama tidak akan mati …”
“Mama akan mati dengan ketidak tenangan jika kau tak becus meneruskan nama Ravindra milik ayahmu.”
Mulut Aariz merapat. Matanya terpejam tanpa mengatakan sepatah kata pun untuk membantah sang mama. Ancaman yang tak pernah tidak bekerja untuknya. Dan meski kali ini dirinya bersujud di kaki sang mama, mamanya tak akan bermurah hati lagi.
“Kau ingin mama mati dengan cara seperti itu?”
Aariz menggeleng. “Beri kami kesempatan …”
“Mama sudah memberi kesempatan. Tapi sepertinya kesempatan itu hanya akan menjadi sia-sia jika diberikan padanya. Mama akan membawa bukti kalau dia tidak layak mendapatkan kesempatan itu.”
“Kami berdua sudah mendatangi dokter untuk diperiksa, Ma.”
“Jika memang tidak ada masalah dengannya, dia pasti sudah hamil, kan?”
Aariz kembali dibuat terbungkam.
“Atau dia memanipulasi hasilnya?”
“Tidak mungkin, Ma. Kami tidak mungkin …”
“Kalau begitu kemungkinannya hanya ada dua. Dia yang mandul atau dia memanipulasi hasil pemeriksaannya.”
Aariz terdiam.
“Dia masih muda, Aariz. Sekarang pun usianya masih 25 tahun. Kau juga masih muda dan bugas untuk seorang pria. Tak ada alasan bagi kalian untuk tidak segera memiliki momongan. Kecuali memang ada yang bermasalah dengannya.”
“Mungkin saja Aariz yang bermasalah.”
“Tidak. Mama merawatmu dengan baik. Kau hidup berkecukupan jadi tidak mungkin ada yang bermasalah denganmu. Dan tidak ada di keluarga besar kita yang tidak memiliki keturunan. Semuanya berhasil hamil dalam setahun pernikahan yang paling lama.”
“Tidak semua harus …”
“Itu artinya, ada yang bermasalah dengan keturunan di keluarganya.”
“Ma?”
Aatma menghela napas dengan kasar. “Cukup. Kali ini cukup dengan kesabaran yang mama berikan untuknya. Lima tahun mama mengerti dan memahami dirinya. Sekarang saatnya kau yang mengerti keinginan mama.”
Mulut Aariz merapat.
“Ceraikan dia dan nikahi wanita yang pilihkan untukmu.” Mata Aatma yang membulat semakin melebar. “Atau kau akan melihat kematian mama dengan mata kepalamu sendiri.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top