Bab 9
Setidaknya butuh waktu tidak sebentar untuk menerima fakta menyakitkan. Tadinya, ia berharap dengan Leo meminta maaf, semua akan kembali baik. Namun, tidak semudah membayangkan. Hatinya yang mendendam berdiri lebih kokoh dari yang diperkirakan hingga akhirnya keadaan tidak terselamatkan. Agaknya, ia sedikit menyesali itu. Kalau saja, ia mampu mengalah sedikit. Kalau saja dan kalau saja lainnya. Tapi sudahlah, mau bagaimana lagi? Seseorang yang dulu pernah akrab, kini kembali menjadi orang asing.
"Na, kapan balik ke Jakarta?"
Sebuah suara lembut menyapa telinganya pagi ini ketika dirinya sedang membereskan satu koper kecilnya. Ia tertawa lirih.
"Ini mau balik. Flight sore, Mas. Tenang aja, besok aku udah standby di gedung," ujar Regina. Sejak malam itu, Regina memutuskan untuk menyendiri selama beberapa waktu setelah selesai dengan urusan bisnisnya. Dan kini, ia terpaksa harus kembali ke Jakarta karena esok pagi kakak sepupunya akan melangsungkan pernikahannya dengan seorang foodvlogger ternama.
"Oke, benar, ya? O, ya, gimana kamu sama Leo?"
"Ya, nggak gimana-gimana. Ngapain sih tiba-tiba bahas dia?" sahut gadis itu sedikit enggan.
"Cuma nanya aja. Jangan terlalu keras sama diri sendiri, nanti akan jauh lebih sakit. Percaya, Na."
"Mas, aku tahu Mas Mark udah tahu semuanya. Tapi, saat ini, biar aja dulu, Mas."
Terdengar helaan napas panjang. "Mas tahu kamu butuh waktu. Ditunggu kepulangan kamu ya, Na. Nanti mau dijemput siapa? Btw, FYI aja, Leo masih sering nanya kabar kamu."
"Kabarku baik, Mas. Bye-bye!"
Gadis itu membuang napas kasar. Ia merutuki debaran keras yang tiba-tiba muncul begitu mendengar nama Leo.
Bukan hanya Mark yang sering menyampaikan kabar tentang Leo. Mariska, satu-satunya sahabat yang tahu persoalan ini, hampir setiap hari bercerita tentang laki-laki itu. Laki-laki itu masih sering bertanya kabar soal dirinya. Apa artinya katanya putus kalau masih ada rasa peduli di dalamnya? Bahkan meski beratus kali memungkiri, gadis itu sendiri masih suka gelisah ketika tidak tahu kabar apapun soal Leo. Sebesar itu pengaruh Leo terhadap cerita hidupnya? Sampai-sampai tidak ada ruang untuk nama laki-laki lain.
***
Pagi ini, dirinya sudah cantik dengan riasan flawless tanpa menghilangkan sentuhan adat Jawa dan anggun dengan balutan kebaya warna rose gold. Regina sudah bersiap menjadi pager ayu bersama perempuan-perempuan yang lain di pernikahan Mark dan Maurie.
Di sana ada pula Leo bersama beberapa laki-laki menjadi pager bagus. Satu kata untuk laki-laki itu, tampan. Iya, Regina mengakui itu. Namun ia lebih memilih mematri dirinya untuk tidak menoleh ke arah laki-laki itu sepanjang acara. Hingga ketika acara sudah selesai, laki-laki itu menghampiri dirinya.
"Pulang sama aku, Na."
Gadis itu menoleh dengan kernyitan di dahi. Dengan penuh percaya diri laki-laki itu mengajaknya pulang bersama? Pendengarannya sedang tidak bermasalah kan?
"Nggak usah, nanti aku ada janjian sama Sam," tolak Regina setelah terdiam beberapa saat.
"Harus banget ada yang lain?"
"So what? Lagian, kita nggak ada apa-apa. Please, jangan mancing keributan di sini." Regina memberikan tatapan tegasnya. Laki-laki itu terdiam, menghela napas.
"Kalau gitu batalin."
"Apanya?"
"Janjiannya sama dia."
"Urusannya apa sama kamu? Aku mau ada janji sama siapa juga, nggak ada urusannya sama kamu."
"Kalau gitu pulang bareng aku," ucap laki-laki itu sambil meraih tangan Regina.
Masih dengan seragam beskap lengkapnya, laki-laki itu memaksa Regina untuk pulang bersamanya. Ia sedikit menyeret Regina keluar dari gedung. Tak peduli dengan sedikit keributan yang tercipta. Beruntung keluarga inti dari pengantin udah pulang setengah jam yang lalu.
"Leo!" Gadis itu sedikit berteriak disertai rasa kesal. Ia tidak berhenti memberontak hingga kemudian bungkam ketika laki-laki itu mengunci tubuhnya di badan mobil lalu melesakkan bibirnya pada bibir ranum gadis itu, melumat tergesa penuh emosi hingga pasokan udara menipis.
Yang tersisa saat ini adalah gemetar di seluruh tubuhnya. Rasanya kini kedua lututnya seperti tak bertulang. Ia terdiam syok hingga sedikit linglung. Napasnya tersengal-sengal. Ia pasrah ketika Leo membimbingnya masuk ke mobil.
Sejujurnya, ada rasa sesal di dalam diri laki-laki itu. Bagaimana bisa ia sampai hati memperlakukan orang yang dicintai sekasar tadi? Hanya saja, Leo bukanlah Mark yang dengan pintarnya mengendalikan diri. Ia bukan bagian dari laki-laki yang memiliki segudang stok kesabaran jika menyangkut perasaan. Laki-laki itu akan dengan mudah terbakar dan kehilangan kendalinya. Apalagi ketika mendengar ada nama lain disebut.
"Sorry," ucapnya singkat setelah cukup lama saling diam. Ia menurunkan kecepatan mobilnya melintasi jalanan Jakarta malam hari. "Tenang aja. Aku nggak akan turunin kamu sembarangan lagi," katanya ketika Regina masih membisu.
"Bisa nggak, kamu...," Regina menjeda kalimatnya dengan tarikan napas panjang. Ia perlu berhati-hati agar Leo tidak meledak lagi. "...nggak bertanya kabar apapun tentang aku? Biar kita bisa fokus ke hidup masing-masing. Anggap saja, ya... Untuk simpelnya, anggap kita hanya orang asing yang nggak pernah saling kenal. Kamu bilang, kita udah berakhir, kan?"
Rasanya suasana semakin hening. Laki-laki itu tidak bicara sama sekali. Namun, guratan urat di tangannya terlihat tegas mencengkeram bulatan kemudi. Gadis itu hanya menatap luruh tangan berbalut beskap itu.
"Please. Aku nggak mau, kita nanti saling menyakiti. Hidup kita harus terus berjalan, kan? Masing-masing kita berhak bahagia seperti yang kamu bilang kemarin." Regina kembali memberanikan diri untuk bicara.
"Kamu udah punya gambaran, bahagia itu seperti apa? Oh, aku lupa. Dia kan orangnya?"
Kalimatnya membuat gadis itu menahan napas. Seperti ada tangan samar yang mencubit kecil-kecil hatinya. Meski terdengar sinis, namun sarat dengan kesedihan. Ia hanya bisa diam-diam menatapi sosok di sampingnya itu. Mata Regina mengerjap. Akan tetapi, mau sampai kapan? Siap tidak siap, tega tidak tega, semua harus diakhiri. Leo harus paham kalau seperti ini namanya saling menyakiti.
"Jangan bahas yang lain-lain. Aku cuma minta itu aja."
Laki-laki itu tertawa sinis. Tatapannya menyedihkan. Gadis itu hanya bisa menghela napas lalu membuang pandangannya ke luar jendela, menelan ludah susah payah.
"Jangan egois. Apa yang kita lakukan nggak ada bedanya. Kita masih saling peduli!"
"Jangan salah paham."
"Salah paham? Salah paham yang kayak gimana, Na? Apa namanya kalau bukan peduli, diam-diam buntutin sampai hotel cuma mau mastiin kalau aku nggak apa-apa?!"
"Leo, please! Pakai logika, apa salahnya kalau aku cuma khawatir. Nggak ada apa-ap-"
"Munafik! Apa susahnya jujur? Kita masih saling peduli. Nggak akan ada namanya saling menyakiti, itu fakta yang sampai detik ini kamu hindari!"
Deg! Jantung Regina seperti berhenti berdetak sepersekian detik mendengar laki-laki itu kembali meledak. Akan tetapi hatinya juga membenarkan ucapan itu.
Maaf.
Hanya kata itu yang meluncur di hatinya.
***
Tbc
Haii lama nggak update. To be honest, belakangan lagi ga mood nulis😣
Maaf ya,
16 Okt 2024
Salam
S. Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top