Bab 5

Bukan sekali dua kali saja Regina memergoki laki-laki itu dengan perempuan yang mungkin orang lain akan berasumsi sama dengannya. Pacar. Zaman sekarang rasanya sulit untuk percaya dengan istilah teman. Laki-laki itu sendiri juga pernah entah sengaja mengompori atau tidak, dengan volume agak keras bicara kalau sedang dekat dengan Olivia ketika Regina sedang berkunjung ke rumah Mark dua bulan yang lalu.

"Cie pacar baru nih." 

Sebuah suara menyadarkan dirinya dari lamunan. Ia yang baru sempat berkunjung ke rumah Tante Hera, segera menoleh ke arah tangga. Regina hanya mendengkus singkat lalu menuju ke dapur.

"Apa itu, Na?" tanya Tante Hera sambil mengeringkan tangan dengan lap setelah selesai mencuci sayuran.

"Kue bolu susu, Tan. Ayah abis dari Bogor sama Om Haris. Tante mau masak apa?" sahut Regina sambil meletakkan paperbag di meja lalu menyalami perempuan paruh baya itu.

"Mau masak sayur lodeh mumpung Mark di rumah."

"Tumben dia di rumah."

"Nggak tahu. Udah tiga hari ini di rumah terus. Tante tanya katanya nggak kenapa-napa. Lagi pengen aja."

"Aku ke Mas Mark dulu, Tan."

Gadis itu lantas meninggalkan dapur. Ia mencari laki-laki itu dan mendapatinya di teras sedang berdiam diri.

"Tadi ngeledekin. Sekarang bengong sendiri kayak ayam sayur," ledek Regina sambil duduk di samping Mark.

"Dih," laki-laki itu berdecih. "Kata Leo, kamu udah punya gandengan. Masa sih? Kenalin lah."

Kini berganti gadis itu yang berdecih. "Lemes bener mulutnya. Bukan! Itu cuma partner bisnis. Samudra namanya. Dia cerita ya?"

Mark mengangguk membenarkan. "Partner bisnis jadi partner hidup kan nggak apa-apa. Umur udah sama-sama dewasa juga."

"Nggak lah. Nanti bisnis jadi berantakan. Btw, calonnya Leo orang mana? Waktu itu nggak sengaja ketemu. Aku lagi sama Sam."

Laki-laki itu tertawa. "Iya, Leo cerita. Belum ada."

"Belum ada?"

Mark mengangguk. Ia lalu menatap Regina, menelisik.

"Iya, belum ada. Kemarin pas ketemu kamu, dia abis itu kabur. Dijodohin sama mamanya. Kenapa nggak sama kamu aja? Dia baik lho, Na."

Seketika Regina gelagapan. Bisa-bisanya Mark ada kepikiran menjodohkannya dengan Leo. Tangannya kini mengambil bantal kursi dan memukulkannya pada lengan Mark.

"Nggak gitu juga kali, Mas. Oh ya, kata Tante, Mas di rumah belakangan ini. Tumben. Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa. Kangen doang."

"Nggak percaya," sahut gadis itu dengan sangat yakin, "pasti ada sesuatu."

Laki-laki itu terdiam. Sementara Regina menatap laki-laki itu lekat-lekat. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat.

"Gara-gara ketemu Mbak Jasmine, ya?"

Mark menghela napas. Ia menoyor kepala Regina. "Sok tahu."

Tidak berapa lama, suara Tante Hera menginterupsi keduanya. Wanita paruh baya itu menghampiri keduanya.

"Mau sampai kapan kamu melamun di teras. Udah mau magrib, Nak," ujar wanita itu. "Ajak masuk, Na. Kamu jangan ikut-ikutan Mas Mark."

"Tante kayak nggak tahu aja. Tadi kan pas anter Tante check up, di lobi dia ketemu mantan istrinya."

Ucapan Regina berbuah tatapan intimidasi dari Mark. Ia segera beranjak setelah ucapannya membuat Mark mendapat rentetan pertanyaan dari ibunya.

"Tante, Nana pulang dulu," serunya sambil menuruni anak tangga.

***

Sepanjang perjalanan, ingatan Regina kembali berputar pada sosok Leo. Astaga, ia ingin sekali menyudahi tapi selalu saja ada yang membuatnya mau tidak mau kembali mengingatnya. Batinnya berdecih, masih percaya Leo single? Namun, otak warasnya berusaha mengelak. Apapun itu, Leo bukan lagi urusannya. 

Dering ponsel mengembalikan kewarasan gadis itu di tengah kemacetan Pondok Indah. Rencananya ia akan menuju ke Fatmawati untuk membeli Sop Buntut pesenan ayahnya.

Kening gadis itu mengkerut dalam begitu melihat nama pemanggil. Ia menghela napas singkat sambil menggeser tombol hijau dan menyelipkan earphone ke salah satu telinga.

"Halo?"

"Lagi di mana?" Sebuah pertanyaan singkat dan bernada kaku menyapa pendengaran Regina.

"Ada apa?" sahut Regina tak mau kalah.

"Jawab dulu."

Regina terdiam sejenak sambil menarik napas. Ia membuang tatapannya keluar jendela untuk menghilangkan emosi yang tiba-tiba muncul.

"Di jalan. Pondok Indah."

Tidak terdengar jawaban. Gadis itu melirik pada layar ponselnya di console box. Sambungan telpon masih berjalan.

"Aku matiin, ya?" ujar Regina masih berusaha sabar.

"Jemput di kantor."

Tangan Regina mencengkeram bulatan kemudi ketika telpon itu berakhir begitu saja. Kekesalan yang sejak tadi diredam, mendadak naik tak terkontrol. Ia mengerang di dalam mobil dengan sumpah serapahnya untuk laki-laki itu. Meski demikian, sejauh ini kekesalan itu tidak membuatnya menyalahkan keadaan, mengapa waktu harus mempertemukannya kembali dan sebagainya.

Gadis itu lantas menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi. Di tengah laju merayap, ia mencoba menghubungi laki-laki itu. Namun, tidak satupun dijawabnya. Regina kembali membuang napas. Ia lalu membawa mobilnya menuju Kasablanka setelah dengan pertimbangan.

"Ayah, Sop Buntutnya Nana ojekin, ya? Ada teman minta tolong soalnya."

"Oh, gitu? Ya sudah. Nanti ayah makannya nunggu kamu pulang aja. Kalau ada apa-apa, telpon ayah, ya?"

"Oke, Yah. Bye."

Membutuhkan waktu 15 menit lebih lama dari yang diperkirakan untuk sampai di kantor Up 'n Down. Begitu sampai, ia langsung menuju ke ruang kerja Leo dengan tergesa. Sang asisten sudah menunggunya di Lobi.

"Tadi sudah saya beri paracetamol tapi Bapak nggak mau," ucap Rosita di antara langkah kakinya. Dengan sigap, ia membukakan pintu untuk Regina.

Gadis itu terdiam sejenak di ambang pintu. Ia mendapati laki-laki itu duduk setengah merebah di sofa. Matanya terpejam dengan napas tak beraturan. Ia lalu menghampiri laki-laki itu.

"Kamu sakit?" tanya Regina memastikan. Disadari atau tidak, tatapannya kini berubah menjadi khawatir. Perlahan ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan laki-laki itu. "Kenapa nggak mau minum paracetamol?"

"Kamu tahu aku," jawabnya sangat lirih.

Gadis itu lantas mengalihkan tatapannya pada Rosita yang sedang sibuk membereskan barang-barang milik Leo. Setelah selesai, dilihatnya gadis itu mengambil blazer bosnya.

"Masih kuat jalan nggak?" tanya Regina sambil membantu laki-laki itu untuk duduk.

Leo tidak menjawab. Ia hanya mengalungkan lengannya di leher Regina. Untuk sesaat, gadis itu terhenyak. Tujuh tahun berlalu, ini pertama kalinya ia kembali bersentuhan hingga sedekat ini. Deru napas dan harum tubuh itu nyaris membuat Regina linglung kalau saja suhu panas dari Leo tidak menyentuh langsung kulitnya.

"Ehm, aku nggak yakin bisa mapah kamu sampai luar," gumam Regina menutupi kegugupannya.

Laki-laki itu hanya tertawa lirih tanpa tenaga. Beruntung dia cukup tahu diri tidak menumpukan semua beban pada Regina.

"Aku antar kemana?" tanya Regina dengan ngos-ngosan dari balik kemudi. Ia melirik pada laki-laki yang kini tergolek tak berdaya di jok belakang.

"Aku udah WA kamu alamatnya"

Masa sih? Gadis itu mengerutkan kening. Ia lalu membuka ponselnya. Dan ternyata memang benar. Laki-laki itu sudah mengirimi alamat tinggalnya di sebuah hunian apartemen di Karet, Kuningan. Tanpa banyak bertanya, gadis itu mulai melajukan mobilnya. Yang yakini adalah tidak mungkin laki-laki itu tinggal di apartemen dengan orang tuanya.

"Di rumah ada orang?" tanya gadis itu ketika di dalam lift menuju unit milik laki-laki itu. Terpaan napas panas di puncak kepala Regina, membuat gadis itu semakin sering menahan napas. 

"Mark bilang kamu masih sendiri," ujarnya tanpa daya. Leo tidak menjawab pertanyaan gadis itu. Ia malah membahas masalah lain.

"Ya," jawab Regina singkat tanpa minat. Ia lalu memilih diam, seolah-olah sedang menjaga jarak.

"Jangan salah paham. Yang terakhir kamu lihat, bukan siapa-siapa aku," katanya lirih. Suaranya terdengar sedikit serak, begitu dekat di telinga Regina.

"Bukan urusan aku," sahut Regina. Ia kembali membohongi diri.

"Na, semuanya belum berubah, kan?"

Gadis itu menundukkan kepala. Bibirnya berusaha keras untuk tidak menjawab. Samar-samar, entah memang benar atau hanya perasaannya, gadis itu merasa Leo mendaratkan kecupan di puncak kepalanya. Di hatinya kini seperti ada batu yang tiba-tiba bersemayam. Ingin rasanya ia menjawab dengan lantang bahwa semua masih sama. Tapi kembali, ego melarangnya.

***
Tbc

30 Agustus
Salam,
S. Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top