14. Ada yang aneh

Hari ini adalah jadwal Aksa untuk ke sekolah. Seperti biasa dia akan melakukan rapat rutin dengan guru dan kepala sekolah. Namun ada yang berbeda hari ini, entah kenapa Aksa merasa semangat. Padahal hari sebelumnya dia selalu malas untuk ke sekolah. Jika tidak lupa kewajibannya, tentu dia akan minta diwakilkan.

Sekolah tampak begitu sepi mengingat jam masih pukul 9 pagi. Tentu para murid dan guru sedang mengajar di kelas masing-masing. Rapat akan dilaksanakan pukul 10, dan Aksa sengaja datang lebih awal untuk berbicara dengan kepala sekolah mengenai olimpiade yang akan diikuti para murid.

Aksa masuk ke ruang kepala sekolah dan melihat Pak Roni sudah siap dengan laptop dan kertas-kertas di tangannya. Mereka memulai berbincangan singkat dan ringan mengenai olimpiade. Sekolah tidak main-main untuk mengikuti ajang ini. Ada sekitar 120 siswa yang akan diikutkan. Tidak hanya olimpiade tapi juga lomba lainnya, seperti basket, sepak bola, bulu tangkis, tari, fotografi, lukis, film pendek, dan masih banyak yang lainnya.

"Ini daftar muridnya, Pak. Ada beberapa yang sudah pernah ikut lomba juga."

"Ada yang belum pernah ikut?" tanya Aksa sambil membaca kertas di tangannya.

"Ada, Pak. Untuk basket kita pakai tim junior, karena yang senior udah kelas 12 semua. Ada beberapa nanti yang masuk di bangku cadangan."

"Bagus, saya setuju kalau semua murid ngerasain ikut lomba. Biar mereka ada pengalaman dan sertifikat."

"Bener, Pak. Lumayan buat saku mereka di universitas nanti."

"Yang kelas 12 ada berapa orang?" tanya Aksa.

"Ada 32, Pak." Pak Roni membuka lembar halaman lainnya.

Aksa membaca dengan teliti. Perlahan matanya terhenti pada satu nama yang tidak asing lagi untuknya.

"Ini Era?" tanya Aksa.

"Iya, Pak. Yang ikut lomba melukis ada 5 orang, beda-beda tingkatan juga. Untuk kelas 12 ada 2 orang."

Aksa mengangguk paham. "Dia pernah menang?" tanyanya.

Tanpa disangka Pak Roni tertawa. "Sering, Pak. Bahkan piala lomba melukis di lemari hampir semua dari Era."

"Pinter juga dia," gumam Aksa tersenyum.

"Pak Wijaya juga pernah pesen lukisan di Era, mau ditaruh di kantor katanya," jelas kepala sekolah.

"Kantor?"

"Iya, di kantor pusat."

Aksa lagi-lagi mengangguk. Dia cukup puas dengan prestasi Era. Aksa tidak menyangka jika gadis seperti Era bisa juga membanggakan. Selama ini dia hanya melihat Era dari tingkah konyol dan menyebalkannya, tapi ternyata gadis itu punya sisi yang serius.

"Kalau sudah tidak ada pertanyaan, mari kita ke ruang rapat, Pak."

"Baik, ayo."

Aksa dan kepala sekolah berjalan beriringan untuk ke ruang rapat. Di lapangan terdapat banyak murid yang tengah bermain bola basket. Dilihat dari seragamnya, sepertinya mereka sedang mengikuti pelajaran olah raga.

Namun dari kerumunan itu ada sesuatu yang mengganjal. Terlihat ada dua orang yang saling berebut bola. Hal itu sedikit membuat keributan yang cukup mencolok.

"Punya gue!" teriakan melengking itu membuat Aksa menghentikan langkahnya. Dia segera berlari untuk menghampiri kerumunan murid itu.

"Ada apa ini?" teriak Pak Roni yang membuat para murid menghindar.

"Pak, ini Ezra nggak mau gantian main!" ucap Era berusaha untuk merebut bola basket.

"Dih, suka ngadu lo!" ucap Ezra melepaskan bolanya.

Era menjulurkan lidahnya diikuti oleh para wanita. Tim pria yang ingin bermain bola basket memilih untuk menyerah. Jika berurusan dengan wanita, pria selalu ditakdirkan untuk kalah.

"Ngapain sih rebutan bola?" tanya Pak Roni sabar melihat tingkah anak didiknya.

"Era ganggu kita main, Pak." Aldo berbicara diikuti sorakan dari murid lainnya.

"Dih, gantian kali!" ucap Lala.

"Bola basket nggak cuma satu kan? Kalian bisa ambil di gudang," ucap Aksa yang sedari tadi diam.

"Tapi lapangannya cuma satu." Era menjawab dengan bibir yang maju. Dia masih kesal dengan Ezra yang selalu mencari gara-gara dengannya. Baru 4 hari bersekolah, tapi pria itu sudah berhasil membuat Era naik darah.

"Cewek itu main bulu tangkis aja," ucap Ezra.

"Dih, olah raga itu nggak memandang gender ya," jawab Era.

"Tetep aja lah. Lagian kita cowok juga mau latian buat lomba."

Era mendengkus, "Jangan alesan deh, kalian kan di bangku cadangan."

"Wah ngajak ribut!" Ezra terlihat ingin maju tapi Aksa segera menghentikannya.

"Hentikan!" ucap Aksa keras. Para murid terdiam karena terkejut. Mereka mulai sadar jika pria di hadapan mereka saat ini adalah pemilik sekolah.

"Kalian berdua ikut saya!" Tegas Aksa pada Era dan Ezra yang menjadi sumber keributan.

"Dan kalian semua lari lapangan 5 kali!" ucap Pak Roni pada murid lainnya.

"Aduh, Pak. Saya capek habis main basket." Aldo mulai duduk di atas tanah dan bertingkah kelelahan.

"Aduh, Pak. Saya juga capek habis berantem." Lala ikut duduk di samping Aldo sambil mengusap dahinya yang berkeringat.

"Jangan alasan, cepet lari!" Mendengar itu, Aldo dan Lala kompak berdiri dan mulai berlari. Semua murid mulai mengikuti hukuman dengan kesal.

"Kalian ikut saya." Perintah Aksa lagi dan berlalu menuju ruang BK, ruangan kebanggaannya.

***

Aksa menatap dua murid di hadapannya dengan wajah yang mengeras. Era dan Ezra tampak menunduk dengan takut.

"Meskipun nggak ada guru, bukan berarti kalian bisa seenaknya ribut," ucap Aksa.

"Maaf, Pak." Ezra mulai berbicara.

"Dih, cari muka!" gumam Era.

"Itu bukan cari muka, tapi menyadari kesalahan," balas Ezra.

"Nah kan, lo sadar kalo salah. Kenapa masih ngotot?"

Ezra menatap Era kesal. "Lo jadi cewek batu banget sih!"

"Bukan batu, tapi teguh pada pendirian."

"Lo-"

"Diam kalian!" bentak Aksa pada akhirnya. Entah kenapa dia mendadak kesal melihat Era dan Ezra yang sibuk beradu mulut.

"Maaf, Pak." Era dan Ezra kompak menjawab.

"Kali ini saya maafkan, beruntung kalian ikut lomba jadi nggak ada hukuman," ucap Aksa.

"Makasih, Pak." Era dan Ezra menjawab kompak.

"Ezra, kamu keluar." Perintah Aksa.

"Iya, Pak. Saya permisi dulu." Sebelum benar-benar pergi, Ezra menyempatkan diri untuk menarik pelan rambut Era.

"Lo!" Era menatap Ezra tajam saat pria itu berlalu pergi. "Kok Ezra lolos, Pak?" tanya Era kesal.

"Kapan kamu berhenti berulah, Ra?" tanya Aksa sabar.

"Ezra duluan yang resek, Pak." Era berdecak.

"Cuma masalah sepele, Ra."

"Tapi Ezra nyebelin, Pak."

Permasalahan memang ringan tapi yang membuat Era emosi adalah Ezra. Pria itu selalu mengganggunya dan membuatnya marah.

"Ezra selalu bikin saya emosi, Pak. Udah sombong, suka ngejek, belagu lagi!" Era tampak mencurahkan isi hatinya pada Aksa.

"Nggak usah deket-deket kalo gitu."

"Mana bisa? Kan sekelas." Era bertanya bingung.

"Tinggal jauhin aja, Era. Apa susahnya sih?" ucap Aksa sabar.

"Kalo dia bikin ulah lagi?"

Aksa menatap Era dalam. "Bilang sama saya kalau gitu."

***

TBC

Pak Aksa pilih kasih nih 🙈 Mana Era nggak boleh deket-deket sama Ezra lagi 😌

Follow ig viallynn.story

Jangan lupa vote dan commentnya ya 😘

Viallynn

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top