13. Mimpi Nganu

Sebuah elusan lembut di dahinya membuat Aksa mulai membuka mata. Hanya bermodalkan cahaya yang masuk dari jendela, Aksa melihat siluet wanita yang duduk di ranjangnya. Dia terkejut dan ingin bangkit, tapi tubuhnya seolah tertahan oleh sesuatu.

"Bangun, Kak." Suara lembut itu membuat Aksa merinding. Dia ingin berbicara, tapi mulutnya seolah terkunci dengan rapat. Apa yang sebenarnya terjadi?

Wanita yang mengelus dahi Aksa mulai berdiri dan berjalan menuju jendela. Tangan kecilnya dengan aktif mulai membuka tirai jendela. Hal itu semakin membuat Alsa terkejut setengah mati.

Bayangan yang awalnya hanya siluet dari seorang wanita perlahan berubah menjadi seorang wanita yang cantik, dan ternyata wanita itu adalah Era. Dengan balutan handuk kimono berwarna putih, Era tidak terlihat seperti bocah. Gadis itu berubah menjadi wanita yang cantik dan anggun. Melihat itu, Aksa mulai merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Ada titik di mana ada desiran aneh pada salah satu bagian tubuhnya.

"Era," gumam Aksa. Kali ini dia sudah bisa berbicara, tapi hanya hanya nama Era yang bisa dia ucapkan.

"Selamat pagi," ucap Era kembali duduk di samping Aksa dan mulai mencium kening Aksa. Tidak hanya kening, Era juga mencium kedua pipi Aksa dan berakhir di bibir. Cukup lama, dan Aksa merasakan semua itu dengan nyata.

"Kok diem aja?" tanya Era menjauhkan wajahnya saat Aksa tidak membalas ciumannya. "Kak Aksa jangan bikin aku nafsu deh," lanjut Era dengan mata yang menyipit.

Aksa masih diam. Dia masih syok dengan apa yang dilakukan Era. Belum sepenuhnya tenang, Aksa kembali dikejutkan dengan Era yang kembali menciumnya dan duduk di pangkuannya.

Sial! umpat Aksa dalam hati.

Perlahan tubuh Aksa mulai bisa bergerak. Tangannya terangkat untuk menyentuh pinggang Era. Entah kenapa dia tidak mendorong wanita itu. Aksa malah semakin menarik tubuh Era untuk lebih dekat dengannya.

"Era," gumam Aksa di sela ciumannya.

"Aksa," balas Era yang langsung menggingit bibir Aksa keras.

Aksa yang terkejut langsung membuka matanya cepat. Dia terduduk dengan pandangan yang masih buram. Setelah mendapatkan fokusnya, dia bisa melihat Ibunya tengah beridi di depannya dengan alis yang bertaut.

"Ma?" tegur Aksa sambil memijat keningnya. Ternyata adegan panas yang dia lakukan dengan Era hanyalah sebuah mimpi.

"Kamu mimpi apa? Kenapa monyong-mongong gitu bibirnya?"

Aksa menyentuh bibirnya pelan. Kepalanya menggeleng saat mengingat apa yang Era lakukan di mimpinya. "Bukan apa-apa."

Mata Bu Ratna menyipit. "Kamu mimpi aneh ya?" tanyanya sambil mengacungkan pencapit penggorengan di tangannya.

Aksa yakin jika capit itu yang Ibunya gunakan untuk mencubit bibirnya tadi, karena biar bagaimanapun gigitan Era terasa sangat nyata dan masih terasa sakit.

"Ya udah langsung mandi sana, kamu bangunnya telat. Jangan lupa keramas." Pesan Bu Ratna sebelum keluar dan menutup pintu.

Saat melihat Ibunya sudah pergi, Aksa kembali berbaring dan mengerang. Dia memukul bantal dengan kesal. Tangannya bererak untuk menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, dan benar saja! Aksa melihat celananya sudah basah.

Aksa kembali mengerang dan menggigit bantal dengan kesal. "Kenapa Era terus sih, Sa? Makin hari makin ngaco aja mimpinya," gumamnya resah dan berlalu ke kamar mandi untuk mebersihkan diri.

***

Era menopang kepalanya sambil memperhatikan papan tulis yang penuh dengan angka. Kepalanya mendadak pening saat tidak ada satu pun materi yang dia pahami.

"Nasib UN gue gimana kalo gini terus?" Era meletakkan kepalanya di atas meja. Pelajaran akademik memang menjadi kelemahannya, tapi jika non akademik, Era bisa mengunggulinya. Untung saja dia sekolah di sini, yang di mana para guru paham akan masing-masing keunggulan dan kelemahan murid. Semua diasah sesuai minat dan bakat dengan fasilitas mumpuni.

Suara ketukan pintu kelas membuat Era mengangkat kepalanya. Dia sana muncul kepala sekolah bersama seorang pria yang tampak asing. Dilihat dari seragam yang pria itu pakai, Era yakin jika dia adalah murid baru.

"Maaf mengganggu kegiatan belajar kalian anak-anak. Di sini Bapak mau memperkenalkan murid baru. Silahkan, perkenalan diri," ucap kepala sekolah.

Pria muda itu perlahan maju dan menunduk tipis. Tidak ada senyum, terlihat begitu acuh dan angkuh.

"Perkenalkan nama saya Ezra, pindahan dari Bogor. Saya harap kita bisa berteman dengan baik. Terima kasih."

Era mendengkus saat melihat Lala yang bertepuk tangan senang. Bukan rahasia lagi jika temannya itu menyukai pria-pria tampan.

"Nah, Ezra. Kamu bisa duduk di bangku kosong sebelah Era."

Era menggeleng dengan cepat. "Itu kan tempat duduk Aldo, Bu."

"Aldo nggak masuk, Ra. Bisa dipake Ezra dulu," bisik Lala tajam.

Era mendengkus dan kembali meletakkan kepalanya di atas meja. Dia mengabaikan Ezra yang mulai duduk di bangku Aldo. Sistem bangku memang sendiri-sendiri, tapi tetap saja Era lebih suka Aldo yang duduk di sampingnya, karena mereka sama-sama aneh.

"Oke, kita lanjutkan pelajarannnya. Buka buku kalian halaman 97. Di situ ada tiga soal, yang mau maju silahkan maju."

Ucapan guru membuat semua murid menegang, terurama Era. Dia langsung mendadak sibuk untuk mencatat materi yang ada di papan tulis.

"Kalau nggak ada yang mau maju, Ibu tunjuk."

Mati!

Mendengar itu, Era semakin fokus untuk mencacat. Dia mencari kesibukkan agar tidak menatap mata guru secara langsung.

"Saya, Bu." Suara itu membuat Era menghela nafas lega. Tidak hanya Era tapi juga murid lainnya.

Ezra yang mengajukan diri langsung berdiri dan berlalu menuju papan tulis. Dilihat dari penampilannya, Ezra merupakan murid yang pintar dan sopan. Era yakin jika pria itu akan menjadi murid kesayangan guru, terutama guru matematika dan fisika.

"Ayok, masih ada nomer 2 dan 3. Kalau nggak ada yang mau, Ibu yang tunjuk."

Jantung Era kembali berdetak dengan kencang. Dia merasakan firasat buruk dan sesuatu akan terjadi.

"Nomor 3, ayo Era maju."

Kan!

Dengan lemas Era berdiri dan menghampiri gurunya. "Saya nggak bisa, Bu."

"Dicobak aja dulu. Ibuk bantu."

Era mengangguk dan mulai menatap papan di depannya dengan malas. Jika boleh, dia akan lebih memilih menggambar di papan itu. Hitung-hitung latihan karena dia akan mengikuti lomba. Setidaknya itu lomba terakhirnya karena dia sudah duduk di tahun terakhir.

"Gitu aja nggak bisa," gumam Ezra yang membuat Era membulatkan matanya.

Era terkejut dengan apa yang dikatakan Ezra. Itu bukanlah awal yang baik untuk sebuah pertemanan. Ternyata tidak hanya angkuh, tapi Ezra juga bermulut pedas.

"Dih, keren lo!" balas Era pelan saat Ezra sudah menyelesaikan jawabannya.

"Ayo, nomer 3 Lala maju."

Mendengar itu, wajah Era langsung berubah. Dia tertawa melihat Lala yang berjalan dengan cemberut.

"Kenapa selalu aku, Bu?" tanya Lala dramatis.

"Kamu dari tadi liatin Ezra terus, ya udah Ibu panggil."

Lala mengambil spidol dengan malas. "Ibu nggak asik"

Era mengangguk setuju, "Padahal kalo nggak dipanggil, Ibu mau saya traktir batagor loh."

"Udah kerjain aja, kalau betul kalian berdua yang saya beliin batagor," ucap guru dengan terkekeh.

"Yes!" jawab Era dan Lala kompak.

Bu guru hanya bisa menggeleng. Bukan tanpa alasan dia meminta Lala dan Era maju, karena memang kedua muridnya itu kurang tertarik dengan matematika. Jika diasah, tentu Era dan Lala akan menjadi murid yang pintar. Jika ada Aldo, maka formasi trio bobrok akan menjadi lengkap.

***

TBC

Ya elah pak aksa gitu banget mimpinya, tiap hari mimpinya makin ngaco ditambah muncul si judes ezra. Gimana nih jadinya? 😂😭

Follow ig viallynn.story

Jangan lupa vote dan commentnya ya 😘

Viallynn

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top