5. Firi Agil
OCHA
Senin, kerja lagi.
Aku bingung hari ini aku jadi assist-nya siapa. Firi udah masuk kerja, tapi ini juga hari terakhir pak Faisal. Nanti sore kan ada selebrasi pelepasan pak Faisal, farewell party gitu deh.
Aku sudah ada di mejaku, tapi ga ada agenda hari ini. Pak Faisal udah ga ada agenda, Firi belum jelas. Aku bingung ngatur jadwalnya gimana.
"Pagi, Ocha." Sapa Pak Fasial.
"Pagi Pak, hari terakhir seger amat." Kataku.
"Iyaa dong, masuk di Bali senin depan sekarang udah farewell disini, enak libur seminggu." Katanya.
"Harusnya saya ikutan libur juga Pak, kan saya assistant-nya bapak." Kataku
"Punya Firi kamu sekarang." Katanya lalu masuk ke ruangannya.
Punya Firi? Enak aja! Punya Ello tauk! Ingin aku menyahuti Pak Faisal seperti itu. Tapi santai, aku paham ko maksudnya apa.
Oh iya, aku lupa tanya sesuatu. Aku bangkit dari dudukku, mengetuk pintu ruangan sekali lalu membuka pintu sedikit.
"Pak, ga ikut morning briefing?" Tanyaku.
"Itu Firi lagi morning briefing sekalian kenalan sama anak-anak. Beres dia MB kamu temenin dia rapat sama Pak Oza yaa, masih bahas yang saya kemaren. Bantuin dia catet-catet aja." Kata Pak Faisal.
"Oh oke deh Pak." Kataku, lalu kembali ke mejaku.
Pak Ghozali, atau yang pengen gaul jadi panggilannya Pak Oza. Orangnya asik, meskipun sudah lumayan berumur dan punya anak. Yaa gitu, kalo kerja disini, gapeduli umur berapa, jiwa tetep muda.
"Cha, ngapain bengong?" Aku menoleh dan melihat Firi sudah menjulang di hadapanku, iyaa aku belom bilang ya? Ini orang tinggi banget, kayanya hamir 190cm deh, padahal aku itungannya tinggi loh, tinggi aku 168, fyi.
"Ga ngapa-ngapain, Pak." Kataku.
"Temenin yuk, tadi Pak Oza udah ngajak ke ruangannya."
Aku mengangguk, lalu mengganti sendalku dengan high hells yang di wajibkan untuk karyawati hotel ini, minimal 7 cm. Yaa baguslah, biar aku ga kebanting-banting amat kalo jalan sama Firi.
Beda kalo sama Ello, tinggi kita sepantaran, jadi kalo sama Ello aku gaboleh pake yang tinggi-tinggi. Haha!
"Kenapa dah senyum-senyum gitu? Ga ngeri kesambet lo?" Tanya Firi.
"Gapapa, Pak. Ayo!" Kataku.
Kami ke lantai dua, turun ke ruangan Pak Oza. Begitu sampai, Pak Oza malah keliatannya mau pergi.
"Eh Firi, baru saya mau nyuru Naya bilang kamu kalo kita di executive office aja." Ye sesebapak, tau gitukan kita gausah turun, wong executive office ada di lantai 3.
Lalu bersama-sama kami pun naik ke lantai tiga. Asli, ini meeting tersantai yang pernah kulakukan, Firi sama Pak Oza sambil rokokan, topik yang dibahas di bawa nyantai kaya lagi ngobrolin jaketnya Melania Trump. Pake ketawa-tawa, tapi kelar. Yaa kelar, catatanku sudah penuh dan kami sudah sepakat sama hasilnya. Gilee bener dah dua orang ini.
"Udah ya Pak, gue abis ini jadwal lunch bareng Pak Henry. Hari pertama jadi disuruh temenin." Kata Firi sambil bangkit.
Aku mengangguk pada Pak Oza dan Naya lalu keluar mengikuti Firi kembali ke ruangannya. Eh ruangan Pak Faisal deng?
Begitu sampai di bagian HR, Firi langsung masuk begitu saja dan menutup pintunya, aku memilih berdiam diri di mejaku nunggu waktu istirahat.
"Pak Faisal kemana?" Tanyaku saat Firi keluar dari ruangannya.
"Gatau, gue ke Pak Henry yaa. Lo mau kemana?" Tanyanya.
"Ya makan siang lah, masa mau diem." Jawabku.
"Sama siapa?" Tanyanya.
"Ya sama anak-anak yang lain." Kataku.
"Yaudah sana." Lalu ia melengos pergi.
Duh, untung ganteng!
Aku menukar sepatuku dengan sendal jepit, lalu berjalan ke arah gazebo untuk nunggu anak-anak genganku di Syltha: Dimas, Tio, Riana, Tania, Fajar dan Mahesa.
Baru ada Tio dan Dimas saat aku sampai Gazebo, terlihat mereka lagi asik ngobrol gitu.
"Eh, Cha. Gimana bos baru lo?" Tanya Dimas.
"Asik, tapi rada nyebelin. Gitu lah," Jelasku.
"Gue denger-denger dia tuh sepupunya Bu Bian loh. Tadinya disuruh buat jadi General Manager di Jakarta. Eh kaga mau dia, turun deh jadi HR, dia sih bilang passionnya disitu." Jelas Dimas.
Aku mangut-mangut dengan info baru ini, wow sepupunya Bu Bian? Bu Bian kan owner dari semua properti yang ada di sini, gacuma di sini sih, Bandung, Bali, Jakarta, Makassar, Riau dan Korea. Busetdaahhh, kebayang yaa Bu Bian tajirnya kaya apa.
"Pada ngomongin apa lo pada? HR baru? Ganteng yaa!" Seru Tania bergabung dengan kami. Tania ini assisst-nya Bu Winda.
"Iyaa ganteng!" Seru Riana.
"Beruntung lo, Cha. Bisa sama dia tiap hari." Aku hanya mangut-mangut.
"Ayok ah makan, laper gue!" Seru Tio saat Mahesa datang.
"Fajar mana?" Tanya Dimas.
"Di dapur, udah yuk!" Sahut Mahesa.
Harus ga sih aku jelasin posisi mereka masing-masing di sini? Kayanya gausah yaa, ribet.
Anak-anak sepakat untuk makan di warung tenda deket sini, makananya enak ko, dan banyak pilihan macemnya.
"Pak Firi gamau gabung ngerasa ga se-level kali ya?" Tanya Tio.
"Dia bilang ada lunch sama Pak Henry, tadi pagi udah gue ajak gabung katanya besok aja." Sahut Dimas.
"Oh gue kira orangnya sombong gitu."
"Kaga santai banget orangnya. Njirr orang paling kalem sedunia kali deh si Firi itu. Kalem bukan artian diem ya, tapi kalem nyantai. Dia ngomong sama Pak Henry aja santai. Lah kita, kaku?"
"Mentang-mentang pake nama Sambadha tuh, mangkanya songong." Sahut Tio.
"Kagak asli, pembawaannya yang emang gitu kayanya, lulusan psikologi juga kan dia. Cocok jadi HR, humble, bisa lah dia ngerangkul kita semua yang beda-beda bapak dan ibu ini." Mahesa menanggapi.
Sedari tadi aku hanya mendengarkan obrolan mereka, aku gamau ikutan ngegosipin bosku sendiri. Ngeri, takut kualat.
"Single ga dia?" Tanya Tania.
"Kaga, udeh pake cincin kawin." Jawab Mahesa.
"Yaah, kenapa bos ganteng, single itu cuma ada di dongeng sih?" Keluh Tania dan aku tertawa.
"Heh? Kesambet lo? Dari tadi lo diem giliran gitu ketawa." Seru Tio padaku, aku cuma cengar-cengir aja. Omongan Tania bener abisnya.
"Apa yang lo tau dan kita gatau? Lo kan personal assistant-nya?"
"Gue cuma tau dia nyebelin." Kataku.
Yang lainnya memasang raut wajah kecewa. Lha iya, mereka lebih tau tentang Firi daripada aku.
Selesai makan, kami kembali ke Syltha. Saat kembali ke mejaku, ruangan Firi masih kosong. Iyalah, Firi kudu dilonco pake ceramahan Pak Henry dulu, baru bisa gabung sama Syltha Bogor. Hahaha!
"Gue baru tau, Pak Henry kalo beduaan doang banyak omong ya!" Aku menoleh dan Firi sudah ada di samping mejaku.
"Nikmatin aja Pak." Kataku dan ia melengos masuk ke ruangannya.
Aku menumpuk beberapa berkas, ada yang harus dia tanda-tangani. Izin, cuti, izin sakit dan lain sebagainya. Aku mengetuk ruangannya dua kali sebelum membuka pintu dan masuk.
"Pak, ini berkas yang harus di tanda tangan. Baru masuk pagi ini, jadi udah bapak yang tanda tangan, bukan Pak Faisal." Jelasku.
"Oke taro dulu, gue benerin kuping dulu." Katanya.
Oke, ada apa dengan Faisal & Firi mengenai kuping mereka sehabis ngobrol sama Pak Henry? Asli ga mudeng aku.
"Saya keluar ya Pak." Kataku.
"Eh jangan sini dulu aja. Gue mau ngobrol, bentar." Katanya, tapi ia sendiri malah sibuk dengan ponselnya. Jadi aku memilih duduk di sofa yang ada di ruangan ini.
Tak lama ponsel Firi berdering. Terlihat ia mendecak tak suka lalu mengangkatnya.
"Iya Mam Kakak udah baca ko di group."
----
"Lha, Kakak kan di Bogor. Ada Rafi kan? Nah sama Rafi aja. Perwakilan."
----
"Harus semua gimana? Mama aja di Bali."
----
"Yaudah, yaudah kalo Papa sama Mama dateng Kakak ikutan Ma."
----
"Kalo yang itu gajanji mam."
---
"Lha dikira beli lontong."
----
"Itu sih nyari joky 3 in one."
Asli ini Firi ngobrolin apaan sih? Bebawa joky 3 in one segala.
"Ga janji Ma, asli ga janji. Kakak belum bisa."
---
"Santai Mam, yang penting udah pernah hehehe!"
---
"Iya iya, bye Mam. Iya Kakak juga, bye!"
Kemudian Firi memasang tampang kesal lagi, ia memandang ke arahku dengan tatapan menyebalkan.
"Nguping ya lo?" Tuduhnya.
"Saya punya kuping Pa, kita di satu ruangan. Ya kedengeran." Kataku, lagian percuma. Aku ga ngerti dia ngomong apa.
"Si Riana yang sales hotel itu, single ga?" Tanyanya tiba-tiba.
Wessshhhh, sepertinya Riana emang tipenya dia. Riana, sales hotel yang cantiknya bisa bikin cewe manapun iri. Bahkan kalo Riana dibawa ke khayangan, bidadari di sana bakal iri juga sama Riana. Cocok jadi sales, apalagi kemampuan menjual dia amat sangat kece, gausah diragukan lagi lah pokoknya.
"Single Pak, kenapa mau di jadiin istri kedua?" Tanyaku, gasopan sih sebenernya itu.
"Yee istri kedua apaan!" Serunya.
"Inget yang di rumah Pak, itu cincin bukan pajangan." Kataku.
Kemudian Firi tersenyum pahit. Ia mengangkat tangannya, memperlihatkan padaku seperti pengantin baru yang lagi pamer cincin gitu. Lalu, dengan tangannya yang lain ia menarik cincin yang ia kenakan di jari manisnya itu, saat diangkat. Ada cincin lain di baliknya, cincin yang sama persis.
Apa maksudnya Firi pake dua cincin nikah? Aku ga ngerti, satu aja aku belum punya, apalagi dua.
"Saya ga ngerti, Pak." Kataku.
"Gue kurusan, mangkanya cincin punya almarhumah istri gue muat gue pake, dan otomatis cincin gue longgar, jadi ya gini makenya. Lagian cincin ini dulu didesain biar bisa saling nempel." Jelasnya.
Almarhumah? What? Istrinya meninggal? Seriusan ini teh? Aselinya? Kasian pisan si bapak teh.
"Got it?" Tanyanya.
Aku mengangguk.
"Jadi Riana single, punya pacar ga dia?" Tanya Firi.
"Punya kayanya." Kataku, yaa. Riana sih kayanya gapernah kekurangan stock cowo. Lagian hubungannya sama Mahesa aja gajelas.
"Gimana sih, masa single punya pacar?"
"Putus nyambung gitu, begitu putus rebutan orang. Ya wajar, cantik bangeet!" Seruku.
"Dia bisa ga ya pura-pura jadi pacar gue buat di bawa ke acara keluarga?" Tanya Firi.
"Emang ga ada yang mau sama Pak Firi ampe harus ada cewe pura-pura jadi pacar bapak?" Tanyaku.
"Lo manggil gue bapak, gue potong honor lo!" Waduh horor, apaan mainannya potong-potong.
"Iya iya." Kataku. Ini orang sensian banget dah.
"Gue belum siap, tapi nyokap gue maksa pengen gue pacaran lagi. Berhubung adek gue udah mau nikah nyokap pengen gue dulu yang nikah baru adek gue, biar ga di loncatin."
"Lha, kan kamu udah Fir. Judulnya ga di loncat dong kalo gitu?"
"Nah iya, gue pun mikirnya gitu. Tapi nyokap gamau tau, katanya kudu gue dapet pasangan dulu baru Rafi boleh nikah. Kan kasian adek gue."
"Dapet pasangan doang? Ga harus nikah?" Tanyaku.
"Ya pasti menjurus ke situ, namanya juga emak-emak. Tapi gue pengin sih bawa cewe dulu, biar nyokap tau kalo gue ada pasangan. Jadi gabakal tersaingi sama adek gue sendiri. Kali aja kalo gitu di bolehin si Rafi nikah duluan." Jelasnya.
"Ko ribet yaa? Padahal anak cowo." Kataku.
"Ga ngerti lah gue sama emak-emak." Katanya.
Aku hanya mangut-mangut.
"Riana? Bisa ga?" Tanyanya.
"Lha gatau, Fir. Coba tanya sendiri. Kali aja kalo kamu yang bilang dia mau." Kataku.
"Gue bayar kok."
"Ya bilangnya sama dia." Kataku.
"Apa lo aja yaa?"
Damn!
"Ga! Gue punya pacar!" Kataku, hilang sudah sopan santunku sekarang. Dikata aku cewe bayaran apa?
Hih! Ello masih sanggup biayain aku, masih sanggup beliin aku lipstik harga sejuta tanpa aku perlu jadi cewe bayaran.
"Kan pura-pura." Kata Firi.
"Gamau!" Kataku tegas.
"Yaudah cariin cewe sana." Katanya.
"Cari aja, di depan. Anak front office biasanya mau." Kataku.
Yak, aku tahu betul. Beberapa resepsionist, hotel Syltha bergabung dalam group kumpulan reseptionst dari berbagai hotel di Bogor dan para cewe-cewe itu bahkan menjajakan dirinya di group wasap. Aku tahu karena temennya Ello pernah jajan satu, dan di bawa ke kostan kami. Kaget dong aku pas liat eh mukanya familiar.
Sejak saat itu Ello makin posesif, mau anter jemput aku kerja, aku gaboleh gaul sama anak front office, gitu-gitulah.
"Jadi lo gamau nih?" Tanya Firi.
Aku mengangguk pasti.
Bisa digorok aku sama Ello kalo aku terima tawaran itu. Jangankan terima, baru cerita aja kayanya udah di suruh cari kerjaan lain sama dia.
"Pikir-pikir lagi. Gue bayar per jam kok, sejam dua juta. Mau ga?"
"Gue keluar deh Fir, siap-siap farewell party Pak Faisal." Kataku tak menghiraukan tawarannya.
Bhay!
***
TBC
Thanks for reading, dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top