13. psikolog
FIRI
Padahal sore ini niatnya gue mau jengukin Ocha yang kemaren gamasuk. Eh tapi pas gue naik ternyata dia udah ada di meja kerjanya seperti biasa, langsung aja gue percepat jalan gue.
"Pagi, Cha. Udah gapapa?" Sapa gue.
"Pagi, Firi. Ini surat izin sakit yang kemaren." Kata Ocha dengan senyum manisnya.
"Simpen, kan kamu yang bikin laporannya, gimana sih." Kata gue dengan nada becanda. Lha ini kenapa gue ke Ocha jadi aku-kamu-an? Ah udahlah gapapa.
"Yaudah iya Fir, okay." Katanya, sambil ngasih secangkir kopi panas. Kali ini gue terima dan gue masuk ke ruangan gue.
Udah ada beberapa dokumen yang harus gue tanda-tangan di meja gue pas gue masuk. Gue cek lagi ini apa aja, dan setelahnya baru gue tanda tangan.
Hampir pukul 9 gue keluar, MB kaya biasa. Tanpa ngajak Ocha gue langsung aja ngacir. Kasian dia, libur sehari doang kerjaannya jadi numpuk, kalo gue ganggu yang ribet gue sendiri, entar jadwal kaga kelar. Kemaren aja gue bingung sendiri kudu rapat sama Pak Oza apa Bu Winda, eh taunya assist-nya Dimas nyusul gue, ternyata gue meeting-nya sama Dimas, kan konyol.
Selesai MB gue sama Mahesa ke gazebo, duduk-duduk, dia sambil rokokan. Di Syltha Bogor menurut gue orang yang kurang asik itu si Tio, agak judes gimana gitu, padahal laki. Tau dah, masih ada aja orang model gitu.
"Fir, umur lo berapa sih?" Tanya Mahesa.
"28, kenapa?" Tanya gue balik.
"Eh mudaan elo ya berarti dari gue, nikah umur berapa lo?" Tanyanya, kaya buka obrolan gitu.
"Nikah umur 25 lebih lah, umur lo berapa emang?" Tanya gue.
"30 gue hahaha anjir yaa!"
"Nikah sana, kasian burung lo!"
"Maunya juga gitu, tapi si Riana belum siap." Jawabnya. Lha? Dia pacaran sama Riana?
"Eh? Lo sama Riana ada pacaran?" Tanya gue.
"Hahah complicated lah, dia sok mau jadi perempuan independent gitu, padahal kalo nikah juga gue gabakal minta dia berenti kerja kok. Kebayang lah anak kaya dia kalo disuruh di rumah bakal stress." Gue sedikit tertawa dan mengangguk mengerti.
"Lo tiga tahun nikah, udah punya anak?" Tanya Mahesa.
Gue tersenyum pahit, lalu menunjukan cincin kedua yang ada di jari gue.
"Waah men, seriously?" Tanya Mahesa.
"Iya Sa, dia meninggal, 2 bulan setelah kita nikah." Jawab gue.
"Anjir!" Hanya itu yang keluar dari mulut Mahesa.
Orang di sini gabanyak yang tahu memang kalo gue ternyata duda, mereka taunya gue pria beristri. Yaa gue pria beristri, tapi istri sama anak gue udah pamit duluan ke surga. Curang emang si Elissa.
"Lo ada pacaran pas dia meninggal?" Tanya Mahesa.
Gue menggeleng. Gue emang belum pernah ngejalin hubungan lagi sama siapapun, terakhir ya pacar bohong-bohongan sama Ocha.
"Fir, lo masih muda. Muda banget, berat emang kehilangan orang yang di sayang, tapi yaa ikhlasin. Lo lulusan psikologi kan? Udah bisa berarti lo maintance emosi lo sendiri, pikiran lo sendiri. Iya ga?"
Gue mengangguk.
Kadang, apa yang kita pelajari itu ternyata untuk diterapkan ke orang lain, bukan ke diri gue sendiri, karena dua tahun yang lalupun gue ke psikiater, kaga nenangin diri sendiri. Kemampuan gue sebagai psikolog cuma berlaku buat gue ngadepin orang-orang, bukan ngadepin masalah sendiri.
"Orang-orang ga ada yang tau ya?" Tanya Mahesa.
"Ocha tau, gue pernah ngasih tau dia." Jawab gue.
Mahesa ngangguk-ngangguk ngerti.
Kami berdua diam, Mahesa fokus rokokan sedangkan pikiran gue entah bermusafir kemana. Gue cuma bengong sambil sesekali ngegaruk alis, ga ngerti sekarang ini gimana.
Kemudiam HP gue bunyi. Nama Rafi terpampang di layar, langsung aja gue angkat.
"Kak, goodnews!" Serunya pas gue jawab teleponnya.
"Apaan Raf?" Tanya gue.
"Boleh sama Mama, minggu depan gue lamaran resmi, ke rumah orang tuanya Juliet, ikut ya?" Pintanya.
"Good deh, gue usahain ikut. Hari apa emang?" Tanya gue.
"Sabtu depan Kak, libur kali, kan ini masih kamis! Ya ya ya?"
"Jadi sabtu minggu depan kan bukan sabtu sekarang?"
"Iya, ajak Ocha!"
"Iya nanti gue ajak kalo bisa, tapi gajanji."
"Lha harus lah, biar Mama ga berubah pikiran." Kata Rafi.
"Iya diusahain!!"
"Yaudah, bye! See yaa!"
Gue mematikan sambungan telepon tanpa repot-repot kudu bales bye-bye-an. Langsung gue kantongin HP gue lagi.
"Adek Fir?"
"Iye nih, mau lamaran dia."
"Wihhh keluarga lo keknya nikahnya pada gercep ya?" Tanya Mahesa.
"Haha iya! Gue menghindari zinah kelamaan bro!" Dan si Mahesa pun tertawa, gue emang becanda sih tapi itu serius juga kok.
Gegara si Mahesa gaberenti ketawa, gue jadi ikutan ketawa. Njir lah apa banget pagi ini
"Udah ah, gue mending balik lagi. Bye!" Mahesa berdiri sambil melempar puntung rokoknya ke asbak.
Galama, gue juga berdiri dan balik ke ruangan.
"Cha, ke ruangan aku dulu, sebentar." Pinta gue pas lewat mejanya lalu masuk ke dalem.
Ga lama Ocha masuk ke ruangan gue dan duduk di depan gue, sekalian ngasih beberapa dokumen.
"Cha kamu mau sembuh ga?" Tanya gue.
"Sembuh?"
"Aku tahu kamu trauma, kamu mau sembuh ga? Biar ga ketergantungan sama Ello." Kata gue.
"Ya mau Fir." Jawabnya.
"Aku bisa bantu kamu supaya sembuh,"
"Gimana cara?" Tanyanya.
"Aku psikolog, Cha. Emang kamu kira aku dapet jabatan ini cuma gegara sepupuan sama si Bianca kampret? Kaga."
Ocha hanya manut-manut.
"Mau ga?" Tanya gue.
"Ada syaratnya ya pasti?" Tanyanya curiga. Pinter banget emang si Ocha, tau aja gue ada maksud lain.
"Rafi mau lamaran resmi, temenin ya?"
"Gak ah Fir, gaenak bohongin keluarga kamu."
"Please, demi Rafi Cha." Pinta gue.
"Gaenak aku Fir, keluarga kamu baik."
Gue diem, ya gue juga gasampe hati sih bohongin Mama, Papa dan lainnya. Cuma ya gimana lagi doong?
"Cha, please. Minggu depan, dan aku janji sebelum Rafi lamaran kamu udah sembuh. Kamu gabakal jerit-jerit kaya anak ABG cewe ketemu One Direction."
"Ngaco aja!"
"Ye seriusan ini, mau ga?"
"Bener tapi ya?" Tanyanya.
"Iya, beres balik kantor kamu ke apart aku aja, oke?"
"Loh ko di apartement?" Tanyanya, kaya gaenak gitu.
"Ya terus mau di mana? Cafe? Di tonton orang banyak yang ada."
"Yaudah deh."
"Unit aku di lantai 21, room 3, kalo ditanya resepsionist sebut aja nama aku. Gausah tiga kali," Kata gue sambil becanda dan dia tersenyum sambil mengangguk.
"Yaudah sana balik lagi."
"Oh iya, hari ini lunch sekalian sama Pak Oza ya Fir. Beresnya langsung sama Bu Winda." Katanya.
Gue mengangguk, gue udah tahu jadwal gue, karena kemaren Ocha gamasuk, terpaksa gue ngurus sendiri.
**
"Langsung aja, ini aku sama Pa Jajang langsung pulang." Kata gue ke Ocha pas udah jam pulang kantor, terlihat ia mengangguk.
Gue tinggal dia, gue langsung turun dan minta di jemput di depan ke Pa Jajang, gue lagi males kalo harus ke basement. Galama nunggu, Pa Jajang dateng dan gue langsung masuk ke mobil.
Apartment gue deket dari Syltha, jadi gasampe 10 menit gue udah sampe, sebenernya gue bisa nyetir sendiri, cuma gue masih takut nyasar, gue belum hapal jalanan sini.
Gue masuk ke unit gue, mandi dikit biar ga asem-asem banget. Pas gue lagi masang-masang lilin aromaterapi, bel yang gapernah bunyi sebelumnya bergema di ruangan, langsung aja gue buka. Ocha senyum manis ke gue, pake baju biasa.
Gue sejujurnya seneng sama dandanan dia, simple, jeans sama blouse gitu. Tapi gatau kenapa kalo dia yang make bawaannya wah gitu. Heran, ini anak pas di perut emaknya kelilit tali puser kali ya, make apa aja jadi bagus.
"Masuk Cha."
Ocha masuk ke apartment gue dan liat-liat sekitar. Apartment gue ga gede, cuma ada dua kamar, kamar utama lengkap sama kamar mandi dalem dan walk in closet, kamar kedua kaga, soalnya buat tamu doang. Terus ada ruang tamu, ada ruang santai, dapur yang lengkap dengan kitchen island (jadi gue merasa gabutuh meja makan), dan tentu saja ada minibar, tempat gue menyimpan semua wine-wine kesayangan gue.
"Di dalem aja Cha!" Gue nunjuk ruang santai, yaa gaenak di ruang tamu. Kesannya terlalu formal, lagian di ruang santai gue ada sofabed, jadi Ocha bisa lebih nyaman, lagian juga kan gue pasang aromaterapi-nya disono.
"Duduk Cha, sesantai mungkin." Kata gue, lalu gue ke dapur, ngambil juice jambu yang ada di kulkas dan gue bawa ke ruang santai.
"Santai aja ya?" Tanya gue dan Ocha mengangguk.
"Lo bisa cerita awal kejadiannya Cha," Kata gue membuka sesi, sesantai mungkin dengan gue-elo, bukan aku-kamu.
"Gabisa Fir, takut." Katanya.
"Harus, kalo mau lepas ya harus di keluarin." Kata gue.
Terlihat Ocha narik nafas panjang, dia ngambil minum dari tasnya, neguk sekali lalu narik nafas lagi.
"Cha, tasnya taro deh biar lo santai." Kata gue.
Ocha menurut, ia melepas tasnya, meletakan di tasnya di sofa.
"Lo tiduran deh, merem terus cerita. Gue disini dengerin. Oke?" Kata gue.
Ocha menurut.
"Jadi gini.."
****
TBC
Thanks for reading, dont forget to leave a comment and vote this chapter xoxo
Ps: maaf besok gabisa update, paling update lagi senin. See you in funny papers xoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top