πΌ ; πππ πππ πΈπ πΎπππππππ - π΅πππππ π―ππππ
YOU ARE MY SUNSHINE
πππππ ππ ππππππ π΅πππππππππ
γ Luke Pearce x Rosa γ
Written by Callamelatte
Γ
TEARS OF THEMIS Β©HOYOVERSE
Γ
! WARNING !
-Angst
- Might be OOC
- Common Plot
- Typos
Γ
"Please don't take my Sunshine away."
βββ
Dalam diam, gadis bersurai cokelat gelap itu duduk bertopang dagu di atas mejaΒ nomor dua lima, memandangi rinai air hujan yang tak kunjung usai dari balik jendela berembun milik salah satu kedai kopi bernuansa bohemian di pinggir kota.
Jemarinya mengetuk-ngetuk meja membentuk sebuah irama, bibir keringnya bergerak menyenandungkan lagu yang tak memiliki suara, pandangan kosong ia berikan kepada hujan tampak tak memiliki makna apa-apa. Melamun, bersama angan-angan yang melayang ke atas langit mendung, entah apa yang ia cari dan apa yang ia tunggu di sudut kedai itu.
"Hari ini, si Gadis zombie datang lagi?"
"Iya. Aku penasaran, apakah hari ini pun dia menetap sampai malam?"
"Entahlah, kemarin seorang lelaki menjemputnya untuk pulang lebih cepat, mungkin hari ini dia akan dijemput lagi? "
Dengar.
Gadis itu mendengar seluruh perbincangan dua pelayan kedai yang tertuju kepadanya dengan jelas, dia pun sadar bahwa dirinya menjadi topik perbincangan hangat.Β Tetapi, tak satupun ia pedulikan, walau julukkan zombie telah tersemat pada dirinya oleh orang-orang yang setiap hari menetap di kedai tersebut.
Dia selalu suram, seperti sebuah cangkang kosong yang telah terpisah dari isinya. Berkunjung seorang diri, memesan secangkir kopi hitam panas, lalu membisu di meja nomor dua lima sampai kedai mendekati jam tutup, begitulah kehidupan monoton gadis itu kalau dijelaskan secara singkat.
Beberapa orang pernah mencoba menyapa, tetapi sorot dingin dari kedua manik zamrud yang menjadi balasan menyebabkan siapapun tak berani lagi mendekatinya, kecuali pelayan yang kadang kala datang menawarkan isi ulang kopi hitam gratis setiap 45 menit sekali, atau pula, lelaki yang tadi disebut-sebut sering menjemputnya di penghujung hari.
Sampai detik ini, tiada yang tahu kemana jiwa milik si gadis berada, barangkali perlahan-lahan ia sedang direnggut oleh sang waktu, atau bisa jadi telah mati bersama bayang masa lalu.
βββ
"Lagi dengerin apa, sih?"
Dua tahun yang lalu, di meja nomor dua lima yang terletak pada sudut kedai kopi bernuansa bohemian itu, Rosa yang sedang bertopang dagu, bertanya dengan penasaran kepada lelaki berambut cokelat terang tersebut.
Cuaca cerah cocok sebenarnya untuk piknik di luar, tetapi berhubung hari senin depan diadakan tes untuk pengacara, Rosa memilih mengajak Luke pergi ke kedai kopi pinggir kota yang baru saja dibuka dua pekan yang lalu. Tampilan Aesthetic bohemian yang terkesan bebas bercampur vintage itu menjadi daya tarik Rosa untuk memilih sebuah kedai kopi sebagai tempat belajar dibandingkan perpustakaan kota yang monoton.Β
Alhasil, di sinilah dia bersama Luke. Anak-anak muda jaman sekarang mungkin menyebut kegiatan mereka merupakan Study dateβwalau faktanya, hanya Rosa saja yang sedang berkutat dengan buku-buku tebal tentang hukum, sementara Luke di sebrang tidak menyentuh buku ilmiah apa pun, melainkan sebuah novel fiksi, Sherlock Holmes. Luke memang tak perlu belajar sekarang, untuk apa? Studi S2-nya 'kan telah selesai beberapa tahun yang lalu.
Di tengah aktivitas mereka, sering kali Rosa merasa teralihkan dengan sosok Luke Pearce. Pasalnya, jarang sekali ia melihat seorang Luke tampak sangat menikmati sebuah alunan lagu, bahkan akhir-akhir ini rasanya, earphone sudah seperti benda wajib yang Luke bawa kemana pun.
Seperti saat ini saja, di tengah kencanΒ mereka, Luke menyumpalkan telinganya menggunakan earphone bluetooth yang terhubung langsung kepada ponsel lelaki itu. Jarinya sesekali mengetuk-ngetuk meja kayu, menyenandungkanΒ sebuah nada yang terdengar asing bagi telinga Rosa.
Rosa tidak tersinggung dengan sikap Luke, malah penasaran. Meski Luke memang senang bernyanyi, Rosa tidak ingat Luke menyukai sebuah genre lagu secara spesifik, dan seingatnya pula,Β sahabat masa kecilnya itu bukan seorang penggemar fanatik pada sebuahΒ grup musik.
Apa mungkin akhir-akhir ini ada suatu grup atau musisi solois yang menangkap daya tarik pria tersebut? masalahnya, tak terlintas satu pun nama selebritis yang kira-kira sedang Luke gandrungi dalam benak Rosa.
Rosa ingin mengetahuinya, sangat ingin. Dengan begitu, ia menjadi bertambah paham tentang Luke yang telah memiliki banyak perubahan dari Luke yang ia kenal delapan tahun yang lalu. Bisa saja banyak sisi menarik dari Luke yang belum terungkap olehnya, bukan?
"Luke, hei, Luke?" panggil Rosa karena dia tidak kunjung mendapat balasan dari sang empu. Dia memutuskan untuk sedikit berteriak. "Luke Pearce!"
"Eh, oh, y-ya??" respon Luke gelagapan. Sorot coral yang sebelumnya terfokus kepada setiap frasa yang tertulis di setiap paragraf dalam novel, kini beralih kepada paras seorang gadis yang tengah memberikannya pandangan heran.
"Maaf, maaf, aku tidak mendengar sebelumnya. Kamu memanggilku? Ada apa?? Apa kamu ingin memesan sesuatu??" lanjut Luke seraya melepas dua earphone yang masing-masing menyumpal gendang telinganya rapat-rapat. Tak lupa juga, ia menekan tombol pause pada music player di layar ponselnya.
Rosa mengibaskan tangannya di udara. "Oh, bukan, kok! Aku tadi hanya bertanya, Lagu apa yang sedang kamu dengar? Sepertinya ahir-akhir ini kamu sedang tertarik pada sebuah lagu?"
"Ahhh, ituuuu. " Luke mengangguk paham. " Ini bukan lagu populer akhir-akhir ini sih, malah sebenarnya ini lagu anak-anak, tapi aku senang saja mendengarnya."
"Heee, lagu apa???"
"Apakah kau tahu lagu You are my Sunshine? Nah, lagu itu."
"You are my Sunshine?" beo Rosa. Dia merasa familliar dengan judulnya, akan tetapi nada dari lagu yang dimaksud tak kunjung muncul di dalam kepala, membuat gadis tersebut semakin tersesat dalam pemikirannya sendiri.
Melihat ekspresi kebingung milik Rosa, gelak tawa lantas lepas dari diri Luke. "Kamu tidak perlu berpikir keras. Kalau kamu mau, aku bisa menyanyikannya untukmu nanti."
"Sungguh? Kalau begitu aku akan menantikannya!" balas si gadis dengan riang. "Ngomong-ngomong, memangnya ada apa dengan lagu itu sehingga kamu senang mendengarkanya berulang-ulang? "
"Hmm, tidak ada alasan khusus, sih? Tak lama ini, seorang pelanggan menyerahkan kotak musik model antik kepadaku, lalu kucoba saja memutarnya biar sekalian memeriksa kondisi kotak itu. Dan begitu lagunya terputar, aku menyukainya," jelas Luke.
"Dan ... Aku memang tidak memiliki banyak ingatan tentang keluargaku yang dulu, tetapi begitu mendengar lagu ini, entah mengapa aku jadi teringat ibuku. Nada lagunya mirip sekali dengan nada lagu yang ia sering nyanyikan sebelum tidur."
"Ah, begitu .... " Setelah mendengarnya, Rosa merasa iba. Karena masa kecil Luke dengan keluarganya memang dapat terbilang seumur jagung, setelahnya mereka pergi meninggalkan Luke kecil ke tempat yang sangat jauh, menyebabkan cowok itu berakhir di rumah keluarga Rosa untuk menyambung hidup.
Memang tidak terlihat, tapi tak menutup kemungkinan Luke bisa saja sewaktu-waktu merasa rindu dengan keluarga lamanya. Rosa meruntuki diri sendiri karena baru menyadari itu.
Selama ini, kalau aku sedang sedih, Luke pasti menghiburku. Makanya, Aku pun pasti bisa menghiburnya! tetapi apa ....
Oh ya, benar juga.'Kan aku bisa melakukan 'itu'!
"Hei Luke, aku juga ingin dengar lagunya, dong!" pinta Rosa tiba-tiba.
"Eh? Boleh saja sih, tapi bukannya kamu lagi belajar?" tanya Luke.Β
"Tak apa-apa! Aku bisa tetap fokus belajar walau lagi dengerin musik, kok!" jelas Rosa bangga.
"Ohhh, okay, kalau begitu." Luke menyerahkan salah satu earphone miliknya kepada Rosa.
Rosa menerima dengan senang hati, ia segera memakai benda mungil tersebut pada salah satu telinganya. Begitu selesai, Luke meraih ponselnya lagi dan menekan tombol play.
Alunan lagu kemudian terputar, Rosa mendengarnya dengan seksama sembari meraih pena, lalu menarik buku catatan.
Diam-diam, mulutnya bergumam tanpa suara, bernyanyi tanpa nada, dan tangannya bergerak cepat mencatat setiap bait lirik yang ia dengar.
Dalam momen ini, ia berharap otaknya turut merekam setiap nada yang ada.
βͺβͺβͺ
"Festival musik?? Kapan??" Dahi Rosa mengernyit. Malam ini, dia hanya seorang diri di kamar, berkutik dengan buku-buku hukumnya lagi dan catatan. Sebuah ponsel tertempel di telinganya, diapit oleh bahu agar benda itu tidak terjun bebas ke bawah.
"Tanggal sembilan, bulan ini! " balas Luke riang dari sebrang telepon. " Dan kabarnya, Violist kesukaanmu dari kecil akan datang ke sana untuk tampil, lho!"
"Ehh??? Sungguh!??" Mendadak, Rosa merasa antusias, penanya sampai jatuh dari meja karena terlempar. "Astaga, astaga, apakah pembelian tiketnya masih berlangsung!? Di mana tempat aku bisa memesan tiketnya!? Tetapi aduh, aku sedang sibuk-sibuknya dengan persiapan ujianβ Apakah mereka mempunyai situs online untuk memesan tiket????"
"Hei, te-tenanglah dulu!"
"Gak bisa, Luke! Aku sudah lama sekali menantikan dia tampil lagi setelah bertahun-tahun! Aku tidak boleh melewatkan kesempatan ini!"
"Iya, aku mengerti, makanya tenang dulu! Aku belum selesai bicara, tahu!" Luke menghela napas. "Nah, Sekarang coba tebak, siapa yang berhasil mendapatkan dua tiket untuk ke festival musik itu, hm?~"
"Dua tiket ...?" Awalnya Rosa kebingungan dengan pertanyaan itu. Tetapi seiring waktu ia mencerna setiap kalimat Luke, dia akhirnya menyadari sesuatu. Bersamaan pada saat itu juga, matanya membulat.
"Luke ... Jangan bilang kamu .... "
"Hehe~ Iya, pokoknya tanggal sembilan, kamu siap-siap, yaaa!"
"Ya Tuhan, Luke!! Kamu memang yang terbaik!! Aku mencintaimu!! " sahut Rosa girang, dia bahkanΒ refleks melompat dari kursi dan berjingkrak-jingkrak senang ke sekeliling kamarnya sembari bersorak.
Luke tertawa kecil. "Sesenang itu, kah?"
"Tentu saja aku sangat senang! Kau 'kan pasti tahu, betapa sukanya aku kepada violist itu! " Rosa melempar dirinya ke atas kasur setelah lelah bergembira beberapa saat. Nafasnya terengah, tapi senyumnya tak kunjung pudar.
"Ngomong-ngomong tentang musik,Β apakah kamu sendiri memiliki genre musik tertentu yang kamu sukai? Western pop, gitu? Atau Rock? " tanya Rosa. Dia berpikir, suatu saat nanti dia pun bisa membelikan Luke tiket konser berdasarkan musik yang lelaki itu sukai, hitung-hitung bentuk balas budi malam ini.
"Hmm, aku mendengarkan keduanya, tapi cuman kadang-kadang saja."
"Ahh, kalau begitu musik klasik??"
"Yah, lumayan, lah? Kadang kala aku mendengarkan itu. "
"K-pop? J-pop??"
"Sedikit, mungkin? Terkadang aku mendengarkan mereka juga. "
"Ehh?? kau menjawab hampir semuanya sama kepada semua pertanyaan, lho!" Rosa mendengus.
"Heh? apakah aku salah?" tanya Luke heran.
"Ya, enggak sih ... Aku hanya penasaran saja, musik semacam apa yang paling kamu sukai sebenarnya?"
"Hmmm ... apa ya ...." Luke terdiam sejenak, memutar otaknya untuk mencari jawaban yang kira-kira memuaskan rasa penasaran Rosa.
Sebenarnya, kalau dipikir-pikir lagi, Luke selama ini memang tidak pernah memberi patokan terhadap genre musik yang ia senangi, jadi kalau ada bertanya: musik jenis apa yang paling disukai? dia biasanya akan menjawab :Β Tidak ada.
Jawab kayak gitu aja kali, ya?
"Kamu. Kamu yang paling aku sukai. "
'Sepertinya tidak ada? aku penikmat segala musikβ'
"Eh? "
"Eh?"
Tersadar baru saja selip lidah, dalam hitungan detik, rasa panik langsung menghantam seorang Luke Pearce sungguh luar biasa. JantungnyaΒ berpicu sangat cepat, mukanya memerah terbakar sampai telinga.
"M-maksudku!! Aku bukan penyuka satu jenis musik, aku penikmat semuanya!!!!" Cepat-cepat Luke meluruskan untuk mengusir kecanggungan yang terjadi di antara mereka.
"O-oh, begitu ya ... kukira kamu suka lagu Pop, hahaha ...."
"Enggak, kok, hahaha ...."
Aish, bodoh !!! Kenapa yang keluar malah itu!! Ahdhhdgdvdhβ
Dan sampai detik ini, Luke mengumpat untuk dirinya sendiri.
Rasanya, dia ingin melemparkan diri keΒ dalam palung mariana dan tidak akan pernah kembali lagi.
βͺβͺβͺ
Tanggal sembilan, hujan turun secara lebat, dan Rosa duduk sendirian di meja nomor dua lima dalam kedai yang ia kunjungi bersama Luke beberapa waktu yang lalu.
Helaan nafas keluar dari mulutnya. Padahal dia ingin menghampiri toko antik Luke, menjemput lelaki tersebut untuk berangkat bersama ke festival musik itu. Sayangnya, langit mendadak menangis tanpa peringatan, membuatnya terpaksa berteduh ke suatu tempat, dan kedai kopi ini lah yang terdekat.
Rosa memandangi layar ponselnya yang menampilkan ruang obrolannya bersama Luke. Terakhir kali, pesannya terkirim dua puluh menit yang lalu.
Luke
Luke : Tunggu ya, aku akan ke sana.
Luke : Kamu jangan berteduh di luar, dingin. Masuk saja ke kafenya. Kalau tidak, nanti kamu sakit!
Luke : Aku akan tiba sekitar 20 menit, ah tidak, 10 menit.
Iya, iyaaa.
Hati-hati di jalan, ya.
Kemudian tidak ada balasan lagi, bahkan pesannya belum dibaca oleh Luke. Rosa mencoba berfikir positif, bisa saja Luke saat ini sudah di luar sehingga tidak sempat mengecek ponsel, pasti begitu.
Rosa memandangi pantulan dirinya sendiri dari bayangan cangkir kopi hitam yang mengkilap untuk beberapa saat, tangannya lalu mengetuk-ngetuk meja, dan bibirnya bergumam pelan, melafalkan sebuah bait lagu di dalam benaknya.
"You are my sunshine .... My only Sunshine .... You make me happy when skies are gray .... "
Pikiran sang gadis langsung terbayang kepada lelaki bermanik coral yang selalu tersenyum kepadanya tersebut. Senyum yang secerah mentari, membuat hati siapapun menghangat ketika melihatnya.
"You'll never know, dear, how much i love you .... "
Ya, seandainya Luke tahu, betapa Rosa mencintainya selama ini dalam diam. Betapa besarnya perasaan gadis itu yang telah ia pendam selama bertahun-tahun, bahkan ketika Luke pergi delapan tahun yang lalu, rasa miliknya tidak pernah pupus.
'Kamu. Kamu yang paling aku sukai.'
Kalimat itu tidak pernah gagal membawa senyuman pada wajah Rosa. Pipinya turut bersemu pula seperti apel segar yang baru memerah di kebun pagi buta.
Oh, andaikan Luke tahu, bahwa tidak hanya dia saja yang merasa seperti itu.
Apalagi tujuan Rosa berusaha menghafal lagu ini bukanlah semata-mata karena dia hanya ingin menghibur, tapi karena dia memang benar-benar mencintai Luke Pearce. Dia ingin Luke tahu lewat lagu ini, betapa besar rasa kasih sayang yang ia bendung untuknya, berusaha menunjukkan bahwa Rosa akan selalu ada untuk Luke di kala sedih ataupun senang.
Ya, Luke, kamu tidak pernah sendirian. Aku akan selalu ada untukmu.
Melayangkan pandangan kepada langit mendung, Rosa membulatkan tekadnya saat ini. Setelah festival musik selesai, ia akan membalas perasaan Luke dengan lagu itu.
Rosa akan membawakan segala kebahagiaan untuknya, dan mengobati semua rindu yang tersisa. Dia akan membuat Luke menjadi orang yang paling bahagia di dunia.
Sekarang, sebelum rencana itu terlaksana, dia akan menunggu kedatangan Luke terlebih dahulu di sini.
Di depan meja nomor dua lima, di bawah atap langit yang tak kunjung berniat meredakan tangisannya.
Tak apa-apa, sampai kapan pun, dia akan setia menunggu kedatangan sang mentari.
βββ
"Please ... Don't take ... My sunshine away .... "
Akhirnya, mulut si gadis tanpa kehidupan itu tertutup rapat. Lagunya telah selesai, tetapi hujan di luar masih saja belum berhenti menghujam.
Binar mata kosong tersebut perlahan mengeluarkan titik demi titik air bening yang kemudian jatuh menghantam meja. Bersama langit, kini ia ikut runtuh.
"Kenapa ... Kenapa kamu belum juga datang???" tanya Rosa emosional, entah kepada siapa. "Kenapa Luke?? Kenapa!!?? "
Sepuluh menit itu terasa menyiksa.
Sepuluh menit itu terasa selamanya.
Nyatanya, si mentari tidak pernah tiba, dunianya seolah dibiarkan tenggelam dalam siklus hujan abadi yang dingin dan gelap.
Bodohnya, Rosa tidak pernah memutuskan untuk mencari tempat bernaung.Β Dia selalu berdiri di bawah guyuran hujan itu, mendongak, terus mengharap matahari yang mustahil itu akhirnya muncul.
"Ayo kita pulang. "
Di tengah badai tersebut, seseorang tiba-tiba merengkuh tubuh rapuhnya dari belakang. Mendekap erat, memberikan kehangatan yang ia punya.
Rosa perlahan menolehkan wajah. Memandang figur itu dengan matanya yang sembab. "... Marius?? "
Mariusβsi penjemputβmengangguk pelan. Tangannya terulur, mengusap pipi Rosa menggunakan ibu jari secara lembut.
"Ayo kita pulang, kak. Hari sudah mulai gelap," ulangnya, menarik tangan Rosa.
Akan tetapi, Rosa enggan untuk bergerak dari tempat. Dia menepis tangan Marius. "Apakah Luke datang bersamamu juga?"
Pemuda itu tak langsung menjawab. Dia mengigit bibir bawahnya, menunjukkan keraguan.
Tentu saja, Marius akan dibuat kehilangan kata.
Karena dia sama sekali tidak menemukan jalan untuk menjelaskan jika Luke sebenarnya sudah tiada dua tahun yang lalu sebab kecelakaan lalu lintas.
Dan Rosa, perempuan yang mencintai Luke dengan sepenuh hatinya, masih percaya bahwa Luke akan datang ke kafe itu. Ingatan milik Rosa selayak telah berhenti pada tanggal 9 Maret dua tahun yang lalu, tepat di hari kecelakaan naas Luke Pearce.
Dengan kenyataan pahit itu, bagaimana caranya Marius menyadarkan Rosa, jika yang tersisa di dunia ini hanyalah raga milik perempuan tersebut, sementara hati kecil miliknya telah turut dibawa pergi jauh bersama Luke?
β E N Dβ
BαΊ‘n Δang Δα»c truyα»n trΓͺn: AzTruyen.Top