🎼 ; 𝕴𝖓𝖙𝖔 𝕿𝖍𝖊 𝕹𝖎𝖌𝖍𝖙 - 𝖄𝕺𝕬𝕾𝕺𝕭𝕴

Yugi Amane x Yashiro Nene
Made by azure_lullaby

Pungut Event

[ M U S I C   D A Y ]

Jibaku Shounen Hanako-kun © Aida Iro

- OOC
- Typo sewaktu-waktu
- Ga jelas itu pasti
- Angst, maybe (?)
_______________________________________

"Aku ingin berlari menuju langit malam, bersamamu."

Seandainya saat itu kita hanya bertemu saat dirimu mencapai tanah, mungkin sekarang, kita tak akan pernah bisa berbincang.

Aku tidak tahu apa yang kupikirkan kala itu. Tubuhku bergerak dengan sendirinya, berlari menuju atap, dan pada akhirnya ... yang menjadi titik fokusku hanyalah manik cerah tanpa cahaya.

*

Tak pernah terpikirkan oleh sang empu dari manik magenta bahwa Ia bisa berkomunikasi dengan manusia tak terbaca satu ini. Seseorang yang duduk di kelas yang sama dengannya, namun jarang bersosialisasi. Jangankan bersosialisasi, orang lain ingat pada namanya saja kemungkinan besar tidak.

Tak pernah disangka pula oleh Yashiro Nene, bahwa dirinya akan berlari demi menghentikan aksi nekat seorang Yugi Amane. Sebuah aksi berbahaya yang menarik tubuh atau objek dari tempat tinggi dengan gaya gravitasi sampai menuju tanah keras yang bisa membuat manusia biasa mati.

Iris merah itu beralih dari langit menuju satu orang di sampingnya. Surai gelap milik Amane melambai mengikuti alur angin di bagian belakang sekolah, bersamaan dengan mulut yang tak henti mengunyah makanan dalam bekalnya. Lucu dan manis. Nene tersenyum kecil kala memandangnya.

"Terimakasih telah memasak untukku, Yashiro," ucap Amane beberapa saat setelah acara makannya selesai sambil tersenyum hangat untuk beberapa saat. Ya, hanya beberapa saat. Karena pada akhirnya, yang sang gadis lihat hanyalah wajah tanpa ekspresi dengan manik kekurangan cahaya tak terbaca.

"Sama-sama." Nene ikut melebarkan senyumnya. Setelah itu, kebisuan hinggap di antara kedua insan tersebut. Amane yang entah sedang memikirkan apa, dan Nene yang penasaran akan apa yang ada dalam kelereng cerah kepunyaan lawan bicara.

"Yugi-san, sejak kita berinteraksi, aku jadi ingin tahu apa impianmu." Gadis bersurai cream itu tiba-tiba berucap. Berusaha mengetahui apa yang ada di balik matanya, meskipun hanya sedikit. Mengingat bahwa Amane pernah berusaha mengakhiri hidupnya. Apakah pergi menuju kematian adalah impiannya? Tidak mungkin, bukan? Manusia memiliki mimpi indah yang ingin digapai dalam hidupnya, membuat kehidupan dalam dunia ini menjadi lebih nyaman untuk dijalani seluruh manusia.

"Menuju langit malam," jawab sang lawan bicara, tanpa menoleh.

Nene memasang wajah bingung, "Eh?"

"Aku ingin pergi ke langit malam. Bersama bintang, dan bulan. Aku ingin pergi ke sana," jelas Amane dengan tangannya yang tampak berusaha menyentuh langit, "Namun, karena ada dirimu ... aku sepertinya akan membatalkan impian itu."

"H-hee? Apa aku menghalangi mimpimu menjadi astronot?!" Nene tampak gelagapan. Gadis itu merasa telah menjadi penghalang bagi teman sekelasnya.

Amane menoleh ke arah gadis bermarga Yashiro, "Astronot?" Sejenak, Ia merasa bingung. Namun pada akhirnya, pemuda berusia 16 tahun itu tersenyum kembali, "Ah, benar juga!"

*

"Apa aku menghalangimu untuk menjadi astronot?!"

Kata 'astronot' kembali terulang dalam benaknya. Amane berguling di atas tempat tidur. Suara lemparan barang, pecahan dan teriakan antar dua orang yang telah melahirkan dirinya bersama sang adik kembar di ruang tengah seolah tak dipedulikannya.

Ah, mengapa dia bisa sampai lupa? Lupa tentang dirinya yang begitu antusias dengan hal-hal berbau astronomi. Tentang impiannya yang harus terhapus secara tak sengaja karena pertikaian dalam keluarga. Ditambah perkataan teman-teman masa lalu yang merendahkan impiannya. Sehingga tanpa sadar, Amane putus asa dalam menggapai cita.

Orang tua dari Yugi bersaudara tak akan peduli pada angannya selama pertengkaran masih mengisi hari.

Manik sewarna bunga matahari menoleh ke arah tempat tidur yang lain, tempat adik kembarnya terlelap menuju dunia mimpi. Ah, sepertinya, bukan hanya dia yang terbiasa dengan perpecahan ini.

*

"Rupanya sudah 3 bulan sejak interaksi pertama kita," ujar Nene, memulai obrolan. Kali ini, kedua orang itu berada di perpustakaan. Sang gadis menggenggam novel romansa, sedangkan pemuda di sampingnya membaca tiap kata dalam buku astronomi.

"Iya juga!" Amane tersenyum manis sejenak, "Kenapa saat itu kau menghentikanku, Yashiro?"

"Eh?" Gadis tersebut menunjukkan ekspresi berfikir, "Karena ... kau teman sekelasku."

"Hanya sebatas teman sekelas, ya?" Seolah kecewa, Amane mengerucutkan bibirnya. Teman perempuan pertamanya seketika tampak panik. Sedangkan sang pemuda tersenyum dalam hati, menahan tawa.

"Du-dulu, kau teman sekelasku! Namun sekarang, kau benar-benar temanku!"

Mendengar kalimat tersebut, Amane tertegun. Sedikit perasaan bahagia terbersit. Hangat segera menjalar ke dalam sudut hatinya, kala merasakan ketulusan seorang Yashiro Nene.

Amane tak pernah berharap akan mendapatkan teman kembali. Hidupnya saat ini terasa tak berarti. Tak ada alasan baginya untuk menggapai impian. Tidak ada dukungan dari orang-orang. Sehingga, Amane tak memberi dirinya sendiri sebuah kepercayaan.

Seandainya saja Nene tidak repot-repot berlari menuju atap, mungkin Ia sudah benar-benar melupakan apa arti dari rasa bahagia.

Gadis satu ini mungkin tak bisa membaca apa yang ada dalam iris tanpa cahayanya. Namun, Amane tetap bahagia, menyadari bahwa Ia mendapatkan teman kembali.

"Yugi-san ... mengapa kau berniat melakukan hal nekat seperti itu?"

Lamunan Amane buyar, tatapan cerianya berubah menjadi sendu. Laki-laki tersebut menoleh, menatap kelereng magenta yang menunjukkan sorot ingin dipercaya. Lidahnya mendadak tak bisa mengeluarkan kata.

"A-ah, tidak apa jika kau tidak mau menjawabnya. Aku mengerti kalau ...-"

Perkataan Nene terpotong, kala usapan lembut di atas helaian rambutnya terasa. Sang pelaku tersenyum lembut, "Akan kuceritakan lain kali. Terimakasih, Yashiro. Aku bahagia kau mau menjadi temanku."

Rasa hangat menjalar, jantung Nene berdetak lebih cepat. Gadis itu tersenyum, guna memudarkan perasaan yang tiba-tiba datang, "Sama-sama, Amane-kun."

*

"Apa-apaan cita-citamu itu? Tidak mungkin kau bisa mencapainya, kan?"

Satu kalimat bertombak terngiang dalam pikirannya. Kian hari berganti, dan Ia mulai terbiasa dengan kata yang menusuk hati.

Abu-abu, suram, tanpa warna. Begitulah hidup dalam pandangannya. Sampai sosok itu datang. Menghentikan langkahnya menuju neraka. Menganggapnya teman dengan ketulusan. Sehingga perasaan yang tidak bisa dijelaskan oleh dirinya muncul dalam sanubari.

Apapun ... Amane akan memberikan apapun yang Yashiro Nene inginkan. Satu kata yang bisa menyakiti Nene, tak akan Amane biarkan keluar begitu saja.

Seperti beberapa saat yang lalu ....

Pemuda itu berdiri kala 3 orang di sekitarnya tergeletak tanpa tenaga. Luka memar bahkan goresan berdarah tak dipedulikan. Sedangkan gadis yang tengah Ia bela berderai air mata sambil menggenggam ujung kemejanya dan mengatakan padanya untuk berhenti.

"Hentikan, aku sudah terbiasa dengan perkataan mereka yang membicarakan fisikku."

"Jangan terbiasa dengan rasa sakit, Yashiro." Amane mengusap kepala sang gadis. Manik kuningnya melirik ke arah koridor, menyadari bahwa dirinya akan segera dibawa ke ruang konseling.

Dan kala ini, dirinya tengah berhadapan dengan amarah sang Ibu. Luka di tubuhnya tak kunjung diobati. Namun itu tak seberapa dengan sorot tajam menusuk yang berasal dari wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.

"Amane, bisakah kau membuatku senang sedikit saja?"

Sang laki-laki diam, tak ingin menjawab.

"Ibu dan ayahmu bertengkar lagi karena dirimu, Amane!"

"Maaf." Hanya ini. Hanya kata maaf yang bisa diucapkan. Amane tak tahu apa yang akan terjadi padanya kali ini. Tidak apa, tidak apa-apa jika ibunya memukulinya untuk kesekian kali.

"Kau itu ... sangat merepotkan. Aku tidak pernah mengharapkan anak sepertimu."

Bagaikan tersambar petir di sore hari, Amane menatap kosong ke arah ibunya. Laki-laki tersebut tak pernah menginginkan kalimat ini. Ia terbiasa menerima kata menusuk, namun tidak dengan ini. Kalimat yang pertama kali dilontarkan oleh sang Ibu. Menyakiti batin yang sejujurnya sudah banyak dilukai.

Amane berlari ke kamar, tanpa mempedulikan ibunya yang semakin marah. Entah pada siapa dia harus mengeluarkan sesak ini.

Ia tak ingin merepotkan Nene, temannya. Ia tak ingin Nene memikirkan masalah yang harus Ia urus sendiri olehnya.

Haruskah Amane berserah diri pada malam? Terbang menuju bulan dan bintang, tempat angan yang tidak Ia percaya akan menjadi kenyataan.

Amane ingin terbang menuju malam, berlari diantara bintang. Namun, Ia tak ingin sendirian, seperti saat ini. Setidaknya, Ia menginginkan teman untuk berlari dari kehidupan.

Namun ... gadis sebaik Yashiro Nene tak pantas menjadi teman kematiannya.

Amane menyembunyikan wajahnya di antara bantal serta selimut. Menahan tangis akibat perkataan dari seseorang yang seharusnya menjadi teman terdekatnya.

*

Suasana sekolah sudah mulai sepi. Senja mulai menyelimuti bumi. Dalam sudut gelap, Ia menggenggam secarik kertas bertuliskan keinginan sebenarnya.

Kelereng sewarna bunga matahari menatap dua insan yang sedang bertukar kata, diselingi tawa dan senyum yang seketika membuat Amane tertegun.

"Nene-chan, selama beberapa bulan ini, kau tampak dekat dengan Yugi-kun," ujar gadis bersurai biru.

"Eh, tampaknya seperti itu, kah?" Sang lawan bicara tersenyum canggung. Sedangkan yang satunya lagi mengangguk.

"Kau menyukainya?"

Pertanyaan tersebut membuat Nene terdiam untuk beberapa saat, sampai pada titik dimana wajahnya sedikit bersemu. Sedikit harapan terbit dalam benak Amane.

"T-tidak! Aku tidak menyukainya!"

Sontak, tubuh Amane terasa lemas. Maniknya semakin kosong. Harapannya pupus begitu saja. Sebelah tangannya terkepal. Sesak menyusup ke dalam sanubari, sampai tanpa sadar, Amane berlari, meninggalkan sepasang sahabat tersebut tanpa mendengarkan lebih lanjut.

"Daripada disebut suka, aku ... menyayanginya."

Nene menutup wajahnya yang merah. Sedangkan sahabatnya malah tersenyum. Suhu di sekitarnya terasa panas bagi gadis itu. Sampai akhirnya, Ia berlari menuju kelas, meninggalkan kebingungan dalam benak sang sahabat.

Beberapa menit berlalu, dan gadis bersurai cream itu masih menetralkan nafasnya.

Matanya tertuju pada secarik kertas yang ada di atas mejanya. Nene mendekat, mengambil kertas tersebut dan membaca tiap kata di dalamnya.

Kepada: Yashiro Nene*
Dari: Yugi Amane

Hei, Yashiro, aku pernah berkata bahwa aku akan menceritakan alasanku nekat, bukan?

Sepertinya, sekarang adalah waktu yang tepat. Mengingat bahwa kau adalah orang yang sangat kupercayai saat ini.

Aku bahagia, Yashiro. Aku bahagia ketika merasakan ketulusanmu untuk menjadi temanku. Karena dalam waktu yang lama, aku selalu merasa sendiri.

Hubungan keluargaku merenggang. Dan pada akhirnya, kami terjebak dalam keasingan. Ibuku selalu melampiaskan amarahnya kepadaku. Sedangkan ayahku sendiri tampaknya tak peduli. Tak ada yang mendukung impianku, termasuk teman-teman masa lalu-ku.

Namun, saat kau datang ... aku merasa memiliki arti dalam hidup. Kau mengisi kekosongan dalam hatiku hanya dengan tindakanmu yang menghentikanku menuju langit malam.

Aku senang kau mau menjadi temanku. Sampai-sampai, aku ingin mengajakmu berlari menuju malam bersamamu. Karena dengan begitu, aku tidak akan sendirian lagi.

Namun aku sadar, keinginanku itu terlalu egois. Tidak mungkin, kan, aku membawamu menuju neraka? Entah apa yang kurasakan untukmu, namun ... aku tidak ingin kau terjerumus bersamaku.

Aku akan menuju langit malam, Yashiro. Aku akan terbang, berlari menelusuri bintang, dan menatap bulan. Walaupun pada akhirnya, aku akan berakhir pada jurang dalam penuh siksaan.

Terimakasih banyak, Yashiro. Ini pertama kalinya aku mendapatkan teman setulus dirimu.

Aku bahagia. Aku sangat bahagia ketika berbincang bersamamu.

Namun, ibuku sendiri mengatakan jika Ia tidak mengharapkan seorang anak sepertiku. Jadi, aku rasa tak ada gunanya lagi aku bertahan.

Terimakasih untuk segalanya, Yashiro.

Tertanda:
Amane

Sang penerima surat membulatkan matanya. Air sudah mulai menggenang di pelupuk mata. Tangannya bergetar, kakinya terasa lemas, namun tetap berusaha lari menuju tempat pertama kali mereka berinteraksi.

Nene tak ingin kehilangan orang yang Ia sayangi. Tak pernah, tak pernah sekalipun dia menyangka bahwa kalimat 'menuju langit malam' itu bermakna suram.

Bodoh, tidak peka, tidak mengerti perasaan teman yang Ia sayangi sendiri, begitulah pandangan Nene pada dirinya.

Mengapa? Mengapa Nene tak mengerti tentang makna kalimat yang telah dilisankan Amane? Mengapa dirinya tak bisa menghentikan keinginan nekat dari orang yang disayanginya?

Nene tetap berlari, berkali-kali Ia hampir jatuh, namun dirinya tak peduli.

Hingga akhirnya,  gadis itu sampai di tempat tujuan. Atap tempat dirinya dan Amane mengawali hubungan pertemanan.

Tepat ketika ... manik berwarna cerah kepunyaan Yugi Amane membulat kala melihat kedatangan Nene. Sebelum akhirnya, Ia ditarik gaya gravitasi, menuju tanah keras yang akan menghancurkan seluruh tulangnya.

Nene ... terlambat.
Suara terjatuhnya Amane mengisi indra pendengaran sang gadis. Disertai bunyi retaknya tulang-tulang yang mengisi keheningan.

Teriak tangis mengisi sore hari.
Nene terduduk. Tangannya terangkat, mengacak-acak helaian berwarna cream, air matanya kian detik kian deras, mebasahi semen yang sedang Ia pijak.

'Selamat menjalani impianmu, Amane-kun.'


End.


*Note:*

Halo-halo~~

Telat banget, hiks.
Jujur, aku sampe gonta-ganti lagu demi bikin songfict ini. Dan akhirnya, terpilihlah lagu bertema bundir:'D. Ceritanya memang ga jelas, ngaler ngidul sana sini dan sedikit membuatku kecewa. Mau rombak alur, tapi waktu udah mepet:(

Thank You bagi readers yang mau baca berbagai cerita dalam event Hari Musik di PungutProject! Jangan lupa nantikan event yang lainnya juga, ya! <3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top