A-Fan-tes
(A)pollo, (Fan)tasos, Filo(tes)
Ada banyak nama dewa-dewi dalam mitologi Yunani. Mereka memiliki ciri khasnya sendiri, yang membuat mereka menjadi begitu special, "Nah, Louisa Harmony mana yang paling berkesan untukmu?"
Seketika terbangun dari lamunan, "A ... Apollo. Aku menyukai musik, begitu pula Apollo. Dia adalah dewa musik, puisi, seni, dan pengetahuan."
"Bagus sekali, kalau Kentaro?"
Terkejut karena sedang berbicara dengan Nosa, "Ka ... kalau aku, lebih ke Fantasos. Dewa mimpi dan fantasi. Seperti halnya diriku yang terjebak oleh mimpi dan kehidupan fantasi." jawabku nyeleneh.
"Lalu, bagaimana dengan Hana?"
"Sepertinya Filotes sangat cocok denganku. Dewi persahabatan dan kasih sayang. Like as me, yang telah mencurahkan segalanya tetapi tak direspon. Huh...." jawabnya cetus.
"??? Apa kau baik-baik saja Hana?"
"Sangat baik, sampai-sampai aku ingin menemukan tulang-belulangnya."
Entah kenapa hari ini sikap Hana sangat aneh. Sejak kita masuk kelas itu dan bertemu Harmony. Dia terkesan dingin, pergi dan menjauh. Seolah-olah sedang menjaga jarak denganku. Apa sebenarnya salahku, hingga dia bersikap seperti itu terhadapku.
♪♫♬♪♫♬
Aku mulai risih dengan sikap Ken, sejak kita satu kelas dengan Harmony tatapannya hanya tertuju pada wanita itu saja. Sering kali aku tak dapat tanggapan kala Harmony yang tiba-tiba hadir di tengah percakapan kami. Harmony adalah sahabat karibku sewaktu masih sekolah dasar dulu.
Andai saja kau tahu, isi hatiku yang terdalam, "I feel, I fallin in love with you." Sejak hari itu, saat pertama kau melindungiku dari bahaya. Dia menyingkap keringat didahinya, "Duh ... hampir saja, kalau terlambat sedikit saja habislah aku. Bisa tidak sekali saja jangan membuatku dalam masalah!"
Diam hanya menatap, dengan mata berbinar aku tak dapat berucap. Wajah yang di banjiri keringat dengan napas yang terengah-engah itu. Dia menurunkanku dari atas pohon lalu mengantarkan sampai ke rumah.
Sejak itulah rasaku mulai tumbuh. Berawal dari benih kebaikan, dan harapan untuk bisa tumbuh menjadi pohon yang rindang. Agar kelak bisa menyejukkan hati dan pikirannya.
Ini akan menjadi tahun terakhir bersekolah disini, bersamanya. Dengan semua cerita yang pernah ku lalui di tempat ini. Takkan lama lagi akan memasuki musim panas. Jeda dalam waktu yang agak lama membuatku terpikirkan tentang masa lalu yang aku pernah lewati bersama Ken.
Mungkin waktu untuk sekedar memandang senyumnya berkurang. Dan lagi sikap Ken yang semakin menjurus kepada Harmony. Membuatku merasakan yang tak terjadi dan semua yang mulai terhenti tanpa ku akhiri.
Aku terdiam memandang langit nan biru dengan bercecer awan putih yang tipis. Aku berbaring di depan teras dengan wajah menghadap ke atas. Di temani segelas Lime dengan biji genap di buahnya.
Krik... krik... krik...
"Ha ... na!!" mataku melirik ke arah sumber suara itu.
"Eh, ternyata kau!! Nosa!.
"Bagaimana mungkin kau bisa ...."
Pandanganku terus mengikuti gerak langkah seorang lelaki yang melewati jalan depan rumahku, "Ken...!!!" teriakku keras.
Dia terus berjalan tanpa menoleh. Mempercepat langkahnya, kemudian berlari pergi. Aku berniat untuk mengejar, akan tetapi Nosa menarik lengan kiriku.
Tak ada satupun yang berkesan pada liburan musim panas kali ini. Semua terasa begitu biasa, terlalu normal. Hanya teka-teki dalam dilema sebuah realisasi yang sulit ku pahami.
Waktu liburan telah usai, tidak sampai setahun masa di kelas IX ini akan berakhir. Ada yang sudah menentukan pilihan untuk jenjang selanjutnya, ada juga yang belum.
Kring...
Waktu istirahat usai, semua murid masuk ke kelasnya masing-masing. Suasana seketika hening, berbeda dari biasanya. Ada dua kursi kosong di kelas, kursi yang biasa di pandangi Ken yaitu tempat Harmony duduk. Dan kursi di samping tempat duduk Ken, Nosa.
Sudah satu minggu terakhir ini, mereka jarang mengikuti kegiatan di kelas. Entah apa alasannya. Aku enggan bertanya, meski ingin tahu. Rasanya aneh saja, kenapa selalu disaat yang bersamaan, "Mungkinkah..."
Hari ini begitu banyak tugas, aku menyempatkan diri ke perpustakaan. Berjalan melalui lorong koridor yang tak berujung. Hingga akhirnya ku tiba di depan sebuah pintu, "Ini dia."
Ceklek...
Saat aku membuka knop pintu yang tertutup rapat, "Ken?" Dia menghampiri seorang wanita di sudut ruang perpustakaan. Wanita itu tidak lain adalah Harmony. Betapa terpentalnya pikiranku, Ken yang tidak pernah peduli dengan sekitarnya menyatakan isi hatinya pada Harmony, sahabatku....
Hiks....
Aku berbalik, gelap ... seolah tak ada yang menerangi hidupku lagi. Kenapa begitu perih, hingga membuat hujan turun dari mataku. Terasa nyeri meski tak ada luka yang nampak.
Dug....
Tidak sengaja aku menyenggol rak buku yang yang ada di sampingku.
Gubrak....
Rak buku tersebut jatuh berantakan, beberapa buku menimpa kepalaku hingga berdarah. Aku melirik, mereka berdua menoleh ke arahku. Akan tetapi aku tak lagi sanggup melihat wajah mereka.
Aku langsung berlari keluar secepat yang ku bisa. Tidak tahu arah, entah kemana aku menuju. Aku tak peduli. Meski terkadang jatuh berusaha menghentikanku, tetapi aku hanya ingin berlari, berlari, dan berlari lagi.
Semua orang disekolah memandangiku, I don't care! Aku terus berlari meninggalkan sekolah. Langit jingga yang membentang, tak lagi aku perhatikan. Hujan di mata ini semakin deras, tak lagi mampu aku membendungnya. Hingga terlalu jauh langkahku. Melintas seseorang dengan sepedanya. Dan..., "Aw....!!!"
Tak bisa lagi dielakkan, kami berdua saling bertubrukkan. Tersungkur ke lereng di tepian sungai. Dia mendekap erat tubuhku. Aku hanya diam terpejam, tidak sanggup aku melihat apa yang terjadi. "Mati ... mungkin. Akankah aku mati dengan cara seperti ini.?"
Hosh..., hosh..., hosh....
Hembusan napas dan tamparan lembut di pipiku, menyadarkan dari mimpi buruk yang menyekapku. "Hosh... hosh... Harmony! Apa kau baik-baik saja?" Tanyanya dengan napas yang terengah-engah.
Kata-kata yang memaksaku untuk membuka mata perlahan. Menatap wajahnya yang bersimpah darah, dan lagi tangan kanannya yang memegang erat bahu bagian kirinya.
"Nosa!"
Terkejutnya aku kala mengetahui yang melindungiku adalah Nosa. Perlahan dengan napas yang masih terengah-engah, kesadarannya mulai rapuh. Jatuh dia menimpa tubuhku. Aku terpaku karena lemah, tak dapat mengelak. Di penghujung senja ini, dia merelakan tubuhnya terluka demi menyelamatkanku.
"Nosa!"
Pandanganku mulai kabur, kesadaranku perlahan lenyap. Aku terlalu lemah bahkan untuk bersuara. Selintas aku melihat sesosok lelaki di atas tepian. Sepertinya dia berteriak memanggilku, namun....
♪♫♬♪♫♬
Setelah merapihkan rak buku yang dijatuhkan Hana, aku lalu bergegas mencarinya. Tiba-tiba saja tadi dia langsung berlari begitu saja. Tak menghiraukan aku dan Harmony. Dia juga meninggalkan buku yang masih berserakan di lantai. Aku dan Harmony sempat menyapanya, tetapi dia tidak berpaling.
"Kemana sih perginya kau Hana? Cepat angkat teleponku!"
Beeb... beeb... beeb...
Aku segera bergegas mengambil sepeda di parkiran belakang sekolah. Tanpa pikir panjang lagi, aku mengayuhnya sambil memperhatikan sekitar. Aku berjalan menyusuri tepian sungai, karena biasanya Hana duduk di lereng sembari menatap langit senja. Tak lama kemudian...
Cit...
Aku menghentikan kayuhanku, saat kurasa sepedaku melindas sesuatu, "Ini...?? Harmonica milik Hana, tidak salah lagi. Pasti tidak jauh dari sini. Hana tidak mungkin meninggalkan barang berharga dari kakeknya. Harmonica ini."
Tak jauh aku berjalan dari tempatku menemukan harmonica milik Hana, kulihat sepeda milik Nosa tergeletak di dekat lereng. "Nosa itu orangnya tidak sembarangan meletakan sesuatu, mungkinkah?"
Aku menghampiri perlahan sepeda itu, kulihat ke bawah, ke arah sungai, "Hana...!!! Nosa...!!! Tak satupun dari mereka yang menjawab.
Aku bergegas menyusuri pinggiran lereng mencari tangga untuk turun. "Ah disana!" Aku segera berlari menuju tangga yang kulihat itu dan bergegas turun menghampiri mereka.
Hosh... hosh... hosh...
"Hana! Nosa!"
Plak ... ku tampar pelan wajah mereka, tetap tak merespon. Mereka tak bergerak sedikit pun. Aku mulai panik! Pikiranku ... malang-melintang tak karuan.
Merogoh saku bagian kiri untuk mengambil ponsel, tanganku tak henti-hentinya gemetar, "Rumah Sakit, Ambulans, Dokter, ... Aduh ayo fokus, Ambulans, ya Ambulans."
Ngiung... ngiung... ngiung...
Tak begitu lama, Ambulans yang ku telepon tiba.
Tap... tap... tap...
"Sebelah sana!"
"Awas kepalanya, pelan-pelan."
"Angkat, lekas masukan. Perlahan!"
Dug... klek...
Ngiung... ngiung... ngiung...
Aku duduk mengantar mereka. Dengan perasaan khawatir, ku genggam erat tangan Hana. Dingin! Aku berpikir ini hanyalah khayalan dibuat oleh Fantasos, "Ini hanya mimpi dan fantasiku saja, ini tidaklah nyata."
Hari ini aku sudah berjanji akan melihat Harmony mengalahkan Apollo di atas panggung nanti malam, sekarang saja sudah pukul 19.02 waktu setempat, tidak akan bisa. Apa yang harus aku katakan pada Harmony?
Beeb... beeb... beeb...
"Harmony? Moshi moshi!"
"Kau sedang berada dimana? Kau datang ke pertunjukanku 'kan?"
"Harmony, maaf sebelumnya. Sepertinya aku tidak bisa hadir di pertunjukanmu."
"Why can't you come here?"
"Hana dan juga Nosa mengalami insiden di tepian sungai. Aku menemukan mereka tak sadarkan diri."
"Ken..."
"Aku tahu, pertunjukan itu sangat berharga untuk masa depanmu. Kau berjuang selama ini agar bisa mencapai titik ini. Tapi...."
Tut... tut... tut...
"Hallo? Hallo? Harmony? What the matter with you?"
Satu setengah jam aku menunggu, akhirnya Dokter pun keluar. Dia berjalan perlahan ke arahku, "Keep strongest." Sembari menepuk bahu kananku. Aku terpaku dengan kata-kata itu. Singkat, padat, jelas. Membuatku seakan mati berdiri.
2 minggu setelahnya...
"Bagaimana keadaan Hana? Apa dia sudah baikan?"
"Entahlah, aku baru akan menengoknya lagi. Kau mau ikut Harmony?" Jawabku.
"I don't know, hari ini Ayah akan mengajakku pergi. Aku hanya bisa menemanimu sampai disini saja."
Tersenyum, "Tak apa, lagi pula ... aku minta maaf, kau jadi harus berjuang lebih keras lagi."
Hanya diam dan tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku. Sebuah kado yang ku pilih bersama Harmony ini akan menjadi hadiah kejutan untuk Hana. Dia pasti akan senang.
Sementara itu diseberang jalan, Nosa memperhatikan kami yang sedang berjalan bersama. Dia tak menghampiri, tapi aku tahu itu dia.
Setelah mendapat hadiah yang sesuai, aku bergegas kembali pulang ke rumah. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan melalui tulisan. Sekalian aku mengemas hadiah ku beli bersama Harmony tadi.
Aku meluncur turun dari lantai atas ke lantai bawah. Segera mengambil sepeda dan ketika aku baru mulai keluar dari rumah, "Mau kemana kau Ken?" Aku menoleh. Disana ada Nosa yang sedang berdiri, seperti sedang menungguku. "A ... aku ... mau ke rumah Hana." Jawabku gugup.
Dia menatapku tajam, "Kau tak akan pernah menemukannya jika kau pergi ke rumahnya."
"Lantas dimana Hana?"
"Pergilah ke arah jam 2, disanalah Hana berada."
Arah jam 2, bukankah itu arah menuju bandara.
Setelah mendapat indtruksi dari Nosa, aku langsung bergegas menuju bandara yang dimaksud. Begitu cepat aku mengayuh, membelah angin di hadapan.
Cit....
Brak....
Seketika pandanganku mulai memudar, keseimbanganku mulai goyah. Terasa ada yang mengalir dari kepalaku. Hangat. Aku mencoba merabanya, "Darah!"
Aku meniti jalan perlahan, kemudian merunduk. Teringat akan masa kecil dulu, "Gapailah apa yang kau inginkan, jika tidak bisa maka pandanglah untuk terakhir kalinya."
Aku berusaha menegakan badan, sesaat menatap langit yang tak lagi cerah. Ku pandang satu arah, kemudian berlari. Terus berlari, sekuat aku mampu, tak berhenti, hingga aku akhirnya tiba.
Hosh... hosh... hosh...
"Hana! Hana!"
Ku cari terus. Itukah kau ... aku segera menghampiri.
"Wait, itukah kau Hana?"
"Eng...."
"Kenapa kau memotong rambutmu? Tapi kau terlihat lebih dewasa, dan...."
"Dan apa?"
Dari arah belakang Hana, ada dua orang yang sedang berjalan menuju ke arah kami. Ternyata mereka itu adalah Harmony dan juga Nosa.
"Hahaha...."
"Apanya yang lucu?" Tanyaku dengan nada yang agak tinggi.
"Eh, tidak, tidak, bukankah ada ingin kau sampaikan kepada Hana?"
"Apa itu Ken?" Hana menatapku dengan ekspresi wajah yang membius.
"Eh, tidak ada kok, jangan dengarkan apa kata Nosa. Dia..."
"Jika kau tidak bisa mengungkapkannya lewat kata-kata, ungkapkanlah melalui suara. Aku ingin mendengar kau memainkan harmonica ini lagi." Pintanya menyihir.
Tersenyum, "Baiklah aku akan memainkannya, special for you."
The End
♪♫♬♪♫♬
1809 word
Fiuht, akhirnya...
Setelah sempat terseok-seok, kini tiba juga
"Glek ... ah, lega!"
(Mengusap keringat), silakan di baca aja yaa...
Mau hibernasi dulu, hehehe.
Jangan lupa tinggalkan jejak langkah kalian di sini.
Vote 'n comment my story, itu akan sangat membantu😉
Come on! Let's read.
Tertanda
Mo-chi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top