Sisi lain

Sosok gadis mungil dengan rambut sebahu itu hanya bisa mengintip dari jendela rumahnya, ke arah mobil yang baru saja masuk ke halaman depan rumah.

Bibirnya menggerucut sebal dan hatinya sakit sekali melihat para manusia yang turun dari mobil itu tampak bahagia. Matanya memincing super tajam penuh kebencian pada mereka yang sedang tertawa-tawa baru pulang ke rumah tanpa mengingatnya sama sekali.

Dia segera kabur saat melihat bayangan orang-orang itu akan masuk ke dalam rumahnya, Batari bersembunyi ke balik tembok. Tidak lama ada suara pintu terbuka bersamaan dengan suara berbicara super riang, diselingi tawa bahagia.

Batari dari balik dinding melihat ke arah seorang pria dewasa yang sedang tersenyum lebar seraya mengacak puncak kepala sang bocah cowok yang berada di sisinya, terlihat anak cowok itu memegang sebuah kardus yang berisi robot ukuran besar. Sang wanita dewasa sedang menggendong anak kecil perempuan menggemaskan.

"Huh, anak itu dimanja, dibeliin mainan," dumel Batari menatap penuh kebencian pada para manusia itu. "Anak manja yang merepotkan!"

"Pa, aku mau buka robotnya ya," ucap bocah cowok itu langsung lari menuju karpet depan ruang keluarga. "Aku seneng banget deh nambah koleksi baru lagi!"

Batari bergegas mengejar anak cowok itu dengan perasaan kecewa, sakit hati, dan kesal. Dia berhasil mendapati anak cowok yang sedang melongo ketakutan melihatnya, gadis itu menjadi merasa hebat karena ditakutin oleh siapa pun di rumah itu.

"Apa itu? Mainan lagi? Anak manja bisanya ngabisin duit Papa!" seru Batari bersidekap tangannya depan dada. Sejujurnya dia iri, mengapa tak bisa seperti anak kecil cowok itu yang sangat disayang oleh ayahnya.

Lawan bicaranya diam saja, sudah sangat ketakutan.

"Cuma beli buat diri sendiri? Egois banget nggak inget sama aku!"

"Makanya, kamu jangan bandel dan resek di rumah! Kamu jadi nggak diajak pergi wleeek, siapa yang nyaman deket-deket sama kamu? Aku aja takut! Mama!! Tolong!!" Anak cowok itu berseru memanggil sang Mama, tidak lama dua orang dewasa itu datang ke tempat mereka.

Batari merasa hawa menakutkan ketika Papa menatapnya tajam penuh kecurigaan.

"Sayang, kamu kenapa? Diapain sama dia?" tanya perempuan yang dipanggil Mama itu seraya menggendong anak bayi dan merangkul erat sang bocah cowok.    

"Kamu ngapain lagi? Nggak cukup hukuman di gudang kemarin?" tanya Papa menekan segala ucapannya dengan nada marah.

"Nggak apa-apa, di gudang seru, aku bisa mainan di sana!" seru Batari berbohong, dia sangat takut di dalam gudang. Dia hanya mau menunjukkan bahwa dirinya sudah terbiasa dengan hukuman itu. Terbiasa dalam takut dan sendirian.

"Kamu beneran nggak merasa bersalah dan kapok kemarin membuat Melody terjatuh dari ayunan? Kamu mulai besok tinggal di rumah Oma dulu!"

Ucapan itu membuat Batari melongo, dia akan diasingkan ke rumah lamanya hanya karena sang Papa sudah merasa cukup dengan keluarga barunya? Apa dia sedang dibuang perlahan?

"Terus itu salahku saat Melody jatuh? Aku cuma mengayunkan kenceng, lagian Melody ketawa seneng!" balas Batari.

"Dia mana tau bakalan jatuh, kamu yang membuat Melody jadi merosot dari kain sampai jatuh—"

"Tuan, Nyonya, tolong!"

Batari tersentak melihat sang pengasuh wanita dengan seragam merah muda itu menangis mendatangi mereka, senyuman aneh tanpa disadari terukir di bibirnya. Sang pengasuh itu membuat semuanya panik dengan luka garisan merah dan sedikit melepuh.

"Tuan, Batari mencelakai saya! Saat saya baru selesai menyetrika, dia bermain-main dengan benda itu. Dia mengarahkannya ke arah saya, dan saat berusaha menghindar tapi tangan saya sempat terkena!" Wanita itu menangis sesenggukan seraya menunjuk-nunjuk ke arah anak gadis kecil yang sedang diam saja tanpa ekspresi apapun.

Raut wajah Batari menjadi tegang ketika Papa maju melangkah ke padanya.

"Kamu beneran melakukan itu? Ada apa dengan yang ada dalam dirimu?" tanyanya dengan kasar seraya menggoyangkan kedua tangannya pada bahu sang gadis kecil. "Kamu anak sakit, yang suka bikin celaka orang lain! Senang?"

Batari menunduk, dalam hatinya ada perasaan senang yang tak bisa ditunjukkan, dia tidak bisa menjawab pertanyaan Papa. Kalau dia tidak melakukannya, dia akan mengamuk memprotes membela diri, tapi kali ini dia diam saja memang mengiyakan.

"Aku cuma ngajak Nanny bercanda," jawabnya pelan. "Main-main."

"Kamu bilang bercanda?" Nanny itu berteriak murka. "Tubuh saya nanti bisa cacat kalau bekasnya sulit dihilangkan!"

"Nanny aja yang ketakutan, padahal aku nggak bermaksud mengarahkannya, cuma megang aja. Karena Nanny panik, jadi aku kerjain aja, hihihi," tutur cewek kecil itu dengan tawa kecil. Dia melirik ke arah anak cowok itu yang sedang menatapnya ketakutan.

Batari melemparkan senyuman penuh makna ke anak itu, yang langsung bersembunyi ke balik punggung sang Mama.

"Ini nggak bisa dibiarin terlalu lama, bukan besok, hari ini juga kamu akan Papa antar ke rumah Oma!"

☁️☁️☁️


Batari melihat dari balik dinding perbincangan Papa dengan Oma, dia tidak suka diasingkan seperti itu. Walau di rumah Oma tempat yang cukup menyenangkan untuk bermain. Batari tidak suka dengan tindakan Papanya menepikan dirinya menjauh dari mereka, karena takut.

Mungkin itu sudah berada di batas ketenangan Papa, pria itu pasti sudah sangat takut menghadapi dirinya yang sangat mengancam jiwa keluarga yang amat dicintainya.

Batari menelan rasa kecewa dibedakan seperti itu, dia seperti monster yang dibuang jauh karena takut membahayakan!

"Saya nggak tau sejak kapan dia jadi seperti itu, tetapi saat di sini nggak sama sekali berbuat hal menyeramkan yang berbahaya!" seru Papa menjelaskan ke Oma agar anak itu diterima kembali ke rumah lamanya.

"Kenapa lepas tanggung jawab? Kamu udah membawanya, lagian di sini juga ada anak lain yang harus saya awasi, Siera dan Fadli. Memangnya saya apaan, main sembarangan menitipkan anak kecil!" Oma balas berseru.

"Siera bukannya diurus sama Deka? Ibu, anak itu bahaya buat keluarga saya, bahkan pengasuhnya sendiri. Kalau Nanny Olla pergi karena nggak betah, bakalan susah mendapatkannya lagi, dia kuat sudah lama bekerja sama saya. Gimana nyari orang yang mau menghadapi anak menyeramkan itu?"

Oma mendesah sebal. "Baik, dia bisa tinggal di sini, nanti diurus sama pembantu di sini. Saya nggak berjanji buat ngurusin dia, Siera dan Fadli masih dalam masa-masa pertumbuhan.

"Terima kasih Ibu, di sini pasti akan banyak orang yang mengawasinya. Dia lumayan berbahaya, sudah saya ceritakan tadi Ibu," ucap Papa.

"Beneran anak itu udah sering mencelakai kalian?" tanya Oma hati-hati dengan air muka ketakutan. "Bagaimana kalau di sini kami semua juga kena?"

"Mungkin di sini nggak akan seperti itu, di sana bisa jadi anak arogan karena dia selalu iri dan belum bisa mengambil hati Eliana," jelas Wiratama.

Perasaan Batari sangat riang dia bisa pindah ke rumah lamanya, namun dia tetap tak bisa ceria seutuhnya sebab tidak suka bagaimana cara Papa menyingkirkannya demi kebahagiaan dan kenyamanan orang-orang baru itu. Keluarga tirinya.

Di halaman belakang Batari sedang berjalan-jalan sambil memutar otaknya, dia harus cerdik agar bisa membuat rencana selanjutnya. Dia tak suka disingkirkan dengan cara seperti itu, perasaan tak diharapkan pada sosoknya oleh siapa pun yang membuatnya sering marah menciptakan monster mengerikan dalam dirinya.

Tiba-tiba Batari menguarkan senyuman misterius sarat maknanya. Dan perlahan senyuman kecil itu berubah menjadi besar, dia sedang membayangkan hal mengerikan tapi justru tampaknya menyenangkan untuk gadis itu.

☁️☁️☁️


"Kamu bawa dia lagi! Anak ini nggak kenapa-napa, itu alasan kamu aja yang nggak mau ngurusin anak itu!"

Oma berbicara dengan seseorang melalui ponsel, suaranya yang keras terdengar sampai ke Batari yang lagi main boneka sama Siera, saudara sepupunya di halaman samping luar rumah mereka.

Gadis kecil itu langsung lega karena akan kembali ke rumah sang Papa, agar dia bisa segera melancarkan rencana yang sudah tersusun sudah satu mingguan ini.

Batari memandangi boneka beruang warna pink yang diberikan oleh Ardekara, Papanya Siera yang super baik, dia merasa dunianya tak adil. Mengapa dia tak punya Papa yang baik seperti Om Ardekara?

"Hai, Batari! Adyura! Yura!" Panggil seseorang membuat Batari tersentak dan menoleh ke arah sosok pria dewasa yang sedang senyum cemerlang.

Batari melihat Siera sudah berlari riang menuju ayahnya lalu mereka saling berpelukan. Gadis itu tahu, pria tampan itu tadi tak hanya memanggil dirinya. Tapi, dia hanya ingin mendengar suaranya memanggil hanya pada namanya saja. Bolehkan dia menganggap suara itu hanya menyebut namanya saja. Batari.

"Papa, Siera kangen!"

"Uw, baru nggak ketemu dua hari," jawab Om itu sambil mencium pipi anaknya.

"Ayo, main basket dan naik sepeda lagi sama Batari!" ajak Siera dengan semringah.

Satu-satunya anak kecil yang sedang memegang boneka itu segera pergi masuk ke dalam rumah lewat pintu yang lain. Batari ingin cepat-cepat pulang ke rumah Papa, dia sangat tak suka melihat Siera dengan ayahnya yang sangat akrab dan bahagia.

Batari kesal, mengapa dalam dirinya hanya ada rasa iri, kesal, benci, kecewa, dan marah! Mengapa dia tak bahagia sama sekali?

Gadis itu masuk ke dalam kamarnya dengan langkah lunglai sambil memeluk boneka, dia memanyunkan bibirnya sedang sedih. Dia tak nyaman berada di mana pun, yang mana bisa jadi rumahnya?

Cukup lama Batari melamun sambil memeluk erat boneka itu, dia tersentak ketika pintu kamar terbuka  di sana muncul wajah pria tampan yang menatapnya dengan lembut.

"Adyura, Yura, Batari, ayo kita main sepeda!" ajaknya dengan semangat menggerakkan tangan.

Mata bulat Batari mengerjapkan lucu, dia segera bangun ketika tangan Ardekara terulur mengajaknya pergi keluar dari kamar.

"Om kenapa sering manggil aku Adyura? Yura?" tanya Batari.

"Namanya bagus," jawab Ardekara lembut. "Enak buat diledekin, kalo Siera diledekinnya Syera-Syera."

Gadis itu menerima uluran tangan Ardekara, keduanya berjalan bersama menuju halaman belakang rumah yang biasa digunakan untuk bermain. Batari tersenyum riang diajakin bermain bersama dengan Ardekara dan Siera, dia benci keakraban orang-orang itu, tetapi juga bisa langsung menjadi senang karena diperhatikan kehadirannya.

Batari bermain basket bersama dengan Siera dengan riang, diawasi dari jauh oleh Ardekara yang duduk di kursi besi. Hanya Siera yang bermain, sedangkan Batari yang belum jago kebagian tugas hanya mengambilkan bola kalau saudaranya itu melempar jauh dari daerah ring basketnya.

"Ambil buruan! Ayo ayo!" pekik Siera tak sabaran.

Batari mengambil bola itu lalu melemparkan bolanya ke arah Siera dengan cepat. Berulang kali Batari hanya kebagian mengambilkan bola tanpa dikasih kesempatan memasukkan bola ke arah  ring basketnya.

Gadis itu menjadi kesal karena tak dikasih kesempatan, malah dijadikan orang suruhan Siera yang malas bergerak tetapi melemparkan bolanya terus-menerus ke arah ring basket.

Ketika ke sekian kalinya bola itu terjatuh menggelinding, Batari diteriaki Siera untuk mengambil benda bulat berputar itu.

Dengan cepat Batari berlari untuk mengambilnya dan melemparkan bola itu ke arah ring basket. Walau tidak masuk ke dalam ring, gadis itu sudah cukup puas melakukannya. Batari tersenyum lebar sekali mendapat kesempatan melempar bola.

"Kok nggak dikasih ke aku?" tanya Siera kesal sambil melotot. Gadis berambut lurus panjang itu berkacak pinggang.

"Aku juga mau coba," jawab Batari mengejar bola tadi dan mengambilnya.

"Nggak boleh, memangnya kamu bisa main?"

Tangan perempuan itu tanpa pikir panjang melempar bola ke arah Siera yang tidak siap untuk menerimanya, karena kejadian itu bola tersebut menjadi mengenai kepala Siera.

"Argh! Batari! Kenapa aku dilempar bola? Huhuhuhu!!!!" seru Siera langsung menangis.

Batari mengulum senyuman aneh, dia memang sengaja melemparkan bola ke arah Siera yang memang menyebalkan sekali.

"Astaga! Batari apa yang kamu lakukan ke Siera?" teriakan kencang Oma membuat Ardekara yang sedang bermain ponsel terkejut menoleh cepat ke arah Siera yang lagi menangis tersedu-sedu.

"Hey, kenapa? Jangan berantem!" seru Ardekara menatap bingung pada dua orang bocah perempuan itu, dia segera memeluk Siera menenangkan sang putri.

"Batari, jangan jahat sama Siera! Sore ini juga kamu akan dijemput sama Papamu!" seru Oma marah sambil melotot.

Batari sedih ketika Om-nya menatap padanya dengan tatapan tak percaya, dia takut akan disemprot dimarahi oleh orang yang sangat dia kagumi itu. Dia sudah sangat ketakutan akan dicaci maki penuh tuduhan oleh Om Ardekara.

"Batari nggak sengaja, Bu, dia nggak bisa main bola basket makanya kena Siera," ucap Ardekara sambil mengelus puncak kepala Siera penuh kasih sayang. "Cup, cup, ajarin Batari lagi ya buat main basket nanti."

"Nggak mau! Batari jahat sama aku!" seru Siera marah.

"Nggak ada main-main bareng lagi, Batari bakal pulang ke rumah Wiratama sore ini juga!" Oma berseru penuh penekanan. 

Ardekara menghela napas menatap perempuan tua itu yang sudah melangkah pergi.

Batari merunduk lesu.

"Batari minta maaf nggak?" tanya Siera bernada maksa.

"Batari," suara Ardekara membuat Batari langsung mengalihkan pandangan ke Siera.

"Maafin aku ya, Siera," ucap Batari dengan nada dibuat sangat merasa bersalah dia berjalan mendekat Siera dan memeluk saudaranya itu.

Tubuhnya merasakan hal yang berbeda ketika dipeluk juga oleh Om Ardekara, pria dewasa itu memeluk dua bocah gadis membuat Batari lumayan terkejut.

"Jangan diulang, nanti aku ajarin main bola basketnya, kamu kan dari dulu susah diajarin sama Papa," kata Siera bernada sombong. "Payah!"

Batari tahu, dia tadi memang melakukan hal itu untuk memberi pelajaran ke Siera yang bagai bos memperlakukan dirinya bagai orang bodoh dan tak bisa bermain bola basket.

Salah satu cara untuk dirinya tak bisa dipermainkan memang harus berani dan jahat. Siapa bilang dia bodoh? Dia hanya pura-pura bodoh, membuat orang lain mengira bahwa dirinya tak bisa berpikir dan tak berguna. Dia hanya menutupinya agar bisa membuat orang lain lengah. Dan saat lengah, dia akan memberikan pelajaran yang tak pernah disangka oleh siapa pun. 

☁️☁️☁️

Ini kejadiannya saat Batari mulai semakin berani ngamukin dan protes ke Nanny Olla ya  dan merancang suatu rencana heheheehheee

Aku mau ngucapin untuk kalian yang udah baca sampe part ini, kalian BENER-BENER LUAR BIASA. Karena berhasil baca cerita absurd dan aneh ini sampe tamat.

🥰🥳🤣🤣🤣

Kenapa aku bilang cerita ini aneh dan absurd, karena ya memang aneh gitu kan alur dan suasananya.

Aku kagum banget sama yang mampu baca cerita ini sampe selesai 😭🤣🤣

Thank you so much!

10 AGUSTUS 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top