Bab 7
7:: Jadi sebenarnya?
☁️☁️☁️
Batari paling tidak suka berada di rumah. Rumah masa kecil ibunya itu sekarang seperti menjadi asrama cucu-cucu Kakek Soeharso. Batari mulai tinggal di rumah itu sejak kematian papanya 6 tahun lalu. Mulanya di rumah itu hanya ada Siera dan kakaknya, Fadli. Rishad, dan Jerry mulai pindah sejak lulus SD.
Rumahnya lumayan besar berlantai dua khas rumah mewah yang banyak digambarkan milik keluarga tajir. Di rumah itu memiliki 3 orang asisten rumah tangga, 2 tukang bersihin kebun, dan 2 orang supir.
Kini mereka sedang berkumpul di meja makan, acara yang rutin, tetapi biasanya Batari sangat malas ikutan. Dia lebih milih makan di kamar sambil mengunci dirinya.
Di meja hadapan Batari sudah terhidang makanan malam yang siap disantap. Gadis itu mengerjapkan matanya saat melihat masakan tumis udang cabe hijau dan lebih parahnya lagi Batari sudah kehilangan napsu makan saat melihat potongan tomat yang menjadi hiasan ikan gurame goreng. Dia kesal sekali melihat banyak ikan malam ini di meja makan. Yang baru dihidangkan oleh Ibu Rita adalah masakan cumi saus padang. Belum cukup datang lagi, yaitu cah kangkung.
Baiklah, makan malam Batari terselamatkan oleh makanan itu.
Tidak ada yang bicara di antara mereka, karena memang tidak ada yang pandai memecahkan suasana. Semuanya memiliki kepribadian kaku, dan Jerry yang paling lumayan asyik memancing bicara, malam ini diam saja memindahkan lauk makanan ke piringnya.
Batari tidak napsu memindahkan makanan sayur kangkung ke piringnya. Dia tahu menjadi pusat perhatian Oma, wanita itu memandanginya dengan raut wajah kesal dan tatapan menyebalkan.
“Makannya cuma sedikit?” Oma Ranny berkomentar, entah ditujukan pada siapa.
Tetapi mata Jerry, Rishad, dan Siera tertuju ke Batari.
“Aku?” Batari menaikkan sebelah alisnya.
“Iya, kamu, Batari.” Suara Oma meninggi.
“Iya, sedikit aja, ini udah malam. Aku tadi abis minum Energen,” jawab Batari sambil dipandangi terus oleh Oma.
“Nggak makan ikan?” Oma masih melotot tajam. Sepertinya tidak mau melepaskan Batari menikmati makanan dengan nyaman.
“Ikan?” Batari mengulang sambil menahan senyum getir.
Entah sejak kapan dia benci ikan. Bayangannya mengerikan kalau sedang makan ikan. Karena sesuatu yang buruk berhubungan dengan ikan dulu pernah terjadi.
“Sayur nggak doyan, milih-milih. Ikan juga nggak doyan. Kamu makannya maunya apa?”
“Apa aja selain itu,” jawab Batari lalu memasukkan makanan ke mulut supaya memiliki alasan tidak menjawab pertanyaan Oma.
Batari benci ikan, tomat, timun, brokoli, dan masih banyak lainnya.
“Jangan milih makanan, kamu ngerepotin orang!” Ucapan Oma bernada sinis dan menyayat hati Batari.
“Emang siapa yang bikin perut dan mulutku gak suka sama makanan itu? Otakku yang menolak makanan itu,” Batari menjawab membuat suasana makin dingin. “Makanan yang membuatku trauma banget!”
“Manja banget.”
Batari merasakan matanya diselimuti kabut keabuan. Sialan, gini aja udah kesal sampai mau menangis. Dalam hatinya dongkol, memang sejak kapan dia manja?
Memangnya selama hidup 16 tahun dia pernah dimanja?
Ada yang memanja dirinya? Maksudnya memperlakukan dia dengan baik.
Ada pengalaman buruk Batari dengan makanan itu, yang membuatnya tidak bisa memakan, bahkan akan muncul bayangan yang buruk dan bisa jadi langsung memuntahkan lagi. Pengalaman buruk yang membuatnya tak banyak makan.
“Sudah Oma, Batari jangan dipaksa. Batari mungkin nggak suka atau alergi,” kata Rishad menenangkan. Mata Rishad menyiaratkan agar Batari tidak menjawab apa-apa, biasanya Batari kan suka bicara yang memancing emosi Oma.
“Batari emang seperti itu, hidupnya dibuat susah sendiri,” cibir Oma. “Sudah makannya habisin, habis itu belajar. Tentunya, Oma nyuruh semuanya kecuali, Batari. Dia nggak bakalan belajar.”
Dibilang tidak akan belajar malam itu, Batari benar-benar merencanakan akan tidur setelah makan. Kalau tidak bisa tidur dia akan menulis melanjutkan ceritanya saja. Batari mengunyah makanan sembari menatap tajam ke arah Oma yang sedang fokus memotong ikan.
Kaki Batari terasa ditendang di kolong. Batari menoleh ke arah kanannya, siapa lagi kalau bukan cowok berhidung mancung dengan jakun besar itu. Jerry melotot penuh arti, Batari memberikan reaksi tak suka karena ditegur tadi.
“Oma ngerasa kita udah lama nggak quality time.” Oma menatap para cucunya.
Tolong, jangan mengira quality time ala mereka adalah pergi berlibur.
“Gimana kalau kita kumpul Minggu ini di ruangan keluarga.”
“Kita mau ngapain?” Rishad tampak terganggu. Selain Batari, Rishad juga rada tak suka acara itu, dia kan lebih suka habisin waktu sendirin.
“Bahas buku yang kemarin Siera beli.” Oma memberikan ide buruk. Bukan Oma, tetapi Siera.
“Oma bener tuh, kapan lagi kita ngadain acara bedah buku?” Siera terkadang membuat Batari ingin mencibir kesal.
Mereka melaksanakan bedah buku lagi, pasti yang dibahas novel berat dan penuh filosofinya. Kalau bukan buku fiksi, pasti mereka akan membahas teori dan membahasnya bersama. Tetapi kalau buku pengetahuan yang dibahas menurut pendapat masing-masing yang tidak akan dipahami Batari.
Bukan selera Batari banget yang lebih suka cerita fiksi tapi maknanya sudah terlihat jelas tanpa dibedah lagi. Buku-buku yang diterima juga rekomen dari Siera dan Jerry, yang bacanya kebanyakan novel terjemahan.
“Aku lebih suka kita ngadain tes kepribadian, atau tes yang menarik lainnya,” ucap Jerry antusias.
“Aku nggak suka,” sahut Batari segera melirik sinis ke Jerry.
Dia masih ingat saat itu Oma mengadakan tes IQ di ruangan baca mereka. Bisa-bisanya hasil nilai IQ Batari hanya sekitar 80an, sedangkan yang lainnya memiliki di atas 120an. Dan tes kepribadian lainnya milik Batari dianggap jelek semua dan buruk.
Padahal kepribadian tidak ada yang jelek, hanya adanya tidak bagus amat. Hanya karena Batari memiliki dominan Pengindra, dibully oleh para Intuitif.
“Aku lebih suka kita baca buku bareng, bukan fiksi ya.” Rishad memberikan pendapat versinya.
“Atau ada yang mau dengerin lagu-lagu yang udah aku buat aransemen ulangnya?” Sekadar informasi, selain pintar, Jerry juga jago dalam bermain alat musik Piano.
“Pastikan aku nggak bakalan mengantuk,” tandas Rishad sinis.
“Kamu saja payah,” balas Jerry sombong. “Laguku keren, sampai diminta buat aransemen pertunjukan teater kelulusan nanti.”
“Atau kalian mau aku kasih tau permainan seru di hape yang sulit dimainin, tapi aku udah tamat dalam sehari?” Rishad bicara ke Siera dan Jerry.
Dua manusia itu tidak suka game, katanya banyak buang waktu. Siera dan Jerry hanya menatap tak minat.
“Batari, kamu suka game kan dibanding dua anak ini?”
“Bukan game Matematika yang ngerusak otakku juga ya.” Batari berbicara sarkas.
“Itu ngelatih, bukan ngerusak.” Rishad tidak suka.
“Efeknya di aku pasti bakalan bikin sakit dan otakku korslet.”
Batari tertegun, dia tidak memiliki apa yang bisa membuatnya bernilai lebih untuk Oma. Atau bahkan untuk keluarganya.
Cewek itu kembali ke kamar setelah diusir oleh Oma agar belajar masuk kamar, tentunya suruhan itu bukan untuknya. Dia hanya ikut terusir.
Di dalam kamar Batari yang cahayanya tidak terlalu terang itu. Kamar Batari cukup luas supaya dia bisa berguling ria di dalam kamarnya. Tidak hanya untuk berguling tidak penting, dia melakukan banyak hal tak terduga di kamarnya.
Batari berjalan ke sebuah lemari dan membuka salah satu pintunya. Matanya menatap lurus pada benda-benda berbentuk kertas itu.
Mungkin tidak ada yang tahu, siapa pun. Biarkan menjadi rahasianya saja, untuk membuat dirinya memiliki keinginan tetap bertahan hidup.
Kenapa aku selalu merasa sendirian di dunia ini? Apa hidup memang menyedihkan begini?
“Enggak! Acha pasti marah kalau gue berpikir begitu!” Suara Batari tiba-tiba keluar.
Dulu saat dunia terpuruk, Batari merasa seorang diri di dunia ini, hanya Acha yang menyemangati dan menariknya dari kelamnya lembah kesedihan.
Sekarang tidak seperti dulu yang sepi, berkat Acha, Batari jadi memiliki harapan bangun di esok pagi. Untuk bertemu dengannya, jajan di kantin, makan cilok, telor gulung, dan tertawa membahas anak-anak cowok bucin idiot di sekolahan.
Tangan Batari mengelus lengannya yang waktu itu dicengkeram kuat oleh Revaldi, dia menaikkan kaus bagian lengannya, dan menatap ke arah kaca.
“Revaldi sialan.”
☁️☁️☁️
Mimpi buruk apa dalam hidup Batari diselidiki oleh seorang polisi. Dilakukan saat tengah jam pelajaran agar sekolah tidak heboh dengan kehadiran sosok polisi Ajun Inspektur itu. Yang katanya lagi menyelidik kasus kecelakaan Revaldi.
Mereka berdua duduk berhadapan di ruangan detensi. Polisi itu memperkenalkan dirinya sebagai Pak Evandi Frans.
“Kenapa saya berada di sini?” tanya Batari. “Saya butuh alasan logis kenapa saya bisa diselidiki?” Cewek itu duduk berusaha rileks padahal seluruh jantungnya berdegub keras.
“Hai, mohon maaf mengganggu waktunya sebentar saja. Hanya setengah jam, Nona Batari.” Pak Inspektur Evandi itu tersenyum ramah. “Mohon kerjasamanya agar tidak terjadi kekeliruan.”
Batari mengangguk. “Saya dituduh nih atas kejadian kesialan yang menimpa Revaldi? Aduh, Pak, Revaldi itu kecelakaan. Kalau Bapak tau anak itu, pasti mikir deh wajar aja dia kecelakaan. Revaldi suka selebor dan melanggar lalu lintas. Semaunya di jalanan.”
“Iya, kami juga merasa demikian. Bukan mau menuduh, kami sudah tau bahwa kendaraan Revaldi tak ada yang sengaja dikerjakan. Remnya nggak blong.” Pak Evandi mengangguk. “Benar sekali, dia anaknya selebor dan tidak tau aturan karena berkendara tanpa memakai seat belt.”
Batari mengangguk pelan setuju. “Bener, kan? Kenapa Bapak mencari saya, hubungan saya dengan dia biasa aja. Ya, dia emang benci sama saya, dulu pernah berantem. Kalau kami berantem, dia duluan yang mulai, pastinya. Saya kan tidak mau mulai duluan,” ucapnya meyakinkan.
“Jadi, waktu itu di hari kejadian kamu berada di dekat sekolah?” tanya Pak Evandi.
Batari mengiyakan. “Kan hari masuk sekolah, ya saya pastinya di sekolahan.”
“Kamu berada di jalanan depan sekolah sampai pukul 6?”
“Iya, saya biasa pulang jam 6 lewat Gang Kober.”
“Kamu pakai baju yang bagaimana?” tanya si polisi.
“Seragam sama kardigan putih, tas warna putih, dan rambut saya ikat.”
“Lewat jalanan tengah kuburan itu? Kamu nggak takut?”
Kepalanya menggeleng lesu. “Manusia lebih berbahaya, Pak.”
“Sudah tau berbahaya kenapa lewat jalanan tengah kuburan yang sepi, ya itu maksud saya tadi.” Pak Evandi menyorotkan penasaran tinggi. “Kalau ada penjahat siapa yang bisa nolongin kamu?”
“Saya awalnya berusaha positif thinking. Jalanan yang menakutkan begitu, penjahat saja ogah mampir, Pak. Soalnya saya merasa lebih aman saat nggak bertemu siapa-siapa.” Kalau ditanya kenapa Batari lebih suka jalanan tengah kuburan itu ya karena dekat sama jalanan besar. “Saya biasa naik angkutan bus Transjakarta, haltenya lebih dekat di kuburan itu, Pak. Kalau saya lewat ke jalanan yang besar dan bukan Gang Kober itu, Bus Transjakarta-nya beda rute, Pak. Arah rumah saya lurus aja dari pemakaman itu.”
“Jadi begitu ya,” sahut Pak Evandi manggut. Dia tadi sudah baca-baca identitas tentang Batari. “Kamu bijak dan pinter. Tapi nekat banget. Apalagi kalau sore depan jalanan besar sekolah ini macetnya luar biasa, nanti kamu susah muter-muter ya, Nona?”
“Betul banget!” Batari mengacungkan telunjuknya.
“Kamu nggak suka naik transportasi online atau dijemput supir pribadi?”
“Nggak.” Gadis itu menjawab cepat. “Saya gak percaya sama orang di jalanan, termasuk driver online. Supir pribadi keluarga kadang suka repot anterin saudara saya yang lain.”
“Kenapa kamu gak percaya?”
“Gini Pak, dulu pas saya kelas 2 SMP pernah kena copet di jalanan. Makanya saya gak pernah percaya sama orang di jalanan. Lebih ngerasa aman jutru saat saya sendirian. Dan kasus sama driver online, saya cemas aja takut dibawa kabur. Kecuali, kepepet dan terpaksa.”
“Itu bagus atau nggak bagus, saya tak tahu lagi. Bagusnya, kamu jadi suka jalan kaki. Nggak bagusnya, kamu jadi bikin orang cemas kalau pulang telat.”
“Begitulah, jadi apalagi Pak?”
“Datanya cocok. Benar kamu yang diliat penjaga kafe coffee itu. Sore itu, menurut saksi mata, penjaga kafe coffee, Revaldi masuk ke jalanan kecil itu setelah kamu. Awalnya si penjaga coffee nggak begitu yakin, tetapi jaket Revaldi sama dengan sosok yang ngikutin kamu masuk ke dalam jalanan itu. Kalian ngapain di dalam jalanan kecil itu?” Pak Inspektur itu menatap tajam mencoba mencari kejujuran.
Gadis dengan ikatan rambut berantakan itu terpekur sesaat mencoba mengingat kejadian waktu itu.
“Revaldi ngikutin saya, dia narik tangan saya di tempat gelap itu saat berusaha kabur. Saya nyuruh dia pergi, jangan ganggu saya yang mau pulang. Setelah bisa kabur, saya lari ke arah pemakaman, karena tidak mungkin lari menerobos dia. Saya di pemakaman sendirian, dia tidak muncul. Lalu saya mendengar suara benturan keras, saya kembali ke area dekat sekolah dan melihat mobil Revaldi sudah seperti itu. juga Revaldi diselamatkan warga dibawa keluar.”
“Seperti itu?” tanya Pak Polisi. “Hanya begitu?”
Dengan yakin Batari mengangguk.
“Penjaga kafe ngeliat kalian masuk jalanan itu sekitar pukul 18:15, lalu kecelakaan itu terjadi sekitar 18:35.”
“Lama banget jarak waktunya? Selama itu? Apa jam kafe error?” Kening Batari mengerut dan jantungnya berdegup kencang tak terkira. “Kenapa waktuku terasa hanya beberapa menit dari berada di jalanan sampai kembali ke lokasi kecelakaan Revaldi?”
“Bukan hanya waktu kalian yang berbeda. Di tubuh Revaldi, banyak luka memar di lokasi tak wajar,” kata Pak Evandi dengan nada penuh keyakinan dan terdengar menakutkan. “Di perut, di pipi, sudut bibirnya memar seperti habis dipukuli.”
Batari tubuhnya bergetar hebat. “Itu luka kecelakaan kan, Pak?”
“Kamu beneran nggak tau? Kamu pernah gebukin Revaldi dulu, bisa jadi terulang lagi,” ujar Pak Evandi.
“Dia duluan yang berniat jahat, lengan saya juga luka memar karena dicengkeram kuat,” kata Batari menunjukkan luka dengan menarik lengan kemeja kirinya. “Waktu itu dia pasti mau berniat jahat atau usil.”
"Apa dia sampai mengikutimu ke Pemakaman? Kami menemukan kain yang masih ada bekasnya mengering seperti ... obat bius? Apa ini berarti dia sungguh ingin berniat jahat sama kamu, bukan hanya sekadar bertemu di jalanan tikus itu?"
Batari hanya mengendikkan bahunya tanda tidak tahu, dengan kepala menggeleng lemah.
☁️☁️☁️
Setelah Inspektur polisi itu mendapatkan keterangan dengan cukup, Batari kembali ke kelasnya. Bertepatan dengan bel berbunyi, Batari mendapati Acha berjalan cepat ceria sudah pasti mau jajan.
“Cha, ikut sebentar!!” seru Batari mengajak Acha cepat-cepat ke toilet.
“Kenapa? Lo kenapa pucet dan panik banget?”
Cewek itu meneliti tempat dan saat tak ada orang lain dia membawa Acha masuk ke satu bilik.
“Astaga!! Kita mau ngapain?” Acha masih cerewet, tetapi dia langsung kaku saat melihat raut wajah Batari yang serius dan aneh.
“Cha, dia kembali lagi, muncul lagi karena Revaldi memancing.” Bisikan pelan Batari itu menegangkan, ditambah mereka di toilet yang sepi.
Acha meneguk ludah agak merinding. “Maksudnya? Siapa? Dia siapa?”
“Dia, pokoknya dia, yang dulu ribut sama Revaldi. Karena gue kembali kehilangan waktu dan kesadaran lagi kayak waktu itu,” jelas Batari mencengangkan.
Gadis di depan Batari itu hanya melongo lalu menutupkan mulutnya lagi.
“Astaga! Jadi, lo beneran terlibat di kecelakaan Revaldi? Dia itu siapa? Kayak dulu pas kelas 2 SMP kejadiannya?”
“Sosok ada di dalam diri gue, yang bikin gue nggak sadar? Kehilangan waktu? Gak tau apa yang terjadi sama gue?”
Masih ingat dalam benak Acha, saat SMP kelas 2 usai Batari menghajar dan mengamuk melempar bangku mengenai kaki Revaldi. Teman dekatnya itu tidak sadar apa yang sudah dilakukannya. Batari waktu itu menangis dan mengaku tidak tahu apapun.
“Ada lagi momen saat lo nggak inget kayak begitu?”
“Gue lupa, apa karena gue lupa makanya nggak tau? Apa gue nggak tau karena lupa?”
“Jangan dibalik-balik aja ngomongnya, Batari!”
“Dia, pasti kuat banget bisa bikin Revaldi hilang kendali pas naik mobil.”
“Lo bisa pastiin pas di jalanan kecil itu nggak ada orang selain kalian? Bisa aja orang itu yang ngabisin lawan Revaldi.”
Batari mengangguk. “Itu jalan juga cuma muat satu motor dan hanya lurus doang.”
“Apa Revaldi kabur setelah dihajar makhluk itu kayak dulu?” Acha menatap dengan sorot mata ngeri
“Kata Pak Evandi, selama kurang lebih dua puluh menitan, gue sama Revaldi berada di jalanan tikus itu, sebelum kejadiam dia kecelakaan. Saksinya si penjaga kedai minuman Tapi gue nggak tau dia ngapain? Gue udah berada di pemakaman pas mendengar suara tabrakan keras itu. Lo tau apa lagi? Polisi nemuin kain dengan bercak ada bekas obat bius di dekat pemakaman, Revaldi pasti mau ngebius gue! Dia punya rencana busuk waktu itu!”
Batari meremas kedua tangannya cemas, melihat kegelisahan menyelimuti diri Batari. Acha segera memegang tangan Batari menggenggam erat.
“Tenang, Revaldi duluan yang punya niat jahat membahayakan elo.” Tangan Acha mengusap lembut bahu Batari supaya temannya itu tetap tenang.
“Bener, dia nggak bakalan proses ke jalur hukum. Dia sama aja nyemplungin diri ke lubang buaya, dia duluan yang mengancam gue.”
Batari tersenyum samar, ada sesuatu yang tidak bisa ditahan dalam dirinya. Perasaan lega. Siapa yang tidak senang saat mengetahui orang yang sangat mengancam dirimu sudah tumbang, kemungkinannya tak akan mungkin mengganggu lagi? Kecuali, sungguhan tak takut pada sosok mengerikan yang berulang kali mengancam jiwa.
Untungnya Acha tidak melihat senyuman mengerikan miliknya itu.
Bahwa orang yang mengancam ketenangan hidupnya bakal tersingkir satu per satu. Seleksi alam memang benar adanya, meski campur tangan manusia juga harus ikut serta.
☁️☁️☁️
4 MARET 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top