Bab 45

45:: Tetap sebagai Anak dan Kakak

☁️☁️☁️

Di antara banyaknya manusia di bumi ini, hanya ada satu orang yang masih menjadi beban berat untuk Batari melangkah pergi. Orang itu adalah Bazel. Sekian lamanya mereka tidak pernah bicara lagi, tidak ada lagi kelakuan Bazel yang dulu sering nge-bully Batari yang dulu-dulu berakhir mereka bakal ribut.

Hanya dari jauh Batari bisa memandangi Bazel dengan sorot yang penuh kerinduan dan sayang. Gadis itu jika ditanya alasannya mengapa dia sama sekali tidak bisa berlaku kasar pada Bazel, padahal dia bisa saja menghajar cowok itu layaknya Revaldi tempo hari. Namun, peran gadis itu untuk Bazel sebagai kakak penjaga. Gadis itu masih mengingat bagaimana kebersamaannya bersama Bazel, yang tidak terlalu lama berlangsung. Karena kejadian kebakaran itu membuat mereka menjadi pecah, sebab salah paham. Yang satunya tidak ingat, dan yang satunya menuduh.

Seberapa pun Bazel membencinya, Batari memang tidak bisa mengingat kejadian itu walau sudah dicoba berkali-kali dalam terapinya mengingat kejadian itu. Justru Dokter Kanya mengatakan, sebaiknya kejadian itu tidak perlu diingat lagi.

Tekanan dan keberadaan Bazel yang menjadi penyebab utama Batari depresi, merasa bersalah, dan ketakutan. Dia ingin sekali menyelesaikannya pada Bazel. Namun, nyali untuk bicara langsung dikumpulkannya cukup lama.

Batari sudah menyelesaikan urusannya dengan Acha dan Andra, ya memutuskan hubungan dua orang pentingnya itu adalah caranya berhenti menyusahkan orang bergantung pada orang-orang yang hidupnya seharusnya dipenuhi kebahagiaan layaknya orang normal.

Menurut Batari, Acha dan Andra sudah bahagia, tenang, dan bebas tanpa dirinya yang selalu merepotkan. Gadis itu memperhatikan dari jauh bahwa Acha sudah bahagia dengan teman lainnya, dan Andra ya tetap menjadi anak cowok yang main sama geng bandel sekolahan.

Urusan di dunia Batari hanya dengan Bazel sekarang. Beberapa kali Batari sedang menatap Bazel dari jauh sebenarnya ketahuan. Bazel membalas pandangannya dengan sorot dingin penuh benci.

Ada satu hal yang Batari bicarakan sejujurnya sebuah fakta bahwa dirinya dengan Bazel tidak memiliki hubungan darah secara langsung, sebab mereka hubungannya hanya saudara sepupu. Batari sudah menganggap Bazel bagian keluarganya karena mereka pernah bersama-sama. Tidak mudah membuat gadis itu lupa, atau menghapus kenangan bahwa mereka pernah jadi satu keluarga. Dia sangat bahagia pernah memiliki keluarga sesaatnya, dan kebahagiaan itu hanya dia yang simpan sendiri.

Berkat terapi dari Dokter Kanya untuk mengingat kebahagiaan nyata yang pernah dia lalui. Batari akan selalu mengingat bahagianya bersama Bazel dulu saat kecil.

Di antara para pendukung klub basket SMA Soeharso, gadis itu menikmati permainan Bazel yang sedang berlaga di tengah lapangan. Dia ikut bertepuk tangan, dan bersorak sorai ketika Bazel berhasil menciptakan skor.

Dia adalah tamu tak diundang di antara pendukung SMA Soeharso, yang banyak datang menonton adalah anak kelas 10 yang dibayar oleh sekolah mereka untuk datang mendukung. Sisanya kakak kelas dan yang satu tingkat sama Batari.

Batari menyadari sejak kehadirannya di salah satu kursi penonton dalam GOR itu, semua mata menatap aneh pada dirinya. Dia tidak menggubris para manusia yang menatapnya seperti tak pernah melihat manusia saja.

Tidak pernah terbayangkan, dia melihat Bazel dengan perasaan sangat bangga, karena anak itu ternyata berbakat dan sportif saat bersama teman-temannya.

Batari sedikit iri cowok itu berperilaku bak iblis hanya padanya. Hanya pada dirinya.

Sebelum tidak ada waktu lagi, cewek itu harus menghentikan semuanya, minimal ini usaha terakhir yang bisa dia lakukan untuk memperbaiki hubungan.

Usai pertandingan dinyatakan sang pemenang para permain berseragam ungu dengan strip hitam, yakni SMA Soeharso. Para penonton bubaran, sudah memenuhi kewajiban mendukung bikin riuh suasana Gor saja. Batari menjulurkan lehernya mencari-cari, takut kehilangan sosok bertubuh tinggi, dan kurus itu. Suasana bubaran dalam gor sangat riuh, Batari sampai berdesakkan tersenggol oleh gerombolan manusia yang ingin cepat keluar dari gor tersebut.

Tangan Batari mencengkeram erat tali tasnya, dia mencari-cari sosok Bazel ketika sudah keluar dari pintu utara gor tersebut.

Masih berada di lobby, Batari melihat Bazel sedang bicara dengan beberapa anak murid teman se-timnya, dan pelatih. Dia tidak mungkin muncul saat cowok itu sedang sibuk bersama orang lain.

Sedang memperhatikan dari jauh, tiba-tiba saja Bazel menoleh ke belakang dan bertemu mata dengan Batari. Cowok itu mengalihkan pandangan kepada pelatih di depannya lagi.

Batari merasa dia tidak akan pernah bisa menyapa, mendekati, dan bicara sebaik-baiknya pada Bazel. Dia menyerah, memutar tubuhnya dengan perasaan kesal, dia tidak seberani itu untuk meyakinkan Bazel. Dia tidak bisa memperbaiki hubungannya. Perasaan dalam hatinya jadi bersalah, dia pernah berjanji di depan makam seseorang, untuk bisa berbaikan dengan Bazel.

Sayang, dia tidak bisa mendekati, mengajak Bazel bicara duluan.

“Bagaimana gue bisa meyakinkan dia kalo nggak bersalah, sedangkan gue nyalinya ciut saat berhadapan sama dia?” gumam Batari sendiri, dia melangkahkan kakinya keluar dari pintu di mana banyak mobil terparkir.

Parkiran mobil.

“Heh, lo ngapain di sini?”

Batari tersentak saat dari belakang ada suara berat, dan lengannya ditarik cukup kuat oleh seseorang itu. Dia menolehkan pandangan berkat panggilan kasar itu, di sana ada sosok berwajah tampan, Bazel memakai kaus warna ungu tua, dan tas tersampir di bahunya. Raut wajah cowok itu jutek dan dingin.

“Hai, selamat ya, tim lo menang buat lanjut ke babak selanjutnya!” pekik Batari riang, namun dia dipandangi aneh oleh cowok di depannya, sehingga dia jadi kikuk menutupi dengan salah tingkah.

“Gue tanya lo ngapain di sini?” tanya Bazel sekali lagi dengan suara tajam.

“Ya, ini basket sekolahan gue,” ujar Batari menjilati bibir panik. “Gue bagian keluarga sekolahan ini, dan emangnya gue nggak boleh di sini?”

Bazel menarik Batari cepat-cepat menuju suatu tempat yang jauh dari keramaian. Salahnya yang membangunkan singa tidur, niat baiknya tidak akan pernah bisa dipahami, dan diterima oleh Bazel.

“Mau apa lo? Mau ketawa kalo seandainya gue kalah?” cecar Bazel.

“Gue nggak se-bengis itu, apa gue pernah jahat sama lo?” tanya Batari meredam kesedihannya. “Salah ya nonton pertandingan keluarga gue sendiri?”

Ucapan itu sepertinya menampar Bazel, cowok itu terkesiap, memang keluarga Bazel tak ada yang datang untuk menonton dirinya.

“Keluarga? Emang kita ini keluarga? Gue udah tau kalo lo bukan saudara satu bapak sama gue, Papa kandung lo yang bilang sama keluarga gue,” ujar Bazel. “Pantas aja lo nggak merasa bersalah, lo bukan anaknya. Itu juga yang bikin gue bersyukur Papa nggak punya anak gila yang durhaka kayak lo.”

Batari melotot ketika nada bicara dan penjelasan Bazel membuatnya merasa tersudutkan, ucapan Bazel berbahaya karena bisa mempengaruhi pemikiran Batari lagi. Namun pengakuan Bazel yang sudah mengetahui status hubungan keluarga mereka sedikit membuat lega. Dia tidak tahu bahwa Ardekara yang lebih duluan bicara hal penting itu.

“Wiratama juga Papa gue, dia suami Mama gue. Lo masih saudara gue, Zel,” kata Batari menahan agar tidak menangis, dia masih saja disudutkan bersalah atas kejadian itu. “Gue masih nggak inget sama kejadian itu, apa yang lo harapkan dari ingatan anak usia 10 tahun?”

Ingin sekali Batari juga menambahkan kenyataan bahwa anak kecil usia 10 tahun itu memiliki tekanan dan traumatis, yang membuatnya ketakutan seumur hidup.

“Berhenti bilang gue orang gila, Zel. Bantu gue buat hilangin trauma itu!” pekik Batari. "Gue pengen sembuh. Lo bisa bantu dengan mendukung gue. Jangan nuduh ngatain gue! Gue takut selalu berpikir bahwa memang pembunuh! Gue pernah menghilangkan nyawa orang ya? Gue pembunuh?"

Di depannya, Bazel masih diam saja menatap ke arah lain, seperti sedang melihat masa lalu mereka karena pertengkaran itu.

“Gimana caranya agar lo bisa percaya, dan bisa maafin gue?” tanya Batari pada akhirnya mengungkapkan maksud mendatangi Bazel, dia ingin minta maaf, walau pasti hasilnya nihil karena Bazel sangat keras kepala tetap menuduhnya. Gadis itu bergemetar tubuhnya.

Bazel tidak bicara apa-apa, mendiamkannya bagai hati sudah beku tak bisa memaafkan Batari dengan cara apapun.

“Apa nyawa harus dibales dengan nyawa? Lo baru senang, dan puas kalo gue mati?”

Berkat ucapan kacau Batari yang sudah tak ada harapan, Bazel mendengkus sinis.

Bazel tertawa kecil dengan senyum miring. “Lo pikir gue ini lo? Yang seneng melihat orang lain meninggal? Lo manusia yang nggak berperasaan!”

Setelah membentaknya seperti itu, Bazel pergi menuju sebuah mobil, yang menjadi mobil pengantar-jemput para peserta lomba. Dia masuk ke dalam mobil itu, disusul oleh beberapa teman timnya.

Batari mengerjapkan matanya, Bazel yang menyebut dirinya sebagai orang tak berperasaan yang melihat otang lain mati.

Dia merasa bertanya-tanya, benar, siapa yang tak punya perasaan? Bukan Bazel, melainkan Batari sendiri.

Bazel yang tampak tak berperasaan itu sedang menunjukkan betapa kehilangan, sedangkan Batari seolah tak terjadi apa-apa. Sebab persepsi mereka kepada sosok itu berbeda.

“Karena aku ditinggalkan di kejadian mengerikan itu, dan membuat diriku nggak peduli sama kematian dia. Kamu bisa bilang aku nggak punya perasaan,” gumam Batari pelan. “Kamu kehilangan dia, sedangkan aku nggak pernah memiliki dia sama sekali. Apa itu wajar dan Bazel benar, bahwa aku sama sekali nggak pernah bisa merasakan kehilangannya?”

☁️☁️☁️

Hanya satu kali Batari menginjakkan kaki di tanah itu. Dia berdiri sambil membawa sebuah bucket bunga, matanya terfokus pada batu nisan tersebut. Di sore hari itu matahari ingin segera pergi, agar berganti menjadi malam. Dia mengerjapkan matanya kala sinar matahari itu menyorot pada matanya.

Gadis dengan pakaian rok selutut, dan kardigan putih gading itu berjongkok di sisi makam Wiratama. Dia meletakkan bunga di atas makam itu, serta memberikan air mawar di atasnya.

Hal yang paling Batari takutkan selain menemui Bazel, adalah datang kembali ke makam Wiratama. Dia mulai bisa menerima kenyataan bahwa saat kejadian itu dirinya ditinggal dalam kobaran api. Dia berpikir positif, bahwa dirinya memang tidak penting, Wiratama bisa menyelamatkan barang atau seseorang lain yang lebih penting untuknya.

“Masih nggak ngerti kenapa aku ditinggal sendirian, apa karena Anda marah sama Mama dan adikmu sendiri?” Batari berbicara sendirian seraya menatap pusara itu dengan perasaan kacau balau. 

“Terima kasih pernah menginspirasi, dari kecil sering melihat Papa menulis di depan laptop. Larut dalam tulisan dan serius sama dunia yang dibangun dalam pikiran dan dituangkan dalam kata demi kata. Walau aku nggak akan bisa jadi penulis seperti Papa yang hebat, yang sampai sekarang novelnya masih dibaca oleh banyak orang.”

Hanya keheningan, dan angin sore memainkan rambut Batari yang terurai sebahu. Dia sudah berjanji kala itu di depan makam sang mama, Tiana, dia harus bisa menghadapi kekeliruan. Dia memberanikan diri mendatangi Bazel dan makam Wiratama. Agar Batari bisa membuat ketakutan itu bisa dia lawan, agar dia bisa yakin, dia tidak bersalah.

“Aku juga senang Papa memaksa aku ikut club Taekwondo, aku bisa bela diri. Dan, setelah Papa meninggal aku datang ke club Muay Thai itu, aku jadi tertarik untuk belajar sesuatu. Aku pengen jadi Geri—sosok anak lelaki yang Papa ciptakan di dalam dunia imajinasi. Pasti dia anak cowok yang Papa harapkan, makanya Papa lebih sayang sama Bazel dibanding aku, kan?”

Bayangan saat Batari kecil, dan Bazel yang baru saja tinggal di rumah itu merubah segalanya. Bazel dan Papa yang sangat akrab, sering bermain bersama, dan bercanda ria membuatnya sangat iri serta kesal.

“Kenapa? Kenapa tetap menahanku tinggal bersama, tetapi nggak memperlakukanku dengan baik? Aku ini apa?”

Sejak kedatangan Eliana yang sedang hamil, dan Bazel, dari jauh Batari bisa melihat Papanya sering bercanda tertawa lepas. Hal yang sangat langka sekali. Dengan Eliana dan Bazel, Papanya menjadi pribadi yang seru, dan aktif bicara.

Semua orang sangat mengingat satu sama lain, dan dianggap keberadaannya.

Namun, Batari disisihkan bersama dengan pembantu galak, sinis, dan sering menyiksa.

Hanya Batari yang tidak bahagia di rumah itu, dia hanya bisa mengintip, dan menahan kesedihan tidak bisa dekat dan akrab sama keluarga barunya.

“Andai, Papa biarin aku tinggal sama Oma, atau sama Papa Deka. Kebakaran itu pasti nggak akan terjadi. Mungkin aku akan lebih bahagia—nggak seperti ini. Dan, Papa masih hidup sehat, dan bahagia melihat Bazel yang pinter, ganteng, populer, dan berprestasi.“

Tidak banyak kenangan masa kecil yang diingat, kalau bukan kenangan manis, ya kenangan tragis. Dia sudah berusaha menyelesaikan masalah bicara berdamai dengan Bazel, namun akhirnya dia tetap bertepuk sebelah tangan. Bazel tetap membencinya.

Batari juga mencoba berdamai dengan mendatangi makam Wiratama untuk bicara. Rasanya aneh, saat kecil Batari tidak pernah didengar, apalagi disayang. Sekarang, dia sedang berbicara sangat rindu sekali.

Siapa bilang dia tak menyayangi Wiratama? Dia tidak seperti yang Bazel katakan. Dia tidak heartless, dia sangat sedih. Dia pura-pura saja depan Bazel, bahwa kejadian itu tidak penting baginya. Bazel salah.
Bagi Batari, kejadian kebakaran itu adalah akar masalahnya. Pertanyaan dan jawaban berada di sana semua.

Pertanyaan, mengapa Batari ditinggalkan? Jawabannya, Batari bukan anak kandung Wiratama. Wajar saja Wiratama tidak peduli, lebih memilih menyelamatkan dirinya sendiri, atau barang penting lainnya.

Jawaban yang berupa kenyataan, bahwa Batari ditinggalkan sendirian. Pertanyaanya, apa keberadaan Batari untuk Wiratama.

Dengan ditinggalkan begitu, Batari jadi mengetahui bahwa dirinya tidak penting. Bukan apa-apa untuk seorang Wiratama.

“Sebenci apa Anda sama saya, sampai tega meninggalkan saya yang masih kecil di tengah kobaran api itu?” tanya Batari meluapkan kemarahannya.

Dia tidak bisa kalau hanya disuruh minta maaf mencoba berdamai. Dia marah, dia kesal, dan merasa tak penting kehadirannya. Karena diabaikan oleh seseorang di saat darurat seperti itu. Mungkin bagi orang itu sederhana. Namun, kalau sederhana, kenapa Batari bisa mempertanyakan itu bertahun-tahun, dan sedih karena tak dibantu saat kesulitan.

Kejadian yang asli hanya Tuhan dan Wiratama yang tahu. Batari hanya bisa meyakinkan dirinya, dia tak bersalah membuat Wiratama mati terjebak kebakaran.

Dia adalah korban keegoisan pria tua itu. Dia ditinggalkan, hanya modal nekat untuk menyelamatkan diri sampai kakinya terluka. Bayangan mengerikan itu muncul dalam pikiran Batari yang sedang memejamkan matanya mencoba mengingat kejadian itu.

Mencoba berpikir, apakah ada hal yang tidak diketahui olehnya, tentang bagaimana perasaan Wiratama, atau bagaimana kejadian asli kebakaran itu?

Di tengah lamunan Batari di depan pusara Wiratama, ada seseorang muncul menarik tubuhnya untuk berdiri, dan mendorong sekuat mungkin sampai Batari terhuyung ke belakang menjauh dari titik makam Wiratama.

“Lo ngapain di sini? Pergi Sekarang! Jangan pernah dateng ke sini lagi!” Bazel mengusirnya.

“Kenapa?”

“Dia bukan bokap lo, lo sekarang orang asing, dan gue nggak mau liat orang asing yang membunuhnya ada di sini!”

“Gue nggak membunuh dia,” tutur Batari dengan segala penekanan. “Lo sama kayak gue saat itu masih berumur 10 tahun, anak kecil yang gatau apa-apa. Salah paham lo sampe sekarang itu gara-gara Eliana, nyokap lo. Lo nggak bisa nuduh gue, karena lo nggak ngeliat secara langsung!”

Keduanya terdiam. Masing-masing sibuk mengingat hari itu.

“Bazel, Papa mana?”

“Tolong-tolong, Mas Wira ke mana?”

“Mbak, Pak Wira ditemukan di lantai Ground terbakar sekujur tubuh, dan sudah meninggal.”

“Kamu yang bunuh suami saya?”

“Papa meninggal?”

“Kamu yang bunuh suami saya???”

“Enggak bukan!! Aku nggak tau!!”

“Kamu bakar Papa!!! Kamu pasti yang celakain Papa! Kamu bunuh Papa!”

“DIAAAAAAM!”

Suara itu masih teringat dalam ingatan Batari ketika baru keluar dari rumahnya. Bazel kecil hanya bisa menyalahkan Batari, karena tidak ada alasan lain atas kejadian itu. Bazel sudah terlanjur menilai Batari, karena kejadian sebelumnya.

"Diem! Apa buktinya?" tanya Bazel.

“Ini terakhir kalinya, gue yakin bisa percaya diri. Sori, lo nggak bakal denger pengakuan yang lo harapkan itu, gue akan tetap membela diri bahwa nggak bersalah. Selamat tinggal, Bazel.”

“Pergi dari sini, sekarang!”

Bazel, maafin Kakak. Kamu akan selalu jadi adik kecil dalam ingatanku. Maafin aku, walau aku nggak mendengar secara langsung dari kamu. Mungkin kita nggak akan bisa bertemu lagi. Aku takut, aku takut kalau kalian benar bahwa aku yang membunuh Papa. Aku takut dengan pengakuan di hadapan Tuhan nanti. Maafkan kakak.



☁️☁️☁️




25 JUNI 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top