Bab 37
37:: Mulai sadar
☁️☁️☁️
"Kamu yang melakukannya?"
Ardekara bertanya serius masih penasaran. Pria itu mencuri-curi pandang pada Batari yang duduk di kursi sebelahnya dalam mobil. Hari ini dia menemani Batari konsultasi, di saat hari libur akhir pekan dia meluangkan waktunya untuk Batari. Pria itu tadi mendengar cerita panjang yang selama ini tidak diketahui olehnya, tentang masa kecil Batari saat tinggal bersama dengan Wiratama dan diasuh oleh Nanny Olla. Selama di ruangan itu, Ardekara seperti bisa membayangkan berada di tahun itu secara langsung.
Kini mereka sedang dalam perjalanan pulang, dan bertempur dalam kemacetan jalanan Jakarta di malam hari. Batari yang duduk termenung saja memainkan tangannya di atas paha, dia menjadi sendu setelah menceritakan hal itu pada Dokter Kanya dan dilihat secara langsung oleh Ardekara.
"It's okay, kamu baru mengakui itu sekarang," ujar Ardekara memaklumi Batari.
Cerita tadi sore cukup panjang dan menegangkan sekali, sebab hal itu yang membongkar fitnah lama pada Batari. Dulu gadis itu tidak menceritakan, atau bisa membantah segala tuduhan saat dirinya dicap buruk oleh orang-orang lain.
Ardekara kala itu tidak mau ikut campur, dia bertingkah sebagai yang mana mestinya, suami dari Syara, ayah dari Siera dan Fadli. Tidak tahu bahwa saat itu Batari sedang tertekan.
"Maksudnya Papa nanya yang mana?" tanya Batari pada akhirnya bersuara walau sangat lesu.
"Tentu saja, yang kamu sengaja menukar gelas Nanny Olla," tandas Ardekara.
"Iya, aku yang nuker isi gelas itu, tapi aku nggak mau jujur karena takut. Takut aku yang dipenjara, padahal Nanny Olla yang membuatkan minuman itu beserta racunnya. Dia bikinin kami teh manis saat itu, dia naruh sesuatu di gelasku. Aku tau dan menukarkan isi gelas itu ke gelas miliknya di dapur."
Ardekara menggeleng kuat-kuat. Tidak menyangka bahwa gadis itu pernah berusaha dibunuh oleh sosok pengasuhnya saat masih berusia 8 tahun. "Papa tau itu satu-satunya cara saat itu untuk menyelamatkan kamu dan Bazel. Kamu udah terlalu takut sama dia dan nggak bisa berbuat apa pun, ya?"
"Iya, Bazel nggak mau bantu aku buat ngomong kejadian yang sebenarnya. Dia takut banget sama Olla. Aku udah nyaris membongkar kelakuan buruknya, tapi Bazel nggak ngaku kalo dia juga disiksa, dan diperlakukan buruk. Kesel nggak sih?" Batari mengalihkan padangan ke arah jendela, lalu kepalanya menggeleng pelan. "Tapi ada cara saat itu yang bisa menyelamatkan kita. Aku tau dia mau meracuniku, saat dia lengah aku menukar isi gelasnya. Perempuan itu masuk rumah sakit karena Papa membawa ke rumah sakit menolongnya, saat dia dirawat aku memaksa Bazel untuk cerita sama Mama, dan berakhir sudah sampai ke proses hukum."
Ardekara mengingat kembali saat dulu Batari kecil pernah dipisahkan dengan tinggal bersama di rumah Oma, mereka menjadi lebih dekat sering bermain bersama dengan Siera. Ardekara mendengar cerita dari Wiratama bahwa Batari itu aneh dan menyeramkan, menurut cerita Batari sangat berbahaya untuk Eliana, Bazel, dan Melody. Ardekara hanya mendengarnya dari Wiratama tanpa tahu yang sesungguhnya bahwa sikap Batari adalah aksi protes perlawanan pada Nanny Olla.
Batari tidak pernah dipercaya oleh Wiratama, bahkan sampai gadis itu melaporkan tindakan buruk Olla pada Bazel. Ketenangan Batari bersama Wiratama tidak berlangsung lama, saat kejadian kebakaran itu menghancurkan keadaan harmonis yang sedikit demi sedikit tercipta.
"Papa tau kamu sebenarnya baik, tetapi caranya sering disalahartikan. Tanpa keberanian kamu, bisa jadi Olla akan semakin lama bersama kalian. Saat itu korban selanjutnya bisa aja Melody."
"Wiratama nggak pernah nganggap aku ada, andai aja dia bisa ngasih perhatian sedikit aja sama aku. Luka-luka di tubuhku pasti bisa menyadarkan dia ada yang nggak beres di rumah itu," ujar Batari sinis dengan senyuman penuh getir.
Perasaan Ardekara yang menyesal menjadi sangat besar, jika saat itu dia menahan Batari untuk tetap tinggal di rumah Ranny. Pasti keadaan Batari tidak seburuk itu menghabiskan lebih banyak waktu dengan seorang perempuan gila.
"Kamu juga bisa menyalahkan saya, yang nggak berusaha keras mengakui kamu."
"Aku tau, ada perasaan yang Papa harus jaga. Tante Syara nggak akan bisa terima aku, dan Siera adalah anak yang bisa dibanggakan, jadi kehadiran dia saja udah cukup untuk Papa."
"Enggak begitu, saya sayang sama kamu sejak kecil. Saat kamu masih berada di kandungan Tiana, saya sering nemenin kalian pergi ke rumah sakit. Saya dan Tiana yang memberikan nama kamu, Mamamu sangat suka nama itu. Dia berpesan sama Oma dan saya, untuk menamai kamu Adyura Batari sebelum melahirkan."
"Iya, makasih Pa, aku pernah berpikir betapa bahagiannya Siera. Aku membayangkan jadi anak Papa, dan jadilah Yura tumbuh berada dalam diriku."
"Yura itu kamu. Dulu saya manggil kamu Yura. Batari, jangan takut untuk jujur."
Batari diam sesaat lalu mengangguk. "Aku pasti bakalan jujur enggak akan lama lagi."
"Dengan jujur dan berusaha menghentikan kebiasaan mengkhayal itu juga merupakan salah satu terapi buatmu. Itu kebiasaan yang lumayan buruk dan tak baik. Batari, kamu udah memahami hasil diagnosis kondisi aslimu, kan?"
Batari tahu itu sejak lama. Namun, kali ini dia akan benar-benar serius dalam menanggapi dan menjalankan proses penyembuhannya. "Gangguan stres pasca trauma. Aku suka mengkhayal dan menceritakan cerita fantasi buatanku. Mereka tak ada."
Pria itu meresapi ucapan Dokter Kanya tadi padanya. Saat hanya berbicara berdua saja. Setelah Batari menjalankan berbagai macam tes dan bercerita pada sang psikiater, yah sebulan sudah memberikan kesimpulan.
"Batari mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) yang muncul karena trauma masa kecil. Ini membawanya pada depresi yang mulai mengganggunya sejak dia berusia 14 tahun. Semakin parah sejak dia homeschooling dan kesalahannya menjadi bahan pembicaraan di keluarganya. Ya, kasus Revaldi itu awal semuanya. Batari mencari jalan melarikan beban pikirannya dengan melamun dan berimajinasi. Senang menciptakan dalam imajinasinya, yaitu dunia yang sempurna dan membahagiakannya. Imajinasinya yang berlebihan itu menyebabkan Maladaptive Daydreaming. Melamun yang berlebihan. Dia banyak menciptakan teman-teman imajinasi bahkan membuat seseorang lain dalam dirinya. Untuk yang ini Batari memulainya sejak kecil, saat tertekan oleh pengasuhnya. Saat dia sudah besar semakin tak terkontrol keinginannya untuk berimajinasi. Bagai mereka juga ikut tumbuh seperti dirinya. Bagai hidup bersamanya."
"Tapi, apakah berbahaya imajinasinya? Dia memang suka menulis, bukankah imajinasi itu setiap orang memilikinya? Itu adalah hal yang normal?" tanya Ardekara.
"Normal jika tahu batasannya. Batari tahu itu hanyalah imajinasinya. Mereka tak nyata. Kesha, Erik, dan Geo bisa dikendalikan. Tapi sosok imajinasi bernama Yura, Alita, dan Geri. Mereka beda. Mereka ini diperkenalkan sebagai kebohongan. Yang membuatnya jadi hal yang tak pantas dan buruk, dia membawa dunia imajinasinya ke luar. Dia membicarakan hal-hal tak nyata itu pada teman-temannya. Tentu nggak semua orang akan mengerti apa yang dia lakukan. Berujung pada ini akan membuat masalah dalam kehidupan sosial Batari. Jika Batari semakin senang hidup dalam bayangan fantasi kebahagiaan versinya, ini bisa membawanya pada masalah besar. Anda tahu kan, dia tak jujur bahwa ceritanya adalah sebatas imajinasi. Dia mulai memiliki kecenderungan untuk senang berbohong. Saya takut kalau suatu saat nanti Batari semakin menikmati kebohongannya, karena bisa menarik simpati para temannya. Dia akan semakin parah dan menjadi seorang Mythomania. Kasus milik Batari ini unik dan bercabang."
"Mythomania? Apa ini bisa dihentikan?"
"Dia membohongi teman-temannya. Itu hal yang buruk untuk Batari. Bukan sesuatu yang merugikan, tapi saat orang lain mengetahuinya. Dia bisa jadi akan sulit dipercaya oleh orang lain lagi. Bisa dihentikan, harus dari Batari sendiri yang sadar dan menginginkan kebiasaan itu seharusnya menghilang. Dia harus bisa melawan keinginan menarik simpati orang lain dengan cerita fantasi palsunya."
Ardekara mencerna betul ucapan Dokter Kanya. Dia bisa membayangkannya. Dan rasa penasaran semakin meluap menumpahkan banyak tanya. "Untuk fantasinya yang memiliki nama-nama dan kepribadian berbeda, apa juga berakibat fatal?"
"Karena fantasinya dalam membuat sosok lain dalam dirinya, suatu saat akan berakibat fatal. Kepribadiannya akan terganggu dan dia akan kebingungan memahami siapa dirinya yang sebenarnya. Untuk ini, Batari sudah tahu, dia perlahan akan menyatukan dirinya. Hanya saja, dia masih kesulitan untuk merasakan sedih dengan identitas dirinya sendiri. Dia seperti membagi tugas sikap-sikap tertentu yang Batari nggak suka kalau dia handle sendiri, pada mereka kepribadian imajinernya. Mereka adalah sisi alter."
"Bagaimana sumber masalah utamanya?" tanya Ardekara. Lelaki itu merasakan sakit hati dan penyesalan berat. Dia juga merupakan salah satu orang yang membuat hidup Batari menjadi seperti itu.
"Banyak hal yang menjadi akar permasalahannya. Orang tua, pengasuh, dan lingkungan keluarga. Ditambah suasana di sekolah. Batari satu sekolah dengan Bazel. Itu yang menjadi tekanan. Sebenarnya tak apa-apa Batari tak ingat dengan kejadian kebakaran itu. Traumanya memang bersumber dari sana, karena dari cerita yang dia berikan hanya bagian kejadian kebakaran itu yang tak lengkap. Dia tak ingat. Dia akan sedih dan hancur, bahkan menghindar melihat pemakaman ayah tirinya. Ada dendam di sana yang membuatnya tak bisa memaafkan dan juga ketakutan sendiri. Mungkin di kejadian itu ada memori yang hilang karena menekannya. Alasannya Batari tak mampu mengingat karena menekan, menakutkan, menyakitkan, atau dia sungguhan tak ingat."
Ardekara menyahuti lagi. "Apa kesaksian Batari jujur bahwa dia tak ingat kejadian kematian Wiratama?"
"Dia sudah mengatakan sejujurnya, tak ada yang disembunyikan, dia memang tak ingat kejadian saat kebakaran itu terjadi."
"Bagaimana untuk membantunya keluar?"
"Batari harus menghentikan lamunan fantasinya. Dia harus berhenti menganggap bahwa Geri sungguhan ada. Ini akan berdampak buruk pada respon teman-temannya. Batari harus yakin, dia adalah Geri, Alita, dan Yura. Geri yang pemberani dan jago bela diri adalah dirinya sendiri. Dia bisa menangis tanpa sungkan tanpa Alita. Dia bisa menjadi anak perempuan Anda, sebagai Batari. Dia nggak perlu berimajinasi menjadi orang lain. Batari harus tahu mana imajinasi yang boleh dibuat untuknya sendiri. Tentu kebohongan hal yang nggak dibenarkan. Ini akan berimbas pada Batari di lingkungannya."
Ardekara akan semakin memahami dan menemani Batari menghadapi masalah yang sudah menumpuk ini. Dokter Kanya mengatakan bahwa Batari tak perlu mengingat lagi masalah yang dahulu pernah terjadi.
"Apa yang bisa saya lakukan untuknya?" Ardekara takut-takut menunggu jawaban Dokter Kanya.
"Membuatnya selalu merasa ada dan dibutuhkan di dunia nyatanya."
☁️☁️☁️
Ardekara membawa mobilnya ke dalam jalanan yang mengarah ke rumah Ranny, dia tahu Batari menyadarinya dan terlihat cemas sekali.
"Pa, kok bawa mobilnya ke arah rumah Oma?" Batari sudah pucat pasi dan membeku. "Mau pulangin aku ke rumah itu?" Gelisah sampai melihat pada jendela berkali-kali.
Segera saja Ardekara menggeleng lemah. "Batari, Papa akan bantu jelasin keadaan kamu ke Oma."
"Oma nggak bisa terima keadaan aku, Pa, aku dianggap gila!" cetus Batari dengan nada ketakutan sekali.
Ardekara juga sempat berdebat sama Ranny gara-gara menyetujui Batari pergi ke klinik psikiater. Pria itu memahami keadaan Batari tetapi Ranny menganggap Batari hanya melebihkan suasana saja.
☁️☁️☁️
Sesampainya di rumah itu, Batari pergi menjauh dari Ardekara dan Ranny, Batari terlihat sudah bergabung dengan Jerry yang lagi membaca buku di teras taman samping.
Di ruang keluarga Ardekara sedang berhadapan dengan Ranny yang menunjukkan air muka tidak mengenakkan, wajah sinis.
"Mau apa kalian ke sini? Siera sedang berada di kamarnya, pasti sudah mendengar kedatangan kalian," kata Ranny dengan nada tajam.
Kata-kata Ranny membuat Ardekara langsung mencelos sakit hati. Pria itu tidak tahu bagaimana caranya membuat wanita tua itu bisa bersikap adil memperhatikan perasaan orang lain juga, dia bersyukur Batari sedang bersama Jerry, tidak ikut duduk di situ mendengarkan mereka.
"Semuanya tentang perasaan Siera, bagaimana dengan cucu yang murni keturunan Ibu?" Ardekara menekan ucapannya.
"Kamu sudah bawa dia keluar, tanggung jawab sama semua tingkahnya!" seru Ranny
"Saya ke sini bukan untuk menyesali pilihan membawa gadis itu keluar dari sini. Justru saya senang, dia bisa mengambil pilihan apa yang dia mau tanpa takut dimarahi."
"Mau bicara apa sebenarnya?" Ranny menatap Ardekara tajam.
"Kenapa Ibu benci banget sama Batari? Apa yang membuat Ibu selalu memandang dia rendah?" tanya Ardekara. "Dia berbakat seperti yang lainnya, bisa menulis cerita, imajinasinya hebat, dan bisa seni bela diri. Batari itu masih cucu Ibu."
"Dia adalah anak hasil di luar nikah, sesuatu yang saya benci. Itu zina! Saya benci dengan kejadian yang terjadi pada kalian!" Ranny berseru tajam menekan ucapannya. "Saya marah sama Tiana sampai dia melahirkan anak itu!"
Ardekara tahu, siapa yang tidak benci dan tolerir sama hal tabu seperti itu? Apalagi Ranny Ayu adalah wanita yang menjunjung tinggi adab yang baik.
"Itu salah saya, saya yang menanggung dosanya, anak itu nggak layak mendapatkan sanksi sosial seperti ini!" tukas Ardekara mengatupkan rahang dengan kuat. "Anak itu nggak minta dilahirkan, memang siapa yang menuntut agar Tiana cepat hamil?"
Ardekara yakin Ranny pasti cukup pintar untuk berpikir, mengapa sang cucu yang tak tahu masalahnya menjadi korban pelampiasan kebencian. Mengapa Batari yang dijadikan sasaran menjadi dibenci?
"Ibu Ranny nggak kasihan sedikit pun sama anak sendiri? Tiana nggak pernah diperlakukan baik sama Wiratama, dia menangis dituduh mandul, dan saya harus menahan kekesalan saat Mas Wira juga mengatakan bahwa Tiana mandul. Apa sikap Ibu yang nggak adil ke Tiana juga terulang lagi ke Batari? Sudah cukup, jangan perlakukan mereka sama!"
"Bagaimana saya bisa peduli sama Batari? Anak itu kelakuannya juga sering cari perhatian, sok-sokan mengaku depresi. Anak remaja depresi dan stres karena apa?" Ranny mendecih sebal, raut wajahnya yang kesal dan jijik sudah menjawab pertanyaan itu. Ranny tak pernah mau menganggap Batari sebagai cucunya.
"Hal itu bisa menyerang siapa saja, nggak pandang siapa. Mereka yang cantik, pintar, karir bagus, bahagia, dan disayang keluarganya juga bisa mengalami itu, ya kan, Bu?" Ucapan Ardekara tertuju pada suatu orang dari gambarannya, Ranny terlihat sangat syok.
"Beda, Syara nggak bisa punya anak makanya dia bisa depresi! Batari apa? Dia masih remaja! Apa yang membuatnya jadi seperti itu?" Ranny terlihat sangat jengkel.
Ardekara sebenarnya tidak mau mengungkit tentang Syara, dia hanya menyebutkan ciri umum yang sudah banyak contohnya. Siapa sangka Ranny langsung mengungkit hal tentang Syara.
"Ada hal yang ingin mereka dapatkan tetapi nggak bisa, hal itu yang membuat mereka tertekan. Syara kebahagiaannya ingin memiliki anak, sedangkan Batari ingin dianggap lebih, dan diapresiasi dengan hal yang sudah dia miliki. Ibu, jangan denial sama fakta kejadian yang menimpa Batari ini."
Ranny menggertakkan rahangnya. "Apa perhatian saya kurang? Saya sayang sama dia, saya perhatian dan ingin dia lebih baik lagi seperti yang lain. Depresi hanya karena dia bodoh dan nggak bisa berusaha kayak anak yang lain? Iya, makanya dia harus berusaha untuk mengejar!"
"Jangan membuat mereka untuk sama, mereka jelas berbeda. Ada hal lain lagi yang membuat Batari ketakutan, adalah kematian Wiratama," kata Ardekara di dalam dadanya ada emosi yang tak biasa. "Dia selama ini hidup dalam bayangan tuduhan."
Pria itu masih ingat bahwa kematian Wiratama ditemukan di lantai dasar rumahnya dalam kondisi terbakar 90%, dan mengalami luka berat di kepalanya yang bocor dan gegar otak. Hal itu terdengar sangat wajar. Namun, menjadi drama karena tuduhan orang-orang yang tidak memahami.
Kedua alis Ranny bertautan. "Batari benci sama Wiratama setelah kejadian itu, mana ada anak yang benci sama ayahnya sendiri sampai seperti itu! Nggak mau datang ke makamnya-"
"Batari baru tau sekarang kalau dia bukan anak kandung Wiratama, tapi Ibu nggak sadar mengapa sikap Batari seperti itu ke Mas Wira? Mas Wira nggak pernah menganggap dia sebagai anak. Dan, Batari sedang melakukan hal yang sama."
"Lalu Batari tertekan karena kematian Wiratama yang terbakar di rumah itu? Kenapa bisa sampai ketakutan dan depresi?" Ranny bagai masih mencari-cari jawaban yang bisa memuaskannya.
"Bazel melakukan bullying verbal. Bazel menuntut Batari mengakui tentang kejadian kebakaran yang sebenarnya itu."
Ranny terlihat sangat terkejut, dia sempat gugup dan kehilangan kata-katanya. "Saya yang membuat Batari masuk ke sekolah itu, memang salah saya yang mendekatkan dirinya sama jurang yang dalam. Saya tau, saya juga yang membuat Batari menjadi seperti itu."
"Apa Ibu pernah menyesal setelah kehilangan Tiana? Apa Ibu nggak takut suatu hari kehilangan Batari juga, Ibu tau kan Batari sedang berada di antara hidup dan matinya?"
Ranny terenyak luar biasa.
☁️☁️☁️
Pertemuan kemarin sore dengan Dokter Kanya masih menjadi beban pikiran oleh Batari. Kejadian yang sebenarnya menjadi masalah Batari saat ini, dia memiliki masalah kepribadian yang aneh.
Batari sudah bercerita pada Dokter Kanya sampai ke masalah tentang kemunculan Geri dalam dirinya. Geri, si sosok kepribadian cowok yang kuat, jago berantem, dan menakutkan. Itu hal yang menurut Batari paling sulit dia ungkapkan, sampai takut tidak dipercaya oleh sang dokter. Tidak menakutkan seperti yang dibayangkan, dan hal itu sebaiknya ditangani lebih cepat. Tetapi, caranya tidak semudah Batari melenyapkan Kesha dkk.
Batari juga menceritakan kejadian saat dirinya mengamuk melempar Revaldi dengan kursi sebab sering diejek aneh. Dia masih ingat dalam rekaman itu dirinya mendorong Revaldi sampai terdorong. Saat cowok itu mau memukulnya, Batari mendorong kembali sampai jatuh terjerambab. Dan, dia berubah menjadi sangat menyeramkan mengangkat kursi melemparnya ke arah Revaldi sampai mengenai kaki.
Setelah kejadian melukai Revaldi, Batari tidak mau ingat apa-apa, dia hanya mengingat adegan itu karena melihat di video saat dirinya masuk ruang sidang sekolahan. Batari dikeluarkan melanjutkan dengan homeschooling. Sekolah yang membuatnya tidak bisa ke mana-mana.
Saat mencoba mencari tahu yang terjadi pada dirinya, Batari mencoba konsultasi melalui live chat dengan para konsultan ahli. Beberapa kali konsultasi dengan chat, semua hasilnya mendiagnosa sama. Batari tidak puas pergi ke tempat praktek Ibu Nieke dan hasilnya sama. Apakah benar dirinya seperti itu?
Kejadian terulang lagi saat Revaldi balas dendam beberapa bulan lalu, sosok mengerikan itu muncul lagi mengamuk menghajar Revaldi sampai ketakutan dan lengah. Revaldi mengalami kecelakaan saking takutnya saat kabur dari pemakaman itu. Batari tidak tahu bahwa dirinya akan bertindak separah itu mempercayai dirinya sendiri dan berusaha bertingkah tak terjadi apa-apa. Dia tahu dia sudah berbohong.
Katakan yang sebenarnya, dengan begitu kamu akan terpaksa membunuh mereka.
"Dimsum, dimakan yuk!" seruan Acha yang riang sambil membuka kotak makanan di depan meja Batari membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.
Batari mendongak melihat mejanya diduduki oleh Acha, dia mengerang sebal mejanya dijadikan tempat pantat mendarat oleh teman sebangkunya sendiri.
"Ngapain duduk di meja? Nggak sopan, turun-turun!" usir Batari membuat Acha merengut memanyunkan bibirnya. "Nanti mejanya bau kentut."
Di jam istirahat kelas, mereka sedang menjalankan hari terakhir class meeting. Besok adalah pengambilan raport akhir semester dan setelahnya liburan panjang menyambut tahun baru juga.
"Ish, salah banget gue bersikap songong sama si pemilik sekolahan beserta seluruh aset berharganya termasuk meja ini."
Batari jadi ingin tertawa karena ucapan Acha, dia membuka mulutnya saat Acha menyodorkan satu potong dimsum dengan sumpit kayunya. Batari tidak bicara dulu sibuk mengunyah makanan.
"Bagaimana sekarang? Lagi seneng yak kayaknya sekarang kasmaran mulu sama Andra?" tanya Acha. "Nilai ujian lo bagus-bagus, lumayan juga sekarang."
Batari tertawa geli, dia tidak menyangka nilainya yang rata-rata hanya 7 dianggap bagus oleh Acha.
"Berkat tidur nyenyak, gue banyak dikasih obat biar tenang. Thanks, Cha, lo udah nemenin gue sampai di titik ini. Nyadarin gue biar pergi ke psikiater, dan bisa tidur nyenyak. Gue nggak yakin ada orang di luar sana yang mau temenan sama gue yang konsumsi obat-obat itu. Temen-temen gue di klinik itu, banyak yang dijauhin sama temannya."
Maaf juga Cha, karena keputusan yang gue ambil untuk bisa sembuh suatu saat nanti akan membongkar rahasia terbesar gue. Lo pasti bakal kecewa sama gue. Lo bakal marah dan benci sama gue. Tapi itu risiko besarnya untuk membuat gue sembuh. Melepas, melepaskan semuanya, dan merelakan pergi. Nggak akan membuat kebahagiaan imajinasi lagi dalam otak, yang menjadi penyebab kemunculan mereka.
Acha tersenyum tetapi matanya bersorot sedih. "Udah jangan dipikirin, Nanti tahun baruan kita main ke mana? Tahun lalu kita nggak ketemu dan main bersama loh."
Tahun lalu mereka belum berada di sekolahan yang sama, Batari belum mendapatkan kebebasannya, sehingga dia lebih banyak berhubungan hanya lewat ponsel saja.
"Ke rumah gue aja yuk, kita bakar-bakaran, makan apa kek gitu. Nanti gue ajak Andra sama Riko juga. Terserah sih kalo lo mau ngajak tambahan orang lagi," ucap Batari.
"Oke, siap!" seru Acha semringah.
Mereka berdua usai menghabiskan dimsum berjalan keluar dari kelas dan melihat di lapangan banyak anak murid masih keluyuran mencari tempat karena katanya habis ini ada pertandingan seru. Batari melihat hiruk-pikuk koridor banyaknya anak murid lalu lalang dan riuhnya di pinggir lapangan. Gadis itu ditarik oleh Acha untuk duduk di kursi yang jauh dari lapangan. Mereka duduk di bawah pohon akasia di taman.
"Kenapa ke sini?"
"Abis ini pertandingan basket kelasnya Bazel, gue cuma berusaha jauhin lo sama dia. Sebelum dia berulah lagi nyari keributan sama lo," kata Acha yang sudah kesal juga sama kelakuan Bazel.
Batari terkekeh pelan senang sekali merasa dilindungi oleh Acha dari bahaya sosok usil bernama Bazel. Mereka berdua bercanda riang bercerita apa saja, tanpa sadar ada yang memperhatikan dari jauh, dan senyuman si penguntit sangat lebar.
Andra sangat senang melihat Batari tertawa bebas bercanda ria dengan Acha.
☁️☁️☁️
6 JUNI 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top