Bab 33
33:: Tanda
☁️☁️☁️
Di dalam keremangan kamar dengan cahaya lampu oranye, Batari sudah menggunakan dress marun yang pernah diberikan oleh Om Ardekara. Gadis itu menatap dirinya yang sudah memakai riasan tipis, berupa bedak, liptint, dan blush on tipis agar pipinya sedikit merona lucu. Dalam pantulan kaca dia memandangi hasil mengumpulkan rasa percaya dirinya.
Batari menarik napas membuangnya sedikit demi sedikit. Bukan salahnya yang melakukan ini, dia hanya ingin merasakan kebahagiaan memiliki keluarga, disayang oleh orang dewasa, dan diperhatikan. Itu hal wajar apa yang diinginkan dibutuhkan oleh remaja seusianya. Kebahagiaan yang tidak dia dapatkan bisa dicari dengan orang lain. Lagian tidak ada yang salah dengan kedekatan Batari dengan sang adik dari papanya. Pamannya.
“Nggak, kali ini bukan Yura. Gue sebagai Batari, gue sebagai Batari.” Gadis itu mengangguk memberikan keyakinan dan semangat. “Gue Batari, cuma keponakan Om Ardekara. Jangan berharap lebih, lo cuma bikin khayalan gila, dan itu nyakitin hati serta jiwa lo, Batari. Udah cukup lo menyenangkan diri begitu, tapi sesungguhnya itu nggak nyata! Nyatanya, lo adalah Batari yang masih bisa nikmatin kebahagiaan sama keluarga, walau hanya diperhatikan oleh satu orang saja.”
Dalam pikirannya sudah ditanamkan, pelan tapi pasti dia harus mengendalikan diri, dan berupaya membunuh karakter-karakter yang tak seharusnya ada dalam dirinya.
Fokus, sebagai Batari. Aku si Batari.
Cewek itu membuka matanya saat merasa sudah yakin tidak akan tergantikan dirinya oleh siapa pun. Mereka tak akan muncul lagi. Dia akan menghempaskan mereka. Diusahakan satu per satu.
“Aku Batari, bukan Yura yang mengharapkan menjadi anak Om Ardekara.” Batari tersenyum manis dalam dirinya di kaca.
Mengapa ada orang yang menyedihkan sepertimu, Batari? batinnya dengan hati nyeri.
Ya, aalah satunya bernama Yura, tercipta saat Batari masih kecil dan sering bermain bersama dengan Om Ardekara dan Siera. Yura, si anak perempuan yang manja, gemas, keinginannya banyak, dan selalu mencari kebahagiaan.
Batari tidak pernah merasakan jadi dirinya sendiri saat bersama Ardekara, bayangan yang mustahil selalu muncul dalam benaknya menciptakan imajinasi sialan itu. Hanya Yura yang bisa berbagi perasaan dengan Batari, karena hal yang didapat Yura sangat menyenangkan. Malam ini Batari ingin menjadi dirinya sendiri.
Kalau dia akhirnya bisa menjadi Batari pada tempat yang tak sesempurna Yura, mengapa Yura bisa tercipta?
☁️☁️☁️
Sudah ada beberapa daftar nama yang memiliki review bagus, dari hasil mencari informasi di internet dan sosial media. Batari juga mencari-cari cerita tentang orang yang sukses sembuh berkat menjalani pengobatan kesehatan mental. Dia sangat ingin pergi tetapi keberaniannya belum terkumpul penuh, apalagi ancaman Oma beberapa hari lalu masih menakutinya. Keberaniannya terpompa lagi sejak diyakinkan oleh Acha, Andra, dan Riko.
Seberapa banyak orang yang sepertinya membungkam mulut, tidur dalam takut kegelisahan, dan tidak berani mencari pertolongan sebab ketakutan dicap buruk oleh orang lain?
Batari mengerjapkan matanya melihat banyak akun sosial media, video, dan cerita tentang orang yang mengalami depresi. Dia tidak menyangka bahwa dirinya tidak sendiri di dunia ini, di luar sana juga banyak yang mengalami hal serupa. Sering melihat video para ahli kejiwaan yang memberikan terapi kepada para pasiennya, dan gadis itu membayangkan dirinya juga bisa merasakan langsung bisa kembali ke masa-masa sebelumnya.
Agar di masa itu, dia bisa melepaskan emosinya yang tertahan, dan meninggalkannya di waktu yang seharusnya. Tidak seperti sekarang, dulu dia tidak bisa mengungkapkan, hanya memendam, dan terbawa sampai ke usianya yang semakin beranjak.
Saking asyiknya menonton video tidak sadar ada seseorang yang sudah datang duduk tepat di depan gadis itu. Sosok pria dewasa berwajah tampan dengan kacamata, dan kemeja lengan panjang digulung sampai ke siku.
Batari tidak sadar sebab orang di depannya itu sama sekali tidak bersuara sejak kemunculannya. Gadis dengan dress maroon berlengan pendek itu masih menunduk menonton video.
Ardekara hanya tersenyum simpul memperhatikan anak gadis itu sibuk sendiri dengan benda ajaibnya.
“Kamu lagi asyik banget?” Suara berat itu mengagetkan Batari hingga tangannya segera memencet tombol pause dan mengunci layar ponsel, padahal dirinya sedang larut dalam video yang ditontonnya.
Takut ketahuan mengapa dirinya menonton video-video tersebut.
“Hai, Om Deka, udah lama datengnya?” Batari tertawa malu, dan menyembunyikan ponselnya ke tas kecil di atas pahanya.
“Sekitar lima menit sih, cuma kamu lagi seru banget, jadi Om diemin aja dulu.” Om Ardekara tertawa kecil.
“Yaaaah, Om! Maaf ya aku nggak fokus.” Batari tidak enak hati.
“Nggak, Om nanti ganggu. Padahal Om juga udah ganggu kamu sih, ngajakin dinner bareng. Kamu cantik banget pake baju ini, tadi pas lagi nunduk Om kira orang lain.”
“Iya, aku suka banget sama baju ini, kan Om Deka yang ngasih waktu itu.”
Sejujurnya Batari sangat senang saat diajakin makan hanya berdua sama Om Ardekara, tanpa orang itu menyeret nama Siera. Entah mengapa Om Ardekara sepertinya sudah jarang membicarakan Siera. Tanpa orang lain ketahui Batari dengan Om Ardekara lebih dekat dari yang terlihat. Ya, sampai Batari berani meminjam villa untuk kabur dari pikiran kalutnya.
“Kamu nggak ngajak pacar? Siapa namanya, kalo nggak salah Riko yang waktu itu kan?” tanya Om Ardekara dengan senyum simpul. “Om lupa bilang kalo kamu bisa ngajak orang lain malam ini.”
Mereka sudah memesan makanan kepada pelayan dan menunggu untuk dihidangkan. Batari menaikkan sebelah alisnya saat nama Riko yang disebut sebagai pacarnya.
“Bukan, Riko cuma teman SD-ku. Nih pacarku yang ini, namanya Andra,” kata Batari membuka ponselnya dan memamerkan fotonya bersama Andra saat mereka pergi ke Ancol.
Om Ardekara mengangguk pelan, dan senyum-senyum. “Anaknya Reinhard, salah satu donatur sekolahan, kan?”
“Kok Om tau?” Batari menaruh ponselnya di tas kembali. “Anaknya tuh sederhana, lucu, nggak gengsian, dan seru banget.”
“Kenal malahan, ya sama-sama donatur sekolah. Kamu tenang aja kalo dia berbuat sesuatu, Om bakalan ikutan marah datengin ke bapaknya.”
Batari tertawa keras membayangkan hal menggelikan itu terjadi. “Jangan, aku nggak bisa kembali ke sekolah lagi, Om, kalo urusan percintaanku menjadi urusan antar donatur jadi keributan.”
Senyuman simpul dari Om Ardekara memutus pembicaraan tersebut, makanan pesanan mereka tiba. Batari sudah tidak sabar ingin menyantap pesanannya Chicken & Beef Teppanyaki, dan Iced Lemon Tea segar menantinya.
“Liburan sekolah, yang bertepatan sama tahun baru mau ke mana? Mau pergi ke Hongkong?” Tawaran Om Ardekara tampak menggiurkan imajinasi Batari.
“Sama Siera ikut?” Dia lantas mengingat Siera, yang pasti akan dibawa oleh Papanya.
Batari lebih memilih di kamarnya saja menulis cerita daripada jalan-jalan bersama Siera yang sekarang sombong dan selalu merasa berada di level lebih tinggi.
Om Ardekara secara mengejutkan menggeleng. “Siera nggak mau ke mana-mana, dia ada rencana sama teman-temannya. Kamu mau pergi sama Om? Kamu juga boleh ngajak Andra, Acha atau Riko.”
“Banyak banget, aku nggak enak sama Om nanti. Aku pikir-pikir dulu ya, soalnya pengen lebih banyak waktu sama Andra.” Gadis itu mengunyah sambil tersenyum-senyum mencurigakan.
“AWWWW!”
Lalu tiba-tiba Batari meringis sambil memegang kepalanya yang sakit luar biasa seperti sedang diremas sekuat tenaga, dia sudah tidak mampu membuka matanya, bayangan yang dia dapat ketika matanya terbuka hanya membuat pusing dan pandangannya berputar-putar.
Batari terbatuk-batuk dengan sisa makanan masih berada di mulutnya dan mengeluarkan berceceran di meja restoran.
Om Ardekara bangkit dari duduknya dan merangkul Batari yang masih memegangi kepalanya kesakitan. “Kita ke rumah sakit sekarang.”
Air matanya Batari keluar tidak kuat lagi menahan sakitnya yang luar biasa itu. Di antara seringnya sakit kepala itu muncul, malam itu yang terparah.
“Jangan! Pulang aja ke rumah. Aku mau pulang aja!” lirih Batari tidak mampu lagi membuka matanya yang berat dan kepalanya sudah tidak bisa dikendalikan lagi sakitnya.
“Iya, Batari, kita bakal pulang ke rumah dan panggil dokter ya!”
☁️☁️☁️
Kedatangan Batari dalam kondisi yang memprihatikan membuat seisi rumah gempar. Ardekara menghubungi Dokter Pribadi yang sejak dulu sering dipanggil ke rumah Oma untuk memeriksa keluarga itu. Di dalam kamar Batari sedang diperiksa, di depan pintu Ardekara berdiri dengan cemas ditemani Rishad.
“Batari kenapa?”
“Kita makan malam bersama, tiba-tiba dia sakit kepala.”
Rishad kembali ke kamarnya ketika Oma datang dan menyuruh cucu tertuanya itu kembali ke kamar. Ardekara dan Oma Ranny melihat ke dalam kamar di mana Batari terbaring lemas dan sudah sadar karena dia menganggukkan sesuatu ke arah Dokter Pribadi.
“Kamu ngajak dia keluar rumah? Dalam rangka apa?” Oma bertanya dengan tatapan penuh curiga.
“Aku mengajaknya untuk refreshing, lagipula Siera sibuk sulit aku ajak keluar.”
“Kamu masih cukup tampan untuk mencari pacar lagi, dan nggak bakal kesepian sampai pergi dengan anaknya kakakmu,” kata Oma Ranny penuh makna. “Kamu nggak bisa jaga perasaan Siera kalo selalu dekat sama Batari.”
“Oh, Ibu tau Batari sedang sakit dan pingsan? Kesadarannya belum sepenuhnya pulih, tapi Ibu lebih peduli dengan acara dinner kami?” Ardekara ingin tertawa miris. “Aku nggak butuh pacar baru, mungkin belum. Dan selama itu, aku masih menganggap Ibu sebagai Ibuku.”
“Karena kalo dia nggak pergi, nggak akan sakit sampai pingsan. Dia di rumah saja, dan nggak akan merepotkan orang lain,” jelas Oma.
Ardekara menggeleng lemah. “Nggak ada yang direpotin kok, Bu.”
Mereka berhenti bicara, rautnya serempak menjadi tegang saat Dokter Pribadi yang sudah tua renta itu keluar dari kamar Batari membawa tas dan raut wajahnya dingin.
“Nona Batari harus segera dibawa ke Rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut. Harus menjalani beberapa pemeriksaan yang penting sekali.”
“Memangnya kenapa? Apa ada resep obat yang harus saya tebus setelah ini?” tanya Ardekara.
“Resep obatnya saya taruh di meja. Saya serius anak itu harus dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.”
“Anak itu memang keras kepala, pasti sulit membawanya untuk ke rumah sakit.” Oma memandang kesal ke arah dalam kamar Batari.
“Nanti saya akan tebus resep obatnya, setelah itu membujuk Batari untuk ke rumah sakit.”
“Sakit kepala yang berulang dan luar biasa menyakitkan, pasti bisa membahayakan anak itu jika ada hal nggak ketahuan. Cepat dibawa ke rumah sakit, saya izin pulang harus ke tempat lain. Permisi.”
Ardekara segera masuk ke dalam kamar Batari dan duduk di pinggiran kasur dengan raut wajah cemas. Batari masih terbaring lemas, matanya sudah terbuka tetapi dipenuhi sisa air mata.
“Kenapa menangis? Masih sakit?” tanya Ardekara menatap lembut dan memeriksa resep obat dari dokter.
“Aku mau obatnya,” ujar Batari lemah. “Udah biasa sakit, nanti juga hilang kayak biasanya lagi.”
“Kamu udah sering sakit seperti ini tapi nggak pernah ke dokter? Kalo kamu sakit kepala bagaimana caramu meredakannya? Obat-obatan nggak jelas itu?” maki Oma marah sekali pada Batari.
Batari membuang mukanya, sedangkan Ardekara bingung memandangi Batari karena Oma menyebut tentang obat.
“Obat apa?” Ardekara membulatkan mulutnya.
“Jawab Oma, kamu sering sakit seperti ini tapi nggak pernah ke dokter?” tanya Oma lagi dengan suara tinggi.
“Aku pernah dateng ke klinik, beberapa kali, dan karena sering sakit kepala itu berulang. Mereka juga menyuruh aku ke rumah sakit, tapi aku nggak mau.” Batari menjawab dengan suara melirih.
“Selain sakit kepala, apa yang kamu rasakan?” tanya Ardekara dengan tenggorokan tercekat.
“Mual, kepalaku seperti dipukuli, pandangan kadang berputar, gelap, dan tubuh kehilangan keseimbangan. Aku cuma kecapekan biasa, mungkin ini anemia aja.”
Tentu kabar mengejutkan itu membuat Ardekara menganga kaget. Oma juga tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Ardekara dan Oma saling bertatapan, dan sorot matanya seperti menampilkan satu pemikiran yang sama.
Jangan katakan bahwa....
“ARGGGGHHHHH!”
Keduanya sangat panik dan terkejut saat Batari tiba-tiba bangun dari posisi rebahan dan meyampingkan tubuh menghadap langsung ke lantai. Sesuatu keluar dari mulutnya berupa makanan yang sudah dicerna.
Tangan Batari memegang kepalanya dan menjambak rambut sekuat tenaga.
“SAKIIIIT!!! AAAAARGHH! AAAAARGHH!”
Kalau tidak segera ditangkap oleh Ardekara yang gesit, tubuh Batari sudah terguling jatuh ke lantai sebab gadis itu sudah tidak tahu posisinya. Karena sakit yang luar biasa sedang menyerangnya.
Ardekara memindahkan tubuh ringan Batari lebih ke tengah agar tidak terguling lagi jika Batari bergerak-gerak. Ardekara melihat Oma Ranny hanya berdiri agak menjauh dari kasur dengan tatapan mata kosong dan mukanya memucat.
“Rishad! Tolongin! Jerry! Siera! Tolong!!” teriak Ardekara sangat keras, membahana, dan membopong tubuh Batari untuk segera membawa ke rumah sakit. Nada suaranya yang ketakutan disertai raut wajah panik memucat.
Di tangga, Ardekara melihat orang-orang datang dan cemas mengkhawatirkan sosok Batari yang sudah tak sadarkan diri dalam dekapannya. Ardekara sangat takut kalau terlambat Batari akan kehilangan nyawa.
Ardekara dan Oma sepertinya sudah tahu apa penyebabnya. Oma masih syok berdiri dan tidak mampu menyusul Ardekara yang sudah membawa Batari dengan segera ke luar kamar.
“Om, saya ikut ke rumah sakit! Jerry, Siera, kalian di rumah aja!” seru Rishad mengikuti Ardekara keluar dari rumah.
Ardekara sudah memindahkan Batari ke kursi tengah, dia berjalan cepat menuju kursi kemudi mobil. Rishad yang mengganti posisi sebagai menjaga Batari di kursi tengah, sedangkan Ardekara yang akan membawa mobilnya ke rumah sakit.
Ardekara sebisa mungkin tenang, dan fokus. Agar dia tidak ikutan kacau dan membahayakan mobil itu. Dia memperhatikan Rishad yang merapikan posisi kepala Batari ke bantal di atas paha Rishad.
Baru saja mobil mau keluar dari halaman ada Jerry datang membawa sesuatu.
“Om Deka, buka sebentar! Woi, Rishad buka dulu!” pekik Jerry mengetuk kaca mobil.
Kaca mobil dibuka oleh Rishad, sedang paniknya kalau Jerry menghabiskan waktu tidak penting akan dihajar besok pagi.
“Ada apa?” Rishad bertanya, tapi sebelum dijawab Jerry sudah menyerahkan sebuah cardigan ukuran besar warna dusty pink.
“Biar Batari hangat. Nanti kabarin gue ya kalo udah sampe!” seru Jerry.
“Thanks.”
Ardekara berdoa dalam hatinya, semoga sesuatu buruk tidak akan terjadi, hari ini, besok atau nantinya. Pria itu melihat dari kaca spion di belakangnya Rishad sedang bergerak-gerak bibirnya dan memucat pasi.
“Kalo Batari kenapa-napa, kasih tau Om ya?” Ardekara menatap spion agar bisa melihat wajah Rishad.
Tangan Rishad memegang pergelangan tangan Batari. Cowok itu menahan napasnya, dan seketika panik saat tidak bisa merasakan denyut gadis di pangkuannya. Berkali-kali Rishad menggeser tangannya di pergelangan tangan kiri Batari, dan mencobanya juga di leher gadis itu.
Rishad melemas.
“Om, kenapa udah nggak terasa denyut nadinya?”
☁️☁️☁️
28 MEI 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top