Bab 31

31:: Penasaran

☁️☁️☁️

Batari tahu Acha berbicara pada Bazel tanpa seizinnya. Saat mencari Acha, dia melihat temannya itu sedang berbicara dengan Bazel. Batari lebih memilih pergi menjauh, dia juga meninggalkan Andra tanpa pamit untuk kembali ke kelasnya.

Andra tidak mengejar Batari untuk menyusul Acha, pertanda Andra harus berjaga jika Bazel bisa membahayakan Acha. Jika Acha harus berhadapan sama si menyebalkan Bazel, akan ada Andra yang membantu sobatnya itu.

Di dalam kelas Batari tidak tenang, pikiran dan perasaan dia menjadi gelisah banget. Dia mengambil buku dari dalam tas dan membacanya agar fokus terbagi. Sayang, perasaan Batari tidak bisa dibohongi bahwa dia sedang cemas, ketakutan tentang fakta bahwa Acha yang menemui Bazel.

Setelah Acha kembali ke kelas, Batari sudah duduk di kursinya dengan buku terbuka di meja. Buku yang tadi sempat dibaca oleh Batari ditutup, diharapkan agar pikirannya bisa dikendalikan dengan membaca tapi caranya tidak berhasil.

"Lo ngomong apa sama Bazel?" tanya Batari saat Acha duduk di kursinya tanpa seulas senyum apapun. Dia sangat takut Acha terpengaruh sama Bazel, dan dirinya tidak memiliki teman yang mempercayainya. "Apa lo nggak percaya sama gue sampe nanya ke cowok itu segala?"

"Gue cuma mastiin aja kalo dia yang bocorin ke Ratu."

"Kenapa begitu?"

"Ya, yang tau masalahnya kan cuma gue, Andra, dan Bazel. Jelas bukan gue dan Andra yang bocorin!" kilah Acha. "Gue takutnya lo mengira kita yang ngasih tau," jelasnya lagi.

"Nggak juga, kuping tajam banyak yang bisa mendengar." Batari tidak tahu siapa yang memiliki kuping tajam itu, mungkin saja memang Ratu sendiri yang pernah menguping. "Gue nggak bakal menuduh kalian kok, jadi jangan begitu!"

"Ratu tuh sebenarnya suka sama Bazel, bukan sama Andra. Bazel manfaatin cewek itu, siapa tau Bazel yang bocorin ke Ratu. Tapi dia nggak mengakui, sampai di sini puas nanyanya?" Acha terdengar sudah lelah diinterogasi oleh Batari sampai bicara dengan nada sinis.

"Apalagi yang lo tanyain ke dia? Pasti ada kan? Gue nggak suka lo ngomong sama dia, dan jadi meragukan gue! Gue tau kok Ratu suka sama Bazel, mereka emang deket, gue pernah lihat mereka jalan bareng."

"Ya, gue cuma pengen tau dari dua sisi, tapi Bazel juga nggak bisa memberikan alasan kuat. Dia nggak melihat sendiri kejadian itu, dia cuma modal berasumsi. Gue nggak tau siapa yang benar?"

"Ya, jelas gue dong yang bener," sahut Batari. "Kenapa lo jadi meragukan gue? Lo denger cerita yang buruk-buruk pas masa kecil gue? Ah!"

"Lo nggak inget jelas, gue beneran ngasih saran ke elo—"

"Gue harus ke psikiater? Begitu, 'kan?"

Oma melarangnya pergi ke sana, dia yang awalnya sudah setengah hati ingin berani pergi ke sana, nyalinya menjadi takut lagi.

"Kenapa lo nggak mau kita bantuin? Ada apa sama lo? Lo sering mengeluh diri lo aneh, bingung, sedih, takut dan gelisah. Tapi lo nggak mau dikasih solusi." Acha berada di titik lelahnya menasehati Batari.

"Oma nganggap gue gila kalo sampe pergi ke sana, gue pengen tenang dan bahagia kayak kalian. Tapi, keluarga gue sendiri nggak mendukung. Gue udah sering ke psikolog sejak masuk sekolah ini, gue sekolah di luar agar bisa konsultasi sama Ibu Nieke yang kliniknya nggak jauh dari sini. Beliau bilang Oma harus datang buat dengerin saat konsultasi, gue sampe sekarang udah nggak balik lagi—bagaimana kalo dokter-nya juga sama? Mungkin ini mudah untuk orang yang masih punya dukungan keluarga, tapi gue udah nggak punya keluarga."

Acha menganga dengan mata berlapis air mata, dia tak percaya dengan pengakuan Batari barusan. "Selama ini lo udah sering ke psikolog? Sori, gue nggak tau. Terus lo gimana?"

"Iya, apa gue sekarang terlihat lebih baik? Enggak." Air mata Batari menetes beberapa kali dan segera dihapus.

"Lo bisa sendiri, tapi lo punya gue dan Andra. Kita mendukung lo, dan bisa menemani. Kalo nggak ada keluarga yang bisa menemani lo, masih ada kita."

"Gue pengen coba ikut sesi terapi, mungkin bisa inget kejadian itu. Kenapa Oma gue selalu diminta ikut? Karena ini juga berhubungan sama dia."

"Lo buktiin, lo bisa tanpa dibantu olehnya. Batari, kita pasti bantuin dan nemenin lo."

"Tapi di sisi lain, gue nggak mau Geri pergi. Gue butuh sosok Geri, karena dia yang bikin gue lebih berani selama ini."

Apakah Batari bisa jika suatu hari hidup tanpa mereka?

☁️☁️☁️

Semua gelagat teman-temannya tidak bisa luput dari pandangan Batari. Cewek itu menjadi cemas sejak Acha bicara pada Bazel. Dan, ketakutannya bertambah ketika dirinya mendapati sang Oma berada di sekolah. Batari tahu bahwa Acha dan Andra dipanggil oleh Oma-nya saat di tengah jam pelajaran.

Setelah mereka kembali, Batari menyadari gelagat aneh kedua orang itu. Saat makan di kantin beberapa kali Andra kepergok melamun dan menjadi dingin. Di kelas saat jam pelajaran Acha tidak mengajaknya bicara.

Sepulang sekolah Batari segera menemui Oma-nya yang sedang merajut di ruang keluarga.

"Aku tau Oma ke sekolah. Oma, jangan datengin teman-temanku lagi. Jangan buat dia menjauh dari aku!" seru Batari.

"Apa? Memangnya apa yang Oma lakukan? Kalau mereka menjauh, itu karena kelakuan anehmu sendiri."

"Apa yang Oma bicarakan ke mereka?"

"Oma cuma meminta mereka supaya berhenti pengaruhin kamu buat ke psikiater. Mana ada teman seperti mereka yang menganggap kamu gila?"

"Aku yang pengen sembuh, aku yang pengen ke psikiater. Aku tau aku sakit. Mereka yang membantuku, menguatkan diriku agar bangkit dan percaya habis lewatin masa ini. Aku bisa melihat kehidupan yang cerah. Kesehatan mentalku bisa membunuhku perlahan, padahal aku udah terbunuh sejak lama, nggak punya tujuan hidup apalagi cita-cita."

"Omong kosong mereka berhasil mempengaruhi kamu ternyata!"

"Aku depresi, Oma nggak ngerti karena nggak mau tau." Batari menekan kata-katanya.

"Kamu jangan sembarangan ngomong! Kamu tau nggak bagaimana depresi itu! Jangan menafsirkan sendiri karena omongan orang lain."

"Bukan orang yang nggak ngerti yang bilang, Ibu Nieke, psikolog di klinik dekat sekolahan yang membantuku menyimpulkan dari sikap dan kondisiku. Aku pengen sekolah di luar rumah, agar bisa pergi ke psikolog secara tatap muka," jelas Batari memberikan fakta mengejutkan. "Aku sering bohong bilang menulis sampai sore, sampai Oma menganggap aku kurang kerjaan dan buang-buang waktu saja. Padahal, aku sedang mencari tahu tentang diriku. Bu Nieke minta Oma agar datang, tapi aku nggak bisa. Oma nggak pernah percaya apalagi mendukung seperti saat ini!"

"Batari—" Oma sudah pucat pasi kehilangan kemampuan bicara, dia tidak bisa membalas semua ucapan cucunya. Oma hanya menganga tidak percaya.

Mungkin sudah saatnya Batari meluluhkan hatinya, agar bisa membuat Oma bisa melihat dirinya yang lemah. Selama ini Batari bicara tinggi untuk menguatkan hatinya, yang sama sekali berkebalikan dengan dalam dirinya. Dia ingin menunjukkan sisi lembut dan lemah bagai anak kecil. Yang membutuhkan bantuan.

"Kenapa aku nggak bisa konsen belajar, kenapa nggak pernah dengerin omongan Oma? Karena ada banyak hal yang ganggu pikiran aku! Aku marah sama Oma makanya nggak pernah dengerin kata-kata Oma."

Sekali tarikan napasnya Batari bersuara lagi.

"Aku minta izin sama Oma, aku mau ke psikiater. Aku juga minta maaf sama Oma, karena nggak pernah bisa menjadi anak yang diharapkan kayak saudaraku yang lain. Kali ini, Oma bisa meminta aku berhenti nulis cerita lagi dan sekolah di tempat umum. Aku bakal turutin permintaan Oma, tapi kasih aku izin dan bantu aku, buat bisa keluar dari bayangan kenangan buruk masa kecilku. Cuma Oma, satu-satunya orang dewasa yang aku punya, yang dulu berada di sana."

"Kenapa kamu baru mengakuinya sekarang? Sebelumnya kamu bersikap seolah nggak merasakannya, dan sekarang berani mengakui depan Oma bahwa kamu depresi?"

"Aku takut semua orang menganggapku semakin menjijikan, semua orang di rumah ini sempurna, kecuali aku. Aku mau melegakan hati, aku semakin kacau, dan seumur hidup baru satu kali ke makam Papa. Sekali yang menyakitkan. Aku akan menata kehidupan yang lebih baik lagi setelahnya, dan bisa menjadi cucu yang bisa Oma banggakan."

"Maaf," satu kata dari Oma membuat Batari menganga terkejut. Wanita tua itu menitikkan air mata beberapa kali.

Batari ingin bicara lagi tetapi Oma sudah pergi membawa benda rajutannya masuk ke dalam salah satu kamar dan mengunci diri dari dalam. Batari ikutan masuk ke dalam kamarnya sendiri untuk istirahat, dia amat yakin harus berhenti di titik itu juga. Matanya tertuju ke sebuah lemari dan membukanya.

Di sana ada beberapa buah sertifikat yang dilindungi oleh bingkai keemasan.

Pelan tapi pasti giliran kamu. Kamu yang terakhir akan aku singkirkan, Geri. Kamu adalah aku yang penakut, karena aku takut maka kamu ada.

☁️☁️☁️

Pintu kamar Batari diketuk dari luar, cewek itu segera membuka pintu meninggalkan laptop yang sedang membuka halaman sebuah file pdf hal yang sedang dia pelajari sesuatu amat penting. Orang yang mengetuk pintu kamarnya adalah sosok cowok berwajah jutek yang tak mudah dipahami apa maksudnya. Seperti saat ini, Batari melongo tak paham dengan kehadiran sosok Rishad di depan pintu kamarnya.

"Gue mau ngomong," ujar Rishad. "Boleh masuk?"

Batari mengizinkan cowok itu masuk ke dalam kamarnya tanpa banyak bicara, keduanya duduk di sebuah sofa. Gadis itu menyelidiki kamarnya takut ada hal yang aneh-aneh dan membuatnya malu di hadapan Rishad.

"Lo punya pemanas air di dalem kamar sendiri?" tanya Rishad ke arah meja yang berisi benda itu beserta beberapa buah mug cantik.

"Iya, gue suka males keluar kamar, makanya kalo lagi ngambek, gue nggak takut laper. Gue juga punya panci listrik," ucap Batari.

"What? Lo sering nyembunyiin makanan instan dong?"
Batari mendecih, "Itu yang pastinya gue beli sendiri, kecuali kepepet banget bakal ngambil deh di dapur."

Memang sejak kecil, Batari sudah terbiasa menyembunyikan makanan untuk jaga-jaga kalau keadaan tak memungkinkan. Mana ada yang tahu keadaan Batari yang menjadikan hal itu jadi kebiasaannya, yaitu menyembunyikan makanan.

"Oh." Rishad kemudian terdiam lama hanya memperhatikan keadaan kamar Batari dengan rahang mengatup rapat.

"Kenapa? Lo sebenarnya kenapa sih? Mau ngomong apa?" tanya Batari yang dibuat penasaran, dia tak mau basa-basi agar Rishad secepatnya bicara saja.

"Dugaan gue bener ya," ujar Rishad membuat Batari tersentak. "Lo nggak nyaman di sini sebenarnya, dan tertekan. Gue tau kok keadaan lo sebenarnya. Lo punya alat masak di kamar, dan keluar kalo seperlunya aja."

Batari meneguk salivanya, dia tertebak oleh Rishad, orang yang cukup dia takuti karena sikap saudaranya yang satu itu memang sangat pintar dan tak mudah ditipu.

"Nggak semua hal berjalan menyenangkan, salah satunya gue tinggal di sini. Tapi, di sini lebih baik, karena di luar banyak orang yang jahat. Gue takut sama orang-orang yang nggak gue kenal di jalanan, dan rasanya nggak tenang setiap keluar. Nggak menyenangkan, tapi aman, ada ya sesuatu yang bisa disebut begitu. Rumah."

Rishad  mengangguk. "Ada orang yang di rumahnya nggak merasa aman juga," tambah cowok itu.

I was there, gumam Batari dalam hatinya sambil tertawa getir. Rumah yang tidak menyenangkan, dan aman. Rumah mengerikan yang pernah ada dalam kehidupannya. 

"Oma tadi ke sekolah nemuin Andra dan Acha, dia meminta mereka berhenti membuat lo seolah sakit." Rishad menghela napasnya berat, kemudian menatap lurus tepat ke manik mata Batari. "Lo nggak beneran sakit, kan? Jujur sama gue!"

Mata Batari mengerjap beberapa kali, dia merasakan gemuruh pukulan menyesakkan di dadanya membuat dia kehilangan kemampuan bicara sesaat. Rasanya dia mau tertawa keras.

"Kebanyakan orang percaya sama kebohongan, tapi nggak percaya sama kebenaran yang nyata. Tapi gue aja nggak bisa bedain, mana yang bohong dan nyata. Menurut lo aja, gue sakit apa enggak?"




☁️☁️☁️










Penasaran nggak Oma ngomong apa pas di sekolah ke Andra dan Acha??😂😂



22 MEI 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top