Bab 26

26:: Bersembunyi

☁️☁️☁️

Di tengah kegelapan ruangan itu Batari sudah menghabiskan beberapa waktunya untuk merenung tak jelas pikirannya berkelana. Dia sengaja mengunci pintu kamar dari dalam agar orang lain tidak datang mengganggunya. Dia sangat hancur, ketakutan, dan gelisah sekali setiap teringat di kepalanya bayangan makam seseorang.

Selama Bazel ngerjain Batari, baru kali ini dia merasa sangat terpukul, dan berada di titik terendah emosinya menjadi sangat sedih. Mampu membuatnya kehilangan kemampuan menulisnya itu.

Batari sebenarnya berbohong pada Andra, dia tidak pernah terlihat menulis cerita lagi karena menikmati dunia nyatanya. Sesungguhnya perempuan itu sedang kalut, kehilangan inspirasi, dia kehilangan kemampuan menulisnya sampai separah itu.

Batari tidak tahu saat itu pukul berapa, dia masih terduduk di lantai sembari sandaran di besi tempat tidur. Dia datang ke sebuah villa di daerah Cipanas itu Sabtu malam diantar oleh seseorang.

Dia mulai mengurung diri sejak Minggu malam. Niatnya Batari ingin mencari tempat untuk menjauh dan menangis di tempat yang jauh dari jangkauan orang yang mengenalnya. Sayang, sakit kepala sialan itu muncul, membuatnya harus beristirahat di villa milik Om Ardekara.

Batari menangis di tengah tidurnya, menahan rasa sakit seperti kepalanya mau pecah, pandangan gadis itu menjadi buram dan tubuhnya demam. Tidak menyangka bahwa rencananya untuk refreshing, dan menenangkan diri gagal, dia sakit di villa itu.

Saat ini kepalanya sudah tidak terlalu sakit, sudah sering dia merasakan sakit kepala yang tidak biasa, yang nanti hilang dengan sendirinya. Walau sakitnya tidak begitu lama, kejadian itu sering muncul di waktu yang tak terduga.

Setelah beristirahat sakit di kepalanya berangsur membaik, Batari menjadi teringat kesedihannya, alasan yang membawanya pergi menjauh dari semua orang. Batari tahu kepergiannya pasti membuat beberapa orang panik, tetapi dia tak akan bisa pergi kalau bilang ke orang-orang itu.

Hanya beberapa orang yang tahu keberadaan dirinya di villa itu, yaitu Om Ardekara, selaku si pemilik villa yang mengizinkan Batari untuk menenangkan diri. Riko, si teman Batari yang ternyata mampu cewek itu andalkan di saat genting.

Batari sebenarnya tidak enak membuat Riko masuk ke dalam dunianya yang berantakan. Sabtu malam itu Batari menghubungi Riko untuk bicara. Muncul keinginan Batari jadi berniat pergi, tetapi tidak tahu siapa yang bisa membawanya ke tempat itu. Riko yang bersedia menemaninya. Riko juga yang merawat ketika sakit kepala sialan itu menyerang Batari.

Di tengah tangis sesak di dadanya semakin berat teringat Acha dan Andra, dia rindu kedua orang itu dan ingin sekali bertemu. Batari mengerjapkan matanya, jika dia membayangkan suatu hari nanti tanpa mereka, dunianya pasti segelap itu, dan sangat menyedihkan.

Pintu kamar Batari diketuk dari luar, suara berat pria dewasa terdengar memanggil namanya. “Batari, udah bangun? Sarapan yuk, Om mau kembali ke Jakarta,” ucap Om Ardekara membuat Batari menoleh menatap ke arah pintunya.

Cewek itu menghapus air mata yang tersisa, kemarin sore hari Minggu, Om Ardekara datang demi membujuk Batari untuk pulang. Dia masih belum ingin pulang karena masih ada sesuatu yang belum melegakan dirinya. Di antara banyaknya orang dewasa yang berada di sekitar Batari, hanya Om Ardekara yang dia hormati dan sayangi.

Dia bangun dari duduk tanpa suara berjalan ke pintu membukanya.

Seorang pria dewasa berwajah tampan, menyisakan ketampanan di masa mudanya, serta berkacamata sangat berwibawa, dan memakai pakaian kemeja batik coklat.

“Astaga! Kamu tidur nyenyak, kan? Kamu ngapain aja di kamar dari kemarin malam?” Om Ardekara masuk ke dalam kamar itu dan menyalakan sakelar lampu.

Batari hanya menatap datar si pria yang sekarang lagi membuka gordyn kamar, sehingga pintu balkon itu bisa menyumbangkan udara angin segar pagi itu. Dia tersentak dengan sinar matahari yang mengejutkan matanya, cewek itu menyingkir menjauh dari arah datangnya sinar matahari pagi.

Batari menutup pintu kamarnya, dia berjalan menuju ujung kasur, dan duduk di sana diam saja.

“Om mau balik ke Jakarta pagi ini, jam 11 ada meeting di kantor,” ucap Om Ardekara, dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul 6.

“Kenapa Om nyusul ke sini sih kemarin?” tanya Batari merasa tidak enak hati. “Ajak Riko juga pulang pagi ini ya, Om.”

“Kalo Riko pulang, kamu juga ikut. Nanti kamu balik ke Jakarta sama siapa? Saya sama Riko khawatir kamu melakukan sesuatu yang—“

“Aku nggak ngapa-ngapain yang berbahaya kok, cuma pengen nangis aja nggak diganggu orang,” sahut Batari senyum lemah. “Sambil menunggu pagi.”

Om Ardekara mendekat, duduk di sebelah Batari. Tatapan pria itu sangat simpati, “Nggak bisa tidur nyenyak ya semalam?”

Batari menggeleng lemah. “Aku juga nggak tau kenapa. Setiap tidur tetap gelisah, bukannya beristirahat bangunnya bisa segar. Setiap memejamkan mata, bayangan yang menakutkan menghantui aku. Bangunnya, aku menjadi sangat lelah. Capek.”

Tangan Om Ardekara merengkuh Batari ke dalam pelukan, dan gadis itu menitikkan beberapa kali air matanya.

“Batari, kamu punya saya, bilang sama saya kalo kamu butuh bantuan,” katanya. “Ada apa?”

Tangis Batari tidak bisa ditahan semakin keras. “Om, hiks, hiks, kemarin untuk pertama kalinya aku ke makam Papa. Aku jadi tau di mana pusaranya, dan setiap ingat batu bernama miliknya itu pikiranku tetap sama. Aku takut dan bingung. Aku nggak membunuh Kakak Om,” kata Batari menangis dengan derasnya air mata.

Dia merasa pelukan Om Ardekara semakin erat padanya, dan memberinya kekuatan. Batari berpikir bahwa ucapannya juga membuat Om-nya sedih, karena sejujurnya Batari tidak kehilangan orang itu, yang sangat kehilangan sudah pasti adalah si Om Ardekara.

“Nggak, siapa yang bilang kamu membunuh dia? Batari, jangan biarin tuduhan itu selalu membuat kamu merasa bersalah,” bisik Om Ardekara. “Pssst, jangan terpengaruh sama mereka!”

Mengapa setiap Batari di dekat Om Ardekara merasa terlindungi, dan kuat. Gadis itu menangis tanpa berkata apa-apa lagi, namun dia tidak boleh lama menangis di depan Om-nya yang harus secepatnya pergi. 

☁️☁️☁️

Di meja makan Batari melihat sudah banyak makanan tersaji, dia memandang banyak makanan lalu ke arah sosok cowok tinggi berkulit putih itu yang lagi mempersiapkan makanan. Batari sudah lebih tenang, tidak bisa dibohongi perutnya lapar harus diisi makanan. Riko sedang membenahi plastik-plastik bekas membungkus makanan yang dipesan daring olehnya.

“Sori, Rik, kita ketemu belum lama, tapi bisa-bisanya gue ngerepotin elo,” ujar Batari ketika Riko menyodorkan styrofoam berisi bubur ayam, dan sepiring kecil berisi cakwe.

Riko mendongakkan kepalanya membalas tatapan Batari. “Ya daripada lo nekat malam itu nyari tempat buat sembunyi,” jawabnya lalu duduk di hadapan Batari. “Lo punya tujuan, ya udah gue anterin.”

“Lo bisa langsung pulang malam itu abis nganter gue,” tukas Batari cepat. “Lo jadi nggak bolos pagi ini, keluarga lo pastinya nyariin kan?”

“Mana mungkin langsung cabut lagi ke Jakarta, lo tiba-tiba sakit kepala, demam tinggi, dan muntah. Lo kira gue tega meninggalkan sendirian di villa? Ya ada penjaga sih di rumah belakang,” sahut Riko. “Gue udah izin sama mereka, gue biasa keluyuran kok.”

“Sori, gue jadi bikin lo nggak masuk pagi ini, gue emang bawa dampak negatif buat lo!” seru Batari.

“Selow, gini doang lo jangan merasa bersalah dan berdosa gitu!” Riko berseru balik.

Batari tersenyum simpul dan memulai sarapan paginya, dia menghabiskan makanan pelan-pelan, dia tidak napsu makan tetapi perutnya sakit minta diisi makanan.

Cewek itu melirik ponselnya yang masih posisi mati, padahal sudah diisi daya baterainya penuh sejak tadi pagi. Dia belum siap mengaktifkan ponselnya dan dicecar oleh orang lain, yang peduli padanya.

“Lo bilang udah punya cowok, kenapa nggak ngajak dia pergi?” tanya Riko polos.

“Justru, gue sembunyi dari dia, gue terus merasa bersalah udah bohongin mereka. Tapi gue nggak bisa jujur,” ucap Batari meneguk air di gelas.

“Batari, jangan pernah kabur begini lagi. Tentang kebohongan lo, sebelum lebih jauh lagi, sebaiknya lo cerita yang sebenarnya. Mereka pasti akan mengerti,” tutur Riko meyakinkan.

Batari ragu kepalanya menggeleng lemah. “Kalo gue mengaku, mereka nggak bakal percaya sama cerita yang memang sejujurnya. Pembohong akan dicap sebagai pembohong besar,” tegas cewek itu.

“Nggak begitu,” tukas Riko langsung diam tidak bicara lebih banyak lagi.

“Mereka terlalu baik buat gue,” jawab Batari.

Batari mengeluarkan sebuah botol tabung dari saku jaketnya, dan mengeluarkan beberapa buah pil untuk diminum. Sebelum sempat Batari meminumnya, Riko sudah berdiri menghentikan gerakan Batari. Riko merebut lalu melempar obat itu ke lantai, dan melotot geram ke Batari.

“Kenapa Rik? Itu obat sakit kepala gue,” ucap Batari menganga tak percaya. Dia berdiri ingin mencari obat yang tidak tahu terjatuh ke mana.

“Jangan bohong! Pas lo tidur, gue lihat obat-obat lo, dan nyari namanya di internet. Gue heran kenapa lo make obat nggak jelas itu? Obat yang lo bilang pereda sakit kepala itu bisa berbahaya banget buat lo, masih mending obat di warung, dan yang barusan mau lo minum itu obat anti depresan yang dijual bebas di internet! Bener kan lo minum obat bebas itu?” Riko memandangi Batari tak percaya.

Batari kembali duduk di kursinya, dia menarik napas dan membuangnya kasar. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, dan menatap langit-langit ruangan makan itu.

“Gue takut ke rumah sakit, lagian sakit kepala yang sering gue alamin karena tidur gue kacau, pikiran gue berat. Obatnya bukan di rumah sakit umum. Sumbernya adalah beban pikiran gue, dan obat anti depresan itu, gue butuh tapi terlalu takut buat dapetinnya dari psikiater. Gue takut pergi ke sana, gue takut dianggap gila.”

“Emang siapa yang bilang lo gila? Lo yakin sakitnya yang kayak malam itu berhubungan erat sama psikis? Ayo, kita cek ke dokter, gue temenin.”

“Ya, julukan itu otomatis bakal gue sandang karena butuh obat penenang. Rik, gue sebenarnya harus pergi ke psikiater. Dokter Nieke, yang pernah gue ceritain, dia nggak bisa banyak bantu gue, malah nyuruh gue lebih lanjut pergi ke psikiater.” Tatapan Batari ke Riko lesu dan miris.

“Dia memang bukan Dokter, cuma Psikolog yang hanya bisa dengerin lo cerita,” sahut Riko menyadarkan Batari. “Terus karena lo takut ke psikiater, jalan pintasnya jadi nyari obat penenang yang dijual bebas? Bahaya buat lo efeknya nanti kelamaan dikonsumsi.”















☁️☁️☁️




9 MAY 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top