Bab 24
24:: Antara Batari dan Bazel
☁️☁️☁️
Setelah Andra bicara dengan Bazel, kemudian cowok itu pergi meninggalkan Bazel yang hanya diam saja. Jujur saja Andra sangat marah mendengar Batari dituduh sebagai pembunuh ayahnya oleh Bazel. Bagaimana cewek itu tidak tertekan, sering melarikan diri ke dunia imajinasi, dan tertekan bahwa yang membencinya cukup banyak. Bukan hanya sang Oma, tetapi sang saudara satu ayahnya juga. Bazel. Siapa yang tahu bahwa dua orang itu memiliki hubungan darah, karena setiap terlihat bersama keduanya hanya cekcok ribut terus.
Pemuda itu berjalan cepat untuk mencari seseorang, dia melihat Acha berada di pinggiran koridor sendirian sedang memegang botol minuman. Andra mencegat Acha, raut wajah cowok itu membuat gadis di depannya ketakutan dan heran.
“Kenapa lo kayak mau hajar gue?” Acha bertanya gugup. “Muka lo serem banget, sumpah!”
Andra menarik napasnya, mencoba tenang agar ekspresinya tidak menyeramkan lagi. “Bukan ke elo, tapi Bazel. Gue pengen tau cerita dari banyak sisi, kenapa gue harus taunya dari Bazel kalo dia saudaranya Batari? Mereka satu ayah? Gue merasa ini kejutan yang mengerikan,” kata Andra.
“Jangan percaya sama yang Bazel omongin!” sergah Acha. “Gue nggak berhak ngasih tau itu rahasia keluarga Batari, lo kalo mau tau jelasnya tanya Batari langsung.”
“Makanya gue pengen tau dari dua sisi, sebelum ke Batari, apa yang lo tau?”
Acha membuang napas, dia tidak berhak menceritakan hal tentang keluarga Batari. Dia tidak langsung bicara, menimbang apakah layak untuk dibicarakan.
“Iya mereka saudara satu ayah, mereka pernah tinggal satu rumah saat kecil. Kebakaran itu awal perpecahan mereka, Batari dituduh membunuh ayahnya, padahal dia ditinggalin di salah satu ruangan dalam rumah itu. Keluarganya Bazel salah paham. Lo tau kan Batari sering kehilangan memori, gue pikir semuanya bermula dari sana.”
“Lo percayanya versi Batari atau Bazel?”
Andra menanti jawaban Acha dan sobat pacarnya itu memberikan jawaban yang mengejutkan.
“Batari itu kayaknya PTSD, gue belum yakin sebelum ada vonis dari ahlinya. Gue cuma melihat dia dari sikap, emosi, dan lebih parahnya lagi kepribadian dia terganggu. Lo tau kan dia sering banget nggak inget di beberapa kejadian, dan lo sendiri pernah melihat dia berbeda dari biasanya. Lo pernah berhadapan langsung dengan sosok emosian yang kuat bisa gebukin orang, lo tau sendiri namanya Geri ‘kan?”
Teringat kembali dalam benak Andra, dia berhadapan langsung dengan orang aneh yang waktu itu nekat membuat Batari nyaris kecelakaan. “Ada satu lagi, gue nggak tau namanya, dia pernah mencoba nabrakin diri ke truk. Batari nggak inget, dan bilangnya; itu bukan dia. Gue emang bego, makanya gue iyain aja ucapan dia, kenapa bisa begitu ya?”
“Bisa jadi itu kepribadian ganda,” jawab Acha.
“Hah? Gue nggak tau itu apaan,” sahut Andra tak percaya.
“Dia butuh ke psikiater buat nyari tau apa yang terjadi dengan dirinya, Andra, lo bantuin gue,” ucap Acha membuat Andra terkejut. “Gue dukung lo deket sama Batari, biar kita bisa jalanin rencana itu, kan?”
Kepala Andra menggeleng pelan, dia mendadak jadi tidak tega. “Itu hal yang nggak bisa dipaksa. Mana bisa kita paksa dia ke dokter kejiwaan, layaknya kita memaksa teman kita berobat ke klinik yang sakit batuk dan demam. Nggak akan semudah itu,” ujar Andra meragukan dirinya.
Andra tidak mungkin tega dan jahat menjebloskan Batari ke psikiater, kalau gadis itu tidak menyadari bahwa dirinya membutuhkan pengobatan.
“Orang depresi terkadang nggak sadar, Batari nggak tau dia butuh pergi ke sana.” Acha menepuk bahu Andra cukup keras menguatkan. “Lo pasti bisa menuntun dia.”
Perasaan Andra jadi merasa bersalah, tidak boleh, dia yang sudah memutuskan apapun konsekuensinya. Manusia yang baik adalah malaikat yang sedang menyamar. Andra berharap, dia bisa menjadi malaikat yang membantu Batari.
“Oke, tapi gue nggak janji, karena gue pengen jadi orang yang melindungi, bukan sosok menakutkan bagi dia.”
Anggukan Acha melegakan hati Andra. Benarkah semua dugaan mereka, bahwa Batari memang membutuhkan seseorang yang bisa menyembuhkan, mengangkat semua beban di pikiran yang mengganjal, menghapus memori buruk, dan percaya diri ketika orang lain menghakiminya.
☁️☁️☁️
Di meja yang letaknya di pinggir jendela, yang bisa melihat langsung ke jalanan itu Andra dan Batari duduk berhadapan. Di meja mereka sudah banyak piring berisi makanan yang dipesan oleh Andra.
Mereka memesan makanan yang di antaranya seafood, padahal Batari mengaku tidak suka melihat makanan laut, apalagi ikan-ikanan, Andra tetap saja memesan dengan izin Batari pastinya.
Andra yang membayarkan makanannya memohon pada Batari agar mentraktir dengan uangnya. Andra tak menyangka bahwa Batari benar-benar ngotot ingin membayar semua makanan itu.
Andra memperhatikan gelagat Batari sejak beberapa hari gadis itu tidak menunjukkan kesedihan atau aura yang buruk. Justru Batari tampak bahagia dan Andra tidak menemukan celah untuk memberikan alasan dan saran.
“Kamu senang?” Andra bertanya menatap lekat pada Batari. “Maaf, aku makan seafood padahal kamu nggak suka.”
Cewek di depannya itu menyuapkan nasi bakar ke dalam mulutnya. “Nggak pernah sebahagia akhir-akhir ini sih. Makan aja, asal bukan ikan-ikan yang menjijikan dan bau sebenarnya, nasi bakar kamu isinya cuma cumi-cumi nggak apa-apa.”
“Oh, bagus itu, biar kamu bisa nulis cerita yang bahagia dan seru-seru. Aku makan nih ya beneran?”
Batari mengangguk. “Aku udah nggak bisa nulis lagi, aku lagi menikmati dunia nyataku sama kamu, dan banyak hal. Ambisi itu bisa bikin aku gila, dan mengabaikan hal yang bisa membuatku bahagia, salah satunya mungkin kamu, seharusnya kita kenal sejak dulu.”
“Kita kenal udah lama, tapi kita bagai dua kereta di dua rel berbeda. Kita bertemu tetapi menuju ke arah yang berlawanan.” Andra berdeham takut salah bicara. “Tapi sekarang aku maunya kita satu gerbong kereta, biar ke arah yang sama.”
“Terima kasih, Andra.”
“Untuk?” Cowok itu menaikkan sebelah alisnya.
“Dateng ke lembaran hidupku, sebelum kamu dateng, aku hidup dalam imajinasi dan nggak percaya sama kebahagiaan itu apa? Acha cerita, dia udah ngasih tau keadaan psikisku ke kamu,” ujar Batari membuat Andra melotot tidak percaya karena bahasannya menjurus ke arah sana. “Aku harap kamu nggak takut atau bingung, emosiku memang nggak stabil dan kadang salah dalam menunjukkannya.”
“Aku udah tau, sejak dekat sama kamu, aku sadar itu, dan Acha yang mewanti-wanti aku sebelum nembak kamu. Dia baik, nggak mau kamu sakit hati dipermainkan sama cowok.” Andra menggigit bagian dalam bibirnya ragu apa dia katakan saja langsung, tetapi rasanya tidak tepat kalau langsung menuding Batari.
Batari terlihat cemas dengan menggigit bibir dan matanya melirik ke segala arah tidak tenang. Tangan Batari mengepal di atas meja, dan tubuhnya bergetar hebat.
Andra menjadi takut gadis itu kenapa-napa, dia memegang bahu Batari dan bertanya-tanya.
“Kenapa?”
“Kepalaku terkadang kayak mau pecah, perasaanku kadang tiba-tiba gelisah dan sesak napas. Aku nggak tenang, dan sepertinya semua orang menatap benci dan sinis.” Batari memandang ke sekitarnya dengan sorot mata ketakutan.
“Kamu butuh tempat untuk cerita, bisa menyelesaikan segala kebingungan, dan menenangkan pikiran. Apa kamu sakit? Kita pergi ke dokter yuk?”
“Aku sakit apa? Kalo aku sakit nggak mungkin kuat pergi ke sini,” sahut Batari sambil memanyunkan bibirnya.
“Kamu mau selalu tenggelam dalam kesedihan, kehilangan banyak waktu yang seharusnya untuk bahagia, dan hidup tenang?”
Batari diam saja sedang memahami ucapan Andra. Lalu gadis itu membuka suara. “Apa kebahagiaan itu dicari dulu baru bisa kita rasakan? Apa kebahagiaan itu sesuatu yang harus dengan terpaksa dirasakan dalam keadaan apapun?”
“Yang aku pahami untuk diriku sendiri, ya kita harus tau apa yang bisa dilakukan. Lakukan yang baik, tinggalin yang buruk. Aku temenin pergi ke psikiater kalo selama ini perasaanmu tenangmu nggak biasa, kamu udah jarang merasakannya?”
“Kenapa psikiater? Emang aku gila? Menurutmu aku gila? Kamu jangan pernah pergi ninggalin, dan benci sama aku karena aku gila!”
“Bukan begitu, biar kamu bisa tidur nyenyak dan tenang.”
Mata Batari melebar ketika melihat ke arah jendela. “Andra, aku takut ada yang berusaha menyingkirkanku, dia pengen aku mati, dia selalu ngikutin aku. Aku dikuntit seseorang.”
Perkataan Batari kontan membuat Andra panik, karena pikiran cowok itu menjadi terbersit bayangan yang bukan-bukan. Batari sedang ketakutan? Mengapa dia berubah secepat itu?
“Kamu liat siapa? Mana yang nguntit kamu?” tanya Andra bangkit dari kursinya.
Tangan kurus Batari menunjuk ke arah luar jendela, kepala Andra menuruti arahan Batari dan tidak menemukan apa-apa di luar sana.
“Mana? Kayak gimana orangnya?” Andra mau bangun dari duduknya berniat mengejar sosok yang tadi membuat Batari takut.
“Udah pergi. Jangan kejar dia, nanti kamu jadi luka parah kayak waktu itu!”
“Kayak apa yang ngikutin kamu?” tanya Andra panik, dan merasa ini bahaya, dia menyeret Batari dalam bahaya dirinya.
Bagaimana kalau para suruhan Ronie yang mulai mengusik ketenangan Batari? Itu bisa membahayakan kekasihnya.
“Pria misterius. Udah gapapa, dia udah nggak ada. Hm Andra, omonganmu tadi menurutmu aku gila sampai harus pergi ke psikiater?”
Kepala Andra menggeleng kuat-kuat. Benar, susah sekali meyakinkan Batari bahwa bukan seperti itu maksudnya.
“Bukan hanya orang gila yang pergi ke psikiater, kamu bisa melepas beban atas semua pertanyaan, kegelisahan, dan kenangan buruk yang perlahan bisa membunuh kamu.”
Menemani orang depresi tidak semudah yang Andra bayangkan, bagaimana kalau dirinya terlalu menghakimi dan menyudutkan Batari?
“Kalau aku beneran gila bagaimana?”
Andra menahan dirinya agar tidak bergidik, di tengkuknya seperti meremang ngeri respons alami karena ucapan, dan raut wajah Batari yang seperti itu anehnya. Dia menatap Batari dalam-dalam, raut wajah cewek itu sepertinya kosong, dan semakin menyeramkan karena hanya diam saja.
Pertanyaan aneh Batari itu tak pernah dijawab oleh Andra sampai mereka pulang dari tempat makan itu, pemuda itu bersikap tak terjadi apa-apa mengalihkan perbincangan.
Sesungguhnya, dia tak tahu harus merespons bagaimana kata-kata aneh yang terlontar dari bibir sang gadisnya.
☁️☁️☁️
Holy creepy!
29 APRIL 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top