Bab 2

2:: Lingkaran masih aman

☁️☁️☁️

Di sebuah mobil BMW hitam ada dua orang cewek yang sibuk masing-masing dengan dunianya. Batari sibuk menggerakkan jarinya pada keyboard notebook. Dalam pikiran Batari terisi imajinasi indahnya.

Sedangkan cewek lainnya, Siera sibuk dengan ponselnya, dan ngoceh panjang lebar. Buku Sosiologi di tangannya hanya dipegang saja.

"Besok malam lo ikut ya dinner sama Papa? Soalnya Papa pengen gue ngajakin lo juga, nanyain gue udah bilang ke lo apa belum?"

Batari tidak menggubris Siera. Pikiran cewek itu melalang buana entah ke mana, yang pasti tidak mendengarkan ocehan yang berasal di dekatnya. Pikirannya sudah membayangkan berada di tempat lain, telinganya menafsirkan suara-suara yang berada di sekitarnya, yang tentunya asalnya dari tempat yang sedang dibayangkan. Tangannya bergerak cepat menerjemahkan suara dan percakapan itu menjadi untaian kata demi kata.

Sosok gadis berkacamata dengan wajah merengut kesal yang duduk di depan Batari mulai kehilangan kesabaran.

"Batari, lo dengerin gue ngomong gak sih?" tanyanya kesal. "Gue buang 5 menit waktu belajar gue buat ngomong sama lo."

"Hah, iya apaan, Ra?" Batari bertanya.

Batari tidak suka kalau sedang menulis cerita dengan orang di sekelilingnya, karena dia jadi tidak fokus amat. Dia mendongakkan kepalanya sudah buyar, alasan lainnya dia tidak mau diadukan ke Oma karena sepagi itu sudah bergulat dengan notebook kesayangannya.

Siera tidak menjawab hanya mendesis, dan matanya memincing super sinis. Cewek yang terkenal jutek banget itu tidak bisa dibohongi ekspresinya.

"Kenapa sih mukanya cemberut?" Batari tak sadar, semakin menunjukkan bahwa dirinya tadi tidak memperhatikan si cewek satu lagi di dalam mobil itu. Mata Batari menatap Siera heran.

"Papa ngajak lo ikut makan malam besok atau lusa, lo mau ikut kan?" Siera kesal, mengulang ucapannya.

Harusnya dia bicara dengan nada senang karena ajakan sesuatu yang menyenangkan itu nadanya harus senang juga bukan, tetapi kelakuan Batari sudah membuatnya kesal. Masa ucapannya tidak didengarkan.

"Kalo gue nolak boleh? Gue nggak enak tau sering pergi sama kalian, emangnya apaan kayak ganggu keluarga kalian?"

"Selow aja sih, dari kecil kan kita emang biasa pergi bareng, kayak sama siapa aja!" seru Siera. "Lo harus ikut gak mau tau."

"Nggak bisa, tetapi gue usahain deh."

Dalam perasaan Batari sebenarnya, daripada tidak enak hati, dia lebih merasa kesal. Dia selalu berkata tidak enak kalau ikutan acara pertemuan Siera dengan Papanya, yang sudah bercerai dengan Mamanya setahun lalu itu. Hal yang membuatnya iri adalah Siera masih bisa memiliki keluarga, sedangkan Batari takdirnya tidak semenyenangkan itu. Batari sangat iri melihat Siera yang masih amat diperhatikan keluarganya. Sialnya, Papa Siera, si Om Ardekara sangat baik dan menjadi figur seorang ayah yang sempurna.

"Emang lo sibuk ngapain? Belajar kayak gue?" cetus Siera.

"Gue yah biasa, mau pulang sampai jam 6. Mau nulis di sekolah."

"Kenapa harus di sekolah? Lo gila apa berani banget nulis di sekolah sendirian?" Siera terlihat sangat kagum, atau tepatnya geli.

"Biar nge-feel?" Batari memberikan nada bicara seolah berpikir.

"Lo jangan nulis sampe lupa buat senang-senang. Pokoknya lo harus luangin, jam 7 juga oke. Papa keluar dari kantornya jam 6 jadi bisa jemput lo. Gue sendiri juga ada les, tapi bisa nyempetin. Gue bakal naik Ojol, karena gak jauh dari tempat les."

Alis Batari terangkat sangkat Siera menyebut kata senang-senang. Apakah Siera sadar bahwa sebenarnya hidupnya yang penuh belajar itu amat menyenangkan? Batari tidak akan membandingkan dirinya dengan Siera si anak hobi belajar, si peraih ranking 1 pararel di jurusannya.

"Ya, itu kan acara lo, bukan gue. Jelas lo ngasih usaha lebih."

"Gue nggak mau debat loh, tapi lo kan diundang sama gue. Lo udah bilang makasih ke bokap gue?"

Batari menahan menggeram, dia tidak lupa akan kebaikan hati Om Ardekara yang memberikannya notebook itu. Orang yang memberikan suatu barang kebutuhan, lebih baik dari sang Oma. Sebenarnya hutang Batari ke Papa Siera banyak banget.

"Belom. Oke gue ikut, nanti gue hubungin Om Deka biar bareng." Tangan Batari mengatung mengetuk di atas papan notebook miliknya.

"Sepatu sama bajunya muat sama lo?" Siera menatap Batari dari cermin.

"Muat."

Batari menahan napas, tidak tahu saja bahwa semua ukuran barangnya sudah dihapal oleh Om Ardekara.

"Batari,"

"Apa?"

"Gue takut kehilangan Papa sama Mama, gimana kalau mereka meninggalkan gue. Misalnya, mereka memiliki keluarga baru."

"Kenapa? Bukan sesuatu yang buruk memulai dengan keluarga baru."

"Mendingan kehilangan keluarga dengan cara meninggal gak sih?"

Ucapan Siera membuat Batari melotot tidak senang. "Lo gila banget sampe mikir kayak begitu!"

"Abisnya, biar gak liat mereka nyakitin kita di depan mata."

Batari antara setuju dan tidak setuju dengan ucapan Siera, pasalnya dia pernah berada di fase seperti itu. Perasaan Batari mendadak jadi sesak, seperti ada yang membuat dadanya sakit dan saluran napasnya tersendat. Kalau bicara tentang keluarganya dia bisa amat sensitif.

"Gue bukan orang yang bakal menghakimi, dengan bilang; harusnya lo bersyukur bla bla bla. Karena setiap persepsi orang beda-beda, tapi dari sudut pandang gue, mereka masih bisa ditemuin aja udah sesuatu yang menyenangkan. Mereka menerima lo dengan baik, kalian masih bisa bersama di waktu yang ada." Batari menggigit bibir merenungi ucapannya sendiri.

Tanpa disadari mobil mereka memasuki area lapangan untuk berputar. "Tuan Putri udah sampai nih." Pak Tatang menghentikan mobilnya.

"Yes, sampe juga." Batari merapikan notebook-nya dengan menutup asal tanpa dimatikan, dia bergegas ingin cepat turun, dan mencari tempat tanpa diganggu untuk melanjutkan menulisnya.

Pak Tatang tersenyum, supir pribadi mereka memang sejak tadi diam saja karena tak mau ikut campur dengan obrolan dua anak itu. "Non Siera, nanti mau dijemput jam berapa buat les?"

"Terima kasih, Pak. Jam 4 aku keluar sekolah ada rapat OSIS dulu." Siera langsung segera turun. "Gue duluan ya mau belajar Sosiologi, gue kehilangan waktu beberapa belas menit buat ngobrol. "

Batari baru mau turun tapi Siera sudah kabur duluan. Dia mendesis sebal dengan ucapan Siera. Lantas dia teringat sesuatu, "Terima kasih, Pak. Kalau aku nggak di rumah sampai jam 6, bilang sama Oma aja aku nungguin Siera pulang les di suatu tempat. Kita ada janji makan bareng mau nyobain nasi uduk Sedap Malam."

Soalnya Batari malas banget kalau harus ngomong sendiri sama Oma. Oma sering sekali tidak mencari Batari, namun saat gadis itu sampai di rumah disambut kemarahan dan omelan sang Nenek.

"Bapak bakalan bohong nih ke Nyonya? Ya udah, siap deh, Non!"

Cewek itu tersenyum kecil, dia memakai tasnya, dan memeluk notebook-nya berjalan menjauh dari mobil-yang memutar lalu pergi meninggalkan gerbang sekolahan.

☁️☁️☁️

Batari menahan senyum di dalam pikirannya terbersit bayangan romantis yang tadi sempat terpotong saat diajak bicara dengan Siera. Kadang menulis cerita bisa membuat dirinya nyaris kayak orang gila karena senyum sendirian, bahkan emosi sendirian.

Karena melamun cewek itu tidak tahu ada sebuah bola basket melambung menuju dirinya. Bola yang memang sengaja dilempar oleh sosok cowok tinggi berekspresi menyebalkan di tengah lapangan itu.

Teriakan dari beberapa anak tidak didengar oleh Batari, gadis itu tidak bisa diganggu gugat kalau sedang mengkhayal karena telinganya otomatis ikut tuli.

"Batari!!!!" Sosok cewek berambut sebahu menjerit sambil menenteng gelas berisi milo dingin, Acha sampai tidak jadi minum saat keluar dari kantin melihat bola melayang menghampiri teman dekatnya. Namanya Acha, sahabat terbaik Batari.

Telat.

Bola oranye keras itu sudah menghantam kepala Batari dengan mantap.

Dugh!

"Awwww!" pekik Batari, untungnya dia memegang erat notebook-nya. Kalau sampai jatuh terbanting, dia tak akan memberi ampunan pada si pelaku pelemparan bola naas itu.

Tatapan Batari mendadak jadi menyeramkan dan menajam, perlahan dia menoleh ke arah kirinya, menatap emosi ke sosok cowok berkulit putih, tubuhnya tinggi, dan kurus.

Ke salah satu makhluk yang paling senang melihat hidupnya susah, lebih dari siapa pun. Seluruh murid yang melihat keduanya langsung fokus menatap penasaran dan ada juga yang langsung melengos cuek. Ada yang sudah malas menyaksikan dua manusia yang sering debat dan ribut tidak penting amat itu.

"Udah gue duga pasti lo pelakunya, maksud lo apa sih?" tanya Batari berjalan cepat menuju ke hadapan si cowok tinggi berwajah tampan tapi menyebalkan itu. Dia sampai harus mendongak supaya bisa menatap cowok itu.

"Biar otak lo encer, jadi gue kasih terapi syok." Bazel mengambil bolanya, "Mau ditambahin nggak?"

"Lo bener-bener ya!!!!" seru Batari emosi.

Itu konsekuensi yang pernah dia debat oleh Oma. Batari dan Oma pernah ribut saat gadis itu ingin sekolah di tempat umum. Oma setuju membiarkan Batari sekolah di tempat umum asal di sekolah milik keluarga mereka. Dia ingat di hari pertamanya masuk, beberapa bulan lalu membuat cowok bernama Bazel itu memulai peperangan dan mencak depan umum.

"Apa?" Bazel mengangkat alisnya tinggi sambil memainkan bola basket memutar di tangannya.

"Berapa harganya biar lo gak ganggu gue sehari aja? Minimal nggak bikin pagi hari gue memburuk."

"Selama lo di sekolah ini, hidup gak akan tenang," desis Bazel sinis. "Mending lo pindah sekolah aja, kalo mau gue berenti diganggu sama gue."

"Pertama, ini sekolah Nenek gue. Kedua, gue juga nggak mau di sini. Ketiga, keberadaan gue di sini karena permintaan Nenek gue. Jadi, gue nggak bakal angkat kaki, kecuali lo berani ngomong sama Ibu Ranny Ayu. Atau lo aja yang ngalah gimana? Lo yang keluar dari sini."

Kalau ada yang berani ganggu Batari atau protes dengan kelakuan semaunya, dia bisa dengan pongah bilang; ini sekolah emang punya nenek moyang gue!

"Sayangnya, gue duluan yang di sini, dari kelas 10 udah setahunan lebih. Lah, elo? Baru 2 bulanan. Masih bisa pergi tanpa berat hati, adaptasinya baru banget kan?"

Keributan Batari dan Bazel membuat beberapa anak murid cekikikan. Katanya, banyak cewek yang suka banget kalau lihat Bazel lagi resek atau bertingkah menyebalkan. Katanya si ganteng. Tapi, Batari tak mau menganggap itu. Cowok bernama Bazel itu resek dan menyebalkan, baginya adalah musibah.

Lengan Batari terasa dipegang, saat menolehkan kepalanya ada Acha sudah memberikan raut wajah agar Batari berhenti dan pergi dari hadapan Bazel. Bazel dan Acha bertatapan saling sebal penuh makna.

"Urusan kita udah selesai. Jangan ributin ini lagi di lain waktu." Batari mengentakkan kakinya kesal dan pergi bersama Acha.

Mudah memang bagi Batari menghentikan keributannya dengan Bazel, tapi anak cowok itu masih punya seribu cara buat ngajak dirinya ribut lagi. Batari tanpa menoleh sangat tahu dirinya sedang ditatap tajam oleh Bazel.

Bazel menatap kedua perempuan itu dengan perasaan benci. Tangannya terkepal di atas bola basket. Dia benci, benci banget sama perempuan itu.

☁️☁️☁️

Di koridor Acha memberikan petuahnya, sedangkan Batari sibuk memikirkan kembali imajinasinya tadi yang dirusak oleh Siera mau pun si Bazel. Dia kehilangan perasaan bahagia yang tadi sempat terbersit saat membayangkan tokoh utama perempuan ceritanya.

"Udah gue bilang, Bazel itu jangan ditanggepin, dia cuma cari perhatian lo. Semakin lo marah, dia bakal semakin senang." Acha serius bicara dengan nada yakin.

"Gimana gue bisa sabar? Dia nggak bisa didiemin," sahut Batari.

"Dia bahkan nggak bisa disuruh berhenti jail. Lo kayak lagi ngadepin orang bebal, susah disuruh buat gak ganggu."

Bazel memang mau diapakan tetap saja resek, jail dan tak akan membiarkannya hidup damai.

"Bocah itu emang kampret sekampretnya, kenapa sih gue harus sekolah di sini? Cha, kenapa kita berada di lingkaran setan ini? Gue, elo, Bazel, bahkan," ucapan Batari terhenti, dia hanya membungkam mulutnya. Masih ada satu lagi cowok yang benci banget sama dirinya. Jangan tanya mengapa cewek itu banyak musuhnya. "Oma juga masuk dalam lingkaran setan ini."

"Jangan bawa Oma lo, nggak sopan amat." Cibir Acha.

Mereka berdua masuk kelas 11 IPS 5 dan duduk di kursinya yang paling belakang. Batari yang memilihnya tanpa bisa diganggu gugat, dia mencari tempat di mana sangat jauh dari perhatian guru.

"Lingkaran jadi bulat karena ada gue, dan Oma yang menjerumuskan gue. Kenapa gak sopan? Duh, Cha, lo harus tau kalo nyalahin orang lain tuh enak banget." Batari duduk dan menaruh notebook-nya di kolong meja.

"Stop, jangan nyalahin orang terus." Acha tertawa bengis. "Kenapa kita bisa kumpul di sini? Ya karena sekolah ini kan terbeken di sini, dan dekat sama lingkungan kita. Jadi wajar banget kalau ketemunya orang itu-itu aja. Di kompleks rumah gue ada 15 yang tersebar di berbagai angkatan, belum alumninya. Oma lo sukses banget dalam marketing sekolah ini."

"Masih banyak sekolah yang lebih bagus. Kenapa lo jadi keliatan kagum sama Oma gue?"

"Ya memang Oma lo keren. Ehem, sori. Kembali ke topik Bazel. Intinya, lo harus tau bagaimana menghadapi orang-orang itu."

"Tentu, emangnya gue anak bloon kemarin sore." Ucapan Batari membuat Acha tersenyum miring.

Batari melirik jam tangannya, kelas masuk jam setengah tujuh dimulai dengan mata pelajaran Kewarganegaraan. Kakinya gelisah bergerak di kolong meja tangannya meremas kuat-kuat. Dengan gerakan mengagetkan sampai Acha menoleh sambil melotot, mengangkat alisnya super tinggi, Batari bangkit dari duduknya sambil membawa notebook-nya.

"Mau ke mana lo?" Acha menganga. "Bentar lagi masuk."

"Udah tau, karena udah mau masuk dan sebelum ada guru pertama, makanya gue mau cabut," sahut Batari lalu lari dengan gesit keluar dari kelas.

"Heh! Batari!!! Batari, nanti dicariin guru, gue bakal bilang apa?? Eh!"

Tapi yang diteriakin hanya terkekeh riang dan melesat di antara riungan anak murid yang masih bertebaran di koridor sekolahan, bel berbunyi panjang tak menghentikan langkah cepat Batari.

Awalnya Batari menganggap teriakan Acha sebagai gangguan, pada akhirnya suatu saat nanti dia menjadi merindukan suara teriakan itu.

☁️☁️☁️

Akan update setiap hari Rabu dan Sabtu!

**Jangan lupa tinggalkan Votes ya saat membacanya, please angka views dan votesnya makin jomplang banyak siders😢

12 FEB 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top