Bab 13

⚠️ peringatan sebelum melanjutkan, part ini mengandung self harm, darah, dan kekerasan⚠️

☁️☁️☁️

13:: Ledakan es

☁️☁️☁️

Acara makan malam berjalan sunyi senyap. Batari memang hanya bicara seadanya sejak dahulu kala. Sayang sekali dia bukan Siera yang bisa tanpa sungkan menceritakan bagaimana hari-harinya ke Oma.

Memangnya kalau dia bicara didengar oleh orang lain? Apa juga yang ingin diceritakan, tidak ada yang bisa membanggakan dan menarik? Apa dia bisa menceritakan harinya yang tadi sore mengikuti remedial Matematika? Keluarga umumnya pasti seorang anak murid sangat wajar menceritakan hal seperti itu, tetapi di meja makan keluarga Soeharso itu seperti sedang menceritakan aib.

Batari sejak tadi melirik Siera tidak suka, tepatnya tatapan kesal, karena gadis itu seperti sedang menusuk dan menjatuhkan dari belakang. Dia berharap Siera tidak akan cerita soal pengumuman pemenang seleksi itu, tetapi rasanya mustahil kalau Oma tidak mengetahuinya. Oma pasti bakalan tahu duluan karena beliau memiliki mata-mata di sekolahan juga.

"Oma, cerita buatanku lolos seleksi dan bisa ikutan perlombaan penerbit itu," kata Siera.

Bukan hanya Batari yang langsung membeku, ucapan Siera juga membuat Rishad dan Jerry yang lagi makan melotot menatap ke Siera dengan tatapan tidak percaya.

"Bagus, itu baru cucu Oma. Katanya, yang suka banget menulis cerita itu Batari, tetapi mengapa yang menang malah Siera?" cibir Oma tanpa menatap ke arah Batari.

"Oma," tegur Rishad yang merasa ucapan itu akan membuat orang lain menjadi kesal.

Semua orang juga pernah merasakan kecewa, tetapi diingatkan kembali seperti mengoleskan cuka pada luka.

"Batari cuma sampe 10 besar, padahal cerita dia kan pasti udah banyak yang dibuat selama ini." Siera masih bercerita menyebalkan.

Jerry menggelengkan kepalanya ke arah Siera dan dibalas oleh gadis itu hanya dengan sebuah tatapan aneh penuh makna.

Batari si cewek berkaus warna merah dengan baju kodok jeans biru, sudah kesal sekali memainkan garpunya di atas sirloin steak. Gadis itu meletakkan pisau, takut sesuatu yang tidak bisa terkontrol itu muncul dan melakukannya di depan semua orang. Mata Batari sudah panas, dan rasa malu hinggap menjalar ke wajahnya. Dia menghindari pandangan dari semua orang, sudah meremas tangan kirinya di kolong meja untuk meluapkan kekesalannya.

"Semua orang berhak ikutan dan menang, ya kan Oma?" Siera tersenyum miring. "Awalnya ada yang sempat mau melarang aku. Dia bilang, kenapa aku ikutan dan tiba-tiba tertarik sama hal dunia tulis menulis cerita fiksi. Padahal aku memang pinter menulis juga tuh udah terbukti," kata Siera, dan tidak biasanya dia menjadi sosok menyebalkan dan sinis.

"Siapa yang ngelarang Siera?" Oma menatap ketiga cucunya.

Batari yang tidak balas menatap karena sedang memandang ke arah lain.

Jerry menjawab. "Aku cuma nanya, sejak kapan Siera suka menulis cerpen, jadi berminat untuk ikutan seleksi. Bukannya aku melarang."

"Sudah, sudah, aku mau makan. Nggak mau ya suasananya jadi nggak enak!" seru Rishad menatap tajam ke Siera. Cewek berkacamata itu hanya mendengkus.

Batari berusaha menelan potongan steak dengan susah payah. Gadis itu butuh beberapa saat dalam mengendalikan perasaannya, diamnya tadi sedang menahan agar tidak mengamuk karena kekecewaannya diungkit kembali. Tapi, Batari tidak bisa diam saja, dia harus mengatakan rasa kecewanya yang satu ini.

"Oma ngelarang aku buat menulis cerita, tetapi saat Siera menang seleksi itu. Oma memuji dirinya selangit," kata Batari dengan suara rendah, dan sendu. Bisa dibilang dia sangat sakit hati.

"Karena Siera pintar, dan berbakat. Pencapaian prestasinya jadi berkembang banyak, sedangkan kamu-"

"Ya-ya-ya, aku nggak pinter, apalagi berbakat. Tapi itu hal yang sangat suka untuk aku lakukan. Hanya itu yang membuatku lebih hidup, walau bagi orang lain enggak." Batari tersenyum aneh, dia menatap sekilas ke arah Siera. "Yang Oma ingin banggakan hanyalah orang yang pintar saja. Mungkin Oma juga bakalan lebih bangga kalo memiliki cucu yang seorang pencuri, tetapi pintar," ujar Batari.

"Siapa pencuri?" Siera menyahut kesal. "Aku bukan pencuri! Emang siapa pencuri? Kamu nuduh Rishad dan Jerry juga kalo gitu!"

"Aku nggak nuduh kamu kenapa marah?" Batari memincingkan matanya. "Itu cuma perumpamaan. Kamu merasa?"

"Kamu yang jadi marah nggak jelas!" seru Oma.

Siera membuang napasnya kasar sambil bersandar di kursi. "Kalo marah karena kalah, ya wajar aja jadi orang yang sensian, Oma," ucapnya.

"Aku emang emosian dan sensian, kenapa emangnya?" Batari berdiri dan berjalan menuju Siera. "Memang siapa yang mulai duluan?"

Siera bangun dari duduk untuk menghadapi Batari yang sudah naik pitam. "Orang yang gampang marah, emosinya nggak stabil. Nggak bisa liat orang bahagia kayak kamu ini tandanya hatimu nggak sehat. Penuh kebencian dan dengki. Kamu pasti iri banget sama aku saat ini kan?"

Memang benar, tetapi Batari tidak menyangka Siera menyebalkan banget karena berhasil mengalahkannya.

"Kamu pikir hidupmu udah menang? Belum! Nggak tau ke depannya bagaimana, karena pinter aja nggak cukup, kalo sombong!"

Oma berdiri dengan sigap mendekati Batari dan memberikan sebuah tamparan di wajah Batari cukup keras.

Plaaaaakkkkk!!!

"Jaga ucapan kamu! Oma nggak pernah ngajarin kamu kayak begitu!"

Semua yang melihat kejadian itu seperti kehilangan kesadaran, Batari hanya sesaat merasakannya dia langsung mengusap pipinya yang terasa panas.

"Ngga pernah ngajarin? Memang benar! Oma mana pernah ngajarin aku apa pun," tandas Batari dengan napas naik turun, dia masih memegangi pipinya yang sakit. "Kenapa dari kecil cara yang selalu dipake buat menghentikan aku memang cuma pukulan?"

Dia menyipitkan matanya ke arah Oma penuh amarah, dia segera pergi dari hadapan Oma untuk meluapkan kemarahan dan emosinya dengan suatu barang atau orang.

Tahan tahan!

"Dasar anak nggak sopan! Anak tempramen!!! Nggak normal!" maki Oma keras dan masih terdengar oleh Batari yang sudah berada di lantai atas.

"STOOOOP!!!" Batari menutup telinganya supaya ucapan-ucapan yang dituduhkan kepadanya berhenti terdengar.

Cewek itu menutup dengan membanting pintu kamar. Batari melihat benda di meja rias kemudian mendorongnya agar berjatuhan. Dia membanting sebuah kaca kecil yang tergeletak di meja. Dalam hitungan detik Batari melihat kaca yang berbentuk persegi itu sudah berubah menjadi pecahan-pecahan yang sangat berbahaya.

Batari mengambil salah satu potongan kaca yang cukup besar dan menekannya sekuat mungkin. Dia tidak berpikir panjang untuk melakukan hal itu. Kejadiannya sangat cepat sekali, akal sehat Batari sudah kalah oleh emosinya saat itu.

Batari menekan pecahan kaca di tangannya amat kuat. "Argghhh!"

Rasa sakit yang tercipta karena luka gores di tangannya itu mampu membuat pikiran Batari teralihkan. Tangan gadis itu semakin mencengkeram kuat pecahan kacanya, tetesan darah yang menjadi semakin banyak menetes ke lantai. Batari menangis melihat tetesan darah yang menetes ke lantai, dan rasa sakit di tangannya semakin terasa.

"Sampai darahnya habis aja gapapa," gumamnya sambil menangis. "Gue udah nggak mau di sini lagi, di mana pun juga! Nggak mau!!!"

Tiba-tiba saja pintu terjeblak terbuka, di sana muncul Rishad dan Jerry yang berjalan cepat karena kaki mereka yang panjang.

"Lepas! Batari!" seru Rishad sambil berusaha merebut kaca itu dari Batari. Ekspresi wajah pemuda itu marah sekali tidak menyangka di dalam kamarnya Batari melakukan hal mengerikan itu.

"Jer, cari kain, abis itu kita ke rumah sakit!!! Awas kena pecahan kacanya, Jer!" Rishad menarik Batari untuk menyuruhnya duduk di kursi dekat meja belajar.

Jerry menyodorkan kain yang merupakan slayer hitam yang berada di meja Batari. "Batari-lo apa-apaan sih?"

"Jangan ngomong apa-apa!" sela Rishad pada Jerry lalu dia mengikat luka di tangan Batari agar darahnya tidak banyak keluar. "Cepet ambilin air, atau lo bisa nggak bersihin lukanya? Kalo lo bisa gue ambilin air, dan abis itu siapin mobil, sedangkan ntar lo yang bersihin darahnya ini dulu."

Sejak kedatangan dua saudaranya itu Batari diam saja, dia meringis sebab luka di tangannya sangat perih.

"Gue nggak mau ke rumah sakit, gue nggak apa-apa," ujar Batari sambil terisak menangis.

"Luka lo kalo ternyata parah gimana? Nanti bisa infeksi, tetanus, atau lebih parahnya lagi diamputasi kalau nggak diobatin steril!" omel Rishad sambil memegang tangan Batari, dan memeriksa apakah ada pecahan kaca yang menusuk dan kalau ada kaca tersisa yang pastinya bisa sangat berbahaya.

"Gue nggak mau ke rumah sakit, diobatin aja di sini," kata Batari menekankan.

"Kalo perlu dijahit gimana?" Rishad menatap Batari galak.

"Diliat dulu lukanya, dibersihin dulu, kalo perlu dijahit kan keliatan nanti."

"Jer, air buruan!" Rishad menyuruh Jerry pergi mengambil air. "Gue beresin kacanya juga."

"Lo ada-ada aja, kenapa sih-" Jerry menahan dirinya berkomentar.

Batari menunduk tidak enak hati karena kelakuan mengerikannya merepotkan banyak orang dan melukai dirinya sendiri. Cewek itu menatap ke pintu, tidak ada orang lagi yang datang kepadanya.

"Udah puas?" Suara galak Rishad menyentaknya, padahal cowok itu lagi membereskan pecahan kaca.

Air mata Batari muncul lagi menetes membasahi pipi, kemudian dia terisak pelan-pelan. Lama kelamaan dia menangis menjadi kencang dan sulit untuk dihentikan. Terpaksa, saat tadi dia menahan tangisnya hanya menjadi sesak napas, serta bahunya naik turun. Kali ini akhirnya tak bisa disembunyikan lagi.

"Lo nggak ngerti, bukan cuma soal puas!" balas Batari.

"Gue ngerti kok, itu biar perhatian lo jadi teralihkan ke rasa sakit di tubuh," jawab Rishad.

"Ya lo cuma ngerti teorinya, tapi gimana rasanya tau gak?"

"Kalo gue bilang ngerti rasanya gimana? Lo kira gue nggak punya empati?" Rishad menggelengkan kepalanya.

"Ya." Batari memalingkan wajahnya kesal. Dia menahan diri agar tidak mengamuk sejak di bawah tadi.

Jujur saja saat di bawah tadi, dalam dirinya lebih ingin melukai orang lain. Dia menahan diri agar tidak mengamuk melukai orang-orang menyebalkan yang membangkitkan emosinya itu. Di dalam kamar Batari meluapkan keinginan terpendamnya dengan melukai dirinya sendiri.

Saat terlihat Rishad sedang keluar ingin membuang pecahan kaca yang sudah dikumpulkan dalam plastik itu, Batari segera memanfaatkan keadaan dan mengunci pintu kamarnya. Padahal luka gadis itu belum dibersihkan, apalagi diobati.
Batari menatap tangannya yang terbalut dengan kain yang sudah terkena darah, pandangan gadis itu menjadi buram sebab air matanya turun kembali.

"Batari buka pintunya, atau gue dobrak!!!" Rishad di luar sedang marah-marah menggedor pintu dan kenopnya bergerak-gerak kasar.

"Batari, lo ngapain lagi? Jangan nekat!!" Jerry juga bersuara.

Batari tidak melakukan apapun yang berbahaya, dia hanya duduk memeluk lutut bersandar di dinding dekat lemari pakaian. Dia perlahan lelah karena menangis dan menelengkupkan wajahnya ke lututnya.

Cewek itu menatap lurus ke arah kasurnya. Dia menjadi heboh melempari bayangan yang dilihatnya itu dengan boneka-boneka yang tersusun di meja.

"Apa? Kalian mau mencibir kayak yang lainnya? Gue benci sama kalian! Gue menciptakan kalian untuk mendukung gue, memahami apa yang gue lakukan, dan membuat gue bahagia. Kalian juga mau menyalahkan dan caci maki gue? Kalian nggak bisa meyakinkan gue!"

Tidak sadar, Batari hanya bicara pada angin dan melempari boneka-boneka yang terjatuh ke atas kasur.

Semua bayangan raut wajah kesal penuh tuduhan milik Kesha, Erik dan Geo hanya ada dalam imajinasi dan pikirannya.

"Kalian pergi aja! Gue benci kalian, yang sama aja kayak mereka!"

"Pergi!!!"

"Pergi!!!"

"Pergi!!!"

Pernah suatu kali Batari mempertanyakan ke Oma, mengapa kesialan yang dimilikinya membuat dirinya seperti orang yang paling kasihan, dan bodoh. Kata Oma, dulu Tiana, ibu Batari juga pernah berkata seperti itu.

Batari bertanya-tanya bagaimana sosok Ibunya dulu, apakah yang cantik seperti Tante Syara dan cerdas seperti Natlia.

Kata Oma, Tiana sama saja seperti Batari, bodoh dan tidak berguna.

Andai, makam ibunya dekat, Batari akan berkunjung ke sana untuk mencurahkan segala kekesalannya dengan Oma. Sayangnya, makam Tiana berada di luar kota.

Dulu Batari pernah mengatakan ingin ke Jogja mendatangi makam Ibunya, dia merasa harus ke sana sekali saja dalam seumur hidup. Sang Oma menyuruhnya agar datangi saja makam Papa terlebih dahulu yang sudah lebih jelas dan sebenarnya dekat. Batari tidak perlu pergi jauh untuk menemui makam Papanya. Batari menolak, dia tidak peduli lagi dengan Wiratama, sama seperti dulu Papanya yang tidak pernah mempedulikannya.

Gadis itu menutup telinga tidak peduli pintunya masih digedor oleh orang dari luar. Di tengah kerapuhan, kesepian, kesedihan, kecewa dan sakit hati yang menyelimuti diri Batari, ada bayangan sebuah senyuman hangat yang membuatnya sedikit tenang.

Orang itu tidak berada di dekatnya saat itu, tidak mungkin Batari bisa merasa dekat tidak pernah bertemu, hanya melihat dari foto saja. Namun dia bisa merasakan kehadiran, dan sosoknya seakan sedang memeluk Batari agar kuat dan tenang.

"Sayang, ini Mama."

"Mama, ini nyata atau hanya ilusiku?"

Batari menggeleng, dia tidak mau sosok Tiana bisa diciptakan seperti teman imajinasinya. Batari sudah tahu Mamanya sudah tidak ada, dia tidak mau menganggap wanita itu masih hidup, dan dianggap benar-benar bisa melihatnya.

Ada banyak orang yang Batari ragukan keberadaannya, dia sedikit ragu dan berpikir. Apakah orang sebaik Acha, Bu Mela penjaga kantin, Raka, adik Acha. Andra, Garda, Dewa, dan Jey sungguhan ada?

Bagaimana kalau mereka hanya imajinasi saja? Batari tertegun dan mulai meragukan dirinya.
Bazel? Revaldi? Apakah nyata?

Apakah semua kejadian yang terjadi padanya nyata?

Apakah mereka sungguhan nyata?





☁️☁️☁️






A/n:

Untuk menemani yang lagi di rumah aja 😨

Stay safe semuanya!

25 MARET 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top