📖 [ 𝐏𝐚𝐧𝐠𝐞𝐫𝐚𝐧 𝐊𝐚𝐭𝐚𝐤 ]

Dongeng : Pangeran Katak
Akun : Buumblebee_
Pairing : Tsukasa x Seli (OC)

—————

Alkisah, hiduplah seorang puteri bungsu yang cantik dari kerajaan Pungut. Kerajaan tersohor sepenjuru negeri dengan Amane De Pungut Odellia dan Fujimoto Rose lah yang menjadi raja dan ratunya.

Puteri itu bernama Seli De Pungut Odelia. Ia adalah puteri termuda dari kesembilan puteri lainnya. Ya! Dia adalah si bungsu, anak ke-sepuluh dari pasangan raja dan ratu itu. Namun walaupun terbilang yang paling muda, puteri itu kini umurnya sudah menginjak 17 tahun. Yah, dia sudah tua.

"Fuhhhh, hari ini cuacanya bagus sekali. Mungkin bermain bola emas di tempat favoritku adalah cara yang baik untuk menghilangkan jenuh. Baiklah! Mari kita lakukan!"

Si bungsu yang telah memeluk sebuah bola emas kini berjalan menyusuri area dalam istana. Berjalan dengan lantunan senandung indah membuat paras manisnya memancar hingga ke ujung singgasana.

Sang raja pun sampai mengucek mata karena ini.

"Anda mau kemana, Tuan Puteri?"

Sebuah suara lembut menyapa telinga si bungsu. Lantas, ia pun menghentikan langkah dan menoleh ke samping.

"Calla?"

Serunya girang saat mendapati Calla— kepala pelayan di kerajaan ini— datang dengan senyum manis di bibir.

"Ah, aku mau bermain bola di tempat favoritku. Apa Calla mau ikut?"

Calla menggeleng pelan.

"Tidak, tuan puteri. Masih ada kerjaan yang harus saya selesaikan. Saya akan menemani anda di lain waktu."

"Ah, baiklah kalau begitu. Semangat, Calla."

"Ya. Tuan Puteri juga."

"Um, kalu begitu aku pergi dulu. Sampai jumpa Calla~"

"Sampai jumpa, Tuan Puteri~"

Si bungsu kembali melanjutkan jalannya. Dan berhenti saat sebuah suara memanggil namanya dari kejauhan.

"Seli,"

Ia pun menoleh.

"Ah, kak Maya? Eh, Ayahanda Amane dan Ibunda Rose juga?

Si sulung di kerajaan ini yang ditemani dengan pasangan raja dan ratu, kini berjalan menghampiri Seli dengan senyuman indahnya.

"Mau bermain?" tebaknya kemudian.

"Hehe, seperti yang kakak tahu~"

Maya tersenyum.

"Apa perlu aku sediakan prajurit untuk mengawalmu, Puteriku?" Kali ini, sang bagindalah yang berlisan.

"Ah, itu tidak perlu, Ayah. Aku tidak bebas jika terus dikawal oleh mereka. Lagi pula tempatku bermain tidaklah jauh. Jadi Ayah tidak perlu khawatir. Aku bisa jaga diriku baik-baik."

"Baiklah kalau itu maumu, selamat bersenang-senang Puteriku sayang~"

"Yah, dan jangan lupakan jam makan siangmu, Puteri kecil. Kau harus menjaga staminamu agar tetap sehat." Rose berucap sembari membelai lembut pipi si bungsu.

"Baik Ibunda.. "

"Kalau begitu kami pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik.."

Amane memberi belaian singkat pada puncak kepala anaknya. Lalu pergi dan berjalan menuju ruang singgasana. Si bungsu yang melihat itu hanya tersenyum senang dan kembali melanjutkan jalannya yang tertunda.

Sepanjang perjalanan menuju pintu keluar istana, si bungsu tak henti-hentinya untuk menyapa sesiapapun orang yang ia temui bahkan lalat sekalipun.

"Hai, ijum!" — berbicara pada lalat.

"Hai Rei!" — berbicara pada tiang kusen.

"Hai Iko!" — berbicara pada tabib istana.

"Hai Ren!" — berbicara pada penyihir istana.

"Ah, hai Sherlock!" — berbicara pada ashley. Babu istana.

Begitu terus hingga sampailah ia di penghujung jalan. Pintu yang berlapiskan emas dan menjulang tinggi di buka oleh para prajurit lalu Seli pun keluar dengan aura kecantikannya.

Puteri itu berjalan menuruni tangga dan pergi meninggalkan istana kebanggaannya. Berjalan menyusuri hutan-hutan kecil yang terletak tak jauh dari gedung besar nan megah itu. Beberapa menit terlalui, hingga sebuah genangan air sungai yang indah mencuri semua pasang atensi.

Gadis itu berjalan menuju ke tepian sungai lalu berjongkok. Mencelupkan sepucuk telunjuk ke dalam aliran air. Dingin dirasa, hingga jari kembali di tarik lalu gadis itu bangkit dari duduknya.

"Udara di sini memanglah sejuk. Airnya pun juga sama. Aku bisa bermain dengan puas bersama dengan bola emasku!"

Si bungsu dengan riang mulai melambungkan bolanya tinggi. Merosot ke bawah, menapak rumput yang bergoyang, lalu kembali ke atas dan si bungsu akan menangkapnya lagi untuk kembali dilambungkan.

Kadang kala ia juga menendang bolanya sampai menggelinding masuk ke semak-semak. Tak ada yang bisa ia lakukan selain terjun ke dalam sana lalu kembali dengan tatanan rambut yang kocar-kacir namun tangannya memeluk sebongkah bola emas.

Namun tidak ketika benda mewah itu terhempas masuk ke dalam perairan. Si bungsu mendengus kesal saat tangannya gagal menggapai bola yang malah semakin menjauh.

Walau gaunnya sudah kotor oleh lumpur dan koyak oleh ranting, ia masih menyayangi tubuhnya lantaran tidak ingin basah dan bau mengingat di dalam sungai ini banyak katak dan juga makhluk berlendir lainnya.

Karena merasa pasrah dan tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya yang bisa ia lakukan hanyalah menangis dan memanggil bola emas itu agar kembali walau ia tahu itu tidaklah mungkin.

"Kenapa engkau menangis, wahai tuan puteri?"

Si bungsu tersentak kaget saat sebuah suara masuk ke dalam telinganya. Ia pun menoleh kesana-kemari mencari asal suara tersebut. Namun nihil, tak ada siapapun orang selain dirinya yang berada di sana.

"S-siapa itu?"

Pekiknya kuat. Namun tetap tak ada orang yang muncul selain seekor katak yang melompat naik ke atas daun teratai dekat dengan posisi si bungsu yang berjongkok.

"A-apakah engkau yang barusan berbicara, wahai tuan katak?" tanya puteri itu dengan badan yang sedikit dicondongkan ke depan.

"Ya, itulah aku, Tuan Puteri."

Sedikit terkejut, namun puteri itu hanya bisa mengangguk paham. Ya, ia berpikir memang tidak heran jika di dunia seperti ini ada katak yang bisa berbicara. Mungkin saja dia adalah penunggu sungai ini. Mangkanya dia memiliki kekuatan khusus seperti itu.

"K-kau benar-benar bisa berbicara, tuan katak."

Katak itu hanya mengangguk.

"Ya. Lantas, apa yang membuatmu sampai menangis seperti itu? Apa kau kehilangan sesuatu?"

Ah, si bungsu jadi teringat bolanya kembali.

"B-bolaku. Aku kehilangan bolaku. Itu di sana." Tangannya menunjuk ke tempat bola emas berada dan tuan katak pun mengikutinya.

"Apa kau melemparnya terlalu tinggi hingga ia jatuh ke arah sana?"

"Yah, itu benar. Aku keasyikan bermain sampai lupa jika ada sungai di sekitarku."

"Kalau begitu jangan menangis, tuan puteri. Aku akan mengambilkan bola emas itu untukmu."

"Eh? Memangnya bisa?"

"Tentu. Tapi sebagai gantinya, aku menginginkan sebuah hadiah."

"Hadiah? Apapun itu, tuan katak. Emas, perak, senjata, bahkan makanan, apapun akan aku berikan asal bola itu bisa kembali lagi padaku."

"Tidak. Aku tidak ingin semua itu. Aku tidak ingin harta."

"Lantas, kau menginginkan apa, tuan katak?

"Aku ingin sebuah ciuman. Berikan aku sebuah ciuman, maka aku akan membawakan bola emas itu untukmu. Bagaimana? Apa bisa?"

Sang puteri tersentak kaget saat mendengar ucapan konyol katak kecil itu. Namun karena ia sudah tak tahu lagi harus berbuat apa, ia pun tanpa pikir panjang menyetujui permintaan konyol tersebut dengan syarat bolanya harus kembali terlebih dulu.

"Baiklah. Aku akan menciummu. Tapi selepas bolaku kembali. Bagaimana?"

"Tidak masalah. Kalau begitu tuan puteri tunggulah saja. Aku akan mengambilnya."

Sang katak pun kemudian melompat ke dalam air dan berenang menuju ke tempat bola emas itu berada. Mendorongnya, membawanya kembali pada si tuan. Lalu kembali melompat ke atas teratai dengan senyum miring di wajah.

"Aku sudah membawanya kembali. Apa tuan puteri senang?"

Si bungsu yang masih takjub sekaligus tak percaya dengan kejadian itupun hanya bisa menganga lebar dan menggeleng kuat saat lamunannya sadar.

"K-kau hebat sekali tuan katak! Kau benar-benar membawanya kembali padaku!"

"Itu bukanlah sesuatu yang hebat, tuan puteri. Aku tidak pantas mendapat pujian darimu."

"Ah, bicara apa kau ini. Jelas-jelas itu adalah seusatu yang hebat. Kalau begitu, terimakasih banyak tuan katak! Aku berhutang budi padamu."

"Tidak perlu berterimakasih karena Tuan puteri belum menepati janji tuan puteri sendiri."

Dan seketika Seli pun teringat dengan janjinya beberapa menit lalu.

"Ah iya, aku tinggal menciummu kan? Tapi sebelum itu, aku ingin menanyakan suatu hal. Diantara semua pilihan yang ada, kenapa tuan katak malah memilih ciuman sebagai hadiah? Apakah itu sesuatu yang sangat berarti?"

Sang katak tersenyum miring. "Nanti tuan puteri juga tahu. Yang terpenting untuk sekarang, tuan puteri harus menepati janji tuan puteri terlebih dulu."

Si bungsu mengangguk. "Baiklah, tuan katak. Aku akan melakukannya."

Puteri itu kemudian mulai mengulurkan tangan dan membiarkan katak kecil itu melompat ke atas tangkupan telapak tangannya. Tanpa merasa jijik.

Dengan perlahan, ia mulai mendekatkan kulit berlendir katak itu ke permukaan bibirnya yang ranum. Dekat dan semakin dekat. Hingga sebuah ciuman manis mendarat sempurna di atas kulit licin dan ketika itu pula kepulan asap putih nampak menyelimuti mereka berdua.

Kedua netra apel milik si bungsu terpejam dengan reflek. Dan berangsur terbuka saat tangan dan bibirnya merasakan sebuah kehangatan yang asing.

Puteri cantik itu terkejut bukan main saat mendapati di hadapannya bukanlah seekor katak yang tadi ia cium. Melainkan seorang pangeran tampan yang masih setia mencium belahan bibirnya.

Kedua pipi si bungsu memerah padam. Diikuti dengan tautan yang terlepas lalu lelaki itu memandang wajah yang merona dengan tatapan manis menggoda.

"Suatu kehormatan bagiku karena telah mendapatkan ciuman pertamamu, wahai tuan puteri."

Tuturnya melankolis.

"T-tuan katak——hmp"

Belum sudah puteri itu melanjutkan ucapannya, sebuah telunjuk ramping lebih dulu mendarat di atas belahan bibirnya.

"Dan berhentilah memanggilku begitu, tuan puteri. Namaku adalah Tsukasa. Pangeran Tsukasa. Panggil aku begitu."

"P-pangeran Tsukasa.. "

"Yah, itu lebih baik."

Tsukasa mengambil posisi jongkok. Lalu meraih tangan kanan si bungsu sebelum mendaratkan sebuah kecupan singkat di atas punggung tangannya.

"Mulai sekarang, akan ku jadikan kau sebagai permaisuriku sebagai balasan karena kau telah membebaskanku dari kutukan jahat ini."

"E-eh?! T-tunggu, apa??!"

"Aku menantimu, Tuan Puteriku.."

— Selesai.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top