📖 [ 𝐉𝐚𝐤𝐚 𝐓𝐚𝐫𝐮𝐛 ]

Pair : Childe x Lumine
Fandom : Genshin Impact
Written by Aohana Mashiro / aomashi

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pemuda bernama Ajax. Ia seorang pemuda yang hidup bersama tiga adiknya. Pekerjaan sehari-harinya adalah mencangkul sawah, mengumpulkan kayu bakar dan berburu di hutan. Kehidupan yang begitu damai dan membosankan, namun Ajax tak masalah menjalani hidup demikian.

Ajax merupakan seorang pemuda yang tampan, banyak gadis yang tertarik padanya. Namun lelaki bersurai jingga tersebut hanya membalas ungkapan-ungkapan kasih yang ditujukan padanya dengan senyuman dan kata maaf― yang mana membuat para hawa tersebut sedih dan patah hati. Ajax sama sekali tak memiliki niatan untuk menjalin huhungan pernikahan. Sama sekali tidak, hingga sebuah kejadian ajaib hari itu.

Semuanya berawal dengan sebuah mimpi. Ajax bermimpi ia memakan sebuah daging rusa yang sangat besar. Begitu bangun keesokan paginya, ia menceritakan mimpi itu kepada adik-adiknya.

"Kakak kemarin bermimpi makan daging rusa yang sangat besar," ucap Ajax saat sarapan bersama dengan ketiga adiknya. "Dagingnya juga terasa enak dan lembut."

"Wah! Mimpi Kak Ajax indah sekali!" seru Teucer, adik bungsunya setelah menelan makanan di mulut. "Teucer mau daging rusa!"

Anak laki-laki bersurai cokelat di sebelahnya menghela napas. "Teucer, Teucer. Pikiranmu itu isinya makanan dan mainan saja."

Teucer mendengkus kesal. "Biar saja. 'Kan Teucer masih kecil!"

"Iya, iya," respon anak lelaki di sebelahnya dengan kekehan. Dia Anthon, adik pertama Ajax. Ia kemudian mengambil sesuap nasi dengan tempe dan memasukan ke dalam mulut, mengunyahnya dengan senang.

Melihat kedua adiknya rukun membuat senyum merekah di bibir Ajax. Pemuda itu kemudian mengalihkan pandangan ke arah adik perempuannya― Tonia yang tengah memasang pose berpikir. Tak lama kemudian, anak perempuan itu bertanya, "Kak Ajax kemarin malam mimpi makan daging rusa, benar?"

Ajax mengangguk. "Iya. Memangnya kenapa?"

Setelah memberi konfirmasi, kedua mata Tonia berbinar. "Kak, itu pertanda yang sangat baik!"

"Pertanda baik?"

Tonia mengangguk cepat. "Iya! Katanya, jika seseorang bermimpi memakan daging rusa, orang itu akan mendapat rezeki yang besar!"

"Apa itu benar?!" tanya Anthon dan Teucer secara bersamaan.

"Hm, katanya sih demikian," balas Tonia sambil meneguk air putih dari gelasnya. "Ngomong-ngomong soal daging rusa, rasanya kita sudah lama tidak memakannya."

Anthon dan Teucer mengangguk setuju. Yah, jika dipikir-pikir, mereka memang sudah lama tidak memakan daging hewan hutan sejak beternak kambing. Namun, Ajax rasa tak ada salahnya untuk berburu sesekali. Dengan demikian, Ajax memutuskan untuk membawakan daging rusa untuk adik-adiknya.

"Kalau begitu, aku akan berburu rusa ke hutan hari ini," kata Ajax setelah menegak air minumnya sampai habis.

Teucer berseru dengan riang, "Hore! Daging rusa!"

Ajax terkekeh, tangannya kemudian terulur untuk mengelus pucuk kepala si adik bungsu. Ia lalu berdiri, membawa busur dan anak panahnya untuk pergi berburu. Sebelum meninggalkan rumah, ia berkata, "Kuserahkan ladang dan para kambing kepada kalian."

Perkataan Ajax tersebut dibalas dengan acungan jempol oleh ketiga adiknya― yang mana membuat si pemuda merekahkan senyum. Setelah mengucap pamit, lelaki bersurai jingga itu pun memulai perjalanannya ke hutan. Ia sama sekali tidak tahu, bahwa yang akan didapatkannya akan lebih dari sekedar daging rusa.

***

"Lumine, kau yakin meletakan selendangmu di atas batu itu?"

Seorang gadis-- bukan, bidadari bersurai pirang menoleh ke arah kawannya dan tersenyum. Ia melanjutkan kegiatan membasuh lengan porselennya sambil menjawab, "Jangan khawatir, Ganyu. Selendangnya tidak akan hanyut, kok."

Namanya Lumine, salah satu dari tujuh bidadari yang turun dari Celestia hanya untuk sekedar merasakan kesegaran air di bumi Teyvat. Hal yang aneh memang, tapi memang itulah alasan mereka setiap kali menapak ke bumi.

Lumine adalah salah satu bidadari tertua di Celestia, ia juga termasuk yang paling rupawan dan bijak serta memiliki kewaspadaan tinggi. Namun, sifat penuh kehati-hatian itu akan langsung runtuh tatkala sepasang manik madunya menangkap pemandangan kolam atau sungai yang mengalir deras. Seperti saat ini, gadis dari langit itu bahkan acuh tak acuh dengan perantaranya kembali ke kahyangan, membiarkannya tergeletak di atas batu di pinggir sungai. Hal tersebut pun membuat kawan bidadarinya yang lain khawatir.

Seorang bidadari bersurai biru langit― Ganyu menghela napas. "Jangan sampai hilang, lho."

"Benar. Karena jika hilang, kau tak akan bisa terbang kembali ke Celestia," timpal bidadari berambut cokelat dengan hiasan bunga merah di kedua ikat rambutnya― Hu Tao namanya. "Dan kau akan terjebak di dunia ini, selamanya...."

Wajah Lumine langsung berubah pucat pasi begitu mendengar hal tersebut. Ia segera membenamkan tubuhnya ke sungai hingga ke pangkal leher, menatap Hu Tao dengan ekspresi kesal yang kentara. Mata madunya melirik ke arah batu sungai tempatnya meletakkan selendang dengan cemas, menghela napas lega begitu melihat kain panjang berwarna putih keemasan itu masih tergolek rapi di sana.

Masih ada di sana ... syukurlah, batinnya sambil tersenyum.

"Aduh!" rintihan lolos dari bibir Hu Tao ketika kepalanya dipukul oleh bidadari berambut ungu dengan bentuk mirip telinga kucing yang duduk di sebelahnya. Sang bidadari bermata merah dengan pupil bunga pun menoleh, menatap kawan yang memukulnya dengan pipi menggembung. "Itu tadi sakit, Keqing!"

"Maka dari itu, jangan menakut-nakuti Lumine," jawab Keqing yang sedang melipat kedua tangan di depan dada.

"Iya, iya," balas Hu Tao sambil mencebikkan bibir. Ia kemudian menoleh ke arah Lumine, menyatukan kedua telapak tangan di depan dada sambil mengedipkan sebelah mata. "Maaf ya, Lumine. Aku tadi hanya bercanda. Jangan terlalu dipikir dengan serius."

Lumine terkekeh dan hanya menanggapi permintaan maaf Hu Tao dengan senyuman. Yah, ucapan teman berambut cokelat itu memang membuatnya panik, tapi memang seperti demikianlah Hu Tao. Jika tidak bercanda soal kematian, pasti besenda gurau tentang hal yang akan membuat orang lain panik. Lumine hanya bisa menghela napas dan memaklumi kelakuan kawan sesama bidadarinya itu.

Cipratan air yang mengenai wajahnya membuyarkan lamunan sang bidadari bersurai emas. Ia segera menoleh, mendapati Amber yang tengah memercikkan air sungai ke arahnya. Lumine yang terbawa suasana akhirnya membalas balik. Ia tak hanya mencipratkan air ke arah Amber, namun ke arah lima kawan bidadarinya yang lain juga.

Pada akhirnya, ketujuh bidadari itu bermain air dengan gembira di sungai. Gelak tawa lolos dari bibir, senyuman terulas menghias perangai nan cantik. Ketujuh dari mereka tenggelam dalam kegembiraan, tanpa menyadari selendang putih yang diletakkan di atas batu pinggir sungai telah hilang.

***

"Itu tadi menyenangkan sekali!" seru Amber sambil meninju udara kosong. "Kapan-kapan, ayo ke sini lagi bersama!"

Keempat temannya mengangguk setuju, sedangkan Hu Tao merespon ajakan Amber tersebut dengan acungan jempol. Mata kuning bidadari berpita merah itu menatap teman bersurai pirangnya yang ada di pinggir sungai, mendapatinya tengah bingung seperti sedang mencari-cari sesuatu. Menyadari ada hal yang aneh, Amber memutuskan untuk berjalan mendekati Lumine.

"Lumi, ada apa?" tanya Amber dengan nada penasaran sekaligus cemas.

Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Amber membuat Lumine menoleh. Kedua mata kuning kecoklatannya berkaca-kaca, bibir plumnya begetar menahan tangis.

Dengan suara gemetar, ia betkata, "S-Selendangku hilang...."

***

"Bagaimana? Sudah ketemu?" tanya Ganyu dengan cemas ke arah seorang bidadari bersurai merah muda pastel― Kokomi.

Kokomi menggeleng. "Aku sudah menanyai beberapa ikan di sungai, tapi mereka berkata bahwa tidak mendapati sehelai kain putih panjang yang hanyut."

"Begitu, ya," lirih Ganyu sedih. Kedua manik lavender miliknya menatap langit yang berhiaskan warna jingga, mendapati beberapa burung yang terbang kembali ke sarangnya. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, sudah saatnya mereka kembali ke Celestia.

Mata ungunya menatap Lumine yang masih menangis dengan Amber dan seorang bidadari berambut perak― Ayaka. Kedua teman bidadarinya itu berusaha menenangkan Lumine, namun si pemilik rambut aurum masih saja menangis. Bagaimana pun yang hilang adalah hal krusial, Ganyu menjadi kian iba melihat keadaan temannya itu.

"Kita harus kembali."

Ucapan yang keluar dari mulut Keqing sontak membuat keenam bidadari lainnya tersentak kaget. Mereka menatap wajah bidadari berambut ungu itu, mendapati bahwa ia tengah mengepalkan tangan menahan ekspresi sendu.

"Tapi, Lumine--"

"Aku tahu." Keqing menyela ucapan Ayaka. "Tapi, jika kita berlama-lama di sini, orang-orang akan mencemaskan kita."

"Namun, itu artinya kita akan meninggalkan Lumine di sini. Aku tak tega melakukannya," timpal Amber sambil menyedekapkan tangan di depan dada.

Lumine memandang keenam kawannya satu per satu, kemudian melihat ke arah matahari yang kian tenggelam di ujung langit barat. Hari sudah senja, ia tak ingin merepotkan teman-temannya lebih lama lagi. Maka dari itu, Lumine menghela napas dan memutuskan sebuah keputusan yang sulit.

"Kalian kembali saja ke Celestia," tutur Lumine dengan senyuman. "Jangan khawatir, aku bisa mencarinya sendiri."

"Tapi--"

Lumine menggeleng. "Tidak apa. Aku pasti akan menemukannya."

Keenamnya saling pandang satu sama lain. Ada keraguan di mata mereka, seakan tidak tega untuk meninggalkannya sendirian di tempat berpijak makhluk fana ini. Namun, setelah diyakinkan oleh Lumine sekali lagi, mereka akhirnya setuju dengan berat hati.

Setelah mengucap pamit dengan raut wajah sedih, keenam bidadari itu pun terbang kembali ke langit― meninggalkan Lumine yang kehilangan selendangnya seorang diri.

***

Lumine hanya menatap bayangannya di air sungai, meratapi nasib malangnya yang tak bisa terbang kembali ke Celestia. Ia kemudian menghela napas, teringat akan nasihat yang diberikan Ganyu.

Andai aku tak meletakan selendangku di sembarang tempat, aku pasti tidak akan ada di sini, batinnya sedih.

"Nona, kau tidak apa-apa?"

Mendengar suara maskulin tersebut, Lumine langsung menoleh dan mendapati seorang pemuda jangkung berambut jingga yang tengah membawa daging rusa di pundaknya. Terdapat sebuah busur di tangan, dan sebuah tas penuh anak panah yang ada di punggung.

Seorang pemburu, ya, batin Lumine sambil terus mengamati pemuda di hadapan.

"Nona?"

"E-eh? Iya?" jawab sang bidadari dengan gelagapan.

"Apa Nona tidak apa-apa?" tanya pemuda itu lagi. "Apa Nona tersesat?"

Lumine mengerjap sebelum mengangguk cepat. "I-Iya, aku tersesat. Aku terpisah dari teman-temanku saat sedang beristirahat untuk minum air sungai."

Aku tak mungkin berkata bahwa aku adalah bidadari yang tak bisa kembali ke langit, ya 'kan, lanjutnya dalam batin sambil menahan diri untuk tidak tersenyum masam.

"Begitu, ya," respon sang lelaki dengan dengan nada iba. Namun, senyuman merekah di bibirnya sedetik kemudian. "Kalau begitu, apa kau mau tinggal di rumahku?"

"Kau tak keberatan aku menumpang di rumahmu?"

Pertanyaan Lumine itu dijawab dengan anggukan antusias oleh si pemuda. "Tentu saja. Yah, asal kau tak keberatan jika tinggal dengan anak kecil."

Lumine menelengkan kepala. "Kau sudah punya anak?"

"Bukan!" sanggah si pemuda dengan cepat. "Mereka adik-adikku, bukan anakku."

Sang adiratna terkekeh, merasa sedikit terhibur dengan reaksi lelaki bermata biru di hadapan. Ia menyeka air mata yang ada di ujung mata. "Aku hanya bercanda."

Lumine kemudian berdeham, kedua manik madunya menatap mata samudera milik si pemuda berambut jingga dengan pandangan serius. "Baiklah. Aku terima tawaranmu."

"Senang mendengarnya," kata sang lelaki dengan cengiran lebar. Ia mengulurkan tangannya ke arah Lumine sambil berucap, "Namaku Ajax. Bagaimana denganmu, Nona?"

Sang bidadari menatap telapak tangan itu beberapa lama, lalu tersenyum dan meraihnya. Kedua netra kuning kecoklatannya kembali memandang perangai tampan si pemuda.

"Lumine. Senang berkenalan denganmu, Ajax."

***

Perkataan Ajax bahwa ia tidak sendirian bukanlah sebuah kebohongan semata. Karena, ketika Lumine menapakan kaki ke dalam sebuah rumah kayu berukuran cukup besar milik sang pemuda, ia langsung disambut dengan antusias oleh tiga orang anak kecil.

"Kakak ini cantik sekali!"

"Benar! Mirip bidadari!"

"Apa mungkin, dia bidadari sungguhan?!"

Tanggapan-tanggapan tersebut datang dari adik-adik Ajax. Ketiganya menatap Lumine dengan pandangan berbinar sambil terus memborbardir sang adiratna dengan segala pertanyaan.

Ajax meletakan telunjuk di depan bibirnya, dan tiga anak kecil itu pun langsung terdiam secara serempak. Ia menoleh ke arah Lumine sambil tersenyum.

"Nama kakak ini Lumine. Dia akan tinggal bersama kita sementara waktu," ujar Ajax dengan senyuman yang masih terpatri di wajah.

Lumine turut tersenyum. "Mohon kerja samanya, ya."

Ucapan Lumine tersebut langsung ditanggapi sorakan oleh ketiga anak di hadapan. Mereka menyambut kedatangan sang adiratna berambut pirang dengan sangat hangat, bahkan ketiganya memberikan Lumine pelukan.

Saat tengah dipeluk oleh ketiga anak kecil itu, Lumine menoleh ke arah Ajax yang menatap mereka dengan pandangan teduh. Sang pemuda merekahkan senyum tatkala netra madu tersebut menatapnya― yang mana membuat Lumine turut mengulas senyum.

Sejak malam itu, Lumine hidup berlima dengan Ajax bersama ketiga adiknya. Sejak itu juga, ia tak menggunakan kekuatan ilahinya sama sekali. Lumine mengerjakan semua pekerjaan rumah dengan tenaganya sendiri, baik itu menumbuk padi, memasak, dan lain-lain― ia sama sekali tak punya niatan untuk menggunakan kekuatan yang tersimpan dalam diri karena keegoisan semata. Lumine telah memutuskan bahwa selama ia hidup di dunia manusia, ia akan hidup layaknya manusia biasa.

Walau menggunakan tenaga sendiri memang melelahkan, tapi Lumine tidak berkeluh kesah. Justru hal tersebut membuatnya senang karena dapat membuat dirinya tak bergantung akan kekuatan ajaib yang dimiliki.

Lumine terkadang mendapati dirinya tanpa sadar melirik ke arah Ajax. Pemuda itu juga sering muncul dalam benaknya seiring waktu yang berjalan, seakan tak bisa hilang dari pikirannya. Kontak fisik yang tak sengaja terjadi antara dirinya dan si pemuda membuat hatinya berdegup kencang, kata-kata pujian dari lelaki itu selalu membuat kedua pipinya menghangat― keberadaan Ajax membuat Lumine merasakan gejolak aneh dalam diri.

Lumine yang sama sekali tak paham dengan apa yang dirasakannya, akhirnya memutuskan untuk bertanya kepada Tonia ketika dalam perjalanan ke ladang untuk mengantarkan bekal Ajax, Anton dan Teucer. Gadis itu menjelaskan bahwa perasaan aneh dalam dirinya adalah cinta, si anak perempuan juga sempat memekik senang tatkala mengetahui bahwa pria yang membuat Lumine merasakan rasa demikian adalah kakaknya.

Di pagi hari setelah Lumine menceritakan perasaannya kepada Tonia, Ajax menghampirinya dengan senyuman.

"Lumine," panggil Ajax sambil melangkah ke arah Lumine yang tengah memanaskan tungku.

Lumine lantas berdiri dan menatap Ajax. "Iya? Ada apa, Ajax?"

Pandangannya beralih ke arah pintu dapur. "Apakah Anton, Tonia dan Teucer sudah bangun?" lanjutnya dengan nada bertanya.

Ajax menggeleng. "Belum, mereka masih tidur."

Lumine menelengkan kepala ke samping, ekspresinya bertanya-tanya. "Lalu, mengapa kau kemari?"

Ajax tersenyum. "Aku ke sini karena ada yang ingin kukatakan padamu."

Pemuda itu meraih kedua telapak tangan mungil sang gadis, menggenggamnya erat. Kedua manik birunya memandang netra madu milik Lumine, menatapnya dalam. "Aku mencintaimu, Lumine. Perasaan ini terlalu panjang bila diungkapkan, tapi aku akan membuatnya menjadi ringkas. Aku sangat mencintaimu."

Lumine terdiam begitu mendengar pernyataan yang disampaikan Ajax, semburat merah mewarnai kedua pipinya. Ritme jantungnya berantakan seperti akan meledak.

Ajax mengeratkan genggamannya. "Jadi, maukah kau menikah dan hidup bersamaku, Lumine?"

Lumine mengangguk cepat begitu pertanyaan tersebut lolos dari bibir Ajax. Air mata bahagia meluncur dari pelupuk matanya, membasahi pipi yang telah bersemu. Tak perlu ada kata untuk menjawab, anggukan itu sudah menjadi konfirmasi bagi Ajax bahwa gadis yang mencintainya juga mencintai dirinya.

Maka, Ajax melepaskan genggaman pada tangan Lumine dan merangkulnya dalam pelukan erat, tenggelam dalam euforia yang diciptakan oleh tanggapan sang adiratna.

***

Pernikahan mereka berlangsung dua hari setelah pernyataan perasaan itu. Tak ada yang berbeda dari kehidupan mereka, kegiatannya masih sama. Namun, Ajax dan Lumine kini telah menyandang status baru sebagai sepasang suami istri. Walau demikian, keduanya masih tinggal seatap dengan Anton, Tonia dan Teucer.

Lumine sama sekali tak keberatan, justru ia merasa senang bahwa ketiganya akan tetap tinggal bersama ia dan Ajax. Kehadiran tigak anak kecil itu membuat kehidupan sehari-harinya di dunia manusia menjadi lebih berwarna, walau tak sebanding dengan warna yang diberikan oleh suaminya.

Kehidupan Lumine berlangsung damai. Kegiatan sehari-harinya hanya menumbuk padi, memasak, mengantarkan makanan ke ladang atau mencari kayu bakar. Ia benar-benar bertingkah layaknya seorang wanita rumah tangga. Kehidupan damai yang indah tersebut membuat Lumine terlena, lupa akan jati dirinya yang sebenarnya― melupakan fakta krusial bahwa ia adalah seorang bidadari dari Celestia.

Suatu ketika, Lumine pergi ke lumbung padi milik Ajax. Padi di rumah sudah habis, jadi ia harus mengambil beberapa ikat padi dari berandang.

Saat masuk ke dalam, sang adiratna bersurai pirang mendapati bahwa persediaan padi di lumbung tinggal sedikit. Musim paceklik memang meresahkan, lihat akibat yang disebabkan dari musuh bebuyutan para petani tersebut― persedian padi keluarganya benar-benar menjadi sedikit.

Tak ingin mengeluh lebih lama, Lumine memutuskan untuk mengambil beberapa ikat padi dan segera kembali ke dapur untuk memasak. Namun, ketika ia tengah sibuk memilih padi, gadis beramanik madu itu menemukan sehelai kain putih yang terselip di antara gabah.

Lumine meraih kain tersebut, mengamatinya dengan seksama. Kain itu ternyata sebuah selendang. Sang gadis langsung mengernyitkan dahi.

"Selendang ini milik siapa?" gumamnya bertanya-tanya. Lumine kemudian memejamkan mata, berusaha mengingat-ingat.

Memori-memori pun meluap membanjiri pikirannya. Lumine seketika membuka mata, ia ingat sekarang. Sampur putih di tangannya ini adalah miliknya yang hilang ketika mandi di sungai hari itu.

"Ah, kukira kau tidak akan menemukannya. Tapi, ternyata matamu jeli juga, ya, istriku."

Lumine menoleh tatkala mendengar suara maskulin itu, mendapati Ajax yang tengah membanting seikat besar padi dengan kasar. Pria itu segera berlari mendekat, mencekal kedua tangan Lumine dan menguncinya.

"Ajax! Beraninya kau menipuku!" teriak Lumine sambil berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman kuat sang suani. "Lepaskan aku, keparat!"

Ajax tertawa. "Kata-katamu itu kasar sekali, Lumine."

"Diam!" pekik sang adiratna. "Cepat, lepaskan!"

"Tidak akan," balas Ajax dengan nada ringan. "Lagipula aku tidak menipumu. Aku tak pernah menyangkal bahwa aku menyembunyikan selendangmu."

"Pembohong!"

Ajax masih tersenyum, menikmati perlawanan sia-sia dari gadis di bawahnya. "Aku tidak pernah berbohong padamu. Dari awal, kau tidak bertanya padaku perkara sampur ini, 'kan?"

Lumine berdecih. Yang dikatakan Ajax memang benar, ia sama sekali tak menanyakan soal selendangnya pada pemuda itu karena tidak mencurigainya sama sekali. Sang gadis sadar, seharusnya orang yang datang menolongnya itu adalah pencuri selendang yang membuatnya terjebak dalam dunia fana tempatnya tinggal sekarang.

"Lepaskan! Biarkan aku pergi!" Lumine terus berteriak dan menggeliat, kaki mungilnya berusaha menendang tubuh tegap Ajax.

"Tidak akan," balas si pemuda dengan senyuman dingin. "Aku tak akan melepaskan hasil buruan yang telah kudapat."

"Apa maksud--"

Ucapan Lumine terhenti ketika Ajax tiba-tiba menciumnya. Sang gadis berusaha melawan, namun percuma. Pergelangan tangannya dikunci, ia sama sekali tak bisa mendorong pria di atasnya. Lumine hanya bisa memejamkan mata, berusaha mempertahankan akal yang tersisa.

Seakan tahu rencana istrinya, Ajax menggigit bibir bawah Lumine dan membuat gadis itu mengerang karena kaget. Ia gunakan kesempatan tersebut untuk memasukan lidah ke dalam mulut mungil itu, menggulat lidah dan mendominasi ciuman, mencampur saliva menjadi satu.

Di sisi lain, pikiran Lumine mulai kabur. Sensasi asing yang begitu candu membuat akalnya tumpul. Ia hanya bisa mendesah dalam ciuman dalam Ajax, tenggelam dalam sepasang netra biru yang seakan menariknya ke dalam lautan dalam euforia.

Ajax mengakhiri ciuman beberapa saat setelahnya untuk mengambil napas. Mata samuderanya menatap perangai gadis di bawahnya. Pandangannya tidak fokus dengan air mata yang tertahan di pelupuk, kedua pipi yang diwarnai semburat merah serta air liur yang mengalir dari ujung bibir plum dan kemudian membasahi dagu. Istrinya benar-benar cantik, bidadari rupawan yang diciptakan hanya untuknya seorang.

Lelaki berambut jingga itu menunduk, menggigit daun telinga sang adiratna. Ia lalu berbisik di telinga sang gadis yang masih tenggelam dalam euforia, "Tetaplah di sisiku, Lumine. Jadilah istri yang baik untukku."

Lumine yang akalnya masih belum terkumpul hanya bisa mengangguk. "B-Baiklah."

Ajax menarik dirinya untuk kembali menatap wajah Lumine yang masih merah. Ia tak menyangka bahwa istri manisnya masih sangat hijau.

Telapak tangan Ajax mengelus pipi porselen sang bidadari, gadis pirang itu meleleh dalam sentuhan lembut sang pemuda bermata samudera. Seringai terbit di bibir Ajax. Ia hanya perlu membuat Lumine jatuh semakin dalam ke lautan nafsu, sehingga bidadari yang sudah ada dalam genggamannya ini tak akan terbang ke langit lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top