📖 [ 𝐂𝐢𝐧𝐝𝐞𝐫𝐞𝐥𝐥𝐚 ]

Pungut Project Event

[ H A R I   D O N G E N G ]

Dongeng: Cinderella

Kazehaya Shouta x Kuronuma Sawako

Kimi ni Todoke © Karuho Shiina

Story by: azure_lullaby

Note:
Cerita ini mengambil alur cerita Cinderella.

Alur tidak akan terlalu sesuai dengan cerita aslinya.

Warning~!

- OOC.
- Ga jelas.
- Typo sewaktu-waktu.
- Penggunaan diksi yang masih acak adut.

Happy Reading~!




Apa yang kamu pikirkan tentang Cinderella? Keluarga tiri, kereta labu, sepatu kaca, gadis cantik yang menjadi pembantu, ibu peri dan hal-hal lainnya yang hanya ada di dunia dongeng, bukan?

Cerita Cinderella memang identik dengan hal itu.

Namun, bagaimana jika yang kita ceritakan kali ini bukan hanya gadis pembantu, namun juga merangkap sebagai gadis pemburu?

*

Mentari bersinar. Anak-anak bermain kejar-kejaran dengan mata berbinar bahagia. Para orang dewasa pun melalukan aktivitas seperti biasa. Lain halnya dengan para pekerja kerajaan yang sibuk membagikan undangan untuk semua gadis muda.

Sebuah hari yang damai di Kerajaan Kitahoro. Tempat tenang yang jarang terkena konflik baik dari luar maupun dari dalam.

Disisi lain kedamaian tersebut, kebingungan tengah menyerang seseorang. Tepat di tengah hutan yang menjadi bagian dari Kitahoro.

Sang pemuda mengusap surai cokelat gelap, merasa bingung dengan dirinya yang malah tersesat. Padahal, Ia sudah lahir disini sejak lama.

Oh, ayolah. Dia hanya mengejar seekor rusa sampai ke tengah hutan. Namun bukannya dapat, malah kudanya yang kabur dan akhirnya dia tersesat. Kasihan sekali laki-laki bernama kecil Shouta ini.

Ia kembali memutuskan untuk berjalan lurus seperti tadi. Hingga sebuah suara gesekan daun serta ranting terdengar, Shouta memasang posisi bersiap, tangannya pun berusaha meraih senjata.

Akan tetapi, sesuatu yang keluar dari dalam sana bukanlah hewan buas yang Ia harapkan. Terlihat penampakan seorang gadis dengan kelereng cokelat bersorot tatapan kaget dicampur bingung. Wajahnya yang putih pucat kini bertambah pucat sampai-sampai tampak seperti kertas, ditambah surai hitam yang menambah kecerahan wajahnya. Jangan lupa dengan jubah hitam bertudung yang semakin membuatnya terlihat seperti malaikat pencabut nyawa.

Kantung berwarna gelap yang tengah digenggam sang gadis terjatuh seketika, diikuti dengan busurnya. Ia membeku di tempat.

Melihat hal tersebut, Shouta kembali berdiri tegak lalu menghela nafas, 'Ternyata hanya manusia.'

"Apa kau juga tersesat?" tanya laki-laki itu kemudian.

Sang gadis seketika terlonjak, otaknya berusaha mencari jawaban yang tepat, "Ti-tidak!"

"Ah, begitu. Ya sudah, hati-hati, ya!" Shouta tersenyum manis, kemudian kembali berjalan, berniat meninggalkan.

'Hati-hati ... apa dia barusan mengucapkan kata itu padaku?' Menyadari suatu hal, sanubari gadis itu diisi kebahagiaan dalam waktu singkat. Sebuah kurva kecil tercetak di atas wajahnya, 'Dia orang yang sangat baik.'

Ia sedikit maju, seolah berusaha menggapai orang yang telah maju ke depan, "A-ano ... apa kau mencari jalan menuju Kitahoro?"

Mendengar itu, Shouta berbalik dan mengangguk, "Iya."

"Aku ... aku juga berasal dari Kitahoro! Mungkin, ini sedikit lancang. Namun ... apakah aku boleh mengantarmu? Aku juga akan kembali ke rumahku."

"Bolehkah? Terimakasih banyak!" Pemuda itu tersenyum kembali, semakin menambah kebahagiaan perempuan bersurai malam.

'Dia ... tidak lari dan malah mengucapkan terimakasih, tidak seperti orang lain.'

"Ah, namamu? Namaku Shouta."

"Sawako. Kuronuma Sawako."

"Salam kenal, Kuronuma!"

Manik gelap Sawako membulat, tak lama kemudian, ia tersenyum. Untuk pertama kalinya, dia dipanggil dengan cara seperti itu. Orang ini tidak menganggap namanya adalah nama yang aneh, Ia juga mengucapkan kata 'Terimakasih' bukan 'maaf' seperti kebanyakan orang. Shouta tak berusaha untuk menghindarinya.

Raut muka serta auranya yang suram seolah tersamarkan oleh sinar senyum dan keramahan pemuda berpakaian sederhana itu.

"Salam kenal juga, Shouta-kun."

Disisi lain, sang pemuda tersenyum. Sudah lama dirinya tidak mendengar panggilan tersebut. Semburat merah tipis menghiasi wajahnya. Ia bahagia, serta sedikit merasa bingung dengan dirinya yang tak bisa mengalihkan pandangan dari senyum manis milik Kuronuma Sawako.

Kedua insan itu berjalan menyusuri jalan pulang. Bisu menyelimuti, hanya suara burung serta angin yang menjadi pengisi hari. Sawako yang telah membawa kantung tadi tak tahu apa yang harus dibicarakan. Shouta sendiri sepertinya merasakan hal yang sama.

"Mau kubawakan?" tawarnya kala menyadari kantung gelap itu tampak berat.

Sawako gelagapan, "E-eh? T-tidak apa! Aku bisa sendiri! Aku tidak ingin merepotkanmu!"

Tanpa basa-basi lagi, Shouta mengambil kantung tersebut. Sedikit kaget karena ternyata kantungnya sangat berat. Serius? Gadis dengan tubuh kecil sepertinya bisa mengangkat beban seberat ini?

"Agak berat, ya." Laki-laki tersebut tersenyum canggung. Rasa bersalah segera menguasai diri Sawako, Ia berusaha mengambil kembali kantong itu. Namun, dicegah oleh tangan Shouta.

"Tidak apa. Sebagai rasa terimakasihku untukmu."

'Dia benar-benar orang baik!'

"Omong-omong, apa isi kantong ini?" tanya Shouta lagi.

Sawako menoleh, "Rusa."

Shouta mebelalakan matanya, "Rusa?"

"I-iya. Aku menangkapnya tadi," jawab perempuan tersebut.

"Kau bisa berburu?"

Sawako mengangguk, lagi, "Um."

"Hebat. Padahal tadi, aku tidak bisa mengangkapnya."

"T-terimakasih!"

"Akan kau apakah hewan buruanmu?"

"Memasaknya untuk keluargaku. Dan ... mungkin, membagikannya karena terlalu banyak."

Pria di samping Sawako tersenyum kembali. Gadis satu ini tampak polos dan tidak menyadari bakatnya, dan juga ... gadis yang manis ketika tersenyum. Lalu sekarang, Kazehaya Shouta memiliki harapan untuk bertemu kembali dengan Sawako setelah perjalanan mereka ini. Entah besok, atau kapanpun. Shouta ingin berbincang kembali dengan gadis satu ini.

Kedua orang tersebut kembali berjalan dan ditemani bisu, hembusan angin, serta kekaguman sang gadis melihat seseorang yang begitu baik kepadanya.

*

Hamparan jingga mulai menguasai bumi. Angin sore menjadi saksi atas kalimat perpisahan sementara kedua insan yang sudah mencapai tujuan.

Di dekat hutan, Sawako dan Shouta mengikat janji, bahwa mereka akan bertemu kembali. Ditemani dengan senyum yang tak kunjung pudar kala menatap satu sama lain.

Sang gadis berjalan menuju rumah, sedangkan sang pemuda segera menuju tempat kediamannya. Tempat dimana keluarga kerajaan bernaung dari panasnya matahari dan dinginnya hujan.

Barang sampai ke rumahnya, Sawako memberi salam sambil membuka pintu belakang. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Tumben sekali tidak ada yang menyambutnya dengan dingin. Padahal, Sawako merasa bahwa Ia pulang terlalu sore.

Dengan segera, gadis muda tersebut meletakkan daging yang sudah dibersihkan di atas meja dapur, memotongnya menjadi beberapa bagian untuk dibagikan esok hari.

"Kemana saja, Sadako?"

Pertanyaan tidak ramah menintrupsi ruangan. Orang yang dipanggil berbalik, "Berburu. Kalian ingin daging rusa, kan?"

"Kau bisa membelinya di pasar. Kenapa harus ke hutan?"

"Yumi-chan, daging rusa di pasar itu ... jarang ada." Sawako menggoyangkan tangannya sambil menggeleng.

"Jangan bersikap sok hebat hanya karena ayahmu dulu mengajarimu menggunakan busur."

"B-bukan begitu...-"

"Sudah cukup, Yumi." Gadis yang lain ikut masuk ke dapur. "Lalu, Sawako ... bantu kami menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk pesta di istana besok malam," lanjutnya.

Sawako memiringkan kepalanya, "Pesta?"

"Kau tidak tahu? Pangeran Kazehaya sedang mencari seorang gadis untuk dijadikan istrinya. Semua perempuan muda diundang ke sana," jawab Yumi sambil memutar bola mata, malas.

Yang menerima jawaban mengangguk, "Begitu ... Apa aku boleh ikut, Ume-chan?"

Saudari tiri bernama Ume tersenyum, "Sebenarnya boleh-boleh saja, Sawako-chan. Namun, apa kau yakin ibu akan mengizinkanmu?"

"Tidak ...." Nada bicara Sawako menurun. Ume memang benar, tidak mungkin Ia diizinkan untuk mendatangi pesta tersebut. Mengingat bahwa dirinya hanyalah anak tiri yang kehilangan kedua orang tua kandungnya di rumah ini.

Sang ibu tak akan menyetujui, saudarinya juga tak akan senang jika dirinya ikut serta meskipun niatnya hanya ingin merasakan pesta saja. Lagipula, gaun mana yang bisa Ia kenakan untuk datang?

Gadis tersebut menunduk, sedangkan dua saudarinya tersenyum puas setelah menjatuhkan semangat Sawako.

Dia akhirnya memutuskan untuk kembali memasak makan malam. Sambil memutuskan, bahwa dirinya tidak akan datang bersama keluarganya.

*

Entah nasib yang tak memihak, atau dunia yang seolah tak mengizinkannya mendapatkan kebahagiaan besar.

Salahkah Ia jika Ia ingin dianggap sebagai salah satu dari keluarga?
Salahkan Ia jika dia ingin pergi bersama mereka sebagai keluarga hanya untuk sekali saja?

Sawako tidak ingin menjadi putri, tak ingin menjadi permaisuri. Hanya menginginkan dirinya dianggap sebagai bagian dari ibu serta saudari.

Namun, dia tahu bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi.

Gadis itu menyudahi lamunannya, segera turun dari loteng, berniat memberi salam kepada keluarganya. Lalu, menatap kepergian mereka.

Barang dirinya sudah sampai di lantai bawah, tampak dua saudarinya yang masih kalang kabut. Sedangkan kereta kuda sudah menjemput. Sang ibu pun terlihat menyuruh mereka untuk segera turun dari rumah.

Sawako menatap dalam diam. Keinginannya untuk pergi bersama masih bertahan kuat dalam batin. Sorot kecewa serta iri memenuhi matanya.

Ume dengan balutan merah muda serta rambut ditata rapi, tampak seperti putri sungguhan. Sedangkan Yumi dengan rambut tergerai serta balutan kuning. Kedua orang itu tampak cantik, tidak seperti dirinya yang terlihat bagaikan hantu dari dalam sumur.

Ketiga wanita dalam rumahnya keluar tanpa pamit. Meninggalkan Sawako yang seharusnya bisa mengusir mereka kapan saja.

Di balik jendela, iris gelapnya mengikuti arah kereta sampai tenggelam ditelan jalanan. Sesak menelusup dalam sanubari, air mata pun tak tertahankan lagi. Gadis Kuronuma menarik nafas dalam, guna meminimalisir sakit dalam hati. Namun nihil, hal tersebut tidak manjur sama sekali.

Tok ... Tok ... Tok ...

Ketukan pintu mengakhiri hening. Dengan segera, Sawako menggunakan tangannya untuk menghapus air yang terus terjun mengaliri pipi, lalu membukakan pintu untuk tamu yang datang tiba-tiba.

Bola matanya membulat kala melihat siapa yang berkunjung. Ayane dan Chizuru, temannya yang Ia temukan saat membagikan hewan buruan.

"S-sawa, matamu ...." Gadis bersurai cokelat dengan mata sedikit sipit, Chizuru, tampak khawatir. Walaupun pada akhirnya, Ia tertawa terbahak-bahak. Akhlakless, memang.

"Apa-apaan wajahmu itu? Kau jadi tampak seperti...-"

Gadis satunya segera memotong perkataan tersebut dengan memukul lengan Chizuru. Tatapannya seolah mengatakan bahwa Ia harus mengerti keadaan.

Sawako sendiri masih bingung dengan kejadian ini. Ia kira, kedua temannya ini sudah pergi duluan menuju istana.

"Aku tahu, kau tidak akan pergi." Ayane buka suara, ditemani dengan aura seorang kakak yang mengelilinginya.

"Aku .. tidak mungkin pergi ke sana." Sawako membalas dengan sedikit lemah. "A-ah, silahkan masuk!" lanjutnya kemudian.

Ayane dan Chizuru masuk ke dalam. Singkat cerita, mereka meminta Sawako untuk mengatakan semua yang terjadi sampai-sampai tidak mengikuti acara. Padahal, semua gadis dari berbagai kalangan diundang oleh keluarga Kazehaya.

Kala ceritanya selesai, Ayane mengangguk tanda paham. Sedangkan Chizuru terus mengumpat kepada dua saudari Kuronuma yang menjatuhkan kepercayaan diri sahabatnya.

"Aku agak kecewa, namun ... sekarang, aku sangat senang. Karena kalian ada disini." Kedua sudut bibir Sawako naik, membentuk senyuman manis yang seketika membuat Chizuru mengeluarkan tangis haru.

Ayane tersenyum, lalu mendekat, "Sada- maksudku, Sawako, kami akan membantumu. Chizu akan meminjamkan sebuah gaun untukmu, dan aku akan menata segalanya dari dirimu."

Sorot menyedihkan tadi hilang seketika menjadi binar bahagia, "B-boleh, Ayane-chan?"

Chizuru merangkul teman pucatnya dengan erat, "Tentu saja, kau teman kami."

*

"Jangan menangis, Sawa! Jangan menangis! Nanti bedaknya luntur!"

"M-maaf, aku akan berusaha!"

Secara perlahan, Ayane menjauh dari Sawako. Lalu tersenyum bangga, melihat bahwa kerja kerasnya telah membuahkan hasil yang mengagumkan.

Sawako yang tengah Ia lihat sekarang ini tidak mirip sama sekali dengan hantu dari sumur. Gaun biru muda membalut tubuhnya yang ramping, helaian rambut malamnya yang diberi jepit berwarna ungu, serta poni depan yang tak terlalu menghalangi alisnya, membuat gadis satu ini tampak manis serta tak menakutkan sama sekali.

Chizuru membalikkan kursi putar yang tengah diduduki Sawako, "Bagaimana, Sawa? Yano-chin memang sangat hebat dalam mendandani seseorang."

"Aku rasa ... i-ini seperti bukan diriku."

"Sudahlah. Sekarang, ayo kita berangkat. Ryuu pasti sudah menjemput," ujar Ayane.

"Sanada-kun?"

"Ah, dia bekerja sebagai supir kereta kuda untuk sekarang."

Sawako tersenyum, sambil menahan tangis, tak mau usaha keras teman berharganya jadi sia-sia, "Terimakasih banyak. Ayane-chan, Chizu-chan. Kalian sudah seperti ibu peri bagiku."

"Bukan masalah. Tapi tunggu, ibu peri?"

*

Tawa serta senyum menjadi pengisi malam.
Para gadis dari berbagai penjuru tampak berbaris memberi hormat satu per satu kepada Kazehaya Shouta. Dibalasnya semua salam tersebut dengan bungkukan dan senyuman. Keluarga Kerajaan dari Kitahoro memang dikenal sebagai bangsawan yang ramah kepada siapa saja. Tidak heran rakyatnya sendiri menjadi betah untuk tinggal di sana.

Sesekali, pandangan Shouta berkeliling mencari seseorang di antara kemeriahan pestanya. Sejujurnya, Ia tak meminta sang ayah untuk mengadakan acara seperti ini. Pemuda itu bisa mencari wanita yang ingin dia nikahi sendiri.

Namun, siapa yang bisa melawan raja?

Shouta membuang nafas. Sepertinya, gadis yang tengah Ia cari tidak akan datang. Harapannya untuk bertemu kembali dengan gadis pemburu dalam waktu dekat sirna seketika.

Namun, perasaan kecewa tersebut segera hilang ketika melihat penampakan yang menarik perhatian. Seseorang dengan balutan biru langit ditemani dengan rompi putih berenda dan surai gelap yang membingkai wajahnya. Wanita itu tampak bingung, seperti sedang mencari seseorang.

Merasa bahwa dirinya mengenal sang gadis, laki-laki berpakaian resmi tersebut segera menghampiri. Seolah tak peduli dengan beberapa pengunjung yang memberi hormat serta tampak menghalangi.

Setelah sampai di tempat gelap dimana gadis yang menarik perhatian berada.

"Kuronuma?" panggilnya kepada gadis yang diduga adalag Sawako.

Sosok yang dipanggil menoleh, lalu membulatkan matanya, "S-shou-. E-eh?"

Manik cokelat gelapnya memperhatikan Shouta dari ujung rambut sampai ujung kaki. Menyadari bahwa pakaian yang tengah dikenakannya hanya pakaian yang digunakan anggota keluarga bangsawan, Sawako mundur. Kaget disertai rasa malu menguasai dirinya.

Tunggu. Jadi Shouta adalah Kazehaya Shouta yang merupakan pangeran di kerajaan ini?

Ah, bagaimana Ia tidak menyadarinya?

Dengan cepat, gadis itu membungkuk dalam, "Ma-maafkan saya! Saya telah lancang kepada anda, K-kazehaya ... -sama."

Melihat tingkah laku Sawako, Shouta segera melambaikan tangannya, dan sedikit maju, "K-kuronuma, itu ... tidak apa-apa."

"T-tapi ... tidak sepatutnya kalangan rakyat biasa seperti saya memanggil anda seperti itu tempo hari. Anda bisa menghukum saya seperti yang anda mau." Perempuan tersebut tetap membungkuk, tampak tidak berniat bangkit, tak peduli dengan rambutnya yang bisa berantakan kala itu juga.

Shouta yang merasa tak enak menggenggam kedua lengan Sawako, membuatnya berdiri tegak sambil menghela nafas, "Kuronuma, tidak apa-apa. Hal itu bukan masalah besar."

"B-bukan masalah untuk anda?"

Sang pemuda menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Dalam hatinya, Ia tertawa kecil. Lucu dan manis, begitulah pandangannya terhadap gadis pemburu ini.

Ditambah penampilannya yang berbeda daripada saat mereka pertama kali bertemu, semakin memperparah cepatnya detak jantung Kazehaya Shouta. Ia kemudian melepaskan genggamannya, tidak mau jika Sawako sampai mengetahui betapa terpesonanya Ia saat ini.

"Kuronuma, kau tahu? Aku lebih suka diberi panggilan seperti saat kita pertama kali bertemu." Shouta memulai pembicaraan sambil berjalan menuju tempat lain. Sang gadis pun mengikutinya, seolah mengerti isyarat sang pemuda.

"Um. Tapi saya tidak bisa memanggil anda seperti sebelumnya," tanggap Sawako, tetap memberi jarak diantara mereka berdua.

"Lalu, aku lebih suka cara bicaramu yang santai seperti sebelumnya," ucap Shouta, lagi. "Sekarang, aku hanyalah seseorang yang pernah kau tunjukkan arah jalan pulang. Di hadapanmu, aku bukan seorang pangeran atau keluarga kerajaan. Hanya seseorang yang pernah tersesat di hutan," lanjutnya setelah kedua orang tersebut sampai di tempat paling jauh dari kerumunan.

"Jadi, aku ...-" Perkataan Sawako terpotong, karena laki-laki di hadapannya telah lebih dulu berbicara.

"Jadi, bisakah kau memanggil dan berbicara padaku seperti saat kita berkenalan?"

Untuk sejenak, perempuan bersurai hitam itu tertegun. Namun kemudian, Ia tersenyum, "Kau benar-benar orang yang baik, Kazehaya ... -kun."

"O-orang yang baik?" Shouta mengedip-ngedipkan matanya. Tak lama kemudian, merah menghiasi pipinya. Tangannya terangkat, menutup mulutnya dan mengalihkan pandangan.

'Tidak adil, mengapa jadi aku yang salah tingkah?' batinnya sambil melirik Sawako yang malah memberi tatapan polos.

Tak lama kemudian, gadis itu berbalik kala merasakan perasaan aneh yang tertuju padanya. Binar bahagianya seketika redup, ketika dua saudarinya dari sebrang tengah menatapnya tak suka. Tidak, lebih tepatnya hanya tatapan Yumi yang dominan menusuk.

Rasa takut menguasai hatinya. Sawako tak bisa berfikir dengan jernih, gadis itu mundur sambil menoleh ke arah mana saja untuk mencari jalan keluar. Saking seringnya Ia menoleh, jepit rambutnya terlepas menyusuri surai halus.

Shouta yang menyadari hal tersebut segera mengambil jepit tersebut, "Ada apa?"

Seolah tak mendengar pertanyaan tersebut, Sawako mengambil ancang-ancang untuk segera lari. Langkah lebar ia ambil, untuk mengawali pelarian dan segera maju.

Sayangnya, Shouta menyadari niat Sawako. Ia segera mengejarnya, untuk bertanya tentang alasan. Tidak mungkin dirinya membiarkan gadis itu tiba-tiba pergi.

Disisi lain, Yumi juga berniat mengejar. Apa saja akan Ia lakukan demi menghalangi Sawako dan Shouta untuk bertemu. Sawako ... tidak boleh merenggut kesempatannya.

Baru saja Ia akan berlari dengan niat menghalangi, genggaman di pergelangan tangannya terasa. Ume mencekal tangannya dengan tujuan mencegah.

"Apa yang kau lakukan?!"

"Sudahlah, kau tidak punya harapan. Jangan bertindak bodoh," jawab Ume dengan tatapan tajam. "Sawako hanya ingin berkeluarga dengan kita. Aku akui, aku tidak menyukainya. Namun setidaknya, jangan renggut lagi apa yang seharusnya menjadi miliknya."

*

Derap langkah kaki yang terus dipercepat menjadi teman di tempat serta waktu yang hening. Sang gadis menoleh ke belakang, kemudian semakin mempercepat larinya ketika tahu bahwa laki-laki yang sempat berbincang dengannya masih berusaha mengejar.

Gaunnya memperlambat lari Sawako. Jika saja pakaiannya lebih sederhana, mungkin Ia sudah mencapai gerbang sejak tadi.

Tak membutuhkan waktu lama, lari Sawako terhenti, tangannya ditarik. Ia hampir terjungkal, kalau saja Shouta tidak menahan bahunya.

"K-kazehaya-kun, aku harus segera pergi," ucap Sawako sambil berusaha melepaskan genggaman.

"Sebelum aku mengetahui alasanmu, tidak aka kubiarkan pergi." Shouta mempererat pegangan tangannya, khawatir bila Ia lengah, perempuan di hadapannya akan kembali kabur.

Sawako menunduk, "Saudariku ... saudariku tidak akan senang jika aku berada disini. Ibuku juga tidak mengizinkan aku untuk datang kesini. Jika aku tetap berada disini, maka ....-"

"Jadi intinya, kau ingin pergi bukan karena keinginanmu yang sebenarnya, kan?" potong Shouta cepat. Membuat Sawako kembali membelalak. Kepalanya semakin menunduk.

"Tetaplah disini lebih lama, Kuronuma," ujarnya lagi.

"T-tapi ...-"

Laki-laki bersurai cokelat gelap menarik nafas, "Penuhi keinginanmu sendiri. Jangan dulu memikirkan orang selain dirimu. Sekalipun kau lebih mendahulukan orang lain, kau tidak bisa membuat semua orang senang dengan perbuatanmu."

Sawako tertegun. Selama ini, Ia selalu mendahulukan keinginan keluarga atau bahkan temannya. Ia sendiri sampai lupa jika dia juga butuh memperhatikan dirinya sendiri. Gadis itu perlu memberikan rasa bahagia untuk fisik serta batinnya.

Sawako tidak terlalu percaya diri. Sampai akhirnya, Ia selalu memikirkan orang lain. Setidaknya, jika dirinya tidak terlalu baik, dia bisa melakukan satu saja perbuatan baik selama satu hari. Agar kepercayaan dirinya sedikit naik kala melihat senyuman orang-orang yang telah dibantu olehnya.

"Kuronuma, tetaplah disini untuk beberapa lama lagi. Tidak perlu takut, karena setelah ini, kita akan terus bertemu."

Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Namun dengan susah payah, Sawako berusaha menahan tangis. Menggantinya dengan senyum manis yang seketika membuat Shouta mengalihkan pandangan, "Baik."

'Aku tidak mengerti apa yang dia maksud dengan terus bertemu. Aku juga tidak tahu mengapa diriku bisa merasa aman kala ini. Akan tetapi, ada satu hal yang kutahu. Akibat kalimat yang dilontarkan oleh Kazehaya-kun, aku menyadari, bahwa aku bisa menjadi diriku sendiri di hadapannya.'





End.

Aku ngambil cerita dari cerita Cinderella, tapi jadinya malah jauh banget dari alur cerita sebenarnya. Dikarenakan menyesuaikan karakter juga, sih :'D.

Yeah, sebenernya Ume ga jahat, sie. Makanya kubikin dia ada sedikit energi positifnya walaupun aku tu masih kesel sama dia gara-gara kelakuannya nyebelin banget (⌒_⌒;).

Anyway, KazeSawa itu fav couple aku buat saat ini. Soalnya mereka manis banget, hikd ಥ⌣ಥ. Mana Sawako polos banget, ditambah Kazehaya yang soft, gentle, sama sedikit posesif, sksks ╥﹏╥

Kritik dan saran sangat dianjurkan. Apabila ada kesalahan penggunaan tanda baca atau typo, harap diingatkan, ya! (◍•ᴗ•◍)❤.

Nantikan lagi Pungut Event yang selanjutnya~!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top