📖 [ 3 𝐁𝐚𝐛𝐢 𝐊𝐞𝐜𝐢𝐥 𝐝𝐚𝐧 𝐒𝐞𝐫𝐢𝐠𝐚𝐥𝐚 ]

Dragon Warrior Edition — Platonic Relationship

Made by : tulisanrei

"Jadi, kau ingin kami mandiri atau mengusir kami dengan kedok kemandirian?"

"Khafu, kita sudah bicarakan hal ini semalam."

Khafu menggelengkan kepalanya didepan Naga Langit. "Nope, nope. Kau belum memberi tahu kami detailnya. Kenapa mendadak sekali? Kenapa harus ke hutan bagian barat kalau kami bisa ke hutan bagian timur? Dan terakhir, kenapa harus hari ini?" Sederet pertanyaan Khafu membuat Naga Langit mendesah lelah. Sepertinya dia salah mendidik anak hingga Khafu bisa jadi seperti ini.

Atau mungkin, ini salah Naga Pemanah— tetangganya yang sering ia beri beban berupa menjaga ketiga anaknya setiap kali rapat 12 Naga Bintang diadakan. Ya, Naga Langit baru mengingat naga tempur elemen api yang menyebalkan itu.

Mulutnya suka sarkas, senyum sok tampan (Naga Langit yakin kalau dirinya lebih tampan), ditambah dengan sifatnya yang kadang suka sombong langsung berputar dikepalanya.

"Aku akan menjauhkan kalian dari Naga Pemanah setelah ini."

"Kenapa? Naga Pemanah menyenangkan." Dainase berucap sembari memakan roti miliknya. "Dia dan Naga Ikan sering memberi kami permen, Gulu." Taligu menimpali dengan nada ceria. Dasar, memang mereka berdua terlalu polos— tapi Naga Langit bersyukur akan hal itu.

Setidaknya, dua anaknya masih waras.

"Kau belum menjawab pertanyaanku."

Jangkrik.

"Baiklah, baiklah, aku akan menjawabnya sekarang! Pertama, karena Empat Dewa Naga memberi wejangan itu secara mendadak, jadi itu bukan salahku. Kedua, hutan bagian timur sudah jadi jatah Mulato, Mila, dan Kyupi. Otomatis, kalian harus ke arah lain, jadi bukan salahku juga. Terakhir, sekali lagi, karena Empat Dewa Naga. Sudah jelas?" Naga Langit berbicara dalam satu tarikan napas. Dia tahu watak anak sulungnya yang satu ini, keras kepala dan pasti akan menuntut jawaban sampai ia puas.

Bahkan kalau sampai kucing bertelurpun, anaknya yang satu itu akan pantang menyerah untuk mendapatkan apa yang ia cari.

"Berapa lama?"

"Apa?"

Taligu memainkan jari-jarinya dengan alis menekuk. "Berapa lama kami harus keluar, Gulu? Naga Langit 'kan tidak ikut." Taligu meletakkan kedua tangannya di atas paha. "Kalau Naga Langit kesepian bagaimana?" Tatapan Naga Langit melembut. Mau bagaimanapun, mereka adalah anak-anaknya.

Naga Langit yang membesarkan dan merawat mereka hingga menjadi seperti sekarang.

"Taligu, aku tidak sendiri. Aku masih punya saudara-saudaraku. Ada Naga Kembar, Naga Sapi, Naga Mozaik, dan Naga Bintang yang lainnya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Memang, lantai element daun akan terasa agak sepi, tapi itu bukan masalah."

Naga Langit berlutut didepan ketiga anaknya, tersenyum lembut. "Kapanpun kalian ingin menemuiku, datanglah. Kapan saja, bahkan tengah malam sekalipun, aku akan menerima kalian dengan tangan terbuka. Meski kalian sudah menjadi naga tempur tingkat akhir yang berumur ribuan abad, tidak akan bisa merubah fakta bahwa kalian adalah anak yang aku besarkan dan aku rawat."

Naga Langit merentangkan lengannya, menyambut tiga anak naga yang berhamburan kedalam pelukannya. Naga Langit menarik napas panjang, menahan rasa sesak di dadanya. Napasnya mulai tidak beraturan kala air mata menerobos keluar begitu saja. Berbisik, Naga Langit merengkuh ketiga anak naganya dengan lebih erat lagi,

"aku menyayangi kalian."

"Jangan buat rumah sembarangan. Ingat, buat rumah dengan teknik yang sudah aku ajarkan. Berburu secukupnya, pancing ikan secukupnya. Mandi sehari dua kali, minum air yang banyak. Jangan lupa makan buah, petik secukupnya juga. Lalu—"

"Naga Langit, kau sudah berceramah selama 10 menit."

Khafu mendengus dari tempatnya. "Kalau ada yang macam-macam, kami bisa menebasnya." Khafu berucap santai sembari mengeluarkan pedang miliknya. "Bahkan jika Naga Serigala menyerang seperti yang kau katakan, kami bisa mengatasinya." Dainase dan Khafu mengangguk mendengar ucapan Taligu.

"Tapi—"

"Naga Langit, jangan terlalu protektif. Lepas saja dari pada kau benar-benar berubah pikiran." Naga Ikan menyilang tangannya di depan dada dengan alis menekuk. Naga Langit memang terlalu protektif, pikirnya.

"Kau tidak berkaca rupanya. Kau sendiri juga protektif. Jangan kira aku tidak mendengar ocehan cara-bertahan-hidup-di-hutan tadi malam." Naga Kalajengking muncul dari belakang. "Jangan kau bongkar aibku, Bangsat." Naga Kalajengking menampar mulut Naga Ikan secara spontan.

PLAK!

Renyah.

"Heh, lambemu. Ada anak naga di sini."

"Bangsat, hehe."

Tiga naga dewasa itu menoleh dengan mata melotot.

"Hush! Mulato! Naga Ikan, kalau Naga Kepiting tahu, aku yakin dia akan membunuhmu, detik itu juga." Naga Kalajengking berjongkok di depan Mulato lalu memberinya sebuah permen warna-warni. "Mulato, aku beri kau permen, tapi jangan mengucapkan kata itu lagi, mengerti?" Mulato mengangguk dengan polos.

"Menurutmu mereka akan selamat dengan pemikiran sepolos itu? Mulato bahkan masih bisa disogok dengan permen."

"Entahlah, kita harus banyak-banyak berdoa."

Khafu memakai tas kulit miliknya. "Kami pergi dulu! Kyupi, Mila, Mulato, kita berpisah disini." Khafu melambaikan tangannya pelan bersama dengan Dainase dan Taligu. "Sampai jumpa beberapa waktu lagi— kalau mungkin." Kyupi berjalan berlawanan arah dengan rombongan Khafu.

Samar-samar, mereka bisa mendengar teriakan Naga Kepiting yang memaki-maki Naga Ikan.

"NAGA IKAN, APA YANG SUDAH KAU AJARKAN KEPADA KEPONAKANKU?!"

"NAGA LANGIT, KAU MENGADUKANNYA PADA NAGA KEPITING? TEGANYA KAU! KUKIRA HUBUNGAN KITA ISTIMEWA!"

"Tentu istimewa. Kau babuku, dan aku majikanmu."

"BRENGSHAKE!"

"Taligu— itu rumahmu pakai jerami?"

"Gulu? Memang kenapa? Jerami ini cukup kuat kok, Gulu. Kalau kena hujanpun, aku tidak akan kebasahan."

Dainase menatap rumah mungil saudaranya yang terbuat dari jerami. "Kurasa tidak apa-apa, Khafu. Rumah jerami ini cukup tahan lama, kok. Dan lagi, bukankah rumahnya lucu?" Dainase menoleh ke arah Khafu dengan senyum lebar.

"Yah, harus aku akui kalau rumahnya lucu."

"Benarkan, Gulu! Aku melihatnya saat Tian Lo datang berkunjung bulan lalu!" Taligu berjalan mendekati rumah Dainase. "Gulu? Dainase, rumahmu jauh lebih bagus dari rumahku! Terbuat dari kayu pula! Kelihatan sangat indah. Kau tidak berniat menambahkan beberapa bunga, Gulu?" Dainase terkekeh mendengar ucapan Taligu.

"Terima kasih, Taligu. Aku berniat menambahkan bunga, tapi aku belum nenemukan bunga yang cocok. Dari pada itu, punya Khafu lebih keren. Terbuat dari batu bata— tunggu, kenapa kau punya batu bata?"

Khafu menatap kedua saudaranya dengan tatapan bangga. "Element milikku itu bumi, bukan hal besar untuk mendapatkan batu bata di tempat seperti ini!" Dainase dan Taligu membentuk huruf O dengan mulutnya.

"Taligu, kau tidak apa-apa tidur sendirian? Bukannya kau benci gelap? Meski ada lentera yang menerangi, tapi tetap saja tidak akan secerah di Menara Naga." Khafu bertanya dengan nada khawatif. "Gulu? Khafu khawatir? Aku akan baik-baik saja, Gulu. Kalau tidak kuat, aku akan lari ke rumah Dainase dan memintanya untuk menemaniku tidur." Dainase dan Khafu menghela napas dengan senyum pasrah.

Taligu tetap Taligu. Dan Taligu adalah kesayangan mereka semua.

"Ya sudah, hari sudah mulai malam. Waktunya istirahat. Selamat malam."

Dainase berjalan kearah rumahnya. "Taligu, kalau ada apa-apa, kau teriak saja, oke? Jangan sungkan mengetuk pintuku atau Dainase jika kau ketakutan." Khafu menepuk bahu Taligu sebelum berlalu menuju rumahnya sendiri. "Baik, Gulu! Terima kasih!" Dan Taligu menyusul menuju rumah jeraminya.

Taligu akan selalu benci gelap, sampai kapanpun. Kegelapan membuatnya mengingat Naga Hitam setahun yang lalu, dan Taligu masih belum sembuh dengan traumanya. Apa lagi, dia hampir saja mati sebanyak tiga kali— atau lebih? Taligu lupa.

"Gulu. Susah sekali untuk tidur. Apa aku menemui Dainase saja?"

Taligu bergumam dengan suara kecil. Ia menutup wajahnya dengan selimut. "Gulu, perasaanku tidak enak." Ia kembali berguman. Taligu kadang heran dengan dirinya sendiri. Kamarnya sudah cukup terang, dia punya dua lentera di kamar, satu di kamar mandi, dan tiga di ruang santai yang menyambung dengan dapur.

TOK TOK TOK!

"Naga Kecil, keluarlah sebentar."

Badan Taligu menegang. Dengan patah-patah, ia menoleh ke arah jendela. Matanya terbelak kala melihat jari tajam dan taring menjulang dari balik jendela kamar.

"G-Gulu?"

Itu Naga Serigala.

Taligu tidak bisa bergerak, ia tak bisa bersuara. Kamarnya yang remang-remang sudah cukup membuat Taligu susah napas, kali ini ditambah dengan Naga Serigala. Trauma menyebalkan, lagi-lagi, bayangan tentang Naga Hitam kembali muncul.

"Kau tidak mau keluar? Baiklah, biar aku yang mengeluarkanmu secara paksa!"

SRESSHH!! BRAAAKK!

"Taligu?"

Dainase membuka matanya lebar-lebar saat mendengar suara ledakan dari rumah Taligu. Dainase berlari kearah jendela, sebelum terbelak. Dengan mata yang masih-agak-setengah mengantuk, Dainase loncat dari jendela (lantai dua) dan berlari kearah rumah saudaranya.

Heh, siapa yang perlu pintu kalau kau bisa langsung loncat kebawah?

"Taligu! Kau baik-baik saja?"

Taligu buru-buru memeluk Dainase, badannya bergetar. "Taligu?" Dainase meletakkan sebelah tangannya di punggung Taligu. "Kau baik-baik saja? Tubuhmu ada yang lecet? Apa yang terjadi?" Dainase bertanya dengan suara khawatir.

Demi kembang gula kapas, seumur hidupnya, Dainase belum pernah melihat Taligu setakut ini.

BRAK!

"Hei! Aku menghabiskan setengah hari untuk membangunnya!"

Dainase berteriak kesal saat melihat rumah yang berjarak 20 meter dari rumah Taligu ikut hancur berkeping-keping. "Naga Serigala! Kau keterlaluan! Kau akan menyesal karena sudah membuat adikku ketakutan!" seru Dainase sembari berdiri di hadapan Taligu.

"Dan juga membuat rumahku hancur. Aku baru saja berencana menaruh bunga besok pagi, Sialan!"

"Siapa yang peduli dengan bunga? Aku lapar, dan aku ingin makan. Naga kecil seperti kalian cocok menjadi santapan malamku."

Mata Dainase memicing. "Zaman sekarang kau masih jadi karnivora? Ketinggalan zaman sekali," cibir Dainase. "Anak naga tidak tahu terima kasih! Akan habis kalian aku lahap!" Naga Serigala berucap murka. Ia mengaum, membuat Taligu semakin meringkuk ketakutan.

JRESS!!

"Berisik, dasar Anjing Bulu! Aku mencoba untuk tidur tapi selalu gagal. Dan lihat sekarang, siapa yang berani mengganggu adik-adikku."

Khafu berdiri dengan wajah murka dengan tangan memegang pedang. "Khafu!" Dainase berseru senang. "Pergi sekarang." Khafu menatap Naga Serigala dengan wajah menggelap.

"Pergi sebelum aku menjadikanmu sate."

Khafu menyeramkan ketika marah. Itu adalah satu fakta yang pasti. Bahkan Naga Serigala pun menciut dibuatnya. Naga Serigala mendecih kemudian melangkah menjauh. Mungkin hari ini adalah hari sialnya, pikir naga itu.

Yah, dia tidak berkaca sih, dosanya banyak.

"Taligu, kau baik-baik saja?"

"Gulu? Khafu?"

Khafu menyingkirkan pedangnya dan berjongkok di sebelah Taligu. "Ini aku. Kau bisa bernapas lega sekarang. Kau pasti ketakutan ya?" Taligu memeluk Khafu erat, membuat naga berwarna cokelat itu menghela napas pelan.

"Kau ini mirip Mei Han. Selalu datang memelukku setiap kali ia merasa ketakutan."

Taligu mendongak. "Kau merindukannya, Gulu?" Khafu terkekeh pelan. "Itu sudah pasti. Tapi tidak apa-apa, aku punya kalian. Aku punya Mila, Kyupi, dan juga Mulato. Aku punya Naga Langit. Aku punya 12 Naga Bintang lainnya. Aku bahagia disini." Khafu tersenyum lembut.

"Sekarang, ayo kita istirahat. Kita istirahat di rumahku." Khafu membantu Taligu berdiri. "Aku akan memberimu kesempatan untuk tidur di tengah." Dainase berucap sembari mengedipkan sebelah matanya. "Gulu? Benarkah? Terima kasih!" ucap Taligu dengan senyum lebar.

"Hei, Taligu, Dainase."

"Ya?"

"Aku menyayangi kalian. Terima kasih."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top