📖 [ 𝐓𝐡𝐞 𝐖𝐢𝐭𝐜𝐡 𝐚𝐧𝐝 𝐓𝐡𝐞 𝐊𝐧𝐢𝐠𝐡𝐭 ]

The Witch and The knight - Run Away

Luke Pearce x Rosa fanfiction

Tears of Themis © Hoyoverse.

Written by Callamelatte

◆◆◆

"Wah, hari ini pun aku mendapat banyak tanaman!" Gadis berjubah merah marun itu bersahut senang selagi melihat isi keranjangnya yang sudah penuh oleh beranekaragam tanaman herbal.

Siang hari di hutan itu sedang cerah-cerahnya. Cahaya matahari menembus dedaunan serta terpantul di batu-batu sungai sehingga menciptakan bias yang lembut, burung bernyanyi dengan riang di dahan pohon-pohon kenari yang rindang,  dan angin sesekali bertiup kencang mengusir hawa-hawa panas.

Cuaca cerah seperti tersebut sudah pasti akan membuat siapapun merasa senang tanpa terkecuali, termasuk seorang penyihir sekalipun.

Lihatlah dia, sembari menjingjjng keranjang kayunya, ia melangkah seiring melompat-lompat gembira. Bibir ranumnya melantunkan sebuah nada lagu riang, dan paras cantiknya berseri, selaras dengan mentari.

"Hmm~ Hmm~ Bilbery, cowbery, raspberry~ Hari ini kita akan membuat ramuan yang membuat Dunia ini happy, yeay~!"

Cip! Cip! Cip!

Mendadak seekor burung jalak terbang menghampiri penyihir itu, sayapnya mengepak heboh, menunjukkan kepanikan yang jelas.

Dahi Rosa--nama sang Penyihir itu-- seketika mengerut. "Peanut? Ada apa?"

Cip! Cip! Cip!

Peanut—nama yang diberikan oleh si Penyihir kepada jalak tersebut—memberi isyarat agar si Penyihir untuk mengikutinya. Rosa merasa tak memiliki pilihan lain, jadi ia mengikutinya begitu saja tanpa ragu.

Burung itu membawanya melewati semak-semak belukar, memasuki area pohon-pohon lebat minim penerangan, sampai tak terasa mereka telah sampai kepada sebuah gua besar yang menyeramkan.

"Gua?? Mengapa??" Penyihir itu masih kebingungan, tidak mengerti tujuan Peanut menuntunnya ke sana.

Peanut berlanjut terbang ke dalam gua. Sampai di sini, Rosa sebenarnya ragu untuk menyusul, bagaimana jika di dalam gua itu adalah sarang mahluk yang sangat berbahaya?  saat ini dia tidak memiliki banyak persiapan untuk melewan.

Syukur-syukur jika dalam gua itu adalah sarang serigala atau beruang, menggunakan sisa mananya yang sekarang, dia masih sanggup menghabisi beberapa ekor yang mencoba menyerangnya. Namun apa yang terjadi apabila mahluk itu adalah seekor Naga? sudah pasti presentasenya menjadi santapan mahluk buas tersebut lebih besar.

Cip! Cip! Cip!

Peanut si Jalak keluar dari gua itu tak lama kemudian sebab menyadari Rosa tidaklah lagi mengikuti jejaknya. Dia terbang ke atas bahu sang Penyihir dan menarik-narik tudung jubah sutra miliknya.

"Aduhh, apakah kamu benar-benar ingin aku masuk ke dalam? Bagaimana jika berbahaya??"

Peanut tidak bersuara, namun melayangkan tatapan memelas, seolah ia sedang berusaha agar Rosa setuju mengikuti kemauannya, selayak meyakinkan di dalam gua itu tidak ada hal yang berbahaya—hanya saja terdapat sesuatu yang penting yang harus mereka lihat.

"Yah, apa boleh buat deh, kalau kamu bersikeras .... " Rosa menghela napas.

Mengikuti keinginan sang Burung Jalak, dia akhirnya memasuki gua. Suasana dalam sana dingin serta gelap, hanya terdengar desis-desis kelompok kelelawar dan gema suara air yang menetes dari dinding gua.

"Pyre!" Wuush! Sontak sebuah sambaran api kecil keluar dari tangan penyihir itu yang menyebabkan sekelilingnya sekarang menjadi terang.  Kini, Rosa dapat melanjutkan perjalanannya tanpa takut akan menabrak sesuatu.

Peanut masih menuntun jalan di depan. Berbeda dengan sebelumnya, ia terbang lebih pelan. Sementara itu, Rosa terus menyapu pandangannya setempat, memasang sikap siaga jikalau sewaktu-waktu mereka disergap oleh mahluk berbahaya.  Akan tetapi Sejauh mereka berjalan, mereka tidak menemukan mahluk hidup lain selain kelelawar, menyebabkan Rosa lama-kelamaan yakin bahwa gua ini adalah gua yang ditinggalkan dan sama sekali tidak berbahaya.

"Yah, Syukur deh ..."

Cip, Cip, Cip!

Lagi-lagi Peanut berkicau heboh yang membuat Penyihir itu nyaris melompat dari tempatnya.

"Apa lagi sekarang?" dengus Rosa, ia menoleh ke arah depan.

Dan alangkah terkejutnya dia ketika menemukan seseorang bersandar di dinding gua dalam kondisi mengenaskan. Seorang lelaki dengan darah segar terus mengalir dari lukanya yang menganga di perut, wajah pucat pasi, serta erangan kecil. Dia sekarat.

"Astaga, tuan!" Rosa segera menghampiri orang tersebut dengan panik. "Bertahanlah!"

Pemuda itu tak merespon, dia terus merintih bersama dua matanya yang terpejam. Rosa tahu bahwa dia tidak dapat berdiam diri saja, maka ia segera mengecek berapa dalam luka tersebut.

"Woah, lukanya dalam sekali! Bagaimana ini??" batin Rosa cemas.

"Dari lukanya ... sepertinya dihasilkan oleh kuku hewan buas, antara beruang, harimau, atau serigala. Apa dia sehabis diserang binatang buas di luar, lalu berlindung kemari?"

Selanjutnya, Rosa meraih keranjang yang ia bawa, memeriksa jenis tanaman herbal apa saja yang baru ia petik. Sayang, tiada tanaman yang cocok untuk menahan luka itu, yang menyebabkan helaan napas kecewa keluar dari mulut Penyihir tersebut.

"Apa kugunakan sihir saja, ya? Tapi ...."

Tentu, Rosa ragu menggunakan sihir penyembuhannya kepada manusia, karena dia tahu ada sebuah rumor  yang menurutnya tidak mengenakan tersebar di kota.

Tentang Penyihir berhati dingin yang dapat mengabulkan permohonan.

Entah siapa yang menyebarluaskan kabar  burung itu pada awalnya, namun rumor itu sebetulnya tidak pernah benar.

Memang, penyihir yang tinggal di hutan itu betulan ada, alias dirinya sendiri, akan tetapi, dia tidak memiliki kekuatan berdasarkan rumor mengada-ada tersebut.

Dia hanyalah seorang Penyihir biasa, yang mempelajari sihir-sihir sederhana, bukan sihir berkelas tinggi yang sampai-sampai bisa mengabulkan berbagai permohonan.

Namun, karena manusia-manusia itu sudah terlanjur dibuat buta oleh desas-desus, mereka tetap nekat menerobos hutan untuk mencari keberadaan si Penyihir.

Tentu hal itu merugikan, bagi pihak Rosa, maupun alam. Karena sebagian manusia yang berkunjung berburu penyihir itu tak jarang merusak ekosistem yang ada di hutan.

"Tolong ... Siapa pun tolong aku ... Aku ingin hidup."

Rintihan kecil dari pemuda itu semakin membuat hati Rosa semakin mencelus. Dia tidak tega membiarkan manusia tersebut mati, tapi membawanya keluar dan mencari tabib di kota saat ini juga rasanya tidak mungkin karena sudah pasti akan memakan banyak waktu, dia belum menguasai sihir teleportasi seperti yang bisa dilakukan oleh para Seniornya.

"Yah, apa boleh buat  dia juga lagi sekarat. Dalam kondisi ini, dia pasti tidak akan menyadarinya, kan?"

Awalnya gadis itu memang takut, namun dibanding membuang waktu dengan keraguan yang menentu, dia pun mengulurkan tangannya ke atas luka parah pemuda tersebut.

Wush! Secercah cahaya lembut segera keluar dari tangannya dan menyelimuti luka itu. Ajaib, luka menganga lebar tadi segera mengecil dan menyisakan lubang yang tidak terlalu besar, pendarahannya juga sudah terhenti dengan sempurna.

"Ah, manaku habis, jadi aku tidak bisa menyembuhkan lukanya menyeluruh, tetapi ini lebih baik daripada tidak sama sekali. Bukankah begitu, Peanut?" lontar Rosa bangga. "Sekarang, kita tinggal mencari sesuatu yang dapat menutupi perutnya."

Mengingat mereka sedang dalam goa yang tidak mungkin sekali tersedia kain kasa, Rosa memutuskan untuk merobek sedikit jubahnya untuk dijadikan alternatif. Dia meraih pisau yang biasa ia gunakan untuk memotong dahan pohon herbal dari dalam keranjang, dan memotong kain ujung jubahnya tanpa ragu.

Srek, srek, srek.

Tak kalah dari seorang dokter perfesional, Rosa secara cekatan membalut luka lelaki itu. Dia melakukannya dengan sempurna tanpa celah.

"Selesai!" sahutnya riang. Sekarang, dia menatap kembali wajah orang yang baru saja diberi pertolongan pertama olehnya.

Si pemuda ternyata tertidur pulas, raut mukanya sudah tidak menekuk pertanda ia tidak merasakan sakit lagi. Wajahnya juga tidak pucat, nafasnya pun teratur.

"Syukurlah, aku berhasil menyelamatkannya. Sekarang waktunya kita kembali, Peanut."

Cip!

Peanut yang tadinya bertengger di tanah dekat pemuda tersebut, kini terbang menuju bahu Rosa.

'Semoga kita tidak pernah bertemu lagi, wahai Pemuda Asing.'

Dia mengungkapkan perpisahan mereka dalam hati, sebelum akhirnya melangkah pergi.

◆◆◆

Musim panas berdarah, itulah sebutan untuk kasus pembunuhan berantai yang mencekam kota Stellis kala itu.

Dan yang ditetapkan menjadi tersangka dari kasus tersebut adalah bangsa Penyihir, sebab jasad para korban selalu saja ditemukan dalam kondisi abnormal yang tidak mungkin dilakukan oleh orang biasa. Memberi kesimpulan bahwa si pelaku adalah  seseorang yang dapat menguasai sihir untu Melancadkan aksi kejinya yang telah memakan ratusan jiwa.

Dengan demikian, kala musim panas yang mencekam itu, Raja memutuskan untuk membantai seluruh penyihir di Stellis. Terdengar kejam serta tidak adil memang, tetapi menurutnya hal itu setimpal, mengingat korban berjatuhan terus bertambah hingga mencapai angka 300 dan pelaku belum saja ditemukan.

Seluruh Penyihir yang berhasil ditangkap oleh pemerintah akan dieksekusi terang-terangan di depan publik dengan cara dibakar, Buku-buku yang berhubungan dengan sihir pun turut dilenyapkan. Raja Stellis sebegitunya ingin mengutuk kelakuan si pelaku,walau caranya sudah pasti teramat salah.

Dan Naas, gadis Penyihir yang tinggal di dalam hutan itu sudah tertangkap oleh prajurit kerajaaan di kediamannya beberapa hari yang lalu.

"Bukan, bukan aku pelakunya!"  si Rosa tiada henti memberontak, bahkan ketika dua prajurit kerajaan menyeretnya secara paksa ke area eksekusi, dia tidak menyerah untuk menegakkan keadilan dirinya sendiri.

Memakai sihir saat ini untuk melawan? tidak akan bisa. Raja Stellis telah membuat kalung rantai khusus yang harus dikenakan oleh para penyihir yang menjadi tawanan. Kalung itu memiliki kekuatan sihir luar biasa yang dapat menekan kekuatan sihir seorang penyihir, sehingga dia tidak dapat menggunakan kekuatannya untuk melawan.

Jadi, saat ini hanya mulutnya-lah yang menjadi satu-satunya senjata Rosa.

"Hei! Apa kalian tuli!? Sudah kukatakan bukan aku pelakunya!! Aku tidak mau dieksekusi!! Ini tidak adil!! "

Plak!!

Salah seorang prajurit menampar wajah gadis itu keras-keras.

"Kau bisa diam tidak, Hei, Penyihir jalang? Lebih baik kau tutup mulutmu dan Terima takdirmu saja. Ini bukan salah kami karena kau terlahir menjadi seorang penyihir."

Rosa sungguh tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, perkataan sampah macam apa itu?  Bahkan si Prajurit sampai menghubungkan dua hal yang sebenarnya tidak ada korelasinya sama sekali.

'Dasar orang-orang tidak berakal,' geram gadis tersebut dalam hati.

'Kau kira aku akan menerima takdir konyol ini begitu saja? Jangan bercanda. '

'Aku tidak mau mati dalam kondisi sia-sia!'

Maka, dengan sekuat tenaga, gadis itu segera memberontak dan menabrakkan dirinya ke badan dua prajurit tersebut sehingga ia terlepas dari genggaman mereka.

"Ck! Sialan! Kejar dia!!!"

Walau kondisi tangannya masih terikat, Rosa tetap dapat berlari dengan seimbang. Beruntung kakinya tidak ikut dirantai, coba kalau iya, sudah pasti dia tidak akan bisa berlari secepat ini.

'Aku harus kabur! Aku harus keluar dari kota terkutuk ini!'

Rosa berlari tak menentu. Sayang, dia sama sekali tidak tahu rute penjara bawah tanah yang membuatnya sulit untuk menentukan dimana jalan keluar. Memakai sihir peraba pada saat ini juga sia-sia saja.

"!!!"

Dua binar zamrud si gadis langsung terbelak ketika ia sadar mengambil belokkan yang salah, sebuah jalan buntu. Sementara itu di sisi lain, dua prajurit berbadan besar tersebut berhasil mencapai tempatnya.

Dia terkepung.

"Lihat? Sudah kuperingatkan, bukan? terima saja nasibmu," sarkas salah seorang prajurit seiring mengeluarkan sebilah pedangnya. "Sekarang, mati kau!"

Pedang tajam itu langsung terayun, membuat Rosa refleks memejamkan mata karena takut.

Satu detik, dua detik, tiga detik.

Dia tidak kunjung merasakan rasa sakit sama sekali.

'Lho?'

Karena penasaran, Rosa membuka kembali kedua matanya. Alangkah terkejutnya dia ketika menemukan dua prajurit berbadan besar tadi telah terbujur kaku di lantai penjara bawah tanah.

Dan diantara mereka, terdapat sosok figur yang berdiri tegap, memakai baju ziarah prajurit kerajaan lengkap, serta menggenggam erat sebuah pedang yang bergelimang darah.

"Si ... Siapa kau? Apa kau datang ingin membunuhku juga?" tanya Rosa itu ragu, ia refleks memundurkan langkah ketika prajurit misterius itu mencoba mendekatinya.

"Tu-tunggu! Aku tidak akan menyakitimu, jangan takut!" sahut si Prajurit misterius begitu menyadari Rosa memandanginya dengan tatapan mengintimidasi serta sekujur tubuh yang bergetar. 

"Aku datang untuk menyelamatkanmu, seperti yang kau lakukan kepadaku dulu."

"Dulu?" beo Rosa. " Aku tidak mengerti ucapanmu, pokoknya jangan mendekatiku! Bagaimana pun juga, kau adalah prajurit kerajaan!"

"Aduh ... Bagaimana aku menjelaskannya kepadamu, ya ... Oh!"

Karena kesalahpahaman yang tak kunjung usai, Prajurit misterius itu memutuskan membuka helm zirahnya, menampakkan seluruh wajah.  Kini, surai cokelat terang yang basah terkena keringat dan dua manik coral berkilauan dapat terlihat jelas oleh Rosa.

Kedua mata gadis itu seketika membulat. "Tunggu, jangan-jangan Kau ..."

"Ya, betul, aku adalah lelaki yang kau selamatkan dalam goa itu. Namaku Luke Pearce," ucap  pemuda itu seraya tersenyum hangat. Dia mengulurkan tangannya kepada Rosa.

"Jadi, apakah kau percaya padaku? Jika ya, sekarang cepatlah genggam tanganku dan mari kita kabur bersama, Nona penyihir."

— E N D —

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top