• 𝓗𝓪𝓻𝓭𝓮𝓼𝓽 𝓟𝓱𝓪𝓼𝓮 •
Hiruk-pikuk perkotaan Tokyo ditambah terik mentari yang menyengat di musim panas benar-benar membuat [Name] menyerah dan membeli segelas limun segar yang terjual di sudut jalan. Kakinya sudah pegal berdiri sejak tadi melayani para pelanggan di kafe :Re yang selalu dipadati pelanggan di akhir pekan.
Kebetulan hari ini sangat padat. Sehingga kebanyakan pelanggan harus memakai tempat duduk di luar kafe dan mau tidak mau [Name] harus bolak-balik keluar untuk mengantar pesanan.
"[Name], kau bisa istirahat dulu. Aku tahu kau sejak tadi sudah pegal berdiri."
Suara bariton yang tidak asing di telinganya menarik atensi [Name], gadis itu menoleh cepat mendapati seniornya—Nishio Nishiki menatapnya dengan tatapan yang kurang ramah?
Oh, [Name] paham betul. Nishio tidak pernah berniat jahat, hanya saja prototipe wajahnya yang seringkali membuat orang lain salah paham dengan ekspresi yang dia tunjukkan.
"Memangnya, keliatan ya?"
"Ya begitulah. Sudah, sana cepat ke ruang staff."
[Name] tersenyum tipis sembari membungkuk cepat dan berlari kecil ke ruang staff. Begitu di dalam, dia langsung menjatuhkan diri di sofa dan menghela nafas lega.
[Name] memejamkan mata. Sebenarnya, hari ini gadis itu ingin menyibukkan diri karna dia benci dengan tanggal 20 Desember.
Setiap kali mengingatnya, dada [Name] akan terasa sesak hingga air matanya berebut ingin keluar. Tapi, [Name] sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwasannya sudah saatnya dia melupakan tanggal 20 Desember itu.
[Name] membuka matanya dan memandangi langit-langit ruang staff dengan tatapan menerawan. Manik (e/c)-nya mengerjap beberapa kali mencoba untuk tidak kembali berkaca-kaca.
Jauh di lubuk hati [Name], gadis itu ingin bertemu lagi dengannya dan menuntas semua dengan jelas. Sehingga dia tidak perlu membenci tanggal 20 Desember lagi.
Kepalanya pening memikirkan soal itu, hingga lambat laun matanya semakin berat. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyelam ke dalam bunga tidur.
— 🦋 —
"Itu terlalu menakutkan. Aku ... aku tidak berani membayangkan."
Suaranya parau. Matanya memerah karna menangis, dadanya naik turun secara cepat karna terisak. [Name] menatap pemuda itu dengan tatapan sedih, tangannya bergerak untuk memeluknya.
"Tak perlu dibayangkan. Kamu hanya perlu menghadapi apa yang sekarang berada di depanmu."
"Hari ini mungkin kau masih memelukku, tapi bagaimana dengan besok? apa kau bisa jamin esok masih baik-baik saja?"
"...."
[Name] tak lagi bersuara. Dia terlampau lelah mendengar semua racauan yang sama setiap hari. Menghadapi emosi negatif yang sama setiap hari benar-benar menguras energinya.
"Semakin kau menyuarakan rasa takut itu. Maka sesuatu itu akan secepatnya menghilang."
Manik coral pemuda itu menatap [Name] dengan tatapan membulat penuh takut. Tapi, [Name] benar-benar muak dan lelah.
Tangannya tak lagi merengkuh pemuda itu dan beralih untuk bangkit.
"Is it so hard you to trust me that i always on your side?"
Tak ada sahutan. Mungkin ada, tapi [Name] tidak mendengarnya karna lebih dulu pergi meninggalkan pemuda itu sendiri.
— 🦋 —
"[Name]-san, ayo bangun! Shiftmu sudah lewat."
Suara lembut membangunkan [Name] dari mimpinya. Maniknya mengerjap lalu menguap, mendapati sesosok Hinami dengan setelan baju casualnya.
Tunggu, sudah berapa lama [Name] tertidur?
"JAM BERAPA INI?!"
"Sudah pukul 5 sore sih. Tadi aku ingin membangunkan tapi Nishio-senpai melarangku."
[Name] jadi merasa tidak enak karna melewatkan shift-nya. Walau [Name] paham jika Nishio sengaja tidak membangunkannya karna kasihan sejak pagi tadi dirinya sibuk dan menggantikan shift Kaya yang sedang sakit.
Setelah berbincang sebentar dengan para staff yang lain serta meminta pada Touka— selaku pemilik :Re. [Name] bergegas untuk pulang.
Tapi, anehnya. Alih-alih segera menuju apartemennya, [Name] justru berjalan menuju jembatan gantung memandangi langit berbintang. Semilir angin malam dia abaikan meski mulai sedikit terasa dingin.
Oh, nampaknya baru saja hujan. Pantas saja udaranya sedikit dingin.
[Name] menghela nafas. Terakhir kali dia kesini adalah 5 tahun lalu dan kala itu adalah hari dimana dia membenci 20 Desember.
Sekarang, rasanya masih sendu setiap kali mengingat hal itu di tempat ini.
"Kau, masih kesini?"
Jantung [Name] mendadak seperti hendak berhenti detik itu juga. Tubuhnya meremang, gadis itu berbalik memandang siapa yang tengah mengajaknya bicara.
Sang surai perak akhirnya kembali menampakkan dirinya.
— 🦋 —
Tak ada suara selain suara [Name] yang tengah mengaduk kopinya gusar. Pandangannya berfokus pada parasnya yang tercetak samar dalam bayangan kopinya. Mungkin sudah ada sekitar 15 menit lamanya, karna sekarang uap kopinya sudah tak lagi mengepul.
Tapi, alih-alih segera meminumnya. Nampaknya, kedua insan itu sudah kehilangan hasrat menikmati seduhan kopi favorit mereka di masa lampau itu.
Sejak tadi, [Name] berniat buka suara namun selalu urung. Alasannya, [Name] merasa jika saat ini pria di depannya lah yang menjelaskan semuanya.
Tak
Setelah sekian lama, akhirnya pria itu menyesap sedikit kopinya dan meletakkan cangkirnya. Ia berdehem lalu menghela nafas berat.
Wow, apa seberat itu penjelasan yang akan dia lisankan padanya?
"Apa kabar?"
Oh bagus. Sekarang [Name] benar-benar ingin memukul pria di hadapannya ini. Setelah sekian lama saling bungkam, sekarang dia malah menanyakan kabarnya. Apa yang kau harapkan?
"Baik, kau?"
[Name] lebih bodoh karna malah menjawab pertanyaan tersebut dan melontarkan pertanyaan yang sama. Pria di hadapannya hanya mengangguk-angguk.
"Banyak yang ingin kujelaskan," dia kembali menyesap kopinya, "terlalu banyak. Hingga aku bingung harus mulai darimana."
[Name] memutar bola matanya malas. Dia benar-benar muak dengan ucapan pria yang dulu pernah menyandang gelar sebagai kekasihnya itu.
"Setelah 5 tahun menghilang, kau masih saja seperti ini, Kaneki." cibir [Name] akhirnya, Kaneki hanya menatapnya datar.
Sejujurnya, walau [Name] bilang sudah terbiasa tanpa Kaneki. Namun, dia juga tidak bisa bohong jika kadangkala dia masih merindukan hari-hari yang dia lewati dengannya.
"5 tahun lalu adalah neraka, bagimu maupun bagiku." ucap Kaneki setelah bungkam selama beberapa saat. [Name] diam, tidak menyahut maupun bertanya.
"I am sorry. I can't loving you correctly with how mess i was."
Tangan Kaneki bergerak menggenggam tangan [Name]. Manik coralnya menatap lekat netra (e/c) gadis itu, tersirat begitu banyak kehilangan serta penyesalan.
"So, did you think leaving me was the best option?"
"No, but yes. If i stay with my mess self, it's only hurt you— no, us. Even it's hurt, i need to let go and fix myself."
Kaneki menghela nafas. Rasanya hatinya selalu sakit setiap kali melihat [Name]. Mereka mencintai satu sama lain, tidak ada yang salah maupun benar diantara mereka. Tapi, kenapa mereka saling menyakiti?
"Aku tidak akan memintamu memaafkanku. Tindakanku memang egois, tapi aku tidak bisa membiarkanmu terluka karna lukaku. Karna aku tahu kau bisa bertemu yang lebih baik daripada aku."
"Kita tidak akan pernah menemukan yang terbaik, Kaneki. Semakin kau mencarinya, maka semakin banyak kekurangan yang ingin kau tutupi."
"Tapi, aku tidak bisa mencintaimu dengan baik jikalau aku masih belum bisa mencintai diriku sendiri dan kau—"
"I understand. I know how much you love me and i forgive you for being messed internally. You wanted to love me correctly, but you don't know how."
Detik itu juga, Kaneki menangis memeluk tubuh mungil [Name]. Dia tidak menyangka [Name] masih memaafkannya setelah semua yang terjadi.
"Setiap hari semenjak kau pergi, aku selalu berpikir. Seandainya, aku bisa meninggalkanmu lebih dulu sehingga rasanya tidak sesakit ini. Tapi, rasanya bukan itu yang kumau. I just need you to explain everything."
Saat ini mereka menjadi sorotan publik di kafe. Tapi, mereka tidak peduli. Karna saat ini, mereka berfokus pada diri mereka yang akhirnya memaafkan baik diri mereka maupun satu sama lain.
[Name] menangkupkan tangannya pada kedua pipi Kaneki dan menyeka air matanya sambil tersenyum.
"Can we just forget how much we love each other back then?"
Kaneki membulatkan matanya, tidak mengerti. Sedangkan, [Name] tertawa kecil.
"And start all over. Can we?"
— The End —
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top