Jilid Pertama
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Jangan terlalu menuntut sebuah kesempurnaan, terlebih dari seorang perempuan yang sayapnya sudah patah terpincang-pincang."
Dibesarkan di sebuah pondok pesantren, salah satu pesantren terbesar di kawasan Tasikmalaya, Jawa Barat. Didapuk sebagai tenaga pengajar, digembleng untuk menjadi suri tauladan. Cukup menjadi beban memang.
Akan tetapi karena menikmati perannya, dia tumbuh layaknya wanita shalihah yang pandai dalam menjaga diri, serta tidak mudah didekati lelaki. Waktunya dihabiskan hanya untuk belajar dan mencintai Al-quran.
Perihal cinta seorang ikhwan, dia seolah abai dan tak begitu memedulikan.
Harastha Razqya, itulah nama sang gadis bercadar yang saat ini menginjak usia 23 tahunan, Astha adalah sapaan akrabnya.
"Ada apa Umi?" tanyanya saat setelah mengucap salam, dan baru saja memasuki rumah selepas mengajar.
"Duduk samping Umi sini," sahut wanita paruh baya tersebut, seraya menepuk lembut sisi kosong kursi yang dia tempati.
Harastha pun menurut tanpa kata.
"Umi ingin menyampaikan sesuatu sama Astha boleh?"
Untuk kedua kalinya dia mengangguk patuh.
"Umi dan Abah hendak menjodohkan Astha dengan putra dari kerabat kami. Apa Astha bersedia?" katanya begitu to the point.
Kepala yang semula tertunduk, terangkat seketika. Dia menatap lekat ke arah sang lawan bicara. "Bisa kasih Astha alasan logis kenapa harus menerima ikhwan pilihan Umi dan Abah?"
Hamidah tersenyum tipis, dia belai wajah Harastha yang tertutup niqab. "Kalau memang Astha keberatan, nggak papa. Umi sama Abah nggak akan memaksa, terkait alasan yang Astha minta, maaf Umi nggak bisa kasih tahu jawabannya."
"Kenapa?"
"Dari reaksi spontan yang Astha tunjukkan, Umi bisa menyimpulkan kalau Astha menolak perjodohan ini, kan? Ya sudah, untuk apa juga Umi kasih tahu jawabannya, sedangkan Umi sudah tahu kalau Astha enggan untuk menerima pria pilihan Umi dan Abah."
Harastha menggeleng pelan. "Astha bukan menolak, Astha hanya ingin tahu alasan di balik perjodohan yang hendak Umi dan Abah lakukan. Apa itu salah?"
"Mengelola pesantren seorang diri bukan sesuatu yang mudah, bukan? Astha butuh pendamping sekaligus pemimpin yang tidak hanya mampu memimpin Astha, tapi juga mampu memimpin pesantren ini agar tetap bisa berdiri. Maka dari itu Umi dan Abah pilihkan sosok imam yang insyaallah kami yakini bisa menjalani peran tersebut. Itu pun kalau Astha bersedia, kalau memang keberatan Umi dan Abah nggak akan memaksa," terangnya sehati-hati mungkin.
"Kalau boleh tahu, siapa ikhwan yang Umi dan Abah maksud?"
"Seorang putra pemilik pesantren di kawasan Jawa Tengah, tepatnya Klaten."
"Namanya?"
Hamidah menangkup gemas wajah Harastha lantas berujar, "Penasaran rupanya, jadi gimana? Mau atau nggak?"
"Ihhh, Umi jawab dulu atuh pertanyaan Astha," rengeknya.
"Umi jawab, kalau Astha sudah kasih Umi jawaban. Supaya adil kita."
"Umi ini nawarin perjodohan sudah kayak nawarin cilok. Harus banget dijawab sekarang?"
Hamidah tertawa kecil. "Nggak harus sekarang, dipikirkan dulu aja sama Astha, minta petunjuk juga sama Allah gimana baiknya. Nanti kalau jawabannya sudah ada, kasih tahu Umi sama Abah."
Harastha pun mengangguk pelan. "Kasih Astha waktu ya, Umi."
"Boleh, apa sih yang nggak buat Harastha Razqya kesayangannya Umi sama Abah," sahut Hamidah seraya menggenggam tangan Harastha.
Tanpa pikir panjang Harastha langsung memeluk Hamidah begitu erat, dia melesak nyaman dalam rengkuhan sosok yang sudah sangat berjasa dalam hidupnya.
Hamidah mengecup lembut kening Harastha, tak lupa juga menangkup wajahnya. "Ada yang ingin Umi sampaikan lagi sama Astha. Boleh minta waktunya lagi?"
Harastha tertawa kecil. "Umi ini pake segala minta izin, ya boleh atuh. Umi mau minta seluruh waktu yang Astha punya pun silakan kalau memang Umi mau. Ada apa, Umi?"
"Astha selalu tanya, kan sama Umi kenapa harus selalu menjaga aurat di depan Abah?"
Harastha mengangguk tanpa ragu.
Hamidah membawa kedua tangan Harastha dalam genggaman, dia pandang lekat bola mata bulat Harastha yang sama persis seperti mendiang cucunya. "Sebagaimana yang Astha tahu kalau Umi sama Abah ini bukan orang tua kandung Astha, melainkan kami ini hanya sebatas nenek dan kakek yang diamanahkan untuk merawat Astha dari semenjak bayi hingga sekarang."
"Lalu?"
"Umi rasa sekarang sudah saatnya untuk Astha tahu perihal orang tua kandung Astha. Umi dan Abah bukan nenek dan kakek yang memiliki hubungan darah dengan Astha, tapi kami sudah menganggap Astha layaknya anak sekaligus cucu kandung kami sendiri. Astha paham sampai sini?"
Harastha hanya diam mematung dengan pandangan yang sulit dibaca. "Jadi ini alasan kenapa Umi selalu melarang Astha untuk membuka aurat di depan Abah. Menjaga untuk nggak terlalu banyak interaksi yang berpotensi pada sentuhan, karena memang Astha dan Abah bukan mahram. Lantas kenapa bisa Astha dibesarkan oleh Umi dan Abah? Di mana orang tua kandung Astha? Apa Astha ini anak yang tidak diinginkan, anak hasil zina sebagaimana yang orang-orang bicarakan. Jawab Astha, Umi!"
Hamidah menggeleng cepat. "Astha jangan pernah berpikiran seperti itu."
"Lantas di mana keberadaan orang tua kandung Astha, Umi?" tuntutnya dengan suara sedikit bergetar.
"Untuk sekarang, Umi dan Abah masih mencari tahu keberadaan orang tua kandung Astha, karena semenjak kejadian di mana kami membawa Astha untuk tinggal menetap di pondok pesantren, kami hilang kontak dan nggak lagi saling bertukar kabar."
Harastha memalingkan wajahnya yang sudah memanas, dia tak ingin menjatuhkan air mata di depan Hamidah. Mati-matian dia berusaha untuk menahan tangis agar tidak pecah.
"Kurang lebih 23 tahun lalu, Astha diserahkan pada Umi dan Abah untuk kami rawat dan besarkan. Tidak ada kesepakatan tertulis hanya sebatas lisan, dan Umi pun berjanji pada orang tua Astha akan menjadikan Astha wanita shalihah, sebagaimana yang terlihat sekarang. Alhamdulillah, Umi dan Abah berhasil mewujudkan janji tersebut, dan sekarang Umi pun berkewajiban untuk memenuhi janji Umi pada orang tua Astha, yakni memberitahukan ihwal asal-usul Astha yang memang harus Astha ketahui."
"Kenapa Umi baru memberi tahu Astha sekarang?"
"Karena menurut Umi ini adalah waktu yang paling tepat, di saat usia Astha sudah cukup matang dan bisa menyikapi hal ini dengan bijak."
Harastha menarik napas berulang kali, berharap rasa sesak di dada segera lenyap pergi. Namun, nyatanya justru kian menghimpit, seakan ada bongkahan batu besar yang enggan untuk disingkirkan.
"Salahkan Umi dan Abah, jangan salahkan orang tua kandung Astha. Benci Umi dan Abah, jangan orang tua kandung Astha. Mereka nggak benar-benar menyerahkan Astha secara sukarela, mereka pun sangat menyayangi dan menginginkan Astha berada dalam pengasuhan mereka. Tapi, kondisi dan situasi pada saat itu nggak memungkinkan, ada hal yang memang harus mereka pertanggungjawabkan."
"Tanggung jawab seperti apa yang sampai harus menumbalkan anak kandung sendiri, Umi?!"
"Nggak seperti itu, As---"
"Maaf Umi, Astha butuh waktu untuk sendiri, assalamualaikum," potongnya hendak berdiri.
Hamidah menggeleng dan menahan tangan Harastha. "Kasih Umi waktu lebih banyak untuk menjelaskan semuanya sama Astha. Bisa?"
Harastha yang pada dasarnya tak pernah membangkang, selalu merendahkan suara kala berbicara dengan yang lebih tua, menjunjung tinggi akhlak dan kesopanan, berusaha untuk tetap mewaraskan pikiran dan tak terlalu bergelut dengan kemelut hati yang saling berkecamuk. Akhirnya luluh dan kembali duduk pasrah di hadapan Hamidah.
"Astha butuh penjelasan yang lugas dan tegas, Umi."
Hamidah mengangguk cepat. "Umi akan jelaskan sesuai dengan apa yang Astha inginkan."
Harastha tak menjawab, dia hanya bisa termenung linglung.
"Umi dan Abah memiliki hubungan keluarga dengan ayah kandung Astha, karena adanya sebuah pernikahan di antara putra kami dengan putri dari keluarga ayah kandung Astha," Hamidah menjeda sejenak kalimatnya.
Ada rasa sakit tak kasatmata yang sampai saat ini belum mampu untuk dienyahkan kala mengingat akan pahitnya masa lalu.
"Alm. Bang Haikal maksud Umi?"
Hamidah mengangguk tanpa ragu. "Haikal menikah dengan Hanin yang merupakan adik dari ayah kandung Astha. Pernikahan mereka dikaruniai seorang putri kecil bernama Haleeza, tapi di saat usia Haleeza baru enam bulan Haikal dan Hanin mengalami kecelakaan yang mengakibatkan mereka wafat di tempat."
"Singkatnya hak asuh Haleeza jatuh di tangan keluarga mendiang Hanin. Namun, saat usia Haleeza akan menginjak tujuh tahun, dia meninggal secara mengenaskan di sebuah kolam renang karena kelalaian istri dari kakaknya Hanin, yang tidak lain merupakan ibu kandung Astha."
Harastha menutup mulutnya tak percaya. Dadanya naik turun dengan jantung yang berdetak dengan begitu cepat.
"Pada saat itu Umi dan Abah sudah siap untuk menjebloskan kakak ipar Hanin ke dalam penjara, tapi besan kami menawarkan sebuah kesepakatan yang melibatkan Astha yang saat itu masih berada dalam kandungan. Kami terlibat transaksi tak tertulis, di mana saat Astha lahir mereka harus menyerahkan Astha sebagai bentuk tanggung jawab sekaligus ganti Haleeza yang nyawanya sudah hilang tak tertolong."
"Kami saling bersepakat tanpa andil ibu kandung Astha, bahkan ayah kandung Astha pun menentang keras kesepakatan tersebut. Dia lebih memilih untuk dipenjara, daripada harus menyerahkan darah dagingnya pada Umi dan Abah. Namun, Umi dan Abah menolak dan lebih memilih untuk melanjutkan kesepakatan pertama."
"Apa yang mendasari Umi dan Abah lebih memilih Astha dibanding memenjarakan orang tua Astha?"
"Jika kami memenjarakan orang tua Astha, kami tidak akan dapat apa-apa, selain rasa sakit hati yang mungkin sedikit bisa terobati. Kami butuh penerus untuk mengelola pondok pesantren, dan Astha bisa kami persiapkan untuk mengemban amanah tersebut. Kemudian Umi terlibat kesepakatan dengan ibu kandung Astha, di mana Umi berjanji akan menjadikan Astha wanita shalihah yang dirindukan surga. Tumbuh di lingkungan pesantren bisa lebih menjamin untuk mencapai tujuan tersebut, dan pada akhirnya kami pun saling bersepakat."
Dielusnya puncak kepala Harastha lembut. "Astha, maafkan Umi dan Abah yang sangat egois di masa lalu hingga begitu tega memisahkan anak dengan orang tua kandungnya. Sekarang, Astha sudah tumbuh dewasa sebagaimana janji Umi, kalau memang Astha ingin berkumpul bersama dengan keluarga Astha silakan."
"Akan tetapi, tolong penuhi terlebih dahulu permintaan Umi dan Abah untuk menerima perjodohan," tukas Hamidah berhasil membuat tubuh Harastha membatu dengan pandangan kosong.
Padalarang, 15 Mei 2024
Siap untuk bertemu dengan DNA Wiratama yang lain? Boleh drop komen kesan pesan setelah membaca Jilid Pertama ini donk, hehe 🤭😅
Lanjut Jilid Kedua nggak nih? Digasskeun nggak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top