Jilid Ketujuh
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Perempuan yang paham akan kehormatan diri, dia kerap kali merasa tidak nyaman kala dipandang oleh laki-laki."
Selasar Sunaryo Art Space, siapa yang tidak mengetahuinya? Sebuah galeri seni yang terletak di bagian utara kota Bandung yang dibangun oleh Sunaryo, seniman kontemporer Indonesia.
Sebuah ruang dan organisasi nirlaba yang banyak dikunjungi wisatawan, terkhusus muda-mudi pecinta seni. Pameran kontemporer dan seni rupa, serta pertunjukan musik dan tari, di ruang berlanskap menjadi sajian paling apik.
"Sya cukup sering ke sini, biasanya sendiri sekarang ada Teteh yang menemani," ujarnya seraya tersenyum lebar.
"Cukup sering Sya bilang? Memangnya se-spesial apa tempat ini untuk, Sya?" sahut Harastha antusias.
Naqeesya tak langsung menjawab, dia terdiam beberapa saat dengan pandangan lurus ke depan melihat karya seni yang berjajar rapi di depannya.
"Sya menyukai tempat-tempat seperti ini, tempat yang menyimpan banyak kenangan. Gajah saja kalau mati meninggalkan belalai, lantas apa kabar dengan kita manusia? Masa iya nggak meninggalkan jejak apa-apa. Selasar Sunaryo Art Space, mengajarkan Sya bahwa sekalipun raga sudah tiada, tapi karya-karya yang pernah diciptakan semasa hidup akan tetap abadi hingga bisa dinikmati oleh banyak pasang mata."
"Selayaknya Rumah Sang Pemimpi milik Bunda, sebuah galeri yang memuat berbagai hal yang berhubungan dengan seni dan fotografi, bahkan buku-buku karyanya pun terpajang apik menghiasai. Bunda punya jejak yang ditinggalkan, yang sekiranya bisa dinikmati oleh orang-orang. Walaupun Rumah Sang Pemimpi tidak seterkenal Selasar Sunaryo Art Space ya, Teh," ungkapnya diakhiri kekehan ringan.
"Teteh boleh tanya sesuatu sama Sya?" tanyanya sedikit ragu.
"Boleh atuh, Teh, sok aja silakan."
"Rumah Sang Pemimpi dibangun mandiri oleh Tante Zanitha?"
Naqeesya menggeleng tegas. "Bukan, setahu Sya Rumah Sang Pemimpi dibangun oleh Papa Hamzah. Kenapa bisa sekarang dikelola oleh Bunda? Ya, karena dulu Papa Hamzah sempat studi di Jerman, dihibahkanlah tempat itu ke Bunda, eh keterusan sampai sekarang."
Kening Harastha mengernyit heran. "Beliau itu siapanya, Sya? Kok dipanggil Papa?"
Naqeesya tertawa kecil. "Kerabat baiknya Bunda sama Ayah, tapi emang udah Sya anggap seperti orang tua sendiri."
"Nanti deh Sya kenalin, sekalian meet up sama Kang Hazman ya," imbuhnya dengan alis yang dinaik-turunkan.
"Itu siapa lagi, Sya?"
Naqeesya merasa gemas sendiri dengan respons Harastha. "Ikhwan paling shalih yang pernah Saya kenal."
Harastha menjawil hidung Naqeesya. "Ish, kamu ini ya, Sya malah bercanda."
"Sya serius lho, Teh."
Harastha hanya geleng-geleng dibuatnya.
"Fotoin Sya dong, Teh, yang aesthetic ya," pintanya kemudian.
Perempuan bercadar itu pun mengangguk, dia mulai mengarahkan lensa kamera pada Naqeesya yang sudah berpose tak jauh di depannya. Kamera yang sedari tadi apik melingkari leher, akhirnya bekerja sesuai fungsi juga.
"Boleh Saya lihat?" tanyanya terlihat sangat antusias.
"Ya boleh atuh, nih."
Mata Naqeesya berbinar seketika, sangat terlihat dengan jelas dia begitu puas dengan hasil bidikan Harastha.
"Teteh bohongin Sya ya? Katanya otodidak dan hanya tahu dasar-dasar soal kamera karena pernah gabung di ekstrakurikuler jurnalistik aja. Ini buktinya apa coba? Hasil foto sekece dan sekeren ini mah hitungannya udah profesional atuh."
"Kamu terlalu berlebihan, Sya, itu mungkin karena kameranya aja yang bagus. Teteh nggak bohong, emang bener-bener otodidak, Teteh mah nggak ada basic ataupun bakat di dunia fotografi."
"Bohong banget ah, ini mah bakat turunan. Umi sama Abah, Teh Astha dulunya fotografer profesional kali?"
Harastha terkekeh dibuatnya. "Mana ada kayak gitu. Bukan, Sya, kamu ini ada-ada aja ah."
"Nggak ngaku ih, ya udah atuh giliran Teteh yang Sya fotoin," ungkapnya seraya mendorong Harastha agar lebih mendekat ke arah jajaran karya seni untuk berpose.
Harastha hanya mematung membelakangi kamera, dia yang pada dasarnya tidak terbiasa dengan hal-hal semacam ini, dibuat mati kutu seketika.
"Pantes dari kejauhan berasa kenal sama kamera yang dipegang, ternyata Sya. Sama siapa, hm?"
Naqeesya yang sedang asik mengambil beberapa gambar Harastha dibuat sedikit terperanjat kala mendengar suara seseorang. Dia pun menoleh, dan tersenyum lebar saat mengetahui orang yang kini sudah berdiri di sampingnya.
"Sya kirain siapa ih, tahunya Papa," katanya sumringah.
"Naqeesya ke sini sama siapa? Jangan dibiasakan safar sendirian ah, nggak baik atuh. Sya, kan perempuan," tegur Hamzah lembut.
"So tahu ih, Sya sama temen atuh, Pa. Papa kali yang sendirian."
"Papa sama Azam, tapi tuh anak nggak tahu hilang ke mana."
Naqeesya mendengus pelan. "Paling juga lagi nonton pertunjukan musik, kebiasaan tuh Bocil kalau ke sini, kan cuma itu."
"Papa sudah cari ke sana, nggak ada, Sya."
"Ya udah nggak usah dicariin, nanti juga pulang sendiri!"
Hamzah terkekeh kecil. "Sya kapan main ke rumah? Buna kangen berat katanya, si bontot udah jarang main sekarang."
"Sya lagi agak sibuk untuk persiapan PPL, Pa. Sebenarnya Sya juga kangen sama Buna, mau ketemu dan manja-manja, tapi ya belum ketemu waktunya. Insyaallah sebelum Sya berangkat PPL, Sya main ke rumah Papa ya."
Hamzah pun mengangguk kecil. "Maaf ya, kalau permintaan Buna membebani, Sya."
Naqeesya menggeleng kecil. "Kok Papa ngomong gitu, nggak sama sekali ih. Pulang dari sini, Sya langsung gaspol nemuin Buna."
"Sya maaf ganggu, Teteh mau ke sana sebentar ya?" tutur Harastha setelah cukup lama menyimak interaksi di antara keduanya.
Naqeesya menahan cepat tangan Harastha, agar tetap berada di sisinya. "Teteh mau ke mana? Sini, Sya kenalin dulu sama Papa Hamzah."
Harasta menunduk seketika, tapi tangannya dia tangkupkan di depan dada.
"Ini Teh Astha, Pa," sambungnya riang.
Hamzah melakukan hal yang sama sebagaimana Harastha. "Salam kenal, Astha."
Perlahan Harastha mendongak, pandangan keduanya terkunci beberapa saat. Hamzah menelisik cukup dalam ke arah bola mata wanita bercadar tersebut, dia seolah ingin berlama-lama menatapnya.
"Astaghfirullah," bisiknya pelan lantas mengarahkan pandangan ke sudut lain.
Harastha pun melakukan hal serupa, dia merasa resah seketika, bahkan keringat dingin serasa membanjiri kedua telapak tangannya. Dia berusaha tetap tenang, dan beristighfar sebanyak mungkin.
"Papa kenapa?" seloroh Naqeesya heran.
"Baik, Papa baik, Sya."
Kini fokus Naqeesya pun beralih pada Harastha. "Teteh kok kayak takut sih sama Papa? Sampai keringat dingin gini tangannya. Papa baik, nggak akan gigit."
Di balik cadarnya, Harastha menggigit bibir bagian bawah pelan. Lidahnya mendadak kelu, alhasil dia hanya bisa menggeleng pelan.
"Maaf atas kelancangan saya dalam memandang, mata Anda mengingatkan saya pada seseorang," ujar Hamzah merasa bersalah.
Naqeesya mengelus lembut punggung Harastha lalu berujar, "Maafin Papa ya, Teh? Mata Teh Astha memang mirip banget sama putrinya yang sudah meninggal."
Harastha mendongak seketika, matanya membulat sempurna. Dia sangat terkejut dengan penuturan Naqeesya.
"Boleh saya tahu nama lengkap Anda?"
Padalarang, 09 Juni 2024
Akhirnya Harastha ketemu Hamzah juga 🤭 ... Kepo nggak sama kelanjutannya? Kuyy diramaikan dulu atuh lapaknya.
Gaskennn?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top