Jilid Ketigapuluh Satu

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Rencana dan kuasa Allah terlalu sulit untuk dicerna akal manusia yang penuh akan keterbatasan."

Hamizan hendak berdiri saat melihat Dipta duduk tepat di depannya, bahkan dengan sekali lirik pun dia tahu jika perempuan yang kini ada di sampingnya bukanlah Harastha, melainkan Naqeesya.

Hamna meminta sang putra untuk tetap berada di posisinya. Sedangkan dia dan Zanitha berdiri saling menggenggam kuat. Dia tahu, keputusan sepihaknya akan melukai sang putra, tapi dia tidak bisa berbuat banyak di tengah kondisi terjepit seperti sekarang.

Membiarkan Harastha masuk ke dalam keluarganya adalah bencana, dia tidak ingin keutuhan rumah tangganya rusak begitu saja. Walaupun dia harus melibatkan Naqeesya karena memang hanya gadis itu yang dia yakini bisa membantunya.

Hamizan tidak menyambut uluran tangan Dipta, dia justru menatap penuh tanya pada sang ibu. Sedangkan Naqeesya hanya mampu menunduk sedalam mungkin, bukan pernikahan seperti ini yang dia impikan.

Terlebih, menikah dengan seorang Hamizan Rasyid Wiratama merupakan mimpi paling buruk.

Dipta menarik tangan Hamizan, lalu dia pun mengucapkan ijab dengan nada cukup bergetar, "Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Ananda Hamizan Rasyid Wiratama bin Hamzah Wiratama dengan putri kandung saya Naqeesya Dilara Hirawan dengan maskawinnya berupa uang sebesar Rp. 2.000.000,00 dibayar tunai."

Hamizan memilih untuk diam, dia tidak akan mengeluarkan sepatah kata pun. Pernikahan macam apa yang dilangsungkan atas dasar keterpaksaan, bahkan jika Harastha yang berada di sampingnya pun dia tidak akan melanjutkan ijab kabul.

Pernikahan harus dilaksanakan karena memang sama-sama mau dan sama-sama rida. Ibadah paling sakral, yang tidak patut untuk dipermainkan. Dia tidak takut jika memang harus dihukum cambuk, daripada harus menikahi perempuan yang jelas-jelas tidak menginginkannya.

"Bang ..., Sya ma-u pu-lang ..., Sya nggak kuat menerima tatapan rendah dari orang-orang. Sya mohon percepat akadnya, setelah itu Abang bisa talak Sya sesampainya di rumah," bisik Naqeesya dengan mata yang sudah berair.

Hamizan menoleh ke arah Naqeesya penuh rasa iba. Perempuan yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri, harus ikut terlibat dalam masalahnya.

Di bawah meja, tangan kirinya mengepal kuat, bahkan berulang kali dia pun menarik napas panjang. Sungguh, tidak pernah terbayangkan sedikitpun akan berada di posisi seperti saat ini.

Dipta mengulang kembali kalimat ijabnya, dengan perasaan campur aduk. Melihat mata merah sang putri, yang menyiratkan keengganan membuat dia tak kuasa untuk menahan sakit.

Jika dirinya bisa bersikap egois, detik ini juga dia akan membawa serta putrinya. Namun, dia masih memiliki hati nurani pada keluarga Hamzah yang tengah dihimpit masalah.

Perkataan Hamzah yang membuat dia bisa duduk sebagai wali. "Saya tahu berat untuk kamu menikahkan Naqeesya dengan Hamizan, terlebih dalam situasi yang bisa dibilang memalukan. Tapi, saya tidak bisa membiarkan Hamizan menikahi Harastha, yang saya yakini merupakan darah daging saya sendiri. Mereka saudara kembar, Dip, walau saya belum cukup bukti untuk mengungkapkan ini pada Hamna serta Hamizan."

Hamizan tak kuasa untuk menjawab kabul, dia mengabaikan cengkraman kuat yang diberikan Dipta. Seolah, mengisyaratkan untuk segera menuntaskan semuanya sekarang juga. Namun, bibir lelaki itu sangat amat kelu.

Untuk ketiga kalinya Dipta kembali mengucapkan kalimat yang sama, "Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau, Ananda Hamizan Rasyid Wiratama bin Hamzah Wiratama dengan putri kandung saya Naqeesya Dilara Hirawan dengan maskawinnya berupa uang sebesar Rp. 2.000.000,00 dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Naqeesya Dilara Hirawan binti Naradipta Hirawan dengan maskawin tersebut, tunai," jawab Hamizan diakhiri embusan napas kasar, bahkan tangannya terjatuh di atas meja begitu saja.

"Sah?"

"Sah!"

Setelahnya ditutup oleh doa. Tidak ada rasa haru ataupun bahagia, yang ada hanya tangis pilu yang terdengar cukup menyayat hati dari bibir mungil Naqeesya.

Dengan ragu dan tangan bergetar Hamizan menyeka air mata Naqeesya. "Maaf ..., Sya ..., maaf Abang harus melibatkan kamu terlalu jauh ...," bisiknya teramat pelan.

Naqeesya tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun, dia hanya diam dan menatap Hamizan cukup lama.

Setelah selesai, mereka pun akhirnya diperkenankan pulang. Hamzah, Hamna, dan Hamizan berada dalam satu mobil yang sama. Sedangkan Naqeesya bersama dengan Dipta dan juga Zanitha, mengintil di belakang mobil yang dikendarai Hamzah.

Keheningan tercipta, hanya suara deru mobil yang mewarnai perjalanan mereka. Ketiganya asik berkawan geming, dengan beragam pikiran yang tumpang tindih.

Sesampainya di rumah, Hamzah mencekal tangan Hamna yang hendak memasuki kamar. "Saya perlu bicara dengan kamu, Na."

"Saya capek!"

"Dengarkan penjelasan saya dulu, setelah itu terserah kamu mau percaya atau nggak," tutur Hamzah memohon.

Diamnya Hamna, membuat Hamzah kembali berujar, "Terkait perselingkuhan yang dituduhkan Hamizan, dengan tegas saya jawab kalau itu hanya kesalahpahaman. Saya tidak pernah main perempuan di belakang kamu, terlebih dengan Harastha."

"Lantas apa kabar dengan fakta-fakta yang diungkapkan Hamizan?!"

"Untuk pertemuan di antara saya dan Harastha beberapa bulan lalu memang benar, tapi itu murni hanya membahas ihwal kerjasama. Kamu bisa tanya langsung Zanitha, saya menghubungi Harastha melalui Zanitha, karena memang Harastha kerja pada Zanitha sebagai freelance fotografer di Rumah Sang Pemimpi."

Hamna melirik ke arah Zanitha, meminta penjelasan lebih.

"Sebetulnya ini bukan kapasitas saya untuk menjelaskan, karena saya tidak ingin terlibat terlalu jauh dalam rumah tangga kalian. Tapi, apa yang dibilang A Hamzah memang benar adanya, Na," terang Zanitha.

"Gadis sebaik Harastha tidak masuk akal rasanya kalau mau dijadikan sebagai selingkuhan. Setahu saya dia merupakan santri dari sebuah pondok pesantren yang cukup ternama, tidak mungkin seseorang yang dibekali dengan ilmu agama bisa melakukan hal tercela yang jelas-jelas dilarang agama," imbuhnya lagi.

Zanitha mengelus lengan bagian atas Hamna. "Kamu lebih mengenal A Hamzah bukan, Na? Dia suami kamu, sosok yang sudah berjuang keras untuk mendapatkan hati kamu. Dia tidak mungkin bertindak gegabah dengan konsekuensi besar, akan kehilangan kamu dan juga anak-anaknya."

Hamna terdiam, dia menatap Zanitha dengan sorot yang sulit untuk diartikan.

Kini Zanitha beralih pada Hamizan yang masih menatap penuh permusuhan pada Hamzah. "Abang tahu Haleeza? Putrinya mendiang Tante Hanin dan juga Om Haikal."

Hamizan mengangguk pelan.

"Mata Harastha sama persis seperti Haleeza, dan bukan hanya Papa yang menatap Harastha dengan tatapan dalam. Bunda pun melakukan hal yang sama saat pertama kali bertemu dengan Harastha. Apa yang Papa lakukan memang keliru, tidak seharusnya beliau menatap perempuan yang bukan mahramnya sampai seperti itu. Tapi, Bunda bisa maklum, bisa saja itu merupakan spontanitas yang nggak bisa dikendalikan karena besarnya rasa rindu pada Haleeza, kan?" ungkap Zanitha sehati-hati mungkin.

"Sya bisa dijadikan sebagai saksi kalau apa yang Bunda bilang memang benar. Beberapa bulan lalu Sya dan Teh Astha ke Selasar Sunaryo Art Space, dan di sana kami nggak sengaja ketemu Papa dan juga Hazami. Nggak ada interaksi berlebih, selain cara menatap Papa yang memang sedikit berbeda saat untuk pertama kalinya bertemu Teh Astha. Bahkan Sya masih ingat kalau Papa pun mengungkapkan kata maaf karena sudah lancang memandang Teh Astha," timpal Naqeesya ikut menguatkan penjelasan sang ibu.

"Terkait tasbih berinisial HR yang kamu permasalahkan, Papa berani bersumpah kalau memang Papa menemukan benda itu secara tidak sengaja di dekat nisan Haleeza saat ziarah. Sekarang Papa tanya sama kamu, dari mana kamu tahu kalau tasbih itu milik Harastha?" Hamzah ikut buka suara.

"Dari mulut Harastha langsung, dia merampas tasbih itu dari tangan Hamizan saat kami tak sengaja berpapasan di teras masjid."

"Kapan?"

"Dua hari lalu."

"Kenapa kamu nggak bilang sama Papa, Hamizan?"

"Untuk apa? Sepenting itukah Harastha bagi Papa, hah?!"

Hamzah menjambak kasar rambutnya. "Sya tahu tempat tinggal Harastha?"

Naqeesya menggeleng pelan. "Dulu sempat tinggal di Rumah Bidadari, tapi sekitar satu bulanan ini Teh Astha pindah. Sya kurang tahu di mana tempat tinggalnya Teh Astha sekarang, Pa."

Hamzah memegang kedua bahu Hamna, dia tatap lekat mata sang istri lantas berkata, "Sekarang saya yakin, Na, sangat amat yakin kalau Harastha merupakan putri kandung kita yang dirawat Pak Bima dan juga Bu Hamidah. Tasbih berinisial HR yang saya temukan di makan Haleeza, yang diakui langsung oleh Harastha itu miliknya. Mata bulat Harastha yang sama persis dengan putri kita, dia putri yang selama ini kita cari, Na."

Tubuh Hamna merosot tak bertenaga ke lantai. Tungkainya tak bisa menahan bobot tubuh, hingga dia limbung dalam pelukan Hamzah.

Padalarang, 31 Agustus 2024


Tarik napas dulu ah, akhir-akhir ini tegang mulu perasaan, mana babnya panjang-panjang lagi. 🤧😭 ... Pegel banget ni jari, jangan lupa vote dan komennya ya 🤭☺️

Tengah malem ini up ya, yang penting double up done ya ☺️🤗

Gaskennn nggak nih?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top