Jilid Ketigabelas
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Dinilai baik oleh sesama manusia kerap kali jadi tujuan utama, seakan lupa jika baik di mata Sang Pencipta pun tak kalah pentingnya."
Harastha merasa tak habis pikir dengan pemuda yang begitu leluasa tampil di depan kamera. Yang membuat dia geleng-geleng kepala ialah karena Hazami menyewa jasa fotografer hanya untuk menghasilkan foto bagus, agar feed instagramnya terlihat rapi serta menarik.
"Saya lagi membangun branding supaya orang-orang tahu, selain punya skill suara yang oke, penampilan dan paras saya pun bisa dijual. Impian saya bisa dikenal banyak orang, jadi pusat perhatian, terlebih apa yang saya bawa merupakan budaya sunda. Suatu saat nanti saya akan jadi musisi legendaris, seniman di bidang musik yang dielu-elukan banyak orang."
Perempuan bercadar itu hanya manggut-manggut saja, dia tidak begitu tertarik untuk mendengarkan cerita Hazami.
"Ngomong-ngomong lumayan juga hasil fotonya. Cocok nih buat dipasang di feed," ujarnya saat melihat beberapa hasil jepretan Harastha.
"Alhamdulillah kalau kamu suka."
"Soft file-nya kirim ya, yang mentahan sama yang udah diedit juga. Kalau semisal editan Anda failed saya bisa minta bantuan Papa."
"Harus serepot dan seniat ini ya? Padahal pakai kamera handphone pun bisa."
"Emang bisa, tapi tetap aja hasilnya beda. Nggak usah banyak protes deh, selagi dapet bayaran ya nggak usah banyak komplain," selanya.
Benar-benar menguji kesabaran menghadapi pemuda puber nan tengil ini. Jika bukan karena alasan profesionalitas dalam bekerja, sudah sejak tadi dia memilih untuk pergi.
"Kalau gerah tinggal buka aja kali tuh penutup muka. Terik banget ini mataharinya," ujar Hazami saat melihat Harastha tengah menghapus peluh di sekitar kening.
"Melepas niqab hanya karena alasan gerah? Lemah sekali iman saya."
"Cadar, kan sunnah."
"Hukumnya memang sunnah, tapi saat saya memutuskan untuk memakainya saya sudah menganggap bahwa berniqab merupakan sebuah kewajiban."
"Jelek ya mukanya?"
Harastha sama sekali tak tersinggung, dengan santai dia menjawab, "Anggap saja seperti itu."
"Boleh nanya sesuatu nggak sih?"
"Apa?"
"Kok waktu itu bisa kabur bareng dari pesantren?"
Pertanyaan Hazami berhasil mengejutkan Harastha yang tengah meminum air mineral, yang tadi sempat dibelikan oleh pemuda itu.
"Kenapa tiba-tiba tanya soal itu?" sahutnya setelah mampu menguasai diri.
Dengan santai Hazami meluruskan kakinya agar selonjoran, bahkan kedua tangan lelaki itu sengaja di ke belakangkan untuk menopang bobot tubuh. "Disuruh buka cadar nolak dengan alasan imannya yang kelewat kuat. Kok bisa manusia dengan iman yang katanya kuat kabur dari tempat impian orang-orang alim? Aneh, kan ya. Nggak masuk akal!"
"Siapa yang mengatakan bahwa iman saya kuat, hm?"
"Tadi, kan bilang sendiri."
"Saya hanya bilang, 'Melepas niqab hanya karena alasan gerah? Lemah sekali iman saya'. Kata 'lemah' yang saya pakai bukan berarti merujuk pada kata 'kuat' ya. Jangan salah mengartikan."
Hazami mendengus. "Repot emang kalau ngobrol sama perempuan, terlalu banyak hal-hal yang harus dipahami."
"Ibu kamu perempuan kalau perlu saya ingatkan."
"Emang, dan untungnya Buna hanya mau merepotkan dan menyusahkan Papa, bukan anak-anaknya."
"Kamu tiga bersaudara, kan ya?"
Hazami mengangguk singkat. "Kenapa? Berniat mau menawarkan diri buat jadi ipar, hm?"
Harastha pun menggeleng dengan cepat. "Saya tidak tertarik!"
Pemuda itu berdecak. "Sekarang sih bilangnya kayak gitu, soalnya belum kenal sama Bang Hamizan dan juga Kang Hazman yang termasuk bibit unggul."
"Masa iya? Saya nggak tertarik tuh!" Alisnya terangkat satu.
"Jadi curiga. Waktu itu nolak ajakan Kak Sya main ke rumah karena takut kepincut sama pesona dua kakak saya, kan? Ngaku aja, nggak usah gengsi."
Harastha membuang kasar napasnya. "Apaan sih, kenapa makin ke sini makin nggak jelas."
Hazami justru menggelegarkan tawa puas. Mendadak senang dia melihat nada jengkel Harastha, terlebih jika melihat alisnya yang tiba-tiba saling bertaut, atau mata yang membulat sempurna.
"Sudah, kan sesi fotonya? Saya mau pamit pulang," tutur Harastha lantas bangkit dari duduknya.
"Temenin main basket bentar, nanti ditambahin bonus sama Bunda Zani."
"Ini sudah sore hari, Hazami!"
"Jarak lapangan basket sama Rumah Bidadari deket ini, cuma butuh waktu 10 menit buat jalan kaki."
"Hanya main basket, kan?"
Tentu saja Hazami pun mengangguk. "Ini hanya ajakan, bukan tantangan."
Dia masih penasaran dengan skill perempuan bercadar yang tadi sudah mengalahkannya. Dari tampilan luar sangat tidak menyakinkan, tapi ternyata boleh juga.
"Saya hanya punya waktu 15 menit, tidak lebih."
"Okeee."
Mereka hanyut dalam permainan, tidak selayaknya beberapa jam lalu yang syarat akan persaingan. Keduanya tanpa sadar saling melempar canda dan tawa, seolah sudah nyaman satu sama lainnya.
"Jongkok dikit atuh, Zam, jangan ngalangin."
Hazami terkekeh kecil lalu merampas bola yang hendak Harastha lempar ke dalam ring.
"Kurang perhitungan itu, makanya nggak masuk," ujar Harastha saat bola Hazami meleset.
Hazami pun menyerahkan bolanya pada perempuan bercadar itu, dan tanpa ragu dia langsung melemparnya hingga bola tersebut masuk ke dalam ring.
Mereka tersenyum puas, bahkan refleks Hazami menunjukkan telapak tangannya untuk mengajak 'tos', tanpa sadar Harastha pun melakukan hal serupa. Namun, belum tertempel kedua telapak tangan mereka, spontan langsung saling menjauhkan diri.
Hazami pun mendadak salah tingkah dan menggaruk tengkuknya beberapa kali. "Maaf, refleks."
Harastha mengangguk maklum. "Mainnya dilanjut nanti ya, Zam. Saya harus segera pulang."
"Mau Azam antar pulang, Teh?"
"Hah? Gimana maksudnya?" sahut Harastha cengo seketika.
"Kayaknya Teh Harastha seumuran Bang Hamizan deh, nggak sopan, kan kalau panggil nama? Nggak papa, kan kalau Azam panggil Teteh?"
Otak Harastha agak sedikit loading, tapi kepalanya mengangguk pelan.
"Mau Azam antar pulang?" ulangnya.
"Nggak usah, makasih."
"Azam tunggu ajakan main basketnya lagi, assalamualaikum," ucapnya lantas berlalu meninggalkan Harastha yang terlihat masih cukup shock.
"Wa ..., wa ..., wa'alaikumusalam ...."
"Efek samping terbentur bola basket senyata itu ya? Bisa bersikap manis dan sopan juga anak itu," monolognya masih tak percaya.
Lamunan Harastha buyar seketika, saat ada seseorang yang mengagetkannya.
"Maaf permisi, apa kamu melihat pemuda yang selalu menenteng speaker mini?"
Harastha tak menjawab, dia justru dibuat terpaku pada sosok pria dengan tubuh menjulang tinggi di depannya.
Refleks Hamizan pun mengibaskan tangannya untuk menyadarkan keterdiaman Harastha. "Saya sedang mencari adik saya, apa tadi ada pemuda yang bermain basket di sini?"
Harastha beristighfar lalu menggeleng beberapa kali. Perasaannya mendadak campur aduk tanpa sebab yang jelas. "Hazami?"
"Kamu mengenal adik saya?"
"Baru saja pulang," beritahu Harastha.
Hamizan menilik penampilan Harastha dari atas hingga bawah. "Kamu pacar baru adik saya?"
Perempuan itu kaget bukan kepalang. "Bukan!"
Padalarang, 25 Juni 2024
Bisa-bisanya Hamizan mikir Harastha pacar baru Hazami 🤣😂 ... Padahal perempuan bercadar itu kembarannya, kan ya? 🤭 ... Kepo nggak gimana kelanjutan kisah mereka? Apa ada yang kurang?
Gaskennn nggak nih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top