Jilid Ketiga

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Menjadi orang tua memang tidak ada sekolahnya, tapi acap kali dituntut untuk senantiasa belajar."

Hamna membelai puncak kepala putra bungsunya. "Kalau memang Azam keberatan untuk tinggal di pesantren, kenapa nggak bilang dari awal? Papa sama Buna nggak akan memaksa kalau memang Azam berterus terang. Nggak harus pakai drama kabur dan merusak fasilitas pesantren, kan bisa."

Hazami memilih untuk diam, menyangkal ataupun membela diri rasanya tidak akan selamat karena kini dia tengah disidang oleh orang tua serta dua kakaknya.

"Sekarang Buna tanya, Azam maunya gimana? Jangan diulang ah kenakalan remaja seperti kemarin. Itu keliru, Dek."

Hazami merengut seketika. "Jangan panggil Azam dengan sebutan 'Dek' atuh, Buna. Azam sudah dewasa, 18 tahun."

"Dewasa? Mana ada orang dengan label dewasa melakukan tindakan yang tidak bermoral. Dikira bagus apa kabur dari pesantren?!" ujar Hamizan telak. Si sulung yang memang terkenal bermulut pedas.

"Bang Hamizan tuh irit ngomong, tapi sekalinya ngomong nyakitin hati. Kurang-kurangin, lha, Bang," sahut Hazami sebal.

"Sudah, Bang, jangan terlalu menyudutkan Azam. Dia masih remaja, sedang dalam fase nakal-nakalnya," ujar Hazman, si anak tengah yang sangat netral.

Merasa ada yang membela, Hazami pun berkata, "Dengerin tuh, Bang apa kata Kang Hazman."

"Kenapa kalian malah ribut. Sudah selesai?" ungkap Hamzah akhirnya angkat suara.

"Bang Hamizan tuh yang mulai duluan!" seru Hazami tak mau disalahkan.

Hamzah menghela napas singkat. "Di sini yang jadi terdakwa Azam, kenapa malah mengkambinghitamkan Bang Hamizan? Sekarang Papa tanya sama Azam, kenapa bisa bertindak gegabah seperti kemarin?"

"Azam nggak betah!" jawabnya begitu singkat.

"Azam tinggal di sana belum genap satu minggu lho, kenapa bisa bilang nggak betah? Tinggal lebih lama dulu, kan bisa," tutur Hamna.

"Nggak bisa, Buna!"

"Rendahkan suara kamu di depan Buna," tegur Hamizan tak suka dengan apa yang dilakukan adiknya.

Hamna tersenyum tipis, dia elus lembut tangan bagian atas Hamizan lalu berkata, "Buna nggak papa, Bang. Mungkin itu hanya bentuk spontanitas Azam, ditegur baik-baik ya adiknya?"

Hamizan hanya mengangguk kecil.

Hazami menunduk seketika. "Maaf, Azam nggak maksud buat bentak Buna."

Hamna manggut-manggut paham. "Sekarang Buna tanya ulang sama Azam, mau Azam apa? Buna nggak mau lho kejadian kemarin terulang sampai berjilid-jilid. Cukup sekali aja, bisa?"

"Tinggal di pesantren terlalu kaku, banyak aturan, dan Azam nggak suka itu."

"Aturan dibuat untuk menata diri agar jadi pribadi yang lebih baik. Kenapa Azam nggak mau?"

"Jadi maksud Buna, Azam ini nggak baik gitu? Buruk. Iya, tahu kok Azam ini emang nggak kayak Bang Hamizan dan juga Kang Hazman yang mem---"

"Kok ngomongnya gitu, Buna nggak suka ah. Belajar agama itu basic, Bang Hamizan sama Kang Hazman pun sama, mereka pernah tinggal di pondok pesantren. Agama itu harus dipelajari, apalagi Azam calon pemimpin yang harus memiliki cukup bekal untuk membimbing anak orang. Buna dan Papa hanya ingin mempersiapkan dan membentuk kalian untuk lebih mendalami islam. Salah ya?" potong Hamna cepat.

"Kalau memang di mata Azam didikan Papa dan Buna keliru, nggak sesuai dengan apa yang Azam mau, maafkan kami yang terkesan menuntut lebih. Papa hanya berusaha untuk adil, Bang Hamizan dan Kang Hazman mondok dari usia mereka 12 tahun hingga lulus MA, lalu kuliah di jurusan yang masing-masing mereka kehendaki."

"Papa nggak pernah memaksa Azam untuk mengikuti jejak Bang Hamizan ataupun Kang Hazman. Azam mau sekolah negeri, nggak mau mondok, Papa dan Buna turuti sampai akhirnya Azam lulus SMA. Azam mau jadi seniman, Papa coba untuk fasilitasi, Papa tawarkan Azam kuliah di jurusan yang Azam senangi. Tapi, Azam nggak mau, kan? Sekarang Papa memasukkan Azam ke pondok pesantren sebagai bentuk tanggung jawab. Papa ingin Azam mendapatkan hak yang sama sebagaimana Bang Hamizan dan juga Kang Hazman, karena itu kewajiban kami untuk bersikap adil seadil-adilnya."

"Papa dan Buna sadar, kami bukan orang tua yang memiliki banyak wawasan, terlebih dalam hal mengajarkan agama pada kalian, masih banyak kurangnya. Maka dari itu kami memfasilitasinya, agar hak kalian tercukupi," ungkap Hamzah panjang lebar.

Dia berusaha untuk menjelaskan sebaik mungkin, karena dia tidak ingin anak-anaknya memiliki pandangan yang salah. Dia banyak belajar dari pengalaman di masa lalu, dan dia tak ingin apa yang dulu terjadi pada dirinya dirasakan pula oleh anak-anaknya.

"Buna juga selalu bertanya kesediaan Azam, Buna selalu menyiapkan berbagai pilihan, sebelum akhirnya Azam sendiri yang menentukan. Bukankah keputusan untuk mondok setelah lulus SMA pun keputusan Azam?"

Hazami mengangguk lemah. "Iya itu emang keputusan Azam, tapi setelah mencoba untuk menjalaninya Azam nggak nyaman berada dalam lingkungan yang sangat ketat dengan aturan. Azam nggak suka mondok, Buna."

"Kalau nggak suka, kan bisa ngomong baik-baik. Nggak harus pakai kabur segala. Kasihan Papa sama Buna atuh, Zam," ungkap Hazman yang sedari tadi menyimak.

"Azam takut nggak dibolehin pulang kalau berterus terang. Pikiran Azam buntu, jadi ngambil jalan pintas tanpa mikir sebab akibatnya," cicit Hazami.

"Kamu itu emang terlalu sembrono, Zam!" komentar Hamizan.

"Iya ..., iya ..., iya ..., Azam, kan emang udah biasa dapet cap buruk. Emang iya kok, beda kelas, lha kalau harus disandingkan sama Bang Hamizan dan Kang Hazman mah. Soal akademik Bang Hamizan pemenangnya, lulusan S2 yang sekarang mengelola bisnis keluarga. Soal agama juga sudah jelas Kang Hazman jawaranya, lulusan terbaik di pondok pesantren yang mengabdikan diri jadi tenaga pengajar sampai dijuluki ustaz muda. Azam mah nggak ada apa-apanya, cuma lulusan SMA yang nggak tahu arah tujuannya mau ke mana. Gitu, kan, Bang?"

Hamna merasa sangat tersentil dengan apa yang dituturkan sang putra bungsu. Dia merasa gagal sebagai orang tua, karena ternyata tidak mampu benar-benar berlaku adil. Walau dia selalu mengusahakan yang terbaik.

"Azam nggak menyalahkan siapa-siapa, karena ini adalah pilihan Azam. Memang pada dasarnya Azam aja yang nggak punya tujuan sebagaimana Bang Hamizan ataupun Kang Hazman yang hidupnya begitu tertata dengan sangat baik. Papa sama Buna membebaskan Azam dalam mengambil keputusan, tapi ternyata keputusan Azam nggak secemerlang Bang Hamizan dan juga Kang Hazman. Azam minta maaf, karena nggak bisa jadi an---"

Rengkuhan yang Hamna berikan berhasil menghentikan rentetan perkataan Hazami. Remaja itu hanya diam dan menegang, terlebih saat mendengar isak tangis Hamna yang berhasil melukai hatinya.

"Azam nggak maksud buat nyakitin Buna. Maafin Azam, Buna," bisik Hazami tepat di samping telinga sang ibu.

"Maaf Buna belum bisa jadi sebaik-baiknya orang tua untuk Azam, karena ternyata selama ini Azam merasa tertekan, merasa rendah diri dengan Bang Hamizan dan juga Kang Hazman. Maafin Buna, Zam," ungkap Hamna sangat merasa bersalah.

"Ini bukan salah Buna ..., Ini adalah pilihan Azam yang ternyata berjalan nggak semulus dan secemerlang Bang Hamizan dan Kang Hazman. Azam yang harusnya minta maaf sama Buna, karena belum bisa jadi anak yang membanggakan, Azam hanya bisa mengecewakan Papa dan juga Buna."

"Kenapa Azam sampai memiliki pemikiran seperti itu. Kalian bertiga adalah putra kebanggaan Papa dan Buna, nggak ada yang lebih ataupun kurang. Di mata kami, kalian sama, kasih sayang kami pun setara, nggak ada bedanya," ujar Hamzah kemudian.

Padalarang, 19 Mei 2024

Sekarang sifat dan sikap Hamna selembut tissue, kebar-bar-an yang dulu mendarah daging mendadak lenyap setelah punya tiga jagoan. 🤣😂 ... Jadi, paling cantik sendiri, kan dia di tengah keluarganya yang cowok semua.

Suka sama Hamizan, Hazman, atau Hazami nih guys?

Lanjut Jilid Keempat nggak? Gaskennn?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top